WIRA heran melihat anaknya berselonjor di sofa pagi-pagi begini. Mandi kagak. Baru bangun tidur sih iya. Mana kagak cuci muka pula. Hal yang membuat Wira geleng-geleng kepala. Aih, anak gadisnya ini kapan sadarnya?
“Din?” panggilnya.
Dina membuka mata dengan tampang cemberutnya. “Papa sih gak ngasih izin Dina untuk kerja! Dina kan jadi gak tahu mau ngapain! Mana udah dipecat lagi sama kak Aya!” teriaknya kemudian.
Wira terkekeh. Ia baru paham alasannya. Aah, akhirnya ponakannya itu memecat anak gadisnya juga. “Kan butiknya Tiara dipindahin. Kalau mesti ikut pindah kerja di Tangerang ya jangan lah. Kejauhan,” tutur Wira lantas duduk di dekat kaki anaknya. Kemudian menepuk kaki anaknya. Dina beranjak duduk dengan rambut awut-awutan. Ia menatap Papanya dengan kesal. Seharusnya sih, Tiara tak menutup butik di mall dekat sini tapi atas usulan Papanya, malah dipindahin sama Tiara. Jadinya, butik di sini sudah berganti fungsi menjadi restoran Thailand. Walau belum selesai di-renovasi. Tapi itu memang salah satu usaha Wira yang ia siap kan untuk anak gadisnya ini. Maksudnya Wira kan baik, dari pada anaknya ini kerja sama orang lain mending usaha sendiri. Ia yang keluar kan modal, anak-nya yang jalan kan. Lagian, hobi anaknya ini makan kok bukan kerja.
“Tapi Dina bisa gendut lagi ini, pa! Gak ngapa-ngapain! Kerjaan Dina di rumah itu cuma makan sama tidur!”
Wira terkekeh. Ia menarik tubuh anaknya hingga berhasil merangkulnya. Aisha sih cuma bisa mencibir dari dapur karena gak kebagian rangkulan suaminya pagi ini. Hahaha. Malah Dina yang dapat jatah. “Ya udah. Nanti malam, Papa mau berangkat ke Solo naik kereta. Mau ikut gak?”
Mata Dina langsung berbinar. “Seriusan, pa?”
“Kok Dina diajak, aku enggak?”
Aisha langsung protes. Dari tadi mukanya senewen melihat interaksi anak dan suaminya itu. Kini ia muncul sambil berkacak pinggang.
“Kan kamu kerja.”
“Ooh gitu?”
Nada galaknya keluar. Apalagi ditambah pelototan. Dina sudah cekikikan melihat tampang Mamanya. “Ya sudah kalau mau ikut juga.”
Wira pasrah.
♡♡♡
“Kalau kata gue sih, mending elo menetap di Solo, Dit. Bantuin si Husein. Soalnya, kerjaannya banyak. Kalau gue susah, Dit. Lo tahu sendiri, gue udah punya bini. Bini gue juga kerja di sini. Masa gue tinggal?”
Adit terkekeh. Yang lagi ngomong sekaligus curhat ini teman kantor-nya. Namanya Iwan. Seumuran dan memilih menikah muda. Kenapa? Karena gak tahan godaan perempuan di luar sana, katanya. “Gue lupa kalau bini lu kerja juga,” timpal Adit.
Iwan terkekeh. Tangannya menggoyang-goyangkan gelas berisi es teh. Siang-siang begini memang enaknya meminum yang dingin-dingin. Apalagi mereka baru pulang dari lapangan tadi. Usai memantau proyek perhotelan yang sudah mencapai 85%.
“Emang gaji lu kagak cukup, bang? Sampe-sampe bini kerja juga?” tanya Adit. Soalnya ia heran, gajinya dia sama gajinya Iwan kan pastinya gak beda jauh. Yang membedakan paling, lama kerjanya.
“Perkara cukup dan kagak cukup kan urusan bersyukur, Dit. Kalo bini gue, milih kerja, karena mikirnya biar lebih banyak yang disedekahin sekaligus ngumpulin modal lah. Mau buka usaha katanya. Gue sih sebagai suami, dukung-dukung aja.”
Wah-wah-wah. Adit sampai tepuk tangan. Iwan malah terkekeh. Adit sih emang kagum banget sama Iwan dan istrinya ini. Pernah ketemu juga sama istrinya si Iwan lebaran kemarin. Makanya ia panggil 'abang' sebagai peng-hormatan. “Makanya nikah, Dit. Biar tahu rasanya punya bini!”
Ujung-ujung-nya pem-bully-an. Adit terbahak. Ya, siapa sih yang gak mau menikah? Tapi untuk saat ini sih belum. Adit masih mau bangun rumah dulu, katanya. Baru bangun rumah tangga, eeaak. Modal nikah belum terkumpul soalnya hahaha.
“Cuma kalau mesti pindah ke Solo, berat bang.”
“Apanya yang berat?”
“Tahu sendiri, gue lagi bangun rumah!”
Iwan terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahu Adit. “Rumah lo itu bisa di-pantau sebulan sekali. Kalau lo rajin, bisa seminggu sekali. Sabtu-minggu kan libur. Lo bisa bolak-balik, Dit. Lagian proyek di Solo lebih gede gaji-nya. Rugi kalau lo gak ambil. Gue kalau masih bujangan kayak lo sih, gak usah pikir panjang, Dit! Tancaaap!”
Adit terkekeh. Ya sih. Banyak pertimbangannya. Tapi untuk menetap di sana, ia belum benar-benar siap. Kenapa? Entah lah. Yang jelas, bangun rumah bukan lah salah satu alasan. Maka siapa lagi yang bisa men-jadi alasan terberat Adit kalau bukan perkara hati? Padahal ini kesempatan emas. Adit juga sudah berencana melupakan. Tapi hanya berupa rencana. Nyatanya, penerapannya yang sulit dan selalu gagal.
♡♡♡
“Ada kerjaan baru lagi?”
Fasha mengangguk. Saat ini, ia sedang makan siang bersama ayahnya di kantin kantor. Hanya berdua setelah ditinggal asistennya yang langsung kehilangan nafsu makan ketika berhadapan dengan ayahnya. Tengil-tengil begini, Fadli punya aura yang menakutkan bagi para staf-stafnya. Aura ketegasan yang tak bisa dibantah siapa pun. “Di mana lagi?”
Fasha menarik nafas lantas memasukan sendok terakhir ke dalam mulutnya. “Tadi Om Regan minta tolong untuk bantu proyek yang di Solo.”
“Yang rumah sakit itu?”
Fasha mengangguk. “Tapi Asha rasa, kalau untuk rumah sakit, bisa disamakan dengan rumah sakit Om Fadlan yang di sini.”
“Lalu?”
“Fasha sih tetap ke sana lusa.”
Fadli mengangguk-angguk. Lagi pula, Fadli setuju kok kalau Fasha ke sana. Padahal biasanya, gak pernah memberi izin kalau anaknya dapat proyek di luar Jakarta. Giliran yang ini diiyakan. Iya lah! Wong mau di-kenalin sama salah satu arsitek di sana. Ini kan kerja samanya dengan Regan. Barang kali si lelakinya suka sama Fasha dan Fasha setidaknya sedikit tertarik. Soalnya saat Pandu ke rumah lebaran kemarin, Fasha datar sih. Gak ada respon. Malah kebanyakan bengong. Cuma ayahnya aja yang girang. Padahal Fadli pengen banget tuh dapat menantu kayak Pandu. Udah mapan dan matang.
“Lusa berangkatnya dengan pesawat?”
Fasha mengangguk lantas mengelap mulutnya dengan tissue. Ia akan berangkat ke Solo saat malam, usai menyelesaikan pekerjaannya di rumah Pandu. Ia sudah mulai memasang barang-barang di dapur dan ruang makan rumah Pandu. Tapi belum selesai.
♡♡♡
“Begini kan cantik!” tutur Aisha yang dengan seenaknya memakaikan kerudung di kepala anak gadisnya. Disimak oleh Ardan dan Wira yang kompak duduk di atas tempat tidur Dina. Sementara Dina dan Aisha ber-diri di depan mereka sambil menghadap ke arah cermin.
“Iih! Tapi Dina belum mau pakek kerudung, ma! Nanti!”
“Nanti-nanti!” omel Aisha. Ardan terkikik kali ini.
Sudah dua hari, sejak pernikahan Tiara, Dina dipaksa menggunakan kerudung kalau keluar rumah. Bukan apa-apa, soalnya usai acara pernikahan itu, opa mulai menceramahi para cucunya yang sudah balig tapi enggan menutup aurat. Mana ditambahin pula, siapa saja yang akan ikut bertanggung jawab di akhirat kelak kalau perempuan tidak menutup auratnya. Siapa saja? Tentu ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya dan anak lelakinya. Jadi lah si Ardan protes saat tiba di rumah. Soalnya, dosanya saja sudah banyak jangan ditambah-tambahi lagi dengan Dina yang tak mau menutup aurat. Aisha yang paling semangat. Ia membeli banyak baju panjang dan kerudung-kerudungnya untuk Dina. Meski belum mau memakai gamis, tapi tak apa lah. Anaknya kan baru akan belajar menutup aurat. Nanti kalau ia sudah belajar agamanya semakin dalam, ia akan mengerti secara bertahap bagaimana cara menutup aurat yang benar menurut-Nya. “Kalau kamu atau Papamu atau Ardan atau Mama yang mati dulu, siapa yang bakal tahu?”
Aisha mengomel makin galak. Kali ini sambil memutar-mutar badan Dina yang dijadikan model tutorial hijab. Hahaha. “Tuh! Cantik kan, Wir?”
Wira tersenyum. Tentu saja. Ia juga maunya anaknya ini memakai kerudung seperti ponakannya yang lain. Namun ia memang tak pernah memaksakan kehendak sih. Sementara Dina malah cemberut. Kalau udah bawa-bawa mati sih, ia ngeri bahkan takut juga. Kalau beneran kan, ia merasa berdosa. Apalagi saat ia tahu kalau ia masih menjadi tanggungan Papanya selama ia belum menikah. Duh!
“Kalau begini kan enak nyari jodohnya! Iya gak, pa?!” seru Ardan. Kali ini gantian ia yang mem-bully. Mamanya langsung cekikikan mendengar ucapannya. “Cowok-cowok jaman sekarang ini, nyari cewek yang bisa jaga diri. Salah satunya yaaa dengan menutup aurat! Diri sendiri aja dijagain apalagi suaminya? Iya gak, Ma?”
Mamanya mengangguk lantas bertos ria. Tumben-tumbenannya pada kompak. Biasanya si Ardan dikejar-kejar mulu sama emaknya dengan sapu lidi. “Coba lah dulu. Nanti juga nyaman sendiri memakainya,” tutur Wira yang akhirnya membuat Dina tak punya pilihan lain selain mengenakan-nya. Lagi pula, mengenakan kerudung itu gak bikin kita kuper, kudet dan segala jenisnya. Tapi malah membuat kita kece di mata Allah. Perintah Allah aja kita patuhi apalagi perintah suami? Eeaaak! Iya gak, mblo?
♡♡♡
“Lah elu, Dan!”
Adit menepuk bahunya Ardan. Keduanya sama-sama kaget saat ber-Papasan di Stasiun Pasar Senen. Ardan baru saja mengantar Mama, Papa dan Dina ke dalam eeeh malah ketemu sama Adit di sini juga.
“Oh! Lu mau ke Solo juga yak!” tutur Ardan usai salaman. Ia baru teringat kalau Adit juga akan berangkat ke Solo.
Adit mengangguk. “Yoi! Lo ngapain ke sini?”
“Barusan nganterin keluarga gue, pada ikut bokap ke Solo.”
“Lah? Elu kagak?”
Ardan merapikan kerah kemejanya. “Yang gantiin bokap gue siapa kalau gue pergi juga?”
Adit terkekeh. Ia mengangguk-angguk lantas menepuk bahu Ardan. Memohon maaf secara tak langsung atas pertanyaan bodohnya.
“Santai, bro, santai. Jangan mentang-mentang patah hati jadi darah tinggi!” canda Adit lantas cekikikan saat Ardan melotot ke arahnya. Ia segera berlari sambil menggeret koper kecilnya. Ia sampai menabrak seseorang yang sedang berdiri di depannya karena sibuk melihat ke belakang, melihat si Ardan sambil cekikikan. “Sorry-sorry,” ucapnya terburu-buru dengan nafas ngos-ngosan. Sementara perempuan yang ia tabrak mengelus kepalanya yang tadi tak sengaja terantuk dengan bahu Adit. Kemudian menoleh ke belakang. Adegan itu terjadi begitu lama bagi Adit. Lelaki itu bahkan sampai kehilangan kesadarannya saat menatap wajah si pemilik kepala yang terantuk dengan kepalanya tadi. Matanya sampai mengedip-edip berkali-kali, terpesona dengan kerudung yang dikenakannya. Ia baru tersadar saat perempuan itu menampar pipinya.
“Astagfirullah, Diit! Lu kerasukan atau gimana? Kagak sadar-sadar!”
Adit terkekeh. Ia mengusap wajahnya lantas menunduk kemudian menatap perempuan di depannya lalu menunduk lagi dengan senyuman tipis. Aih, jadi tambah ganteng, Dit. Andai Dina menyadari itu.
Yeah, Dina yang ditabrak Adit barusan. Antrian di stasiun cukup panjang untuk sekedar masuk saja. Mungkin karena masih dalam suasana arus balik. Yang kemarin mudiknya ke Jakarta malah balik ke kota lain. Sementara Wira dan Aisha cuma berdeham-deham lantas melirik ke arah lain. Tidak mau menganggu suasana keduanya. Hahaha.
“Gue kira siapa,” tutur Adit lantas kembali menatap Dina.
Jujur deh, Adit sampai pangling begini saat melihat Dina mengenakan kerudung. Ia pikir, saat di pernikahan Tiara itu, Dina hanya mengenakan-nya saat itu saja. Seperti yang dilakukan Fasha. Karena ia melihat perempuan itu pagi tadi tak mengenakan kerudung. Tapi ternyata, Dina enggak.
“Pangling lo ya, liat bidadari nyasar di stasiun,” sindir Dina dengan nada cablaknya yang membuat Adit terkekeh. Ya, bisa dibilang begitu sih.
“Bisa aja lo. Omong-omong, sama siapa lo?”
“Tuh,” Dina menunjuk Papa dan Mamanya dengan bahu. Adit langsung menoleh lantas mengangguk. Kemudian menyalami keduanya. Ini kali kedua, Aisha bertemu Adit secara langsung. Menurut Aisha? Wohooo, ia mulai terpincut oleh Adit yang slengekan dengan jalannya sendiri. Hahaha. Tapi tetap lebih cool dibanding Ardan!
♡♡♡