Sekujur tubuh Hana mendadak kaku mendengar suara yang sudah sangat dihafalnya. Tangannya menggenggam erat piring dan sendok yang dipakai untuk menyuapi Rama. Kepalanya pun ia paksakan menoleh ke sang empunya suara. Dan benar seperti dugaannya. Dia Lutfi. Aduh kenapa bisa ketemu disini ya Allah, batin Hana. Lutfi datang tidak sendirian, tentunya ia menggandeng sang istri sebagai partnernya. Pasangan suami istri itu terlihat serasi. Si suami tampan dan si istri cantik. Perfecto! Hana jadi teringat lagi akan patah hatinya. Hana sudah susah payah menggunakan banyak cara untuk melupakan patah hatinya dan kesedihannya, tapi semua itu sia-sia ketika ia bertemu Lutfi dan istrinya hari ini.Hana pun segera menyadarkan diri dari rasa terkejutnya. “Eh? Wa’alaikumusalam,” ucap Hana kikuk sembari mengulas senyum tipis pada Lutfi dan istrinya.
“Bener ternyata kamu Han, pangling loh, kirain salah orang,” ucap Lutfi santai sambil tersenyum.
“Iya, apa kabar Lutfi?”
“Alhamdulillah baik, oh iya kenalin ini istri aku Arin. Kamu kemarin gak dateng waktu walimah kan, Han?” ucap Lutfi sambil menyuruh kedua wanita tersebut berkenalan. “Eh iya, maaf banget ya, gak sempat dateng ke walimahan kalian karena ada agenda urgent juga yang gak bisa ditinggal,” ucap Hana tidak enak. Ya, memang ada urusan urgent yang harus diutamakan oleh Hana, yaitu menyelamatkan hati dan perasaannya dari hancur berkeping melihat pasangan yang diidamkan di pelaminan bersama perempuan lain.
Mau tidak mau, Hana pun mengulurkan tangannya, menjabat tangan Arin sambil tersenyum tipis.
“Hana.”
“Arin.”
Lutfi dan istrinya segera duduk di samping Rama yang terdapat bangku kosong. Mereka ngobrol sambil menikmati makanannya. Sebenarnya Hana ingin berpindah tempat duduk karena tidak ingin berada di dekat pasangan pengantin baru tersebut. Tapi, Hana takut nanti Adam kebingungan mencarinya dan Rama jika dia kembali dari toilet. Hana hanya berfokus pada Rama dan mengabaikan Lutfi dan istrinya. Hana pun kembali menyuapi Rama dengan buah potong.
“Kamu kesini sama siapa, Han? Ini siapa?” tanya Lutfi sambil mengarahkan pandangannya pada Rama.
“Aku Rama, Om,” bukan Hana yang menjawab, tetapi Rama. Bocah kecil itu menjawab sambil tersenyum khas anak kecil.
“Kamu pinter banget, Boy, gemesin deh,” ucap Lutfi.
“Aku kesini sendiri, trus ketemu temen aku, ini keponakannya. Dia lagi ke toilet, trus minta jagain dulu sambil nyuapin,” jelas Hana sambil menyuapi Rama dengan buah melon. Hana tidak bermaksud berbohong. Toh memang tadi dia kesini sendiri, kan?
“Kamu diundang sama penganten cewek atau cowok?” tanya Hana.
“Sama pengantin cowoknya, dia dulu temen deket SD, Han,” jelas Lutfi.
Hana pun hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti. Lalu ia menoleh ke sekelilingnya mencari Adam yang tak kunjung kembali dari toilet. Hana ingin cepat-cepat pergi dari dekat Lutfi, Hana takut terbawa perasaan yang nantinya bikin dia jadi sedih lagi. Cukup sudah. Hana sudah berusaha menata hati. Namun untuk bertatap muka dengan mantan pujaan hati dan sang istri Hana masih butuh waktu.
Tak lama, Adam pun kembali menghampiri Hana dan Rama.
“Sorry ya lama. Tadi ngobrol dulu sama temen,” ucap Adam.
“Iya gak apa-apa. Adam sekarang kamu mending pulang, Rama kayanya udah ngantuk tuh. Aku juga mau pulang takut kemaleman,” ucap Hana sambil menunjuk bocah kecil yang terlihat beberapa kali menguap setelah perutnya kenyang.
“Gue anterin pulang, Han.”
“Gak usah, kelamaan kalo ke rumah gue dulu. Kasian Rama sama ortu lu.”
“Bokap ma nyokap gue udah duluan balik naik taksi online tadi. Nyokap tetiba sakit perut. Terus juga nyokap pesen buat nganterin lu balik dulu, Han.”
“Gak, gue gak mau ngerepotin, Dam.”
Ketika Adam dan Hana sedang berdebat kecil, Lutfi dan istrinya pun menghampiri Hana untuk pamit pulang duluan.
“Hana, kita pulang duluan ya. Takut kemaleman,” pamit Lutfi pada Hana.
“Oh, iya Lutfi. Hati-hati ya. Mbak Arin juga.”
“Ini temen kamu, Han?” tanya Lutfi sambil menatap ke arah Adam.
“Iya ini temen aku Adam, omnya Rama,” jelas Hana sambil memperkenalkan Adam pada pasutri itu.
“Kirain temennya perempuan, Han, ternyata lelaki. Ya sudah kami duluan ya, kalian juga jangan pulang kemaleman. Gak baik yang bukan mahram pulang berduaan. Assalamu’alaikum,” pamit Lutfi.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Hana dan Adam serempak. Hana merasa tersinggung dengan ucapan Adam barusan. Baru saja Hana ingin menjawab bahwa ia akan pulang sendiri, Lutfi dan istrinya sudah keburu pergi. Sudahlah, bukan urusan mereka juga aku pulang dengan siapa, batin Hana. Adam menatap kepergian Lutfi dengan tatapan tak suka.
“Maksudnya apa dia ngomong begitu tadi?”
“Ah udahlah, gak usah dipikirin, Dam.”
“Udah cepet ikut mobil gue!” perintah Adam sambil menggendong Rama yang sudah mulai mengerjapakan matanya tanda akan tertidur.
“Lagian kita gak cuma berdua Hana, kan ada Rama. Gue juga gak akan ngapa-ngapain lo kok. Jangan suudzon lah. Gak aman lagi cewek sendirian naik motor atau mobil online, bahaya. Kalo ada apa-apa sama lu kan gue juga jadi gak enak. Ini demi keamanan dan keselamatan lo juga kok.”
Adam, Hana dan Rama pun berjalan menuju pintu keluar gedung resepsi. Tiba-tiba ada seorang perempuan cantik menggunakan kebaya kutu baru berwarna coklat, rok batik selutut dan tatanan rambut yang disanggul modern menghampiri Adam.
“Adam!”
“Eh, Diva?” Perempuan itu langsung menghampiri Adam dan mencium pipi Adam kanan kiri tanpa perasaan risih. Adam pun tidak menolak ketika perempuan itu mencium pipinya. Hana paham, Adam adalah lelaki normal yang tidak akan mungkin menolak sentuhan perempuan. Mana ada kucing yang menolak ikan?
“Iya, lo mau ke mana?” tanya perempuan yang bernama Diva itu pada Adam.
“Gue mau pulang.”
“Loh kok pulang?” tanya Diva heran.
“Iya gue udah lama di sini.”
“Yah, sayang banget. Gue dateng telat sih, padahal gue mau ngobrol banyak sama lo.”
“w******p aja kan bisa, ntar kita bisa janjian ketemu di mana gitu,” usul Adam pada Diva.
“Oke deh, ntar gue hubungin lo ya.”
Adam dan Diva kembali bercipika-cipiki sebelum berpisah. Hana hanya menggelengkan kepala melihat tingkah manusia beda jenis kelamin tersebut. Adam yang sadar ada Hana yang melihatnya jadi merasa tidak enak.
“Eh, maaf ya, Hana. Tadi itu temennya Diana.”
“Iya, gak apa-apa kok. Gak perlu minta maaf, emang lo salah apa?”
“Lo jadi nunggu lama.”
“Nggak kok, santai aja. Tadinya gue mau pulang duluan kalo lo masih lama ngobrolnya.”
“Yah, jangan dong, kan gue udah janji mau nganterin lo, Hana.”
Akhirnya mereka bertiiga menuju parkiran mobil. Hana duduk berdua di bagian depan, dan Rama dibaringkan di jok belakang karena anak itu sudah mulai tertidur pulas. Adam pun sangat berterima kasih pada Hana karena mau menemaninya ke pernikahan Diana. Selepas mengantar Hana, Adam pun segera menuju rumahnya.
===
Seperti hari-hari biasanya, Adam disibukkan dengan menyelesaikan thesisnya dan juga mengontrol dua buah kafe yang sudah dijalankannya beberapa tahun ini. Adam membuka sebuah kafe untuk para pecinta kopi dan s**u. Awalnya Adam mengarah segmen orang dewasa kisaran usia 24-45 tahun dengan membuka kedai kopi yang menyajikan berbagai minuman kopi dari petani lokal Indonesia. Adam memutuskan tidak mengimpor kopi dari luar negeri, karena menurutnya Indonesia cukup kaya akan berbagai jenis kopi. Selain belajar untuk mencintai produk Indonesia sendiri, dengan begini para petani lokal pun akan terbantu perekonomiannya. Selain itu, Adam pun mendesain kafenya sedemikian rupa sehingga nyaman digunakan untuk hang out dan rapat-rapat kecil. Usahanya selama dua tahun membesarkan café kopinya membuahkan hasil. Cafenya semakin ramai dan banyak dikunjungi terutama saat weekend karena tempatnya juga i********:-able.
Kemudian, setelah café kopinya yang bernama Coffee’s Heaven sukses dan berjalan stabil, Adam membidik pasar remaja pecinta s**u. Konsep yang ia gunakan kurang lebih sama seperti cafenya yang lama, hanya tinggal merubah desain kafenya menjadi tempat yang nyaman untuk pelajar SMA atau mahasiswa hang out dan mengerjakan tugas. Tak lupa membuat cafenya yang bernama Milk’s Heaven ini menjadi tempat yang full wi-fi dan i********:-able.
Hari ini Adam sedang berada di Coffee’s Heaven untuk memeriksa laporan keuangan bulanan. Café ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama khusus untuk melayani para pengunjung. Pengunjung bisa memilih untuk duduk di dalam atau di teras luar sambil menikmati bunga-bunga dan tanaman hias sebagai penyejuk mata. Selain itu, di lantai satu café terdapat dapur khusus produksi, toilet khusus pengunjung dan sebuah mushola kecil untuk para pengunjung yang ingin shalat. Sedangkan di lantai dua kafe, ada ruangan yang dijadikan Adam sebagai kantornya, toilet khusus pegawai dan juga mushola dan ruang istirahat khusus karyawan. Saat ini di Coffee’s Heaven, Adam sudah memiliki 5 orang pegawai.
Setelah selesai dengan laporan keuangannya, Adam pun turun ke lantai satu untuk mengecek kinerja karyawannya dan melihat keadaan café. Adam pun terkejut ketika mendapati seseorang yang dikenalnya sedang menikmati kopi ditemani laptop di salah satu meja cafenya. Adam pun segera menghampiri orang tersebut
“Lo Zafran bukan?”Tanya Adam seketika.
Lelaki yang ditanya cukup terkejut sesaat sambil menampakan raut wajah yang sedang mengingat-ngingat.
Paham bahwa lelaki di depannya lupa akan dirinya, Adam pun berkata. “Ya Allah, lo lupa ma gue? Temen SMA lo bro. Gue Adam. Masa lo lupa?”
“Adam? Masya Allah, iya….iya…gue baru inget, Ya Allah udah lama kita gak ketemu. Berapa tahun coba, makanya gue lupa. Sorry bro.”ucap Zafran sambil berpelukan dengan Adam khas lelaki.
“Iya deh tau, yang udah sukses jadi general manager mah beda lah ya.”ledek Adam.
“Ish, bisa aja lo Dam. Tau dari man ague udah jadi GM?”Tanya Zafran sambil menyeruput kopinya.
“Ini kartu nama lo di meja.”ucap Adam sambil menunjukkan kartu nama yang ia maksud.
“Ya ampun, tadi ini lupa gue masukin. Biasa bekas ketemu klien tadi. Eh, ngomong-ngomong apa kabar Dam. Sibuk apa lo?”Tanya Zafran.
“Yah biasa gue mah, masih ngerjain thesis sama ngecek café gue aja.”Ujar Adam santai.
“Maksud lo café ini? Jadi lo yang puny café?”
“Iya, Alhamdulillah, hehe.”jawab Adam sambil tersenyum.
“Wah, hebat lo Dam, jadi pengusaha juga. Keren bro…”
“Bisa aja, lo juga hebat kali Zaf…”
Adam dan Zafran memang sudah berteman sejak kelas 1 SMA. Namun, pertemanan mereka terpisah ketika lulus SMA keduanya melanjutkan di perguruan tinggi yang berbeda. Semenjak itu, mereka jarang kontak-kontakan hingga putus komunikasi. Karena sudah lama tidak komunikasi, kedua lelaki ini pun mengobrol banyak tentang kehidupan mereka.
“Lo udah nikah, Zaf?” tanya Adam.
“Belum gue, masih nyari. Tapi gue udah dapet Cv nya sih,” jawab Zafran.
“Oh lu lagi mau ta’aruf ya?”
“Iya Dam, gue gak mau pacar-pacaran ah, kasian nati anak gadis orang gue PHP-in . kenalan, cocok, sevisi udah deh langsung aja gue lamar ke rumahnya. Nikah deh, beres kan?”
“Iya sih bener banget lo.”
“Lo sendiri gimana, Dam?”
“Gue masih betah sendiri, baru putus sama pacar gue kemaren. Ya, akhirnya gue pilih fokus beresin thesis dulu aja sambil nyari pacar baru.”
“Yah, lo ngapain nyari cewek lagi? Gak zaman kali seumuran kita ini pacar-pacaran.”
Adam hanya mengedikkan bahunya mendengar ucapan Zafran.
“Jangan ditunda, gak baik, kalo udah ada cewek yang lo suka langsung lamar aja. Jangan kelamaan, keburu diembat orang loh. Kan nanti bisa ditemenin sama yayang istri ngerjain thesisnya. Nih Dam, yang penting perempuan itu baik, shalihah, bisa jadi istri dan ibu yang baik buat anak-anak kita nanti.dan juga direstuin sama orangtua kita, ”ujar Zafran.
Adam pun hanya tersenyum menanggapi ucapan Zafran. Entahlah, meskipun Adam menyetujui usul Zafran untuk ta’aruf, ia masih ingin mencari pacar sebelum menikah. Adam dan Zafran kembali melanjutkan obrolan mereka.