Epilog

6838 Kata
Aku memandangi sebuah foto dibuku yang bertuliskan book of ten-eleven scients two. Foto itu menampilkan wajah-wajah yang sudah tak asing lagi bagiku. Berawal dari foto Adib dan Fawwaz yang memegang sebuah kertas bertuliskan the comedy of scients two. Sebelahnya ada foto Gita, Dwiki dan Yola mereka mendapatkan predikat siswa terpintar di ipa dua. Dan masih banyak predikat lainnya yang tertulis disana bersama dengan wajah-wajah teman semasa SMA ku. Bahkan, aku, Jay, Fawwaz, Agung, Yudho, Ramma, Adib, Kenzha dan Caesar mendapat predikat siswa terganteng. Aku tertawa kalau mengingat masa kekonyolan itu terjadi. Lalu mataku beralih menatap foto papan tulis yang dikelilingi oleh murid kelasku. Ditengah-tengah ada aku yang membawa sebuah bingkai berfotokan seorang gadis cantik. Dipapan tulis itu berisikan curahan hati semua anak kelas akan kehilangannya sesosok yang selama ini berharga namun baru mereka rasakan setelah sosok itu pergi. 'Bulan, kami menyayangimu! Semoga bahagia di sana yaaa! Jangan sombong-sombong loh kalau sudah sukses. We love youu!!' Dan dibawahnya ada sebuah tulisan kecil namun masih bisa terlihat jelas. 'I love you for now and forever, Bulan! P.s: Bintang.' Aku tersenyum perih. Keesokkannya setelah aku dan Bulan saling terbuka aku berniat mengajak Bulan jalan-jalan lalu menonton sebuah film horror keluaran baru. Aku tau Bulan suka sekali dengan film yang berbau horror atau thriller tapi yang pasti harus dari barat kalau tidak dia tidak mau. Semalaman aku curhat pada Ayah, Bunda dan kak Dian. Mereka menasihatiku untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Aku sadar, aku telah salah. Bulan benar. Aku egois. Aku menginginkan masa depanku tetapi aku juga menginginkan masa laluku. Pantas Tuhan tidak mengizinkanku untuk bersama Bulan. Jelas. Aku terlalu hina untuknya yang suci. Ayah dan Bunda memutuskan untuk tidak membawaku ke Amsterdam karena aku bilang aku ingin mengejar Bulan kembali. Namun, dalam waktu kurang dari duapuluh empat jam. Hatiku hancur lebih dari berkeping-keping. Aku dikejutkan dengan hebohnya kabar bahwa Bulan pindah ke Amerika. Bahkan setiap koridor sekolah yang ku lewati menuju kelasku beradapun mereka selalu membicarakan pemindahan Bulan. Aku dengar waktu itu Nadia bilang katanya Bulan pindah gara-gara aku... Gara-gara aku yang menyakiti hatinya terus. Kemudian aku melewati kelas ips dua, aku mendengar Tyas menggumamkan perkataan yang sama. Semuanya gara-gara aku. Bintang si cowok b******k. Yang baru sadar akan cintanya setelah ia pergi meninggalkanku. Sesampainya di kelas. Dini, Widi dan Dela menatapku marah. Bukan hanya mereka, tetapi Caesar yang tiba-tiba saja menghampiriku dan memarahiku habis-habisan. Teman-temanku tidak ada yang membelaku. Mereka bilang aku sudah kelewatan. Aku tau Caesar adalah teman terdekat Bulan di SMA. Dia teman cowok pertama Bulan di SMA. Bodohnya dulu aku meminta putus dari Bulan karena cemburu terhadap Caesar! Jelas-jelas Caesar sudah punya pacar. Aku memang cemburu berat. Lagi-lagi benar apa kata Bulan. Caesar menjelaskan padaku kalau dulu Bulan dan dia seharian bersama itu karena Bulan sedang curhat dan minta saran sama Caesar dia harus bersikap bagaimana terhadapku. Sebab semenjak hari dimana Bulan memberiku kado ulang tahun dia menjadi canggung terhadapku, katanya Bulan malu karena cuma bisa memberikan itu saja. Dan juga aku yang selalu meledekinya. Aku meledekinya bukan karena kadonya tapi karena aku senang melihat pipinya yang selalu memerah jikaku ledek. Aku tak menyangka dia bisa bersikap romantis. Dia membelikan sesuatu yang aku sua ditambah dengan kata-kata manis sesuai dengan umurku. Meskipun otak Bulan bisa dibilang sedikit dirty tapi dia polos... Polos dalam artian hal berpacaran. Itulah yang membuatku enggan untuk melepaskannya. Bulan tidak pernah menuntut apapun. Dia selalu mengertiku. Aku tak pernah membelikannya ini itu, mengajaknya jalan kesana kemari, mentraktirknya seperti teman-temanku kepacarnya. Tidak. Aku tidak pernah. Bukan. Bukannya aku tidak mau. Aku mau sekali hanya saja keluargaku sibuk. Setiap sabtu dan minggu aku harus pergi keluar kota bersama keluargaku. Ayah bilang tidak boleh menolak, kalau menolak sama saja aku mengecewakan mereka. Habis pulang sekolahpun aku harus buru-buru pulang. Ayah tidak suka jika aku berlama-lama ada disekolah, kalau waktunya pulang ya pulang jangan keluyuran apalagi nongkrong. Setiap istirahat Bulan akan membeli beng-beng dan dia suka memberikannya padaku. Setiap pelajaran olahraga dia akan merapihkan mejaku, membereskan buku-buku yang berserakan, melipat seragamku dan memasukannya kedalam tas lalu dia akan keluar sambil membawa botol minum beserta handuk kecil untukku dia juga mengingatkanku untuk tidak berlebihan dalam olahraga karena aku punya asma. Dia selalu mencak-mencak jika rambutku berantakan atau pakaianku yang seperti korban p****g beliung, dia akan merapihkannya. Dalam jarak yang dekat aku suka tersenyum sendiri. Bulan selalu menyuruhku makan ketika dilihatnya aku asik bermain games. Kalau aku sedang tidak bawa bekal maka Bulan dengan senang hati mau menemaniku ke kantin meskipun dia tidak makan, aku tau Bulan tidak suka makanan kantin dia lebih suka masakan ibunya dirumah. Itulah alasannya kenapa Bulan hanya membeli beng-beng atau roti dikoperasi saja. Selain itu Bulan juga orang yang lebih suka makanan western ketimbang Indo. Susah memang tapi itulah uniknya Bulan. Dia anti pedas, sayuran, dan hal lainnya yang berbau terlalu ke Indonesia-an sekali. Setiap kali ada orang yang membicarakanku apalagi tentang masalah aku merebut Bulan dari Iam maka Bulan akan memelukku erat dengan wajah cemberut dia akan berkata; "Salahin aja gue jangan salahin Bintang! Gue yang salah udah gak tau diri. Udah tau punya pacar tapi centil sama cowok lain. Kalian kalo gak tau apa-apa diem ya! Yang salah tuh gue bukan Bintang." Masih ku ingat dia sempat menangis ketika mengelak semua u*****n yang keluar dari mulut siswa siswi yang menghakimiku. Aku mengelus tangannya, mencoba menenangannya. Aku bilang padanya aku terbiasa tapi dia menggeleng katanya dia tidak suka kalau orang yang disayangnya dihina sama orang lain apalagi orang itu tak tau apa-apa. Aku terharu. Bagaimana tidak? Dulu aku juga pernah ada diposisi seperti ini. Aku merebut Pelangi dari Axel. Katakanlah aku cowok b******k yang suka merebut pacar orang. Aku tak apa. Tetapi Pelangi tidak membelaku sama sekali. Bahkan dia diam seribu bahasa ketika sahabatnya menghinaku. Sangat berbeda dengan Bulan yang waktu itu membentak Dini, Dela dan Widi yang memojokkanku katanya aku ini perebut pacar orang. Nyaris Bulan menampar mereka kalau Dini tidak segera meminta maaf dan berjanji tidak akan mengatakannya lagi. Aku bersyukur waktu itu. Bulan anak yang baik. Bahkan dia menerimaku yng notabene sudah merusak hubungannya. Aku jadi ingat kepanikkannya waktu awal kami pacaran. Aku menembaknya ketika aku lagi ingin terbang ke Bromo. Selama beberapa minggu aku disana, jarang sekali kami berkomunikasi karena jaringannya jelek. Sebelum berangkat Bulan mengirimi list benda yang harus ku bawa supaya tidak kelupaan. Dia juga berpesan padaku untuk tidak lupa makan, minum obat, jangan sampai kedinginan karena nanti asmaku kambuh lalu yang membuatku tertawa kencang waktu itu adalah ketakutannya kalau aku sampai hipotermia dan jetlag. Oh yaampun! Aku sudah bolak-balik ke Bromo dan hampir setiap minggu aku keluar kota atau negri menggunakan pesawat. Tentu aku tidak akan lagi merasakan jetlag. Hari terakhir keberadaanku di Bromo, aku bilang akan chek out siang ini tapi ternyata pesawatnya delay besok pagi. Terpaksa aku dan keluarga menyewa hotel lain untuk sehari saja. Kami terlanjur sudah keluar dari hotel yang lama. Ketika aku ingin mengabari Bulan aku lupa hp ku mati dan bagusny lagi semua cas-an beserta powerbank ketinggalan di taksi. Ayah memarahiku dan beliau tidak mengizinkanku untuk membeli cas-an ataupun powerbank baru. Keesokkannya. Aku sampai di Jakarta sekitar jam satu malam. Setibanya dirumah aku langsung mengambil power bank yang ku simpan dilemari lalu menge-cas hpku disana. Siangnya ketika aku terbangun aku dikagetkan dengan puluhan message di BBM. Dan hampir semuanya dari Bulan! Dia mengirimi banyak sekali chat. Dia menanyakan kabarku yang menghilang tanpa kabar. Ada rasa menyesal menyusup hatiku. Segeraku meminta maaf dan mandi. Sepuluh menit berlalu ku lihat Bulan sudah membacanya, aku meninggalkan hpku sebentar untuk makan. Tigapuluh menit berlalu Bulan tak kunjung membalas. Aku pun mengirimnya lagi, akhirnya sampai sore Bulan mendiamkanku. Aku yang waktu itu masih dalam keadaan capek akhirnya terbawa oleh suasana. Aku memarahi Bulan bertanya apa dia marah gara-gara aku berlibur dengan keluargaku bukan bersamanya seperti kebanyakan pasangan normal lainnya? Ternyata bukan. Bulan tidak marah. Dia mendiamiku karena dia bilang katanya dia malu... Dia sudah nangis-nangis semalaman dan mencari namaku didaftar peumpang korban pesawat jatuh. Bulan kira aku naik pesawat itu nyatanya aku naik pesawat yang tentunya berkerjasama dengan perusahaan Ayahku. Dan dia spontan tertawa meratapi kebodohanya itu. Tak bisa dipungkiri bahwa Bulan memang benar-benar berbeda dari cewek kebanyakkan. Dia tidak pernah mau di foto. Katanya malu. Dia pernah berfoto sama seorang cowok tapi itu hanya sahabatnya saja. Dan aku senang ketika tau bahwa akulah satu-satunya cowok yang notabene pacarnya bisa berfoto bareng bersamanya. Aku ingat Bulan selalu menyemangatiku ketika aku izin main bersama teman-temanku. Dari pagi hingga malam aku mengangguri hpku. Bulan tidak pernah menghubungiku pertama, dia takut katanya akan mengangguku. Awalnya aku marah karena dia tidak pernah menghubungiku pertama namun setelah mendengar penuturannya mau tak mau aku harus mengakui dia benar-benar beda dari cewek lain! Seharian dia akan disibukkan oleh karangan ceritanya di w*****d. Teman-teman cewekku banyak yang mengenalnya di w*****d. Mereka bahkan suka menitipkan salam untuk Bulan padaku. Mereka sempat tidak percaya kalau Bulan pacarku, karena katanya tidak mungkin seseorang sepertiku yang cuek, tertutup dan dingin bisa mendapatkan seorang cewek yang hangat, terbuka dan ceria seperti Bulan. Kalau aku sudah mengumpul dengan seluruh teman-temanku pasti yang dibicarakan adalah Bulan; "Bintang bilangin Bulan dong suruh lanjutin ceritanya!", "Bintang ajakin Bulan dong sekali-kali kesini sekalian kenalin ke kita.","Bintang bilangin Bulan dong gue ngefans sama semua ceritanya." dan pokoknya masih banyak lagi. Aku tau. Bulan seorang penulis diwattpad. Dia bilang dia sangat mencintai dunia tulis menulis bahkan setiap hari jika ada jam kosong dia akan membaca novelnya entah itu diwattpad atau yang baru ia beli di gramedia. Hampir setiap minggu dia akan membeli n****+ baru. Di hpnya pun penuh oleh downloadan n****+ online dan di galeri fotonya kebanyakkan kumpulan foto cogan-cogan dan quotes. Sudah berapa kali aku bilang? Bulan berbeda dari cewek lain. Aku menghembukan nafas panjang, menutup buku yang dibikin khusus untukku sebelum aku pergi ke Amsterdam. Aku mengambil hp dan melihat tanggal. 22-12-2025 Tak terasa sudah sepuluh tahun semenjak aku memutuskan Bulan. Perasaan ini masih begitu kuat berada dihatiku. Dari sekian banyaknya cewek cantik yang menghampiriku entah mengapa hanya Bulan yang mampu membuat hatiku bergetar. Omong-omong soal Bulan. Aku senang akhirnya keinginan dia untuk kuliah di luar negri tersampaikan juga bahkan dia akan menetap selamanya disana. Ya, aku tau betapa bencinya Bulan terhadap kenangan pahitnya di Indonesia. Aku menggerakkan jempolku ke i********:. Aku mengetikkan nama Bulan disana. Aku membuka akunnya dan sederet foto berjumlah lima dengan followers ribuan terpampang jelas disana. Foto yang pertama dia post, itu sewaktu dia baru pertama kali sampai di Amerika. Masih kelihatan sekali orang Indonesianya. Foto kedua, itu adalah foto dirinya bersama sahabat-sahabatnya di Indonesia. Foto ketiga, itu adalah foto kakinya dengan Ayah barunya, adiknya dan Ibunya Bulan. Foto keempat foto seorang cowok memakai jas, gambarnya sengaja Bulan blur aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi yang dilihat dari komentarnya sepertinya itu adalah seseorang yang sangat berarti untuknya. Foto kelima. Masih loading. Aku memijit pelipisku kuat-kuat. Aku tidak tau seperti apa Bulan sekarang. Dia tidak pernah mempost fotonya semenjak Pelangi diam-diam memfollow akun Bulan dan mengambil fotonya untuk melakukan fitnah dengan cara membuat akun palsu. Ya, Pelangi memang gila. Dia tidak terima dipojokkan waktu itu jadi dia membuat suatu akun palsu dan memasang ava menggunakan foto Bulan dia juga memakai nama Bulan untuk username fake akun ask.fm. Lalu dia akan mengirim ask berupa bully-an ke akun ask.fmnya, seakan-akan dia itu Bulan nyatanya dia itu adalah Pelangi. Tadinya keadaan mulai mereda. Teman-teman Pelangi meminta maaf karena sudah menyalahkannya, tapi tiba-tiba saja mereka dikagetkan dengan datangnya polisi ke sekolah. Polisi itu menangkap Pelangi, kontan saja mereka marah sudah ditipu oleh Pelangi untuk kedanya kalinya. Mereka memaki, menghina dan menyumpah serampahkan Pelangi, rasa benci mereka sudah mengembang pesat. Pelangi dibawa ke kantor polisi atas tuduhan fitnah pencemaran nama baik. Ternyata Bulan mengetahuinya dan dia mengadu pada Om Revon. Dan tentu saja yang mengadukan semuanya itu adalah Om Revon, salah satu temannya Om Hendrik seorang intel di kepolisian. Dia meminta tolong untuk mencari tau siapa pelakunya. Kalau sudah ketauan Om Revon meminta untuk dipenjara lima bulan dan keluarkan dari sekolah. Jangan biarkan sekolah manapun menerimanya sebelum dia meminta maaf sampai sujud. Akhirnya karena Pelangi yang tak mau dipenjara dia pun meminta maaf sampai bersujud dikaki Om Revon. Ayah tiri Bulan hanya sendirian datang ke Indonesia tanpa membawa Bulan. Setelah itu yang ku tau Om Revon tidak jadi memasukannya ke penjara atas permintaan Bulan. Dan, kabar terakhir yang ku dengar Pelangi ditaruh ke rumah neneknya di Padang oleh kedua orangtuanya. Mereka bilang sangat malu mempunyai anak pembohong sepertinya. Mataku yang tadinya nyaris tertutup kini terbuka lebar saking kagetnya. Foto kelima, itu menampilkan.... Seorang cewek cantik dengan rambut brunette yang indah, kulit putih bersih dan badannya yang ideal. Dia memakai baju pengantin yang bagus sekali. Disampingnya ada seorang cowok tampan yang ku yakini dia asli Amerika, cowok itu memakai tuksedo. Dan wajahnya sungguh tak asing dipenglihatanku. Kalau tak salah cowok itu cowok yang sangat diidolakan Bulan. Cewek cantik itu memeluk cowok yang kulupa namanya siapa dengan erat. Kalau dilihat dari wajah keduanya si cowok jauh lebih tua dari si cewek. Tapi, tunggu. Siapa cewek ini? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Bulan meskipun wajah cewek dalam foto ini terlihat memiliki garis keturunan orang Amerika tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ia benar-benar mirip dengan Bulan. Apa jangan-jangan... Aku segera membaca captionnya. "To my hubby @connorfranta hallo honey! How are you todayyy? I'm and the baby really miss you so badly! Too fast to back home please :( i want to felt your arms hugging me({}) and kissing my lips all the time. Love you, My Pleasure." Commented on: @syandini yaampun Bulan itu lo? Gila! Makin cantik banget sih! Kemana aja selama sepuluh tahun ngilang tiba-tiba difoto bawa suami?! Manaan Om Connor lagi! Hadeuh mimpi lo kenyataan juga ya. @Bulanfranta aaaaaah Diniiii! I really missing youuuu. Cieee sekarang udah ngerti bahasa inggris ya? Hihii bagi ID line sini kita perlu banyak cerita. Gue ngeskype lo gak bisa mulu. Huh tau deh mentang-mentang udah jadi pemilik yayasan disekolah keren ya, Bu. @syandini di private i********: ya. Haduh, Bu, ngaca ya. Emang di Amerika gak ada kaca? Perlu gue beliin gak nih? Bukannya lo yang sibuk ? Terakhir ngeskype aja tiga tahun lalu itu pun gue huh. @connorfranta why just our photo wedding? Where's my princess and my hero? Huhu i love you, honey! I miss you too :( tomorrow may be i would to going back home! Wait, honey. Okay? Love you more than this. Aku merasa seperti ada sebuah palu godam kesedihan memukul hatiku begitu keras. Bulan... Sudah... Menikah dan mempunyai anak? • All of the stars • It's just another night And I'm staring at the moon I saw a shooting star And thought of you Selama sepuluh tahun aku merubah hidupku. Dengan penuh kerja keras demi seorang Bulan. Aku berhasil membangun sebuah perusahaan megah di Indonesia. I sang a lullaby By the waterside and knew If you were here, I'd sing to you Aku bahkan menyisihkan waktuku untuk belajar piano demi melamarnya kelak. Aku tau Bulan menyukai pria yang bisa memain piano. You're on the other side As the skyline splits in two I'm miles away from seeing you Tapi kini semuanya pupus sudah... Aku sadar aku takkan lagi bisa meraihmu. I can see the stars From Amsterdam I wonder, do you see them, too? Aku mengganti kata Amerika menjadi Amsterdam. Karena yang kulihat bintang dari Amsterdam bukan Amerika. So open your eyes and see The way our horizons meet And all of the lights will lead Into the night with me And I know these scars will bleed But both of our hearts believe All of these stars will guide us home Aku sadar selama ini kalau aku dan Bulan itu hanya ditakdirka untuk saling bersama namun tidak untuk bersatu. I can hear your heart On the radio beat They're playing Chasing Cars And I thought of us Back to the time Banyak perbedaan diantara kami... Perbedaan yang sudah mutlak mustahilnya jika dipakskan bersatu. Seandainya... Seandainya Tuhan mengizinanku untuk kembali ke waktu awal kami bertemu aku akan senang sekali. You were lying next to me I looked across and fell in love So I took your hand Back through lamp lit streets I knew Everything led back to you So can you see the stars? Over Amerika You're the song my heart is Beating to Seandainya.... Seandainya dulu kecemburuanku tidak buta dan menerimanya untuk menjelaskan pasti hidupku tidak sengsara seperti ini. So open your eyes and see The way our horizons meet And all of the lights will lead Into the night with me And I know these scars will bleed But both of our hearts believe All of these stars will guide us home Aku sadar sekarang... Tuhan. Apa Kau sengaja mempertemukanku dengan Bulan hanya karena untuk memberiku kesadaran atas perasaanku? Sadar kalau aku mencintai seseorang yang tidak akan pernah bisa aku miliki. Aku Bintang, dia Bulan. Kami memang seperti benda langit diangkasa. Yang diciptakan hanya untuk saling melengkapi bersama-sama bukan untuk bersatu. Karena kami bergantung pada langit. Ya seharusnya aku sadar jika aku melepaskan Bulan pasti akan ada seseorang yang seperti langit yang selalu ada disisinya. Sama halnya kayak bulan diangkasa yang tampak tenang dan kuat memancarkan sinarnya meskipun bintang tidak ada. Itu karena ada langit yang selalu setia menemaninya. And, oh, I know And oh, I know, oh I can see the stars From Amsterdam Aku mengakhiri nyanyianku dengan sebuah tarikan nafas panjang beserta menetesnya air mataku. Tepukan tangan meriah menggema diseluruh ruangan. Ada yang menyerukan betapa hebatnya aku dan juga yang bilang aku sangat menghayati sampai menangis. Sebelum menyanyi tadi aku menjelaskan bahwa Amerika dan Amsterdamnya aku pindahin. Beruntung mereka cepat paham akan maksudku. Aku beranjak dari berjalan ke depan panggung. Terlihat teman-teman masa SMA ku sudah kumpul semua diaula besar bertuliskan 'Reunian akbar semua angkatan' "Oke guys." Aku berdeham mengelp semua air mataku lalu berdiri tegak. Senyum tipis menghias wajahku melihat wajah-wajah teman SMAku sedang duduk dibangku deretan tengah. Aku melambai memberitahukan bahwa aku baik-baik saja, Kenzha merespon dia menggerakkan bibirnya tanpa suara; 'Kita ada disini buat lo, Bro!' "Sebelumnya kenalin saya Bintang. Saya memang bukan alumni sepenuhnya karena ketika kelas sebelas semester satu saya terpaksa harus pindah ke Amsterdam." Aku menutup mataku sebentar. Kilasan bayangan Bulan terlintas di fikiranku. Aku menggeleng lemah dan mulai berbicara kembali. "Lagu yang tadi saya nyanyikan, saya persembahkan untuk seseorang yang jauh dari saya. Dulu kami pernah dekat namun sekarang kami saling berjauhan... Saya tidak tau tentangnya lagi. "Dia wanita yang kuat, tegar dan baik hati. Meskipun orang-orang selalu menganggapnya buruk sebenarnya dia tidak seperti itu. "Sekarang. Tepatnya ditanggal duapuluh tiga bulan Desember. Adalah anniversary failed kami yang ke sepuluh tahun. Mungkin da tidak ingat tetapi saya selalu ingat. "Selama sepuluh tahun itu pula saya selalu bekerjakeras hingga sukses. Saya bertekad untuk melamarnya sekarang tapi gagal karena dia sudah dimiliki oleh pria yang jauh lebih lebih lebih lebih mapan dan tampan dari saya. "Saya sadar cinta saya sudah sangat telat. "Untuk kamu wanita yang berbeda dari wanita lain. Aku c*m mau bilang kalau aku masih menyayangimu hingga detik ini. Mungkin kamu gak tau tapi biarlah hanya Tuhan dan para alumni yang berada disini yang tau." Aku menghembuskan nafas lega. Rasanya plong setelah memberitahukan semuanya. Ternyata benar apa yanh dikatakan Bulan dulu, terbuka akan apa yang dirasakan sangatlah membuat hati kita tenang dan lega. Setelah mengucapkan terima kasih aku turun menghampiri temanku berada. Mereka masih sama seperti dulu. Kekonyolannya dan kelucuannya. Mungkin yang membedakan adalah mereka yang sekarang terlihat sudah ke Bapak-Bapakan atau ke Ibu-Ibuan. Sebagian dari temanku membawa anak dan Istrinya atau tunangannya. Hanya aku yang sendirian. Sesekali mereka memberiku semangat dan menyuruhku untuk move on. Tetapi aku hanya membalasnya dengan senyuman. "Hallo semuanya!!" Suara cewek... Hmm bukan. Suara wanita dengan aksen barat berteriak di kejauhan. Spontan seluruh temanku menoleh kebelakangku. Mereka terlihat membeku. "Hai! Kenapa sih? Kalian lupa ya sama gue?" suaranya meskipun beraksen barat tetapi tetap memberikan aksen Indonesia walau tidak sejelas aksen baratnya. Ah tapi kenapa suara ini terasa tak asing untukku? Dan siapa pula yang baru datang dari kelasku? Semuanya sudah lengkap. Minus Bulan dan Shisi--temanku yang pindah ke Surabaya. Dini, Widi dan Dela yang kini terlihat anggun serta cantik berjalan maju. Mata mereka melebar, berbinar senang. Perlahan jantungku mulai berdebar tak karuan. "Bulan?" Deg. "Iyaaa! Ini gue! It's me guys!" "AAAAAAA BULANNNN!" Aku melihat mereka langsung berlari ke seseorang yang ada dibelakangku. Reflek aku memutar tubuhku. Dibelakangku. Bukan. Disampingku berdiri seorang wanita yang sangat cantik wangi tubuhnya yang menggoda tercium sampai sini. Wanita itu mengenakan heels yang tidak terlalu tinggi, ia mengenakkan dress biru laut selutut tanpa lengan hanya tali spaghetti saja yang sebagai penyangganya. Rambutnya yang berwarna cokelat tua ia gelung keatas menyisihkan beberapa helai anak rambut membingkai wajah manisnya. Aku nyaris tidak mengenali wanita itu. Sebab bukan tubuhnya saja yang berubah, dulu wanita itu berisi kini ia kurus--tidak juga, tapi lebih ke tubuhnya yang bagus. Wajahnya pun berubah, pipinya tirus sempurna, kulitnya putih bersih apalagi dibagian lehernya aku sangat menyukai itu, hidungnya pun terlihat mancung meski tidak seperti orang barat pada umumnya, matanya yang berwarna abu-abu itu menghipnotisku. Tunggu... Kalau memang dia Bulan, wanita itu tidak mungkin bermata abu-abu. Bulan memiliki mata berwarna hitam tapi jika diperjelas matanya berwarna cokelat bergaris merah sedikit. Itulah salah satu keunikkan Bulan. Dibalik mata tajamnya. "Lo Bulan? Serius?" Ken mewakili pertanyaanku. Dia mendekati wanita itu meneliti tiap inchi tubuh indahnya. "Menurut lo?" "Gue gak percaya! Bulan kan dulu item, gendut, pendek lagi!" Spontan kami semua tertawa. Ken berlebihan, Bulan memang berisi tapi dia tidak gendut, Bulan tidak hitam dia putih walau tidak putih-putih amat, bisa dibilang kulitnya bersih, dan untuk wanita seukuran SMA menurutku Bulan tidak juga dikatakan pendek malahan ideal. "Sialan lo!," wanita itu memukul lengan Ken, bibirnya yang merah ranum mengerucut sebal. "Gak tau yang namanya pubertas emang?" "Ya taulah! Tapi gue gak percaya aja. Coba ngaca deh hidung lo masa mancung? Pipi lo juga tirus banget. Pake apaan lo?" "Perawatan, Kennnn! Di Amerika itu jauh lebih canggih dari Indonesia yaaa. Hidung gue mancung karena gue nirusin pipi, otomatis hidung gue gak ketarik sama pipi lagi. Terus juga tiap hari gue ikutin apa kata dokter buat mijit hidung gue supaya mancung ya walaupun gak mancung-mancung amat. Intinya muncul doang." "Terus mata lo kok abu-abu?" "Gue operasi." Aku menatap wanita didepan ini tanpa berkedip. Wajahnya yang semula cerah kini terlihat mendung. "Kenapa?" tanya Dini memegang lengan wanita menawan itu. "Gue," dia menghembuskan nafas berat. "Kecelakaan dan buta. Terpaksa harus operasi mata. Gak tau kenapa abu-abu mungkin pemiliknya memiliki mata berwarna abu-abu." Mereka semua mengangguk. Wanita itu hanyut dalam obrolannya bersama teman sekelasku yang lain. Wanita itu... "Dia Bulan, Bin. Gak usah ngeliatin seakan-akan dia itu khayalan lo doang." Fawwaz membisiki telingaku. Aku mendengus meliriknya sinis. Aku memperhatikan wanita itu lagi. Apa benar dia Bulan? Tapi sepertinya iya. Lama sekali aku melihatnya, Bulan tak kunjung melirikku. Entah dia yang memang tak tau keberadaanku atau yang menyedihkannya lagi dia pura-pura tidak tau. "Bintang?" Pandanganku bersibobrok dengan mata abu-abunya. Dia melihatku dari atas sampai bawah, kerutan halus keluar dari dahi putihnya. Aku tau dia bingung apakah ini aku atau bukan. Aku sudah benar-benar berubah tidak lagi seperti dulu. Tubuhku tinggi tegap, dengan otot yang dibungkus tuksedo armani hitam, mukaku oval dengan rahang tegas, aku berlatih setiap hari untuk membentuk otot dan juga kotak diperutku. Kini aku memiliki delapan kotak itu. Banyak wanita yang selalu mencuri perhatianku dengan memakai pakaian sexy namun tidak satupun yang berhasil. Hanya Bulan lah yang bisa mengalihkan perhatianku. Segaris senyuman manis muncul diwajah cantiknya. Dia mendekat padaku, dari jarak sedekat ini aku bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Tingginya hanya semataku, tinggiku seratus tujuhpuluh. Aku menahan diri untuk tidak merengkuhnya dalam pelukkanku. "Bin--" "Hallo, babe. I'm sorry for too late coming up on." Seorang pria berbalut tuksedo abu-abu mencium bibir Bulan yang terbuka. Pria itu menarik pinggang Bulan hingga menempel didada bidangnya. "Connor!" Bulan mencubit pria itu tapi pria itu makin mencium Bulan. Aku membuang pandanganku. Sadar Bintang!! Dia sudah berkeluarga. "Maaf semuanya," Bulan meringis menatap satu persatu teman sekelas. "Kenalin, he is my husband." Semua pandangan mata kini tertuju padaku. Aku hanya melemparkan senyum memberitahukan pada semuanya kalau aku baik-baik saja. Baik-baik saja. Aku baik-baik saja... Baik-baik saja. Hanya hatiku yang tidak baik. • All of the stars • Katanya, pengalaman adalah guru paling baik yang memberikan kita pelajaran hidup supaya kedepannya tidak mengulangi kesalahan yang sama? Tetapi kenapa aku tak kunjung mengerti akan peribahasa tersebut. Aku selalu melepaskan orang yang kusayang... Membiarkannya pergi bersama pria lain. Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan hatiku? Aku terlalu bnyak menyimpan hingga lupa bagaimana caranya memberitahukan. Menyesal. Itulah kata yng pantas untuk mendeskripsikan semua kesedihan yang menimpaku. Hanya karena keterlambatanku, wanita yang ku sayang kini sudah berbahagia dengan pria lain. Aku merasa itu salah, seharusnya akulah yang bersanding dengannya. Namun lagi-lagi kenyataan menamparku keras. Siapa yang dulu memilih pergi? Aku. Lantas aku tak pantas menginginkannya kembali dalam hidupku setelah aku menyakitinya dengan angka waktu yang panjang. "Gimana kabarmu, Bi?" Bulan memecahkan keheningan yang tercipta. Saat ini kami sedang berada di taman samping gedung, seratus meter dari kami duduk, Connor berdiri mengawasi kami berdua dengan tatapan matanya yang tajam. Yeah, tadi aku meminta izin pada Connor untuk mengajak Bulan pergi aku butuh berbicara padanya. Namun tak kusangka Connor seorang yang overprotective dan posesif. Dia melarangku, tapi Bulan memaksa Connor untuk mengizinkannya. Dengan melewati adegan mesra mereka berdua dulu akhirnya aku diperbolehkan berbicara dengan Bulan tetapi ditaman plus dengan dirinya yang mengawasi. "Baik." balasku tersenyum. Baik... Ya, memang terasa baik tetapi hatiku sayangnya tidak. Kami kembali terdiam. Hatiku sangat nyeri ketika mengingat berjam-jam lamanya didalam gedung tadi, harus melihat Connor yang setia memeluk pinggang Bulan. Bahkan pria itu sesekali mencium bahu Bulan, membuat wanita itu menoleh melemparkan senyum hangatnya. "Aku dengar-dengar kamu sudah menikah ya?" Pertanyaan bodoh!! Jelas-jelas tadi dia memperkenalkan suaminya. Bulan tersenyum, dia mengelus sesuatu yang berkilau di tangannya. Itu cincin berlian dengan ukiran nama Connor Franta terlihat jelas disana. "Sudah," Bulan menoleh dan tersenyum, bukan, bukan padaku melainkan sesosok yang berada tak jauh dibelakangku. Aku merasakan sosok itu membalas senyuman Bulan. "Sudah delapan tahun aku menikah, sekarang aku memiliki dua anak. Perempuan dan laki-laki." Sialan. Ternyata ini lebih dari sakit. "Wah, selamat," aku tertawa pelan, inikah yang namanya patah hati berkali-kali lipat? "Siapa namanya dan berapa umurnya? Pasti mereka sangat cantik dan tampan seperti kedua orang tuanya." "Terimakasih," Bulan menyelipkan anak rambutnya yang mulai keluar-keluaran dari gelungan rambutnya membuat wajahnya terlihat menggemaskan. "Namanya Fabian Edward Franta dan Caramel Fairy Franta. Mereka kembar, umurnya sekarang lima tahun. Aku gak tau kenapa bisa mempunyai kembat padahal dari pihak keluargaku maupun Connor tidak ada yang kembar." Bulan terkekeh. Aku tersenyum. Bulan sudah mempunyai keluarga yang bahagia, itulah yang selalu diimpikannya sejak dulu. Aku teringat, ketika kami masih pacaran setiap pagi Bulan akan menonton video Connor yang sudah ia download. Nyaris semua yang ada di youtube dia download. Katanya mendengar suara Connor sangat berpengaruh untuk meningkatkn semangatnya. Sehabis putus aku sering kali mendengar dia berbicara ke Dini, Dela dan Widi kalau dia akan serius belajar demi mendapatkan beasiswa ke Amerika, dia ingin mengejar Connor merebut cintanya tak peduli umur dan meskipun mustahil dia sangat percaya oleh mimpinya. Dan aku tak menyangka. Mimpinya menjadi kenyataan padahal selama ini aku mendengar tawaan dan ledekkan dari teman-temannya yang mengatakan kalau Bulan tidak mungkin bisa mendapatkan cinta seorang Connor. Namun bukanlah Bulan namanya kalau dia tidak bekerja keras demi mendapatkan mimpinya. Sepertinya aku harus belajar sama Bulan agar mimpi bisa jadi kenyataan... Ah, sayangnya, mimpi ku untuk mendapatkan Bulan kembali tidak akan pernah bisa kuraih kembali. Karena kini sosok langit itu sudah ada disampingnya selamanya. Aku melihatnya mengeluarkan sebuah bandul berbentuk salib, dia menaruhnya dipangkuan sementara kedua tangannya sibuk mengobrak-abrik sesuatu didompetnya. Keningku berkerut. "Bulan?" "Ya?" "Kamu pindah agama?" "Hah?" dia menghentikan aktifitasnya menatapku bingung. Aku melirik rosario yang berada dipangkuannya, Bulan meliriknya lalu terkekeh. "Tidak, Bintang, tentu saja. Suamiku Islam bagaimana aku bisa pindah agama?" "Islam?" aku tau Connor. Dia seorang kristiani yang sangat taat dengan agamanya. Jadi, bagaimana mungkin dia mualaf? Dan apa maksudnya Bulan membawa rosario? "Beberapa tahun lalu sebelum kami menikah dia mendengar suara adzan dari masjid di Amerika, dia mendengar seseorang mengaji. Katanya entah bagaimana dia ingin mempelajarinya. Lalu dia masuk Islam. Bahkan dia lebih jago ngajinya dari aku! Dia imam yang sangat pas untukku." "Lalu rosario itu?" Bulan mengangkat rosario itu, dia terkekeh menunjukkannya padaku. Disana terpahat sebuah nama; Margareth P. "Kamu tau kan almarhumah Nenek dari Mamahku itu Kristen? Nah aku ingin menaruh rosario ini dipemakamannya." Aku menganggukkan kepalaku paham. "Oh ya, bagaimana denganmu? Kenapa datang ke reunian seorang diri? Kemana anak dan istrimu?" Aku membuang pandangan. Aku tau pasti dia akan menanyakan hal ini. "Aku masih ingin sendiri." "Serius? Umurmu sudah duapuluh lima loh." Aku terkekeh. "Ya... Tapi sayangnya tidak ada yang mau denganku." Bukan. Tetapi aku yang tidak mau dengan mereka. "Kau bercanda!! Cobalah untuk sering mengaca jangan mengurusi perusahaan terus. Kau tampan, Bintang, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Mana mungkin para wanita itu menolakmu? Beritahu padaku siapa dan akan ku periksakan mata mereka ke dokter paling bagus." Samar-samar aku tersenyum. Seandainya saja kita tidak dalam kondisi seperti ini aku pasti sudah merengkuhnya kedalam pelukanku. Dia tetap seperti Bulan yang ku kenal dulu. Membela temannya meskipun orang itu sudah berbuat menyakiti hatinya. "Mereka tidak mau denganku bukan karena aku kurang tampan tetapi karena.... Siapa yang mau dengan pria yang masih mengharapkan masa lalunya? Selama sepuluh tahun dia mencintai seseorang dari jauh." "Hem... Kamu belum bisa move on ya dari Pelangi?" Buan tetaplah Bulan. Sekalipun dia sudah berubah menjadi wanita dewasa kepolosannya tetap melekat didirinya. Aku tertawa sambil menggeleng. "Aku gak bisa move onnya malahan dari kamu, Bulan. Selama sepuluh tahun aku nungguin kamu. Pas kamu balik ternyata kamu sudah berkeluarga." "Bintang... Maaf..." "Gak perlu, Bulan. Ini semua salahku. Aku tak apa. Aku sebenarnya hanya ingin bilang bahwa aku masih mencintaimu dari dulu hingga saat ini." Bulan menghembuskan nafas berat, di beranjak dari duduknya. "Maaf, Bintang. Aku sudah menemukan kebahagiaanku." "Aku tau," aku ikut berdiri disampingnya. Ku lihat Connor segera menegakkan tubuhnya memandangku was-was, mungkin karena dia tau aku mantan Bulan jadi dia takut aku merebut Bulan darinya. Meskipun dulu aku dijuluki perebut pacar orang sekarang sudah tidak lagi berkat Bulan. "Aku hanya ingin bilang saja. Setidaknya membuat hatiku sedikit lega tak ada salahnya. Oh ya, bisakan kita berteman?" "Berteman?" "Ya... Lupain semuanya. Lupain semua kenangan yang ada dulu. Anggap kita baru bertemu sekarang saja. Bagaimana?" "Hmmm... Baiklah!," Bulan mengulurkan tangannya, cengiran lebar tersungging diwajah cantiknya. "Aku, Bulan Artahenly Franta." Aku menggaruk tengkukku, tertawa lega dan menjabat tangannya mantap. "Bintang Fadillah. Senang bertemu denganmu Nyonya Franta. Jadi, mari kenalkan saya pada suamimu." Bulan tertawa, dia memanggil Connor mendekat. "Hello, dude! Do you want to getting a closer with him?" "No. I won't." "Oh! C'mon. He is my best friend. Why you won't to knowing him?" "Oh, s**t, my Moon! I know he is your fuckin' ex." "Connor..." "C'mon, my Moon! We must arrived home at seven o'clock. Bian and Caramel already waiting us for the dinner tonight." Bulan menghembuskan nafas panjang. Kulihat mulutnya bergerak ingin mengatakan sesuatu tetapi terlambat olehku. "Hey, Connor. Don't be jealous with me." Connor menaikkan sebelah alisnya. "Who's the man jealous with you?" "I know you are jealous because i talked to your wife is very long and you're just be afraid if i take it back. Take it easy, Man! Because i'm not gonna do it." "Oh. I hope you can hold on what you say." "Calm, Boss. I am a gentleman. I can holding on what the i'm saying and i promise to never flirting with your Moon ." "Oke. So, it's already enough to talk to with my Moon. Could you goes away from here?" "Ugh! Connor!" "Gak apa-apa, Bulan." Aku memberikan senyum simpul kearah Bulan. Aku tau sudah seharusnya aku harus pergi. "Thankyou, Mr.Franta for the time you given me to talked with your wife. Now i have to go to my back home. But, i have a something for you," aku mendekatkan wajahku ketelinganya. Tingginya sekitar seratus tujuhpuluh sembilan, aku membisikkannya sesuatu. "I hope you never hurting her, makes her cry nor sad, never to leave her alone. Because if you doing it right, i'm promises to take her back into my arms. So... Take care of her, loves her and just remember! Don't leave her alone or i'll kill you and i'll take her from your arms." Connor mendengus kesal. Dia menatapku sengit kemudian menggendong Bulan pergi menjauhiku. Aku tersenyum memandangi mereka berdua yang mulai hilang dari pandanganku. Aku hanya mengancamnya tadi. Tidak mungkin aku merebut Bulan. Dia pasti sangat bahagia sekarang karena mimpinya tercapai. Atau mungkin aku akan melakukannya jika Connor menyakiti Bulan. Setelah kejadian itu. Tak terasa sebulan telah lewat. Aku kembali disibukkan oleh kantorku yang berpusat di Jakarta. Cabang di Amsterdam ku serahkan pada Ayah dan suami Kakakku. Niatnya aku akan membuat perusahaan baru di Singapura. Bulan dan Connor sudah kembali ke Amerika. Sebelum mereka pergi, Bulan mengajakku makan siang bersama. Disitu Connor meminta maaf padaku walau setelahnya dia tetap sinis padaku. Aku cukup senang dengan kedua anak Bulan. Mereka anak yang manis. Si Kakak tampan, Bian, memiliki garis wajah yang sama persis seperti Connor sementara si Adik cantik, Caramel, memiliki garis yang sama seperti Bulan. Tidak persis sekali karena kebanyakan mereka lebih mirip dengan Connor. Kata Bulan anaknya kebanyakkan gen dari Ayahnya, Connor. Aku melirik ponselku yang bergetat diatas meja. Pasti pesan dari Bulan lagi. Ya, beberapa minggu terakhir ini Bulan selalu berusaha mendekatiku dengan teman-temannya yang ada di Amerika bahkan dia menyuruhku untuk jadian sama Ziva mengingat dulu semasa SMA kami sangat dekat. Padahal aku mendekati Ziva hanya ingin melihat reaksi Bulan saja. Dan, ya, tentu aku menolaknya. Aku menghela nafas, mengambil ponselku. Aku tak membuka pesan yang menampilkan nama Bulan. Sudah ku dugakan? Aku malah memandangi wajah Bulan ketika SMA. Kepalanya ia sandarkan dipundakku sementara kepalaku aku taruh diatas kepalanya kami tersenyum pada kamera. Hatiku menghangat. Bulan semalam cerita kalau penyakitnya sudah sembuh. Ya, Bulan memang mempunyai penyakit. Dia terkena leukemia untungnya baru stadium satu dan tidak parah sekali jadi dengan bantuan terapi selama beberapa bulan pun penyakitnya bisa hilang. Tanganku bergetar, ponsel dalam genggamanku kembali bergetar kini menampilkan sederet nomor luar negri menelfonku. Oh, ini pasti Bulan. "Hall--" "Why you didn't reply my message back?!" "I'm so sorry, i really--" "I don't need your forgiveness!" "Oh oke, oke. Jadi aku harus gimana?" "Beliin kwetiau kirim ke Amerika! Aku mau makan ituuu!" "Apa?!" "Please, Bintang." "Gimana aku cara ngirimnya, Bulan?!" "I'll send my bodyguard with my private plane to go to Indonesia. My wife is pregnant right now and she is really crave it." suara Connor yang tegas menggantikan suara rengekkan Bulan. "Oh oke. Congrast for her pregnant! If her pregnant already sixth month i'll have to go to Amerika." Setelah itu aku memutuskan sambungan dan berjalan ke pintu keluar. Bulan sedang hamil? Aku jadi tak sabar ingin melihat bayinya. Kali ini dia akan mirip kesiapa? Bulan atau Connor? Aku menggeleng sambil tertawa. Sedikit demi sedikit hatiku mulai bisa menerima semuanya. Walau belum sepenuhnya tapi aku sadar aku harus melupakan semua yang sudah tertinggal jauh sejak dulu. Kini saatnya aku membangun sebuah masa depan entah dengan siapa orang itu. "Astaga! Maaf, Pak Bintang, saya tidak sengaja." Seorang wanita terjatuh dengan hamparan kertas dilantai marmer. Dia menunduk tak berani melihatku, dia terus bergumam meminta maaf karena sudah menabrakku. Aku berlutut mengambil hamparan kertas itu hingga rapih. Para karyawanku berhenti sekedar untuk menonton. Sebagian dari mereka aku mendengar ada yang mengatakan bahwa wanita yang bernaya dari Pelangi?" Buan tetaplah Bulan. Sekalipun dia sudah berubah menjadi wanita dewasa kepolosannya tetap melekat didirinya. Aku tertawa sambil menggeleng. "Aku gak bisa move onnya malahan dari kamu, Bulan. Selama sepuluh tahun aku nungguin kamu. Pas kamu balik ternyata kamu sudah berkeluarga." "Bintang... Maaf..." "Gak perlu, Bulan. Ini semua salahku. Aku tak apa. Aku sebenarnya hanya ingin bilang bahwa aku masih mencintaimu dari dulu hingga saat ini." Bulan menghembuskan nafas berat, di beranjak dari duduknya. "Maaf, Bintang. Aku sudah menemukan kebahagiaanku." "Aku tau," aku ikut berdiri disampingnya. Ku lihat Connor segera menegakkan tubuhnya memandangku was-was, mungkin karena dia tau aku mantan Bulan jadi dia takut aku merebut Bulan darinya. Meskipun dulu aku dijuluki perebut pacar orang sekarang sudah tidak lagi berkat Bulan. "Aku hanya ingin bilang saja. Setidaknya membuat hatiku sedikit lega tak ada salahnya. Oh ya, bisakan kita berteman?" "Berteman?" "Ya... Lupain semuanya. Lupain semua kenangan yang ada dulu. Anggap kita baru bertemu sekarang saja. Bagaimana?" "Hmmm... Baiklah!," Bulan mengulurkan tangannya, cengiran lebar tersungging diwajah cantiknya. "Aku, Bulan Artahenly Franta." Aku menggaruk tengkukku, tertawa lega dan menjabat tangannya mantap. "Bintang Fadillah. Senang bertemu denganmu Nyonya Franta. Jadi, mari kenalkan saya pada suamimu." Bulan tertawa, dia memanggil Connor mendekat. "Hello, dude! Do you want to getting a closer with him?" "No. I won't." "Oh! C'mon. He is my best friend. Why you won't to knowing him?" "Oh, s**t, my Moon! I know he is your fuckin' ex." "Connor..." "C'mon, my Moon! We must arrived home at seven o'clock. Bian and Caramel already waiting us for the dinner tonight." Bulan menghembuskan nafas panjang. Kulihat mulutnya bergerak ingin mengatakan sesuatu tetapi terlambat olehku. "Hey, Connor. Don't be jealous with me." Connor menaikkan sebelah alisnya. "Who's the man jealous with you?" "I know you are jealous because i talked to your wife is very long and you're just be afraid if i take it back. Take it easy, Man! Because i'm not gonna do it." "Oh. I hope you can hold on what you say." "Calm, Boss. I am a gentleman. I can holding on what the i'm saying and i promise to never flirting with your Moon ." "Oke. So, it's already enough to talk to with my Moon. Could you goes away from here?" "Ugh! Connor!" "Gak apa-apa, Bulan." Aku memberikan senyum simpul kearah Bulan. Aku tau sudah seharusnya aku harus pergi. "Thankyou, Mr.Franta for the time you given me to talked with your wife. Now i have to go to my back home. But, i have a something for you," aku mendekatkan wajahku ketelinganya. Tingginya sekitar seratus tujuhpuluh sembilan, aku membisikkannya sesuatu. "I hope you never hurting her, makes her cry nor sad, never to leave her alone. Because if you doing it right, i'm promises to take her back into my arms. So... Take care of her, loves her and just remember! Don't leave her alone or i'll kill you and i'll take her from your arms." Connor mendengus kesal. Dia menatapku sengit kemudian menggendong Bulan pergi menjauhiku. Aku tersenyum memandangi mereka berdua yang mulai hilang dari pandanganku. Aku hanya mengancamnya tadi. Tidak mungkin aku merebut Bulan. Dia pasti sangat bahagia sekarang karena mimpinya tercapai. Atau mungkin aku akan melakukannya jika Connor menyakiti Bulan. Setelah kejadian itu. Tak terasa sebulan telah lewat. Aku kembali disibukkan oleh kantorku yang berpusat di Jakarta. Cabang di Amsterdam ku serahkan pada Ayah dan suami Kakakku. Niatnya aku akan membuat perusahaan baru di Singapura. Bulan dan Connor sudah kembali ke Amerika. Sebelum mereka pergi, Bulan mengajakku makan siang bersama. Disitu Connor meminta maaf padaku walau setelahnya dia tetap sinis padaku. Aku cukup senang dengan kedua anak Bulan. Mereka anak yang manis. Si Kakak tampan, Bian, memiliki garis wajah yang sama persis seperti Connor sementara si Adik cantik, Caramel, memiliki garis yang sama seperti Bulan. Tidak persis sekali karena kebanyakan mereka lebih mirip dengan Connor. Kata Bulan anaknya kebanyakkan gen dari Ayahnya, Connor. Aku melirik ponselku yang bergetat diatas meja. Pasti pesan dari Bulan lagi. Ya, beberapa minggu terakhir ini Bulan selalu berusaha mendekatiku dengan teman-temannya yang ada di Amerika bahkan dia menyuruhku untuk jadian sama Ziva mengingat dulu semasa SMA kami sangat dekat. Padahal aku mendekati Ziva hanya ingin melihat reaksi Bulan saja. Dan, ya, tentu aku menolaknya. Aku menghela nafas, mengambil ponselku. Aku tak membuka pesan yang menampilkan nama Bulan. Sudah ku dugakan? Aku malah memandangi wajah Bulan ketika SMA. Kepalanya ia sandarkan dipundakku sementara kepalaku aku taruh diatas kepalanya kami tersenyum pada kamera. Hatiku menghangat. Bulan semalam cerita kalau penyakitnya sudah sembuh. Ya, Bulan memang mempunyai penyakit. Dia terkena leukemia untungnya baru stadium satu dan tidak parah sekali jadi dengan bantuan terapi selama beberapa bulan pun penyakitnya bisa hilang. Tanganku bergetar, ponsel dalam genggamanku kembali bergetar kini menampilkan sederet nomor luar negri menelfonku. Oh, ini pasti Bulan. "Hall--" "Why you didn't reply my message back?!" "I'm so sorry, i really--" "I don't need your forgiveness!" "Oh oke, oke. Jadi aku harus gimana?" "Beliin kwetiau kirim ke Amerika! Aku mau makan ituuu!" "Apa?!" "Please, Bintang." "Gimana aku cara ngirimnya, Bulan?!" "I'll send my bodyguard with my private plane to go to Indonesia. My wife is pregnant right now and she is really crave it." suara Connor yang tegas menggantikan suara rengekkan Bulan. "Oh oke. Congrast for her pregnant! If her pregnant already sixth month i'll have to go to Amerika." Setelah itu aku memutuskan sambungan dan berjalan ke pintu keluar. Bulan sedang hamil? Aku jadi tak sabar ingin melihat bayinya. Kali ini dia akan mirip kesiapa? Bulan atau Connor? Aku menggeleng sambil tertawa. Sedikit demi sedikit hatiku mulai bisa menerima semuanya. Walau belum sepenuhnya tapi aku sadar aku harus melupakan semua yang sudah tertinggal jauh sejak dulu. Kini saatnya aku membangun sebuah masa depan entah dengan siapa orang itu. "Astaga! Maaf, Pak Bintang, saya tidak sengaja." Seorang wanita terjatuh dengan hamparan kertas dilantai marmer. Dia menunduk tak berani melihatku, dia terus bergumam meminta maaf karena sudah menabrakku. Aku berlutut mengambil hamparan kertas itu hingga rapih. Para karyawanku berhenti sekedar untuk menonton. Sebagian dari mereka aku mendengar ada yang mengatakan bahwa wanita yang bernama Evelyn ini sudah cari mati padaku, mereka yakin aku akan memecatnya. Ya... Di kantor aku terkenal tegas, dingin dan tak segan-segan akan memecat siapapun itu yang berani mencari masalah denganku. Kecuali Bulan kalau dia bekerja disini sudah pasti tidak akan pernah ku pecat sekalipun dia membat beribu-ribu masalah. Ah sayangnya wanita cantik itu bekerja diperusahaan Connor sebagai sekretaris sangat amat pribadinya Connor. Kadang aku suka bingung padanya. Dia jurusan ipa di Indonesia, tapi kuliah dan keinginannya saat bekerja adalah masuk kedalam lingkungan bisnis. "Maaf, Pak... Apa saya akan dipecat?" wanita itu memecahkan lamunanku. Dia melirikku takut-takut. Aku menaikkan sebelah alisku. "Hey, tataplah muka saya saat sedang berbicara." Kontan wanita itu langsung mendongakkan kepalanya. Dia menatapku takut, gelisah dan khawatir. Aku mengenali wanita itu. Dia Evelyn, teman sedivisinya Widi--teman Bulan yang melamar kerja disini. Tentu aku menerima Widi karena dia adalah teman SMAku dulu. Selain itu dia juga rajin pekerjaannya bagus semua. "Aku tidak akan memecatmu." Selintas ide muncul dibenakku. Aku meneliti Evelyn dari atas sampai bawah. Untuk berpakaian bisa dibilang dia oke, wajahnya cantik, secara fisik semuanya dia enak dipandang. Mungkin dia bisa ku gunakan untuk jadi tamengku melupakan Bulan. Evelyn menahan nafas. Matanya membulat sempurna. "Ayo, ikut aku!" aku menyeretnya ke basement. Setiap langkah wanita itu tidak memberontak. Dia malah mengikutiku sambil menunduk. Aku menjalankan mobil keluar dari gedung bertingkat tigapuluh. Mulai mencari-cari kwetiau keinginan Bulan. "Hei." aku melirik Evelyn. Wanita itu diam saja. "Ya... Pak?" "Kau tidak ingin dipecatkan?" "Ti-tidak, Pak." "Kalau begitu besok kau tanda tangani kontrak kerjasama kita." "Kontrak kerjasama?" "Ya, kau harus menjadi pacarku hanya selama beberapa bulan saja." setidaknya aku juga harus memusnahkan segala berjodohan yang dibuat oleh Bulan! "Tapi, Pak..." "Kau ingin dipecat dan di blacklist dari seluruh perusahaan di Indonesia?" "Tidak, Pak..." "Kalau gitu ikuti saja permintaanku!" "Baik, Pak..." Dan dari sinilah ceritaku berusaha untuk melupakan cinta selama sepuluh tahun ini kupendam harus ku hilangkan. Semoga dengan memanfaatkan Evelyn aku bisa melupakan Bulan... Ya... Semoga. Semoga happy ending dalam kisah hidupku berpihak pada diriku yang malang ini.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN