“IYA, om. Kebetulan kan hanya Adit yang bisa. Proyek perhotelan juga sudah hampir selesai,” jelas Adit ketika ditanya oleh Wira, kenapa ia yang berangkat ke Solo bukan arsitek yang lain. Padahal ia tergolong baru. Wira mangut-mangut mendengarnya. Saat ini mereka sudah berada di dalam kereta. Kereta baru berjalan sekitar sepuluh menit yang lalu. Berangkatnya tepat jam sepuluh malam. Namun sebelum berangkat tadi, Adit sudah ditarik oleh Dina untuk ikut keluarganya makan malam bersama. Kebetulan kan, Wira juga berangkatnya dari kantor langsung ke stasiun. Diantar Ardan yang sudah membawa emak-nya dan Dina sebelum jam pulang kantor. Jadi belum makan. Kebetulan Adit juga berangkat dari kantornya.
“Proyek yang di Solo itu, kamu tahu banyak, Dit?”
“Adit cuma tahu sedikit sih, om. Untuk lebih detilnya, baru akan tahu besok, hehehe,” jawabnya lantas garuk-garuk kepala. Ia sih sudah menanyakannya pada Husein tapi cowok itu sepertinya sibuk sekali sampai-sampai tidak membalas Line-nya lagi. Namun Adit sudah menebak sih, besok ia pasti akan ikut rapat dan ada Wira si dalamnya. Tebakannya, Wira ini kalau bukan salah satu investor berarti mitra perusahaannya. Berhubung ia sudah tahu kalau material yang digunakan untuk membangun keseluruhan proyek di perusahaannya berasal dari perusahaannya Wira. Namun herannya, penampilan lelaki ini biar pun tampak elegan tapi tetap tampak sederhana dimatanya. Mungkin karena ramahnya.
“Tidak berniat untuk menetap di Solo, Dit? Soalnya setahu, om, kalau sudah ditugaskan begini, biasanya akan ikut memegang penuh suatu proyek.”
Adit tersenyum kecil. Maunya sih menolak. Tapi apa lah daya. Siang tadi, usai mengobrol dengan Iwan, ia dipanggil Regan. Surat tugasnya telah dikeluarkan, bahkan lelaki itu memberi amanah secara langsung. Kalau sudah diamanahi begini, mana mungkin Adit menolak. Sepertinya, ia juga akan mengikuti sarannya Iwan. Paling sesekali pulang untuk memantau pembangunan rumahnya. Padahal ia tak mau jauh-jauh dari Jakarta juga dengan alasan kakaknya yang tinggal berdua dengan ponakannya. Tapi saat ia pulang tadi sore, Kayla malah dengan senang hati membiarkan ia pergi lagi. Tak apa lah, pikir Kayla. Dari pada Adit harus sering-sering bertemu Fasha. Ia itu gak tega kalau harus melihat Fasha yang murung karena dicuekin Adit.
“Sepertinya sih begitu, om. Kalau dari surat tugas ya, untuk setahun disini,” tuturnya lantas mengeluh karena ia gak bakal bisa keluar dari perusahaan itu.
Wira mengangguk-angguk. Nampaknya ia bakal sering-sering ke Solo untuk melihat Adit. Hahaha. Sekaligus mengajak Dina. Ini cara jitu yang bisa ia pikir kan. Sementara anak gadisnya sudah tidur. Padahal kerjaan-nya, seharian ini adalah tidur.
♡♡♡
Fasha baru saja keluar dari rumah saat Rain meneriakinya. Adiknya itu memintanya untuk menunggu. Rain mau minta di antar ke rumah Feri. Karena Farras sudah tinggal di sana lagi. Sementara rumah Om Fadlan sudah kosong. Kemarin, ia dan istrinya sudah berangkat ke Maluku. Meninjau program rumah sakit gratisnya Fadlan di sana. Yang tersisa adalah Farrel dan Ferril. Ferril sih sibuk gantiin Fadli. Fadli baru pagi ini berangkat ke Solo dengan pesawat. Sementara Farrel sudah nongkrong di perusahaan Regan yang lain. Kan keluarganya si Regan memang memiliki berbagai cabang bisnis. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah IT.
Fasha malah membuka pintu mobil. Malas meladeni teriakannya Rain. Lagi pula, ia juga gak bakal ninggalin kok. Walau kesal juga karena harus muter-muter dulu ke rumah omnya. Ia memanaskan mobilnya lalu keluar lagi, berjalan menuju pagar. Hendak membuka gerbangnya. Kemudian mendorongnya sambil menoleh ke arah rumahnya Adit. Ternyata ada Kayla yang memerhatikannya.
“Mau ke kantor, Sha?”
Fasha mengangguk tanpa senyum. Ia sih tak melontarkan apa-apa tapi tatapannya itu dimengerti oleh Kayla kalau Fasha mencari keberadaan Adit. Sejak Fasha tiba di rumah semalam, ia memang tidak melihat Adit. Bahkan saat nongkrong di balkon kamar pun, kamar Adit nampak gelap. Padahal mobilnya ada di rumah.
“Adit lagi dinas ke luar kota, Sha,” tutur Kayla lantas memadamkan keran air. Fasha menghela nafas. Ternyata itu alasannya kenapa ia tak melihat Adit sepanjang malam. Ia berjalan tanpa semangat menuju mobilnya. Tahu-tahu Rain dan Tata sudah duduk di samping kemudi. Takut banget ditinggal kakaknya yang ratu tega ini.
Fasha masuk ke dalam mobil lalu memundurkan mobilnya. Sementara Rain berteriak pamit seraya mengucap salam pada Caca yang baru tiba di teras rumah, melepas kepergian anak-anaknya. Tumben-tumbennya pula si Rain mau mengajak Tata jalan keluar. Biasanya paling malas. Kalau disuruh pun, ia ngomel-ngomel.
“Liat apa sih, Taaa?”
Rain heran. Soalnya si Tata sibuk celingak-celinguk melihat isi mobil Fasha. Maklum lah, jarang banget si Tata punya kesempatan bisa naik mobilnya Fasha.
“Gak pernah liat mobil ya, Taa? Sampe norak begini!”
Tata mengangguk-angguk. Seolah mengerti. Hal yang membuat Rain terkekeh. “Doain kak Rain bisa beli mobil ya, Ta. Nanti kalau kak Rain punya mobil sendiri, kak Rain ngajak Tata jalan-jalan terus!” tutur Rain yang tanpa sadar mengusik sesuatu dari Fasha. Rain mungkin tak sadar karena kini malah ketawa-ketawa bareng Tata yang girang.
Ya sih. Fasha memang terlalu egois. Selalu memikirkan dirinya sendiri. Ia tak pernah mau membiarkan orang lain untuk ikut campur dalam hidupnya. Itu sih haknya. Tapi keegoisannya ini yang kadang membuatnya jauh dari yang lain. Setelah mendengar ucapan Rain barusan, ia baru sadar kalau selama ini ia tak pernah mengajak adik-adiknya untuk masuk ke dalam mobilnya. Bahkan kamarnya pun, paling ogah dimasuki oleh Rain karena tidak mau dituduh macam-macam kalau ada barang-barangnya yang rusak atau hilang. Tanpa sadar, ia sudah membuat jarak sedemikian jauh pada adiknya sendiri. Bahkan Rain tak pernah sekedar curhat padanya. Paling hanya memanggil ketika perlu. Ia pun tak pernah berinisiatif untuk lebih dekat dengan Rain. Menurutnya, pekerjaannya sudah sedemikian ribet dan menguras waktu. Tidak usah lah ditambah-tambah dengan urusan lain.
Kadang Caca suka sedih kalau melihat anak sulungnya ini lebih memilih kamar dibanding berkumpul bersama keluarga di malam minggu. Kalau diajak jalan pun, selalu beralasan kalau kerjaannya lagi banyak atau sudah mendekati deadline. Ia lebih suka tenggelam dalam keheningan dan kesibukannya sendiri tanpa pernah memikirkan yang lain. Bercanda dengan Tata pun jarang. Bahkan, jangan kan bercanda, bisa dikatakan kalau ia jarang melihat Tata meski setiap hari di rumah. Karena pagi, ia keluar untuk sarapan. Kadang kalau terburu-buru, sarapan dilewatkan. Tata baru bangun jam tujuhan dimana ia sudah berangkat. Lalu ia baru nongol di rumah saat malam dimana Tata sudah tidur. Jadi bisa dihitung, berapa kali ia melihat Tata selama seminggu. Sebenarnya Caca ingin sekali berbicara mengenai keluarga agar Fasha mau berkumpul atau lebih terbuka dengan mereka. Tapi ia yang ibunya pun tak berani dengan alasan takut anaknya tersinggung. Fasha ini memang paling sensitif terhadap sesuatu walau paling tak peka dalam hal perasaan.
♡♡♡
Adit baru saja bangun saat alarm-nya berbunyi tepat jam delapan pagi. Ia hanya sempat tidur setengah jam. Walau sebenarnya ia sempat tidur di kereta semalam. Tapi hanya satu jam. Sisanya dihabiskan dengan obrolan panjang bersama Wira dan kebengongan karena ia tak bisa tidur. Padahal ia harus menghadiri meeting jam sebelas nanti. Namun jam sembilan ia sudah harus berangkat untuk bertemu Husein dulu dan membicarakan hal-hal mengenai proyek. Ia sudah rapi dengan jasnya tepat jam setengah sembilan. Ia berniat sarapan dulu di hotel baru kemudian berangkat ke kantornya yang ada di Solo. Baru juga keluar, ia sudah terkikik melihat tampang ngantuknya Dina yang baru keluar dari kamar di depannya. Kamar dimana keluarganya Dina meng-inap.
“Eh! Kalau jalan tuh, matanya dibuka! Ntar nabrak lagi!”
“Gak apa-apa. Kali-kali gue nabrak cowok ganteng terus dia melamar gue,” tutur Dina ngaco lantas menguap.
Adit geleng-geleng kepala sambil terkekeh. Cewek yang satu ini memang kagak ada jaim-jaimnya sama cowok. Padahal kentara banget kalau Dina hanya mencuci muka.
“Lu mau kemana?”
“Laper gue. Kalau laper begini, gue kagak bisa tidur,” keluh Dina sambil memegangi perutnya. Adit terkekeh. Padahal seingatnya, semalaman di kereta si Dina tidur mulu. Lah? Sekarang mau lanjut tidur lagi?
“Mending juga lo jalan kali, Din. Mumpung di Solo. Jarang-jarang ke Solo kan?”
Dina tampak menimbang-nimbang. Tapi ketika ingat Papanya, ia membuang jauh-jauh saran dari Adit itu. “Bokap gue mana ngasih izin, gue jalan sendirian di sini.”
Adit terkekeh mendengarnya. Ya sepertinya ia bisa sih menilai bagaimana wataknya Wira selama mengobrol dengan lelaki itu. Walau terlihat cold, tapi sangat protektif terhadap keluarganya. Ia juga akan begitu sih.
“Lo mau sarapan apa?” tanya Dina saat tiba di restoran yang terletak di lantas dasar hotel ini.
Adit nampak menimbang-nimbang saat membaca menu sarapan yang disediakan. “Bubur ayam deh.”
“Ah, lo jauh-jauh dari Jakarta makannya bubur ayam,” celetuk Dina yang membuat Adit terkekeh. Nada cablaknya gadis itu yang membuat-nya merasa lucu. Lagi pula, kapan sih, si Dina tak membuatnya ketawa? Pasti ada saja hal yang membuat harinya cerah karena tawa. “Mbak!" Dina teriak seraya mengangkat tangan kanannya. Salah satu pelayan menoleh. “Bubur ayamnya dua yaaa!” tambahnya yang membuat Adit bengong sesaat lantas terbahak saat menyadari arti dari kalimat Dina.
“Somplak lu, Din!”
“Lagian, gue suka apes kalau nyoba menu yang aneh-aneh, Dit,” curhatnya yang tetap saja tak membuat Adit berhenti tertawa.
“Disitu kan ada soto. Paling rasa soto ya gitu-gitu aja, Din.”
Dina menggeleng-geleng dengan muka ogah. Adit masih terkekeh. Ekspresi mana sih yang gak membuat Adit tertawa?
“Apesnya gue itu, Dit, gak cuma soal mantan bahkan merembet sampe makanan. Sekarang gue lagi wanti-wanti, jangan sampe merembet ke jodoh orang,” ia malah curhat.
Adit sukses cekikikan dibuatnya. Hilang sudah ngantuknya.
♡♡♡
Selama meeting, ia hanya menyimak Husein yang sibuk dengan presentasinya di depan para investor dan stake holder lainnya. Ia sih memang jauh dibanding Husein. Cowok ganteng yang satu itu, memang menang di atas segala-galanya. Husein bisa dibilang telah mapan dengan usia lebih tua setahun dibanding Adit. Ia juga kepala divisi mereka hanya saja saat ini sedang ditempatkan di Solo untuk memegang proyek penting pembangunan rumah sakit. Sebetulnya gak cuma rumah sakit sih, ada proyek perhotelan dan mall juga yang sedang dipegang Husein. Apa yang membuat Adit berkaca ketika Fadli menyalaminya dengan biasa tapi begitu berbeda ketika menyalami Husein. Yah, mungkin yang dicari Fadli adalah tipe-tipe lelaki macam Husein ini yang cocok untuk anaknya. Bukan Adit yang jauh di bawahnya. Adit sadar diri kok. Maka sekarang, ia malah makin mantap untuk mundur. Mungkin ia memang bukan orang yang tepat untuk Fasha. Fasha membutuhkan lelaki yang bisa meng-imbanginya. Bukan lelaki sepertinya.
Usai meeting, ia hendak berbicara dengan Husein tapi Fadli sudah menghampirinya duluan. Memuji-muji keterampilan lelaki itu saat melakukan presentasi. Hal yang lagi-lagi membuat Adit minder setengah mati. Makin sadar diri kalau ia jauh sekali dibanding Husein.
Ia hanya berdeham lantas menyimak para investor menyalami Husein sementara dengannya, mereka hanya menganggukan kepala lalu keluar dari ruangan. Sementara Wira masih mengobrol serius dengan Regan. Entah apa yang diobrolkan, Adit tak menyimak. Fokusnya masih pada Fadli dan perlakuannya yang berbeda ketika bertemu Husein. Karena merasa, obrolan mereka masih lama, Adit memutuskan untuk keluar dari ruang meeting. Ia terkaget saat seseorang menampar bahunya dari samping. Saat ia menoleh, ternyata Dina dengan muka betenya.
“Kok lo bisa di sini sih?” tanya sambil mengelus bahunya yang ditampar Dina.
“Bosen gue. Emak gue sama tante Nesa sibuk ngobrolin rumah tangga. Gue kagak ngerti,” tutur Dina lantas menunjuk emaknya yang lagi duduk santai di lobi lantai 5 ini. Adit terkekeh. “Gue nungguin lo dari tadi tauuk!”
“Gue kerja kali, Din!”
“Ck!” Dina berdecak. “Terus lo mau kemana?”
“Solat,” tutur Adit seraya menekan tombol lift. “Lo udah solat?”
Dina menggeleng lantas ikut masuk ke dalam lift. “Tadi gue lagi makan, emak gue sama tante Nesa solat duluan. Ninggalin gue,” curhatnya. Adit terkekeh. Keduanya tiba di lantas tiga, dimana ada mushola yang cukup besar di sana. “Nanti keluarnya bareng ya, Dit! Lo belum makan kan?” tutur Dina saat keduanya terpisah di tempat wudhu.
Adit terkekeh. “Iya!”
Usai solat, Adit terganggu dengan suara Fadli. Lelaki itu masih meng-obrol dengan Husein. Ia sempat mendengar kalau Fadli mengajak Husein untuk makan malam dengan keluarganya besok malam. Aaah...itu artinya, Fasha bakalan datang ke sini. Padahal ia sudah susah payah merelakan hatinya untuk bisa menetap di sini.
“Kebetulan, yang menjadi ketua tim interior itu anak saya. Saya kira, kalian perlu mengobrol serius soal desain itu biar klop.”
“Ooh mba Fasha itu anaknya Pak Fadli?” tanya Husein. Fadli meng-angguk. “Wah, mohon maaf, pak. Saya gak tahu kalau dia itu anak bapak,” tambahnya yang diangguki oleh Fadli. Lelaki itu bilang tak apa-apa. Sementara Adit agak-agak nyeri mendengar obrolan itu. Sudah tahu akan kemana tujuan obrolan itu. Ya sih, siapa yang tak mau anaknya mendapatkan lelaki seperti Husein?
Adit segera mengeluarkan ponselnya saat sadar kalau ponselnya bergetar. Ia membaca pesan Line dari Dina dimana gadis itu menunggu-nya di depan mushola. Ia segera beranjak lantas berjalan menuju Dina yang sedang menunggunya. Kemudian keduanya berjalan menuju kantin.
♡♡♡