BAB 15 (Bismillahirrahmanirrahim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1965 Kata
Adam dan Hana menatap dengan tatapan terkejut ke arah Diva. Hana mengangguk sambil tersenyum tipis. “Maaf ya, gue baru sempet ke cafe lo,” ucap Diva dengan rasa bersalah. Perempuan ini selalu terlihat cantik dan matching dalam memadumadankan busananya. Seperti saat ini, Diva menggunakan rok hitam selutut dan blouse berwarna merah dengan rambut hitamnya yang digerai hingga mencapai bahunya. “Iya, gak apa-apa, makasih ya lo udah nyempetin dateng meski acara udah bubar,” ucap Adam dengan nada sedikit malas. “Sekali lagi maaf, Dam. Padahal gue juga pengen ketemu sama keluarga lo.” “Ya mereka udah pulang lah,” ucap Adam sedikit kesal. Hana merasa sedikit canggung dengan perdebatan kecil yang terjadi antara Adam dan Diva. “Hmm, Mbak mau minum apa? Biar saya buatkan,” tawar Hana pada Diva. “Oh iya, gue lupa. Kenalin, ini Hana temen gue sekaligus partner bisnis gue, Va,” ucap Adam memperkenalkan Hana pada Diva. Hana segera meletakkan gelas dan serbetnya ke atas meja. “Hana,” ucap Hana sambil mengulurkan tangannya ke arah Diva. “Diva,” balas Diva datar sambil tersenyum tipis. Entah kenapa Hana merasa Diva tidak tulus dalam memberikan senyumannya. Ah sudah, Hana tidak mau berburuk sangka. Bukankah sebagian prasangka itu adalah dosa? Hana membuang jauh prasangka buruknya itu. “Mbak Diva mau minum apa? Biar saya buatkan,” ucap Hana. “Aku mau ... “ “Ambilin orange juice aja, Hana.” Bukan Diva yang menjawab, tetapi Adam. “Loh, kok orang juice, Dam? Aku kan mau mesen yang lain,” ucap Diva kesal. “Bahan bakunya udah habis. Lagian kita tuh udah capek ngurusin acara seharian. Udah Hana ambilin orange juice aja yang gampang di kulkas.” “Oke tunggu sebentar ya.” Hana segera meninggalkan mereka berdua untuk mengambilkan orange juice. Tidak butuh waktu lama untuk menghidangkan minuman itu. Ia hanya tinggal menuangkannya langsung ke dua buah gelas. Hana keluar dari dapur menuju tempatnya tadi mengelap gelas bersama Adam. Namun, Hana tidak menemukan dua manusia berbeda jenis kelamin tersebut. Hana mencarinya ke sekeliling cafe, tapi tak ada. Tiba-tiba Hana teringat sesuatu. Mungkin saja mereka sedang berada di ruang kerja Adam di lantai dua. Hana menaiki anak tangga sambil membawa dua gelas orange juice. Ternyata dugaan Hana benar. Hana bisa mendengar suara Adam dan Diva dari celah pintu yang setengah terbuka. Langkah Hana yang ingin memasuki ruangan Adam terhenti karena mendengar percakapan mereka. “Dam, kenapa kamu harus ngajak Hana sih buat jadi partner kamu ngelola bisnis ini?” tanya Diva kesal. “Ya itu udah keputusan gue, Va. Gue  juga gak akan sembarangan milih orang buat jadi partner bisnis gue.” “Kenapa kamu gak ngajak aku aja? Kan aku juga bisa?” “Udahlah, gak usah bahas itu terus.” “Atau jangan-jangan kamu suka ya sama perempuan itu? Waktu ke undangan Diana kamu bareng dia, sekarang juga kamu ngajakin dia buat jaadi partner bisnis kamu. Kamu suka kan sama dia?” “Kalo gue suka sama dia, gue gak akan ngajakin lo pedekate lah. Lagian gue gak suka ya lo bellum jadi apa-apa gue aja udah sok ngatur-ngatur.” Sejak pertemuan mereka di pada resepsi pernikahan Diana, Diana selalu menghubungi Adam. Adam memang sudah kenal Diva lama. Diva adalah teman Diana yang otomatis menjadi temannya kala Adam dan Diana masih menjallin hubungan kasih. Tapi, yang Adam tidak tahu adalah ternyata Diva menyimpan perasaan padanya. Dulu, Diva tidak berani menikung Diana. Ia hanya pasrah saat ia merasakan perasaan terlarang yaitu menyukai pacar sahabatnya sendiri. Namun begitu tahu Diana putus dengan Adam dan menikah dengan orang lain, Diva mendapat angin segar. Ia segera memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Adam. Diva rajin menghubungi Adam dan bahkan datang ke rumah Adam saat syukuran kelulusannya. Adam sudah bisa membaca gelagat Diva yang ingin dekat dengannya. Adam pun tak menolak karena ia butuh menjalin hubungan baru agar bisa melupakan Diana. “Tapi kan aku calon pacar kamu, Dam!” Adam memang paling malas menghadapi tipe perempuan seperti Diva ini. Status belum jelas saja sudah berani mencampuri kehidupan pekerjaan Adam. Adam paling tidak suka jika orang lain mencampuri pekerjaannya, kecuali orang itu adalah keluarganya dan ... Hana mungkin. Hana? Adam jadi bingung sendiri. Padahal ia juga baru dekat dengan Hana beberapa waktu terakhir ini. Tetapi Hana tidak bisa menolak saran-saran Hana jika berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan usahanya. Wajarlah dia kan partner bisnis gue, jadi sangat wajar kalau gue banyak mengikuti sarannya. Ya, Cuma sebatass partner bisnis, gak lebih, batin Adam. Adam hanya mengedikkan bahu malas. “Gue Cuma baru pedekate doang sama lo, Va.” “Apa? Jadi perhatian aku ke kamu selama ini gak ada artinya? Iya?” tanya Diva emosi. “Entahlah gue juga gak tahu,” ucap Adam. Adam sangat berharap pedekatenya dengan Diva berjalan lancar hingga mereka bisa menjadi sepasang kekasih dan lanjut ke pelaminan. Namun, melihat tingkah Diva yang posessif saat ini, Adam jadi ilfeel sendiri. “Jadi lo masih belum bisa move on dari Diana?” “Udah kok, gue udah move on.” Adam tidak bohong. Seiring kesisbukannya di cafe bersama Hana, ia sudah bisa melupakan Diana sedikit demi sedikit. Tidak mudah bukan melupakan seseorang yang telah bersama selama waktu. Adam yakin bisa melupakan Diana, tapi ia butuh waktu. “Ah, bullshit, omong kosong!” ucap Diva kasar. “Aduh udah deh Va, gue capek please. Kita jalanin aja pedekate kita dulu ya, kalo jodoh ya syukur kalo nggak ya kita tetep jadi temen aja.” Hana yang sedari tadi berdiri di dekat pintu akhirnya memberanikan diri untuk masuk. Tok ... tok ... tok. “Dam, Mbak Diva ini minumnya,” ucap Hana sambil menyimpan dua gelas orange jus di meja Adam. “Oh, eh iya makasih banyak, Hana,” ucap Adam. “Sama-sama. Oh ya gue pulang duluan ya, kerjaan di bawah juga udah beres.” “Oh oke, mau gue anter?” Diva langsung membelalakan matanya pada Adam ketika menawarkan Hana untuk diantar pulang. “Kamu mau pergi? Padahal aku kan baru datang, Dam.” “Iya, gak usah, Dam. Gue bisa sendiri kok. Mendingan lo temenin Mbak Diva aja, masa ditinggal sendiri.” “Ya udah hati-hati ya.” “Oke, pamit duluan ya, Adam, Mbak Diva. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” === Hana jadi tidak enak dengan Adam dan teman pedekatenya yang bernama Diva. Apalagi semalam nama Hana disebut-sebut oleh Diva. Hana yang tadinya sangat menikmati kerja samanya dengan Adam, karena ucapan Diva sekarang Hana jadi merasa terganggu. Hana takut kehadirannya akan merusak hubungan Adam dan Diva. Hana sangat tidak ingin itu terjadi. Meski hubungan yaang dijalin mereka berdua belum halal dan sah, tapi Hana tetap tidak mau menjadi pengganggu hubungan orang. Apalagi Hana melihat tingkah Diva yang sangat posessif pada Adam. Masalahnya, sebagai partner bisnis tentu Adam dan Hana akan lebih sering menghabiskan waktu berdua untuk membahas rencana dan evaluasi kerja sama yang mereka jalankan. Hana tidak mau  hubungannya dengan Adam yang sebatas partner bisnis disalahartikan oleh Diva. Hana menatap buku tabungan yang ada di tangannya. Hana bersyukur jumlahnya sudah bertambah banyak dari sebelumnya. Tapi, masih kurang jika ingin digunakan untuk membeli atau menyewa sebuah kios dan memulai usaha kulinernya sendiri. Karena mendengar ucapan Diva kemarin, hana jadi berpikir untuk menyudahi saja kerja samanya dengan Adam dan membuka usahanya sendiri saja. Namun, masalahnya modalnya masish kurang. Hana mendesah pelan lalu kembali memasukkan buku tabungannya ke dalam laci. Hana segera menghampiri ibunya yang sudah berada di meja makan untuk sarapan. “Kamu kenapa kok lesu gitu? Biasanya happy,” tanya sang ibu penasaran. “Bu, apa kau udahan aja yang kerja sama bareng Adam?” “Loh kenapa? Bukannya kalian baru mulai?” “Ya abisnsya aku gak enak sama calon pacarnya, Bu. Cewek gebetannya posessif banget. Ntar dia ngira Hana yang nggak-nggak lagi gara-gara Hana sering berduaan sama Adam. Padahal aku sama Adam kan Cuma sebatas partner bisnis aja, gak lebih.” “Memang kamu udah tanya sama Adamnya gimana?” “Ya belum sih, Bu.” “Ya kamu tanya dulu pendapat Adam lah, Sayang. Jangan memutuskan sendiri begitu, Hana.” “Tapi, Hana gak enak bilangnya, Bu.” “Ya gak apa-apa. Kemarin kamu cerita Adam itu terbuka sama kamu, dia menceritakan semuanya. Hal yang penting dalam sebuah hubungan entah itu bisnis, pernikahan atau apa pun itu komunikasi, Hana. Kuncinya komunikasi, Sayang. Jadi, saran ibu sebaiknya kamu jujurlah sama Adam.” Dalam hati, Hana membenarkan semua ucapan ibunya. Ya memang kuncinya komunikasi, keterbukaan. Baiklah, Hana akan jujur saja pada Adam. === “Dam, gue mau ngomong sama lo. Ada waktu?” tanya Hana pada Adam yang sedang berkutat dengan laptop di ruang kerjanya. “Oh, emang mau ngomong apa, Han?” Hana masuk ke ruangan Adam tanpa menutup pintunya. “Hmm ... gini. Hmm ... aduh gimana ya gue ngomongnya,” ucap Hana bingung. “Ya ngomong aja, emang lo mau ngomong apa?” “Tapi janji lo jangan marah ya?” “Iya. Emang lo mau ngomong apa?” Adam jadi semakin penasaran. “Hmm ... kayaknya kita gak perlu nerusin kerja sama kita deh, Dam.” “Apa? Loh kenapa, Han? Kok tiba-tiba gini?” “Hmm ... gu pikir, lebih baik gue buka usaha sendiri aja, Dam.” “Loh kok gitu? Kenapa? Kasih tahu alasannya ke gue.” “Hmm ... gue gak enak sama Diva. Gue gak mau dia sampai berpikiran negatif sama gue, Dam. Gue gak mau ngerusak hubungan lo sama Diva.” Adam sedikit bingung medengar ucapan Hana. Hana tahu dari mana kalau Diva tidak suka padanya? Batin Adam. Oh, atau jangan-jangan ... “Maaf gue gak sengaja denger obrolan lo sama Diva semalam pas mau nganterin orange juice.” Dugaan Adam tepat sekali. Hana pasti mendengarnya semalam. Adam hanya tersenyum pada Hana. “Ya ampun, Hana. Gue kira kenapa gitu. Tahunya gara-gara Diva. Sumpah ya lo bikin gue jantungan. Gue kira gue punya salah sama lo.” “Nggak, Dam. Gue gak enak aja sama Diva.” “Udah si Diva gak usah lo pikirin. Lagian dia baru pedekate doang sama gue, Han.” “Tapi kan gue tetep nggak enak, Dam.” “Udah ah jangan dipikirin. Entar gue cari cewek lain lagi,” ucap Adam dengan santainya. Hana sedikit terkejut dengan ucapan Adam yang sangat menggampangkan dalam mencari perempuan untuk ia pacari. “Sorry  nih, Dam. Gue bukannya mau ikut campur masalah pribadi lo ya. Gue Cuma ngasih saran sebagai teman. Apa gak sebaiknya lo coba serius sama satu cewek, Dam? Usia kita ini bukan zamannya pacaran lagi loh,” ucap Hana. “Iya lo bener, Hana. bokap nyokap juga udah minta gue  buat nikah sih. Mereka juga bilang hal yang sama kayak yang lo bilang. “Nah, kan. Terus apa lagi masalahnya? Lo tinggal pilih aja cewek yang lo suka, terus minta bokap nyokap lo buat lamarin, beres kan?” “Iya sih. Tapi gue masih takut, Han. Takut kalau gue salah milih pasangan kalau gue belum terlalu lama kenal sama dia. Gue gak mau akhirnya gue nyesel udah milih dia jadi istri gue.” “Ya, yang lama pacaran pun gak menjamin dia udah kenal luar dalam paasangannya kok, Dam. Banyak yang kenal sebentar langsung nikah dan pernikahannya langgeng. Contohnya orang tua jaman dulu yang dijodohin, mereka bisa bertahan sampai usia pernikahannya puluhan tahun. Sedangkan ada juga yang pacarannya bertahun-tahun, nikah terus gak lama cerai dan alasannya lucu, ssudah tidak ada kecocokan. See, kenal dan pacaran lama pun gak menjamin kita nikahnya langgeng, kan?” “Iya sih lo bener. Temen gue juga bilang gitu. Tapi, gimana ya, apa gue harus ta’aruf aja, Han?” “Ya udah, lo cari aja cewek yang mau ta’aruf sama lo, pasti banyak. Secara lo kan playboy,” ledek Hana. “Kalo lo yang ta’aruf sama gue mau gak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN