Bab 10

2667 Kata
Aku berdiri diantara kerumunan orang berbaju hitam. Suara isak tangis menggema ditelingaku, mereka saling bersahut-sahutan meperebutkan posisi bagus untuk kudengar. Aku tak bisa menangis. Bukan. Tepatnya sudah tidak adalagi air mata yang mampu keluar setelah seharian aku menangis. Aku menepis darah yang keluar dalam hidungku, lagi. Darah ini akan selalu keluar karena memang aku dan Aulia saling merasakan sakit. Kami seperti anak kembar. Namun itulah kenyataannya. Aku akan sakit jika Aulia sakit. Disamping kanan kiriku telah berdiri Febri, Liza, Rudy, Agung, Sukma, Hanny, Suci, Yogi, Rudy dan teman-teman SMA serta SMP Aulia. Diseberang pemakaman adalah keluarga Aulia dan juga keluarganya Abil, pacar Aulia. Aku terjatuh ketanah. Aku tak merasakan lututku lagi. Aku benar-benar seperti orang kehilangan sebagian nyawanya. Rudy spontan memegang kedua bahuku dia menyuruhku untuk kuat dan berdiri karena akan mengotori bajuku tapi aku tak bisa. Mataku menatap lurus sebuah kayu bertuliskan nama Aulia. "Bulan, besok q-time yuk!" Bayangan Aulia beberapa bulan lalu melintas dibenakku. "Aullll!! Bukain ih gue udah didepan rumah nyet cepettt!" Bayangan ketika aku memilih bolos sekolah demi memenuhi keinginan Aulia. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengikuti semua keinginannya walaupun itu mustahil aku tetap melakukannya. Karena dokter bilang Aulia bertahan hidup sekitar dua bulan lagi dan kalau kita membuatnya bahagia itu bisa membuatnya bertahan sampai beberapa bulan. Aku menghiraukan puluhan telfon dan sms di ponsel. Aku dan Aulia menghabiskan waktu seharian dengan movie marathon lalu jam sepuluh kami makan ke McD setelah itu kami jalan-jalan sampai sore. Kami berphoto, tertawa, pokoknya melakukan hal gila lainnya. Aku senang melihat Aulia terus tersenyum bahkan tertawa lepas. Dia selalu menanyakan apa aku tidak apa-apa jika tidak sekolah? Bagaimana dengan nilaiku? Orang tuaku akan marah jika mengetahui hal itu. Aku tersenyum lebar waktu menjawabnya. "Tenang aja! Kalau sama gue semua aman terkendali." Walau pada kenyataannya sewaktu pulang aku kena omelan karena teman-temanku menghampiri rumahku. Mereka bingung kemana aku karena tiba-tiba saja menghilang biasanya kalau aku tidak masuk aku memberitahu guru. Beruntung orang tuaku hanya bilang jangan mengulangi lagi. "Hey." Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. Itu, Bintang. "I know you're a strong girl. God bless you. Aku yakin setelah ini kamu akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik dihidup kamu dari sebelumnya." Tatapan matanya begitu lembut menatapku. Dia mengelus pipiku sama halnya seperti dulu setiap aku cemberut kalau dia tak melihatku. Aku membuang muka. Menepis tangannya kasar. "I don't need your blessing." aku mendesis. "I'm not blessing you. I only giving you a support. Am i wrong?" Suaranya begitu lirih menusuk hatiku. Tapi. Aku. Tak. Peduli! Kenapa Bintang tiba-tiba mendekat padaku setelah ia menjauhiku sebegitu lihainya? Apa karena dia kasihan terhadapku? Oh! Kenapa baru kasihan sekarang? Apa karena aku menangis didepannya? Lalu bagaimana dengan aku yang selama ini selalu menangis karenanya yang membuat hatiku hancur berkeping-keping! "Leave me alone, please!" Agung mulai maju. Dia menahan bahuku yang ingin bergerak memukul Bintang. "Maaf, nih, bisa lo tinggalin Bulan? Disini kita lagi berduka karena kehilangan salah satu sahabat kami. Dan lo tentu pastinya gak tau Aulia." Agung mengusir Bintang secara halus. Dia memang sahabat terbaikku. "Gue tau," jawab Bintang dengan enteng. Dia melempar pandangannya pada makam Aulia. "Bulan sering cerita tentang Aulia. Dan disini gue cuma mau ketemu dia aja sekalian nemenin cewek gue, gak mungkin gue tinggalin dia disaat susah gini." Aku menegang. Aku meliriknya yang ternyata sedang menatapku penuh arti sambil tersenyum. "Sorry, apa cewek lo kenal Aulia?" kini Rudy angkat bicara. Apa dia tidak menangkap maksudnya Bintang? Bukan maksudku untuk terlalu percaya diri tetapi disini terlihat jelas kalau maksud Bintang adalah aku. "Kenal banget. Dia sahabatnya," Bintang menatap Rudy aneh. "Cewek gue Bulan. Lo lupa?" Rudy terkekeh menepuk bahu Bintang keras. Wajahnya yang seperti orang Cina sedikit aneh ketika terkekeh apalagi matanya sembab. "Lo lupa kalau lo udah putus sama Bulan? Gara-gara Pelangi?" Astaga. Darimana ia tau soal itu? Aku tidak pernah memberitahukan masalahku pada sahabatku. Lalu bagaimana Rudy tau? "Sorry, nih bro. Sayangnya Bulan pacar gue sekarang." dengan ringannya Rudy mengangkat lenganku hingga sekarang aku berada disampingnya. Rudy melingkarkan tangannya dipundaku. Bintang terkejut sedetik kemudian tatapannya beralih padaku. "Kamu pacaran sama orang yang udah kamu anggap kakak kamu sendiri?" "Iya. Kenapa?" "Bulan tatap mata aku!" Aku menunduk. Aku bukanlah orang yang pintar berbohong apalagi soal perasaan. Tetapi ini demi Aulia dia pasti marah padaku karena hari spesialnya diganggu. Maka aku memberanikan diri untuk menatapnya. Aku mensugestikan diriku untuk mengeluarkan tatapan dingin. Dan aku rasa itu berhasil. "Iya! Lo bisa pergi kan sekarang?! Gak usah ngaku-ngaku gue jijik dengarnya!" Spontan suara isak tangis berhenti. Rudy mencengkram bahuku kuat. Aku tersadar. Perkataanku kelewat kasar. "Bulan..." "Pergi, Bintang!," aku memukul lengannya kesal. Setitik airmata jatuh kepermukaan kulit lembabku. "Gue muak liat lo disini!!! I'm really sick of you." "Tahan Bulan." Rudy berbisik padaku. "Lo bisa gak sih pergi!" Hanny membentak Bintang. Bahkan kini Suci dan Liza pun menatap marah Bintang. Sukma mendekat. Dia memegang lenganku tetapi tatapan matanya mengintimidasi Bintang. "Jangan nyari masalah dikandang lawan." Tak berapa lama setelah Sukma mengucapkan itu Bintang pergi bersamaan dengan kepalan tinju ditangannya. Aku memandangi semua orang yang ada dipemakaman. Aku meminta maaf. Beruntung mereka memaafkanku. "Terimakasih, bang." Rudy tersenyum menepuk puncak kepalaku pelan. "Tugas sebagai kakak selain menjaga dan mengantar jemput adik adalah melindunginya dari cowok b******k. Ya kan?" • All of the stars • "Hai." Aku berlutut didepan makam Aulia. Menaruh sebucket bunga mawar pink kesukaannya. Sudah seminggu lewat aku masih tak percaya Aulia sudah meninggalkanku. Padahal aku berhutang banyak cerita padanya. Niatnya ketika desember nanti aku dan yang lain akan membuat kejutan di ulang tahunnya yang ke tujuhbelas tahun. Aku sudah menyiapkan kado sebanyak tujuhbelas kebanyakkan aku membelinya dari luar negri. Tepatnya aku nitip mamah dan om Revon. Tetapi semuanya musnah sudah. "Ul, maaf ya waktu hari terakhir lo ada setan yang ganggu," aku terkekeh pelan. "Udah liat Bintang kan gimana? Inget gak dulu lo ke pengin banget liat dia gara-gara gue selalu cerita tentang dia ke lo? Dan lo, Hanny, Suci ngeledekin Bintang TKI waktu dia ke Malaysia? Waktu malem-malem kita berempat di McD." Hembusan angin meerbangkan rambutku yang tergerai. Aku bisa merasakan kehadirannya disini. Aku memutar kepalaku ke segala arah. Aku yakin Aulia ada disini. Aku merasa ada yang memperhatikanku. "Lo nongol ya? Kenapa gak nampakin? Gue...," aku menunduk mengelus nisan Aulia. Airmata terus mengalir tanpa henti. "Kangen banget sama lo." Aku merasakan ada tangan yang mengelap airmataku sebelah kanan. Ku menoleh dan saat itu juga aku tau Aulia ada disampingku. Aku memang tidak bisa melihat hantu tapi aku dapat merasakannya dan ini wangi Aulia... Wanginya seperti bayi. Benar-benar wangi khas Aulia. Aku menangis tersedu-sedu. Rasanya sakit. Teramat sakit. Aku merindukan seseorang yang sudah pergi... Bahkan aku tidak akan lagi pernah bertemu dengannya. Dia... Sahabat terbaikku. Padahal aku bertekad mendonorkan paru-paru serta sumsumku untuknya. Aku tau, jika Aulia meninggal banyak yang akan sedih. Sementara aku? Maka mereka akan senang. Aku tau seberapa bencinya orang padaku. Seberapa banyak orang yang tak menginginkanku ada. Aku sempat berfikir. Kalau memang tidak ada yang menginginkanku apa tujuan Tuhan memilihku untuk ada didunia? Dewi batinku menjawab. Untuk merasakan kekejaman dunia. Aku menyeka airmataku dan mengalihkan tatapanku kemakam Aulia. "Ul, gue minta maaf. Gue bakalan pergi besok...," aku merapihkan rambut yang berterbangan. "Gue tinggal di Amerika mulai besok. Ikut nyokap sama suami barunya." Ya, aku memilih untuk tinggal disana. Selamanya. "Lo seneng gak? Akhirnya impian mustahil gue menjadi kenyataan? Meskipun bukan karena beasiswa ya lo taulah otak gue kapasitasnya dikit banget." Aku mencoba untuk menghibur diri sendiri. Aku mendekatkan wajahku ke nisan Aulia lalu menciumnya. "Gue pergi dulu ya. Jangan marah. Meskipun gue pergi gue tetep akan selalu inget lo. Akan selalu inget semuanya." Tapi tidak untuk ingatanku terhadap masa SMA. Aku beranjak dan mulai melangkah jauh. Aku sudah berpamitan pada sahabatku. Awalnya mereka tidak terima tetapi setelah ku jelaskan mereka pun mau tak mau harus mengikhlaskan kepergianku. Sungguh, meskipun keinginanku untuk ke Amerika menjadi kenyatan hatiku sangat berat meninggalkan Indonesia. "Bulan, bisa kita bicara?" Aku tersentak kaget. "Bintang?" Bintang tersenyum. Aku mundur beberapa langkah. "Jangan menjauh lagi aku mohon." "Lo mau apa?" "Bisa kita bicara?" "Disini aja!" "Bulan, please..." Bintang memegang kedua tanganku erat matanya memancarkan keseriusan. Baiklah. Sebelum aku meninggalkan Indonesia dan melupakan masa SMA ku sepertinya ada baiknya aku berdamai dengan masa laluku. Karena aku yakin hidupku tidak akan tenang jika masih dihantui bayang-bayang masa lalu. "Oke. Dimana?" Senyuman lebar keluar dari wajah tegangnya. Bintang tidak menjawab dia hanya menarikku dan membawaku ke mobilnya. Oke. Dia sekarang berani memawa mobil sejauh ini? Pemakaman Aulia jauh dari daerah rumahnya tapi lumayan dekat dari daerah rumahku. • All of the stars • "Bulan aku tau kamu gak pacaran sama Rudy kan?" "Apa urusan lo?" "Jelas itu urusanku Bulan." "Lo bukan siapa-siapa gue." "Aku masih pacarmu. Bahkan kamu tidak bilang iya saat aku minta putus." "Terus lo fikir selama ini kita apa?" "Hanya break." Aku memutar tubuhku. Menatapnya dengan mata melebar spontan tanganku bertepuk keras dan akupun tertawa. "Lo lupa? Dulu gue minta putus lo gak mau! Gue minta break lo juga gak mau! Lo bilang gak usah break-breakan kalau emang mau putus." Bintang terdiam. Begitupun denganku. Selama beberapa menit kami hanyut dalam fikiran masing-masing. Aku tak tau apa yang difikirkan Bintang. Dia menengadah, menatap langit malam yang dihiasi penuh bintang. Ya, Bintang mengajakku kesebuah bukit didaerah Bogor. Tempatnya enak dan tenang. "Aku minta maaf." Suara Bintang memecahkan kesunyian. Aku menoleh menunggunya melanjutkan. "Aku udah percaya sama omongannya Pelangi tanpa tanya dulu sama kamu," Bintang menatapku. "Aku udah tau siapa Shinta. Dia Shafira. Sahabatku. Aku tau karena waktu itu dia keceplosan. Shafira minta maaf sama kamu dia ngelakuin itu karena muak sama sifat Pelangi. Dia juga udah bikin pengumuman di akun socmednya bahwa dia yang menerror Pelangi." Jadi, Shinta itu sahabat Bintang? Pantas dia tau Bintang begitu detail. "Pelangi juga sudah mendapatkan teguran dari pihak sekolahnya atas pencemaran nama baik. Dia udah dapat hukuman meskipun gak setimpal dengan apa yang kamu rasain. Sekarang dia gak punya teman." Aku hanya tersenyun simpul. Secercah rasa kasihan datang dalam hatiku tapi segera ku tepis. "Aku juga minta maaf karena bikin kamu sakit gara-gara aku deketin Ziva, Vira, Salma," Bintang menunduk. "Jujur, Lan. Aku ngelakuin itu cuma pengin tau reaksi kamu sebenarnya. Tapi kamu malah cuek aja seolah-olah aku gak ada. Aku capek, aku udah muak makanya aku bilang sama kamu." Aku terengah. Aku cuek? Astaga! Bahkan aku selalu berusaha mati-matian untuk tidak mengamuk apalagi menangis. "Minggu depan aku pergi." Keningku berkerut. "Ayah bikin cabang perusahaan di Amsterdam. Mau gak mau aku sekeluarga harus ikut." Aku segera membuang pandangan. Rasa sakit itu menghantamku lebih dalam. "Kalau kamu mau aku akan tetap di Indonesia sama kamu." Aku tersenyum miring. "Hmm, maaf, gue gak butuh orang yang ngakunya kenal gue tapi malah milih lebih percaya sama orang lain." Helaan nafas keluar dari bibirnya yang berwarna merah muda. Bintang memang tidak pernah merokok. Dia punya asma. "Lan, aku minta maaf. Aku emosi pas tau katanya kamu nerror Pelangi. Aku gak suka cara kamu tapi ternyata kamu gak pernah kayak gitu." "Emosi? Punya alasan apa lo langsung percaya gue kayak gitu?" "Siapapun yang liat kamu setiap natap aku pasti akan ngira hal yang sama denganku." "Siapapun atau hanya lo yang beranggapan kayak gitu?" Bintang diam. Aku mengepalkan kedua tanganku disamping kanan kiri badanku. "Lo tuh maunya apa sih? Gue capek selama ini selalu ngertiin lo tapi lo enggak pernah! Lo tuh bener-bener kayak anak kecil yang dikit-dikit pakai emosi gak pakai otak. Lo tuh egois gak pernah mau ngaku salah apalagi ngakuin perasaan lo!" Bintang menatapku. "Lo bilang ke temen-temen lo kalau kita putus gara-gara gue cemburuan nah lo sendiri? Lo cemburuan melebihi gue tapi lo nyimpen sendiri rasa itu sampai akhirnya nanti lo akan jauhin gue! Mendingan mana cemburuannya dibanding gue sama lo? Beruntung gue selalu nunjukin kalau lo? Boro-boro! "Lo gak pernah tau gimana keselnya gue tiap liat lo jauhin gue cuma gara-gara cemburu! Sementara gue saat cemburupun berusaha untuk positif thinking dan ngedeketin lo. Tapi lo lebih milih menjauh. "Gue selalu bilang tiap mau pergi ataupun pulang sama cowok sama lo. Karena gue sadar gue punya pacar dan bisa aja ada yang liat lalu memberitahukan ke lo dengan melebihi cerita. Tapi lo? Bahkan lo cuek aja gak peduli sama perasaan gue! Gue tau selama ini lo selalu jalan berdua sama Pelangi dibelakang gue Bintang! Shinta atau Shafira itu udah ngasih tau ke gue semuanya!" Aku berhenti setelah meluapkan segala kekesalan yang selama ini tersimpan. Dadaku naik turun bahkan nafasku terengah saking kesalnya. Aku menunduk menumpukkan wajahku menggunakan kedua telapak tangan. "Gue tau Bintang lo belum bisa move on dari Pelangi," kataku melirih. "Tapi, bisa kan jangan jadiin gue pelampiasan lo doang? Jangan lo kira gue gak tau. Hampir empat bulan kita sama-sama tapi lo berubah begitu drastis setelah satu bulan lewat. Mungkin lo gak nyadar tapi gue tau lo telah beda. Karena hati lo tetep berhenti di Pelangi." "Bulan, aku bukannya jadiin kamu pelampiasan atau apapun itu aku cuma butuh waktu untuk ngelupain Pelangi." "Gue gak bodoh, Bintang," emosiku mulai naik lagi. "Lo selalu bilang kayak gitu dari dulu. Sekarang gini aja, gimana caranya lo move on kalau lo aja masih bersikap manis sama Pelangi?" "Apa sih salahnya menganggap mantan itu teman? Aku cuma gak mau hubungan aku sama Pelangi putus karena kita udah gak pacaran. Aku cuma nganggep dia teman." kini Bintang menatapku marah. Bahkan nada suaranya meninggi. Aku mundur beberapa langkah. "Lo pernah mikir gak sih kenapa seseorang itu gak pernah bisa lupa sama mantannya itu karna apa?" Bintang terdiam. Dia hanya menatapku dengan matanya yang penuh emosi. "Karna dia terus memberi ruang untuk mendekat lagi. Bin, gue tau," aku menatapnya tajam. "Lo cuma gak mau setelah putus jadi musuhan. Tapi, yaampun, cara lo salah. Seharusnya lo menjauh dulu sebentar. Kalau lo terus-terusan deket sama dia gimana lo bisa lupa? Gue tau, Bin, lo itu orang yang keras kepala. Apapun yang lo mau harus ada! Nah, disini, lo mau gue dan juga Pelangi. Lo mikir gak? Gue sakit diduain gini. Meskipun lo gak ngelakuin secara langsung tapi hati dan gerak-gerik lo berkata gitu." Kami terdiam. Aku membuang pandangan ke langit sementara Bintang ia terus menatapku. Malam ini langit tampak bercahaya. Tetapi tidak untuk hatiku yang menggelap. "Kalau aku bilang aku sayang banget sama kamu sampai gak bisa lupain kamu. Kamu percaya?" Aku mengedikkan bahu cuek. "Kamu berhasil buat aku lupain Pelangi," suaranya terdengar parau. "Setelah kamu pergi aku sadar. Aku telah kehilangan seseorang yang berarti. Aku kangen kamu. Kangen kamu yang selalu ada disamping aku saat aku sakit ataupun enggak. Kangen kamu yang selalu cemberut kalau aku ledekin. Kangen kamu yang selalu blushing tiap aku rangkul atau peluk. Aku kangen... Semunya yang ada didiri kamu, Bulan." Aku menghembuskan nafas. Aku melirik jam dilayar ponsel. Sudah pukul lewat sembilan malam. Aku harus segera sampai rumah besok keberangkaratan pagi. "Bin," aku tau sudah seharusnya aku jujur. "Gue juga sayang banget sama lo. Gue bener-bener gak bisa lupain lo. Sekarang mau lo kita gimana?" Bintang bernafas lega. Dia menarikku kedalam pelukkan hangatnya. Astaga sudah lama aku tidk merasakannya. "Aku minta maaf ya? Aku tau kmu gak mungkin mengucap kata ma--" "Gue maafin." Bintang mendorong tubuhnya sedikit. Di melihat wajahku bingung, aku hanya tersenyum. Bagaimana pun aku harus berdamai dengan masa lalu kan? "Terimakasih," Bintang mengecup keningku lama. Aku merasakan kehangatan diwajahku. "Kita pacaran ya? Aku gak minta balikan karna aku tau kamu gak suka balikan. Kita mulai semuanya dari nol dan jalanin serius. Aku gak janji tapi aku cuma bilang kalau aku akan berubah gak lagi kayak dulu." Aku mempererat pelukanku. Kenapa kamu baru bilang sekarang Bintang? Ketika hatiku sudah membatu untuk kembali? Meskipun aku menyayangimu melebihi sayangku pada diriku sendiri tetapi aku sudah tidak ingin kembali padamu. "Maaf, Bintang," aku merasakan tubuh Bintang yang menegang setelah merileks beberapa menit lalu. Bahkan dia menahan nafas. "Gue emang sayang banget sama lo tapi gue gak bisa buat nerima lo untuk kedua kalinya. Keputusan gue udah bulat. Gue gak mau kita punya hubungan apapun selain sebatas teman." Bintang melepas pelukanku. "Kamu bercanda?" Aku menggeleng. Bintang menatapku campur aduk. "Bintng kita pulang ya? Udah malem orang tua kita pasti nyariin." Bintang menunduk. Dia mengusap wajahnya kasar. Sekilas aku melihat ada air yang jatuh. Aku tau Bintang nangis. Tapi aku pura-pura tidak tau dengan tidak melihat matanya. "Ayo kita pulang." Bintang mengulurkan tangannya. Seulas senyum terpaksa diperlihatkannya padaku. Aku menerima uluran tangannya. "Boleh peluk untuk terakhir kalinya?," aku mengangguk. Dia langsung memelukku erat. "Aku akan sangat kangen kamu. Kamu inget ya satu hal. Aku akan selalu sayang kamu." Setelah beberapa menit, Bintang melepaskan pelukannya. Dia mengecup dahi, kedua pipiku, kedua kelopak mataku, hidung dan yang terakhir dia hanya berani mencium daguku sebelum menarikku lembut ke mobil. Kalau dulu Bintang yang meninggalkanku setelah mengucapkan kata sayang maka sekarang akulah yang melakukannya. Maaf Bintang aku tidak bilang padamu atas kepergianku besok. Karna aku berfikir lebih baik kamu tidak perlu tau apa-apa lagi tentang aku setelah ini. Biarkan aku hidup tenang setelah sekian lama hidupku kacau. Disaksikan oleh ribuan bintang dilangit. Dengan cahaya bulan yang terang. Aku, Bulan dan Bintang. Saling menggenggam erat tangan kami. Seakan memberitahukan pada diri kami sendiri ataupun pada orang lain yang melihat meskipun kami tidak bersama-sama lagi. Rasa kami takkan pernah hilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN