Selalu Ada, Seperti Pelangi

2262 Kata
“KENAPA lo? Mau jodohin si Husein sama Fasha?” tanya Regan saat berhasil menahan langkah Fadli yang hendak menyusul Husein. Wira yang berdiri di sampingnya cuma tersenyum kecil. Sebenarnya, ini obrolan serius mereka tadi. Yaaa, membicarakan gelagat Fadli yang mulai aneh ketika melihat calon menantu yang menurutnya cocok untuk anaknya. “Namanya juga usaha, bro. Lagian, lo udah mundur kan, Wir?” Wira terkekeh. Ia sih memang gak berniat lagi menjodohkan Dina dengan Hasan maupun Husein. Sekarang kan lagi berupaya memantau kedekatan anaknya dan Adit yang tadi sempat ia lihat, keduanya sedang berjalan menuju kantin. “Emangnya mau si Husein sama Fasha?” Pertanyaan retoris yang langsung membuat jleb dihatinya Fadli. Wira makin terkekeh. Regan kan kalau ngomong suka jujur. Hahaha. “Ah elo. Gue lagi berniat meluruskan anak gue biar berhenti makek rok pendek!” tutur Fadli yang membuat dua lelaki di dekatnya terkekeh. Kini ketiganya berjalan menuju kantin untuk menuntaskan masalah perut yang sempat tertunda. “Anak lo itu cakep, Li. Kagak usah lah lo cari-cari jodoh buat dia. Lagian, gue gak yakin kalau si Fasha mau dijodohin begitu! Hahaha!” Wira mengangguk setuju. Kalau anaknya sih masih mau. Nah, Fasha? Gadis itu kan keras pendirian. Keras kepala. Maunya dituruti dan enggan menuruti keinginan orang lain. “Masalahnya bukan itu. Gue sebagai ayah pasti pengen dapat menantu yang terbaik. Apa salah gue mengusahakan itu untuk anak gue?” Regan menepuk-nepuk bahunya. “Ya kagak ada yang salah. Cuma jangan sampai memaksa. Kalau emang si Fasha kagak mau ya udah,” pesan Regan lantas mendahuluinya memasuki lift.   Fadli menghela nafas. Omongan Regan ini persis omongan istrinya, Caca. Caca juga menyarankan agar ia berhenti mencari jodoh untuk Fasha. Karena Fasha belum tentu mau dijodohin begitu. Tapi ia selalu berdalih kalau ia hanya sebatas mengenalkannya pada Fasha dan tak akan memaksa lebih jauh. Yang membuatnya tak srek itu adalah ketika Caca mulai mengungkit soal Adit. Ia tahu sih kalau Adit itu anak yang baik tapi baginya tak cocok dengan Fasha. Lihat anaknya sekarang, jauh di atas Adit. Kalau Adit bersama anaknya, akan timpang jadinya. Gak sejajar. Makanya ia dekati Adit. Ia bicara kan baik-baik dengan Adit agar Adit mau menjauhi anaknya. Agar Fasha bisa segera melupakan Adit karena Adit akan tegas meninggalkan anaknya. ♡♡♡ “Lu kenapa sih, Dit? Dari tadi diam mulu,” tutur Dina yang heran. Karena sebelum solat tadi, si Adit masih berisik-berisik aja. Ditanya begitu, Adit malah menggeleng dengan senyuman tipis lantas memasukan lagi makanan ke dalam mulutnya. Adit sih hanya kehilangan mood saja mengingat sikap Fadli pada Husein tadi. Aaah...harusnya ia gak usah masukin ke hati sih. Ia kan udah tahu kalau bagaimana pun, Fadli tak akan menyetujuinya dengan Fasha. Lagi pula, emangnya Fasha mau dengannya? Ia tertawa hampa. Mustahil. “Ditanya malah senyam-senyum. Terus ketawa sendiri. Lo nakutin, Dit.” Adit terkekeh. Mungkin emang benar kata Dina kalau ia memang nakutin. Keterbengongannya ini memang suka membuat orang lain salah paham. Terlebih kalau mood-nya memburuk. Ia benar-benar sulit bangkit. “Apa kabar si Pras?” “Apaan sih?! Pertanyaan lo nyebelin tau gak?!” Adit terkekeh. “Just kidding!” “Bercanda lo kagak lucu tahu, Dit!” “Sorry deh sorry,” tuturnya masih dengan kekehan yang sama. Dina malah mendengus lantas buang muka. Adit makin terkekeh. Ia melempar tissue hingga mengenai gadis itu. Sebal, Dina hendak membalasnya tapi tak jadi saat melihat lelaki lain muncul. Dina mengerjab-erjab. Berasa pernah melihat lelaki ini. “Gue nyari lu kemana-mana, Dit. Tahunya di sini,” tutur Husein lantas melihat ke arah Dina yang melotot ke arahnya. Ia garuk-garuk kepala. Salah tingkah kalau dipelototin perempuan begitu. “Gue tadi mau ngomong sama lo, susah banget! Mau makan lo?” tawar Adit. Husein mengangguk lantas mengambil duduk di tengah-tengah Dina dan Adit. Dina sih masih memerhatikan Husein. Masih mikir, kayak pernah lihat di mana gitu. Kesal karena Adit bukannya mengenalkannya pada Husein, ia tendang kaki Adit. Hal yang membuat Adit langsung mengaduh kuat sementara Husein makin keheranan. Mata Dina melotot seolah berkata, 'eh, kenalin gue ke dia, bodoh!' Adit gak kalah melototnya, matanya seolah berkata, 'ogah! Kenalan aja sendiri! Orangnya ada di depan mata! Bisa melihat kan lo?' Dina berdesis. Sementara Adit terkekeh. Senang banget mengerjai Dina yang kini sudah kesal setengah mati gegara Adit. Adit kan emang menyebalkan orangnya. “Eh, Sen, kenalin nih temen gue, namanya Dina.” Dina melotot dulu baru kemudian tersenyum ke arah Husein. Tapi ia heran kenapa dipanggilnya 'Sen'? Bukan 'San'? Apa mereka bukan orang yang sama? “Di—” Dina malu hati ketika menyodorkan tangannya karena Husein malah menangkupkan kedua tangannya. Adit sudah tergelak sampai memegangi perutnya. Gak tahan melihat muka malunya Dina. “Na,” Dina kehilangan suaranya diiringi rasa malunya. Dina benar-benar tertohok dua kali. Dulu sama lelaki yang mirip dengan Husein ini juga begitu kejadiannya. Aih.... “Husein,” tutur Husein sambil mengangguk dan menahan senyum-senyum yang sebenarnya gugup. Ia kan memang pemalu. Apalagi sama perempuan begini. Jarang-jarang pula bertemu perempuan cantik ber-kerudung begini. Hahaha. Maklum lah, pekerjaannya memang menuntut. Ia bahkan tak keluar selama seminggu demi memikirkan desain proyek yang satu ini. “Husein? Bukan Hasan?” Dina memastikan. Husein tersenyum kecil. Aaah berarti si Dina mengenal saudara kembarnya. “Hasan itu saudara kembar saya. Kamu kenal? Temannya atau gimana?” Oooh. Dina mengangguk-angguk. “Bukan temen sih. Cuma kenal aja, hehehe. Kebetulan dia pernah ke rumah opa gue. Dia dokter kan?” Husein mengangguk dengan senyuman tipis. Kemudian lelaki itu me-mesan makanan. Adit berdeham-deham karena diabaikan Dina. “Gue gak tahu kalau dia punya kembaran,” tutur Dina masih dengan topik yang sama. Husein hanya terkekeh sebagai balasan. “Lu kerja di sini?” “Dia ketua divisi gue sekaligus ketua tim proyek di sini, Din,” kali ini Adit yang menyahut. Sebal karena dari tadi gak kebagian bicara. Dina mengangguk-angguk. Ia juga baru tahu kalau Husein ini arsitek juga. “Kamu juga kerja di sini, Dina?” Husein bertanya kaku. Si Adit langsung cekikikan mendengarnya. Alhasil, kakinya ditendang lagi oleh Dina. Cowok yang satu ini benar-benar tidak tahu situasi. Kalau Husein tersinggung karena tawanya gimana? “Enggak sih. Kebetulan bokap gue ke sini jadi gue ikut ke sini juga,” tuturnya sambil menahan senyum lalu matanya melotot ke arah Adit ketika Husein tak memerhatikan. Oooh Husein mengangguk. Ia bisa menebak, pasti Dina anak salah satu dari investor atau stake holder yang bekerja sama dengan perusahaannya. Ia cukup mengenal mereka karena sudah terlampau sering bertemu. Dina menghabiskan makanannya lantas memerhatikan sekitar. Papanya melambaikan tangan menyuruhnya datang menghampiri meja makan Papanya. Papanya hendak mengenalkannya pada investor lainnya. Agar mereka tahu kalau ini loh wajah anak perempuannya. Karena selama ini mereka hanya tahu wajah anak lelakinya. Dina mengangguk lantas mengelap mulutnya dengan tissue. Kemudian beranjak dan pamit pada Adit dengan menepuk bahu lelaki itu. Adit hanya mengangguk, paham. Sementara Husein memerhatikan keduanya. “Kalian pacaran?” Adit langsung cekikikan mendengarnya. Ia? Dina? Pacaran? Hahaha! ♡♡♡ Fasha hanya bengong selama di dalam taksi menuju hotel di mana ia menginap. Mengenang dua malam ini dimana kamar Adit masih gelap. Ia tahu sih kalau Adit sedang ada tugas ke luar kota. Tapi seingat Fasha, ini yang pertama kalinya. Sebab lelaki itu tak pernah bepergian jauh usai mendapatkan pekerjaan. Ia menghela nafas. Kemudian melirik ponselnya. Ayahnya mengabar-kan kalau ayahnya sudah tiba di Jakarta. Yeah, ia berangkat ke sini, ayahnya malah balik ke Jakarta. Gantian Ferril yang ke sini. Lelaki playboy itu sedang dalam perjalanan menuju bandara dengan di antar abangnya. Sementara Fasha sudah tiba di Solo dengan pesawat pertama pagi ini. Taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan lobi hotel. Ia segera keluar, membiarkan pelayan hotel mengeluarkan kopernya dari bagasi taksi sementara ia membayar uang taksinya. Kemudian ia berjalan masuk sambil menggeret kopernya. Baru tiba di lobby, ia sudah men-dengar cekikikan dua orang yang hendak pergi sarapan di restoran samping lobi. “Jorok lo, Dit!” “Kentut sih naluri manusia, Din!” sangkal Adit lantas cekikikan ketika Dina menepuk bahunya kuat-kuat. Soalnya baunya sampai tercium oleh Dina. Lelaki itu terpingkal-pingkal. Tak mampu menghindari tamparan Dina sekaligus sadar kalau baunya juga tercium olehnya. Fasha malah heran karena melihat keduanya bersama. Kak Kayla bilang kalau Adit sedang ada tugas di luar kota. Tapi ini? Kok malah bersama Dina? ♡♡♡ Fasha baru tahu kalau Adit juga satu tim dengannya ketika Husein membawanya menuju ruang meeting. Di sana sudah ada Adit dan beberapa orang lainnya yang masuk ke dalam tim. Ia sih tak sengaja menatap ke arah Adit ketika masuk ke dalam ruangan sementara Adit sudah melengos ke arah lain. Fasha tahu kalau lelaki itu pasti akan menghindarinya. Tapi untuk proyek ini? Aaaah, Fasha baru tahu kalau Adit bekerja di perusahaan omnya—Regan. Ia tak berpikir kalau lelaki itu akan bekerja di sana. Ia pikir, Adit bekerja di perusahaan lain. Jadi tak mungkin, mereka bisa bertemu seperti ini. Namun ternyata? Husein sedang berbicara di depan sana ketika Adit malah kehilangan fokus. Lelaki itu mati-matian menahan pandangannya agar tak menatap Fasha yang duduk tepat di depannya. Akhirnya, ia malah menundukan kepala seraya menatap ponselnya yang bergeming. Iseng, ia buka i********: di mana Dina muncul. Gadis itu memang rajin update. Kali ini, Dina memposting foto selfienya, Mamanya dan Papanya di depan Museum Keraton Surakarta. Jarang-jarang soalnya, bisa jalan-jalan bertiga begini tanpa Ardan. Berasa ia anak tunggal hahaha. Lain kali Dina bakalan ikut lagi kalau Papanya ada tugas ke luar kota. Lumayan, pikirnya. Lagi pula salah Papanya yang tidak mau memberinya izin untuk bekerja. Pulang kapan? Adit mengirim pesan WA pada Dina. Tapi gadis itu lama sekali mem-balasnya karena masih sibuk selfie sambil cekikikan bareng Mamanya yang menertawakan muka 'belum siap' Papanya yang difoto. Hingga lima menit berlalu, Dina belum juga membalas, Adit memilih memasukan ponselnya. Lantas berpura-pura fokus memahami penjelasan Husein di depan sana yang sesekali ditanya oleh Fasha. Karena perempuan itu harus menyesuaikannya dengan desain yang telah ada. Namun tampaknya harus diubah di beberapa bagian. Karena di desain sebelumnya, belum ada ruang konsultasi preventif yang digunakan untuk orang-orang sehat agar bisa mengecek masalah kesehatan mereka. Bahkan bisa memperkirakan kesehatannya di masa depan sehingga bisa dicegah saat sekarang agar gejala-gejala itu tidak menjadi penyakit di masa yang akan datang. Program preventif ini sangat penting guna mengurangi beban hidup masyarakat yang sangat berat ketika mereka harus mengeluarkan uang begitu besar saat sakit. Belum lagi waktu produktif yang harus terbuang sia-sia padahal seharusnya digunakan untuk bekerja mencari nafkah. Dengan serius Fasha mendengar penjelasan Husein tentang penting-nya ruangan ini. Jadi harus didesain semenarik mungkin dan harus diletakan di tempat yang strategis. Karena Husein pun masih bingung harus menempatkan ruangan seperti ini di mana. Mengingat ini pertama kalinya. Kalau rumah sakit di Solo ini sudah beres maka rumah sakit di Jakarta juga akan direnovasi atas permintaan Fadlan. “Di tim saya ada Teo dan Nara, Sha. Kamu bisa tanya kan mereka untuk detilnya karena mereka yang lebih paham,” tutur Husein yang diangguki oleh Fasha. Fasha hanya melirik sekilas, Teo si cowok pecicilan yang duduk di sebelah Adit. Lalu Nara yang tampak centil duduk di sebelah Teo. Diam-diam gadis itu menarik nafas dalam. Ia kira akan dibantu oleh Adit tapi ternyata bukan lelaki itu. Kini, ia merasa antara lega atau malah sedih karena tak bisa dekat dengan Adit. Padahal ini kesempatannya. Ia punya niat untuk memperbaiki hubungannya dengan Adit. Seperti ucapannya Kayla yang mengatakan kalau ia yang harus maju duluan. Tapi kalau sudah ada Adit di depan matanya begini, ia malah ingin lari. Usai meeting, Adit segera keluar. Ia lelah karena dua hari ini tidak bisa beristirahat lebih lama. Di hari pertama ia tiba, ia hanya sempat tidur sebentar lantas terjaga sampai malam. Karena sore hingga malam kemarin, ia menemani Dina berjalan-jalan ke alun-alun Lor. Baru tiba di hotel jam dua belas malam. Saat akan tidur, Husein malah menganggu-nya. Lelaki itu meneleponnya malam-malam untuk meminta bantuannya menyelesaikan presentasi hari ini. Alhasil, ia tidak tidur sampai jam empat pagi yang dilanjutkan solat subuh kemudian ia baru tidur tapi hanya dua jam. Jam tujuh ia bangun lalu mandi dan segera keluar ketika tahu bahwa Dina sudah menggedor kamarnya. Nanti malem udah pulang, Dit. Dina baru membalas pesannya. Ia menarik nafas lantas mengucek-ucek matanya. Kemudian membalas pesan dari Dina. Cepat banget. Padahal gue belum ngajak lo ketemu temen-temen lo. Temen-temen gue? Dina bingung. Karena seingatnya, ia gak punya teman di Solo. Yeah, temen-temen lo. Kemudian Adit cekikikan. Sedangkan di seberang sana, Dina masih penasaran. Mamanya sampai menarik tangannya karena ia tak ikut berjalan. Padahal Papanya sudah menunggu di depan sana. Siapa? Nanti juga lo tahu. Apaan sih, Dit?! Dina mulai kesal sementara Adit cekikikan. Husein yang berjalan menyusulnya sampai heran. Kenapa si Adit ketawa-ketiwi sendiri kayak gitu? Gue mau ngajak lo ke kebun binatang. Di sana kan banyak temen looo Sialaaaan! maki Dina lantas dengan cepat ia membalas pesan Adit itu. HAHAHA! LUCU LO, DIT! Adit terkekeh. Sepertinya candaannya garing. Tapi ia serius loh. Kan Dina gak pernah ke kebun binatang. Katanya geli sama kucing. Itu juga gegara ulah Ardan. Waktu kecil, Ardan kan punya kucing yang ia namai Push. Dina juga mau ikut bermain bersama kucingnya tapi ia tak memberi izin. Akhirnya, dengan isengnya ia suka sekali mengejar-ngejar Dina dengan kucingnya. Terkadang ia lempar kucing itu ke muka Dina atau ke tubuhnya Dina hingga gadis itu kaget lantas ketakutan setengah mati. Kadang si Dina juga suka dielus-elus Ardan dengan kucingnya. Hal yang membuat Dina kegelian. Ujung-ujungnya ogah lagi minta main sama kucingnya Ardan. Apalagi si Dina sampai teriak-teriak se rumah. Karena Ardan makin doyan mengejarnya dengan kucing. Omong-omong soal kebun binatang tadi, si Adit bilang, mana ada kucing di kebun binatang? Tapi si Dina ngotot, ya kan namanya kebun binatang masa kucing kagak ada? Kan kucing juga binatang? Disitu, Adit makin cekikikan mengenang obrolan absurd mereka semalam. Semenjak bareng Dina, emang gak ada yang bikin harinya seceria itu. Cewek itu selalu sukses membuatnya tertawa lepas. Seolah-olah ia tak pernah tertawa sebelumnya. Tapi emang benar sih, hidupnya suram banget semenjak dihindari oleh Fasha saat kelas tiga SMA. Seriusan gue. Mau gak? Adit menawari lagi. Ia benar-benar serius kok. Lagi pula, ia butuh teman kayak Dina ini untuk menghiburnya setiap hari. Soalnya kalau bareng Dina, ada saja hal yang bisa bikin ketawa lepas. Ibarat mendungnya yang kemudian hujan turun. Dan pelangi tak pernah absen setelahnya. Selalu ada. Dina...Dina...., batin Adit. ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN