Flashback onHana telah sampai di rumahnya dengan selamat setelah diantar Adam. Setelah mandi dan shalat isya, ia berbaring sambil menatap ponselnya. Ia membuka galeri foto. Hana juga terkesima dengan acara pesta pernikahan Diana yang begitu mewah, megah dan elegan. Pesta pernikahan yang menjadi impian setiap pasangan yang berbahagia. Ya Allah, kapan ya aku bisa ketemu dengan jodohku dan melaksanakan pernikahan seperti Diana? Batin Hana.
Saat di gedung, ia sempat mengambil beberapa foto dengan Rama dan Adam. Hana jadi senyum-senyum sendiri melihat foto-foto itu. Seperti keluarga bahagia, batin Hana. Astaghfirullahal’adzim. Batin Hana beristighfar. “Gak boleh gitu Han. Gak boleh baper lagi sama lawan jenis yang belum halal. Gak mau kan patah hati lagi? Gak mau kan sedih lagi? Bersikaplah sewajarnya dengan lawan jenis. Siapa tahu memang sikap dia begitu, baik ke semua orang. Ramah ke semua orang. Don’t baper again, okay?” batin Hana memperingati.
Hana pun menghela napasnya dengan kasar. Tak lama kemudian, ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Ternyata dari Rika sahabatnya. Hana pun segera menggeser tombol hijau di ponselnya.
“Assalamu’alaikum, ada apa Rika?”
“Wa’alaikumussalam, belom tidur Han?”
“Ya belom lah, makanya gue angkat telepon lu.”
“Iya juga ya, hehe. Eh gimana, lo jadi mau dikenalin sama temen suami gue nggak?”
“Oh iya, hmm, kayaknya untuk saat ini belum deh, Ka.”
“Yah, lo gimana sih, Hana? Emang kenapa? Ada masalah? Atau lo udah punya calon sendiri, ya?”
“Nggak sih, gue juga bingung. Hmm, gue mau jujur sama lo, tapi lo harus janji jaga rahasia ya?”
“Hah? Mau curhat apaan emang?”
“Janji dulu, Ka?”
“Iya, janji. Gue janji gak akan ngebocorin siapa-siapa. Emang mau curhat apa?”
“Hmm, sebenarnya gue habis patah hati, Ka.”
“Hah? Serius? Sama siapa? Gue kenal nggak sama lelakinya?”
“Ada deh, gue belum bisa bilang siapa orangnya. Sekarang gue mau fokus ngembangin bisniss dulu aja sambil menata hati gue, Ka.”
“Hmm, begitu Han? Beneran nih belum mau coba ta’aruf?”
“Hmm, belum, Ka. Maaf, bukannya gue nolak tawaran lo,Tapi gue masih butuh sendiri, Ka.”
“Ya sudahlah kalo itu emang keputusan lo. Tapi serius gue masih penasaran lo patah hati sama siapa, Han?”
“Nanti ya, kalo gue udah siap insya Allah gue cerita sama lo.”
“Ya udah deh, gue gak akan maksa, tapi gue siap setiap saat kalo lo butuh teman buat curhat ya, Hana. Jangan mendem masalah lo sendirian.”
“Iya, makasih ya udah mau ngertiin gue, Ka. Lo emang bet firend forever deh, hehe.”
“Iya sama-sama. That’s whats friend are for. Udah ya gue tutup ya teleponnya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Hana pun menutup panggilannya dengan Rika. Hana merasa sedikit bersalah telah menerima tawaran baik dari Rika. Namun ia belum bisa membuka hatinya dulu untuk saat ini. Biarlah waktu yang menyembuhkan luka hati Hana. Hana telah memantapkan hatinya untuk melupakan urusan asmarannya sejenak. Ia ingin fokus dulu mengembangkan bisnisnya. Ia juga sudah salat istikharah sebelum menolak tawaran Rika. Ia yakin jodoh dari Allah akan datang tepat waktu, tidak terlambat atau pun terlalu cepat.
(Di tempat lain, pada waktu yang sama)
Adam tiba di rumahnya dengan selamat pukul sepuluh malam. Ia beruntung karena perjalanan dari rumah Hana menuju rumahnya tidak terlalu macet sehingga ia tidak terlalu malam tiba di rumahnya. Ibunya yang membukakan pintu. Adam tidak membawa pulang Rama ke rumah kakaknya. Ia malah membawa keponakannya itu pulang ke rumahnya karena Mbak Hawa dan suaminya sedang ke luar kota. Setelah membaringkan Rama di kamar Mbak Hawa, Adam segera menuju kamarnya untuk mandi dan sholat isya.
Tiba-tiba papanya menghampiri Adam.
“Eh, tumben belum tidur, Pa?”
“Papa sengaja nungguin kamu, Dam. Ada yang mau Papa omongin sama kamu,” ucap Pak Malik serius.
“Iya Pa, Adam mandi sama sholat dulu ya.”
“Ya, papa tunggu di ruang keluarga ya. Jangan lama-lama, nanti papa keburu ngantuk,” ucap Pak Malik.
“Iya, Pa. Gak akan lama.”
Setelah kurang lebih mandi dan sholat dua puluh menit, Adam pun menghampiri papanya yang sedang duduk di sofa sambil menonton berita malam di sebuah stasiun televisi.
“Ada apa, Pa? Tumben ngajakin aku ngobrol malam-malam begini?”
“Kamu kapan mau ngenalin calon kamu sama papa dan mama?” tanya Pak Malik to the point.
“Pa, kenapa bahas itu lagi sih. Adam belum punya calon buat dikenalin. Nanti juga kalo udah punya pacar lagi, Adam bawa kesini, Pa.”
“Kamu tuh udah bukan jamannya pacar-pacaran, Dam. Kaya kemarin, putus kan ujung-ujungnya. Tuh mantan kamu aja udah nikah. Ayo dong kamu juga nyusul. Papa sama mama itu udah tua, Dam. Keinginan terakhir kami melihat kamu menikah dan berkeluarga dengan perempuan yang tepat.”
Adam hanya bisa menunduk, merenungkan setiap perkataan papanya.
“Iya, Pa. Nanti ya, sekarang Adam masih fokus nyelesain thesis dulu sama ngurus usaha Adam. Nanti kalau udah tiba waktunya, Adam pasti bawa calon istri Adam ke sini.” Adam sebenarnya kesal ketika papanya menyinggung masalah jodoh lagi. Bukannya tidak mau menikah, tapi Adam sendiri masih berusaha untuk melupakan Diana. Namun, Adam hanya bisa mengiyakan saja permintaan papanya. Ia tidak mau membantah lelaki yang telah banyak berjasa dalam hidupnya sejak ia kecil.
“Menurut Papa, Hana juga perempuan yang baik. Mama kamu udah banyak cerita sama papa. Dan kami udah setuju kalo kamu mau nikah sama dia.”
“Tapi Adam gak ada perasaan apa-apa sama Hana, Pa.”
“Nak, dengerin papa. Cinta sebelum nikah itu gak penting. Seriously, gak penting. Yang penting, niat kalian menikah untuk ibadah pada Allah. Allah yang Maha Membolak balik hati hambaNya, nanti setelah menikah dan terbiasa bersama, perasaan cinta itu juga akan tumbuh dengan sendirinya. Yang penting, perempuan itu shalih, bisa menjadi istri dan ibu yang baik buat anak-anak kamu nantinnya Dam. Coba deh, kamu istikharah ya.”
Adam pun memutuskan mengikuti saran ayahnya. Ya, meskipun selama ini Adam bukan pemuda yang shalih-shalih amat, belum paham agama terlalu dalam, tapi ia masih menghormati dan ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Kalo orangtuanya memang setuju ia dekat dengan Hana, baiklah Adam pun memutuskan untuk melakukan pendekatan dengan Hana, pikirnya.
Falshback off
“Lo lagi baca apa, Zaf?”
“Ini?” tanyanya sambil menunjuk ke arah laptopnya. Adam menganggukan kepalanya.
“Gue lagi baca beberapa CV perempuan yang dikasih sama ustadz gue, Dam,” jawab Zafran.
“Apa? Beberapa? Berarti lebih dari satu dong?” tanya Adam sedikit terkejut.
“Iya,” jawab Zafran santai.
“Loh, kok bisa gitu. Bukannya satu aja ya?”
Zafran hanya tersenyum mendengar pertanyaan Adam. “Iya, nanti dari beberapa ini gue pilih satu, Dam.”
“Gue masih gak ngerti, Zaf.”
“Sebentar, sebelum gue ngejelasin panjang lebar sama lo, gu mau pesen kopinya lagi ya,” ucap Zafran.
“Oh, iya boleh, bentar gue panggilin anak buah gue dulu. Kali ini gue yang traktir, pilih aja lo suka yang mana.” Adam pun memanggil anak buahnya dan meminta membawakan buku menu.
“Wah, dari tadi kek, Dam. Kan gue jadi enak,” goda Zafran.
“Ya kalo sesekali mah gak apa-apa, kalo keseringan ya gue bangkrut juga kali,” canda Adam. Zafran dan Adam memilih dua cangkir espresso. Setelah selesai memesan, mereka pun kembali melanjutkan obrolannya.
“Jadi gimana?”
“Dengerin, gue jelasin nih. Jadi, usia gue ini sudah cukup matang buat nikah, Dam. Tapi masalahnya gue belum ada calon. Gue juga lagi gak naksir siapa pun. Ustadz di pengajian gue nyaranin gue buat ta’aruf. Beliau ngasih beberapa CV perempuan yang sudah siap nikah. Beliau suruh gue baca baik-baik dan pilih satu yang akan lanjut ke jenjang ta’aruf.”
“Terus, para perempuan yang lo baca CV nya tahu gak kalo CV mereka itu lo baca?”
“Nggak lah.”
“Kok gitu? Gak adil dong.”
“Justru kalau mereka tahu CV nya lagi gue baca, khawatir mereka baper duluan, Dam. Bahaya nanti, mereka bisa patah hati kalo gue tolak,” jelas Zafran.
Adam hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti.
“Maka dari itu, gue dulu yang baca dan pilih. Kalau pun gue udah oke dan perempuannya yang nolak, toh gue sebagai lelaki gak akan baper-baper amat. Pasti gue langsung cari yang lain.”
“Aduh Zaf, cewek mana lagi yang berani nolak lo?”
“Iya sih, secara gue tampan dan mapan gitu ya?” ucap Zafran narsis.
Adam memasang raut jengah dan menepuk pundak Zafran sedikit keras. “Kepedean lo!” Lalu mereka berdua tertawa bersama. Tiba-tiba Adam jadi teringat percakapan antara dirinya dan sang papa tadi malam. Sang papa yang bersikeras menyuruhnya berta’aruf dengan Hana, sedangkan dirinya masih ingin meenjalani hubungan pacaran sebelum menikah.
“Oh iya, Zaf. Gue mau nanya sesuatu.”
“Nanya apaan?”
“Menurut lo nih, apa dengan kita ta’aruf sama perempuan yang akan kita nikahi itu bisa jamin kita bakaln tahu sifat dia luar dalam?” tanya Adam lalu menyeruput pelan kopinya yang masih sedikit panas.
“Hmm ... ya nggak sih, Dam. Kita Cuma tahu sifat atau karakter dari yang tertulis di CV aja. Selebihnya pasti ketahuan nanti pas udah nikah, kalau kita udah serumah. Baru deh ketahuan sifat aslinya,” jelas Zafran.
“Nah, kan. Terus gimana tuh? Apa gak bikin kecewa? Bahaya kan, misal udah nikah terus tahunya kita ada yang gak cocok sama salah satu sifatnya, kan bisa terjadi perceraian, Zaf,” ucap Adam berargumen.
“Iya, sih. Apa yang lo bilang itu emang bener, Dam. Tapi kita harus berkaca juga sama diri kita sendiri.”
“Maksudnya?”
“Gini, jadi kita harus sadar, Dam. Manusia itu diciptakan gak ada yang sempurna, semua manusia pasti punya kekurangan dan kelebihan. Tujuan menikah itu adalah saling menyempurnakan, Dam. Bukan mencari yang sempurna. Kalau kita cari yang sempurna mah, kayaknya gak akan nikah. Sebelum kita mencela kekurangan pasangan kita, kita jug harus sadar kalau kita ini bukan lelaki yang sempurna juga. Kita pasti punya banyak kekurangan juga, Dam. Kuncinya sih saling terbuka dan komunikasi. Kita juga harus lapang d**a dengan kekurangan yang dimiliki sama pasangan kita. Mungkkin, dibalik kekurangannya itu Allah ciptakan banyak kebaikan untuk kita yang belum kita ketahui. Intinya sih tetap berprasangka baik lah sama Allah. Itu yang gue dapet dari seminar pra nikah yang pernah gue ikutin,” jelas Zafran panjang lebar.
“Oh gitu, lo suka ikut acara seminar pra nikah gitu?”
“Iya, Dam. Nikah bukan Cuma butuh kesiapan fisik dan finansial, tapi juga butuh bekal ilmu. Gue bisa dapat banyak ilmu tentang bagaimana Islam mengatur hubungan hak dan kewajiban antara suami istri. Selebihnya gue baca buku-buku tentang rumah tangga Islami juga.”
“Wah, kayaknya lo udah siap banget ya?” Jujur saja, Adam sangat kagum dengan Zafran. Adam rasa, persiapan Zafran sudah sangat matang untuk memebina rumah tangga, menjadi seorang suami dan ayah.
“Insya Allah,” ucap Zafran sambil tersenyum manis.
“Gue doain biar lo cepet dapet perempuan yang cocok ya, Zaf,” ucap Adam tulus.
“Doa yang sama buat lo juga, Bro.”
“Aamiin.”