Bab 9

3113 Kata
Tanpa terasa sekarang aku sudah menjadi kakak kelas. Dua bulan yang lalu aku mengospek adik kelas yang ingin menjadi anak SMA disekolahku. Ada beberapa adik kelas yang ku kenal, karena mereka adalah temanku sewaktu SMP. Ya, bisa dibilang aku terkenal dikalangan adik kelasku. Tidak heran aku memiliki banyak kenalan disana. Kelasku tak berubah, tetap di kelas sebelas ipa dua. Hanya wali kelas dan para guru mata pelajaran yang diganti. Bahkan siswa siswinya pun tetap seperti teman-temanku yang di kelas sepuluh. Aku tak tau kenapa, sistem sekolahku ini memanglah aneh. Tak banyak yang berubah dariku. Tapi setidaknya sedikit demi sedikit aku bisa menghilangkan title populer dalam diriku. Sekarang, aku sudah menjadi gadis biasa dengan wajah datar tanpa ekspresi. Begitu kata Dela, Widi dan Dini menjulukiku. Mereka bilang sifatku berubah banyak padahal menurutku aku hanya berubah dikit. Mereka bilang aku menjadi sosok yang sangat dingin ketika bersama seorang cowok, wajahku benar-benar sudah tak terkontrol oleh emosi, aku jarang tertawa atau tersenyum bahkan mereka sudah tidak bisa membandingkan mana aku yang sedang bersedih dan mana yang sedang senang, dan yang bikin mereka yakin aku telah berubah adalah aku yang selalu ceria tetapi hanya didepan anak kelas jika diluar kelas maka aku diam, memandang semua orang dengan tajam. Kata Arista, teman satu kelasku yang juga satu organisasi denganku dia berkata padaku bahwa aku seram. Dengan wajah yang jutek, sinis dan juga dingin ditambah tatapan mataku yang benar-benar menunjukkan aku ini tidak bersahabat membuat adik kelas kalang kabut ketika waktu masa hukuman ospek mereka disuruh minta tanda tanganku. Aku tidak tau apa yang merasuki diriku saat ini sampai-sampai dipandangan orang lain aku sudah berubah menjadi monster. Aku seperti punya alter ego, ah, aku keinget oleh kata Yasmin yang mengcomment salah satu ceritaku diwatty. Ketika aku diluar kelas aku akan memasang diriku yang tak bersahabat tetapi jika didalam kelas maka aku benar-benar seperti diriku yang selalu membantu teman, perduli dan selalu ceria tanpa celah. Kadang aku suka berbicara dengan hatiku sendiri. Apa yang ku perbuat ini salah atau tidak? Bukan tidak ada alasan khusus mengapa aku mengubah sifatku. Aku begini karena aku muak selalu disalahkan dan di jatuhkan oleh orang yang tak kenal padaku oh bahkan yang sudah mengenalku pun diam-diam menjatuhkanku. Bagaimana aku tau? Sewaktu kelas sepuluh semester satu. Aku diberitahu oleh Tyas. Dia melihat chat line Vidia yang sedang membalas chat group beranggotakan Ziva, Regita, Salma, Vira, Olivia, Arista, Amel dan Nanda yang sedang membicarakanku. Tyas lihat Ziva mengirimkan beberapa foto screenshoot akun ask.fmku yang menanyakan kedekatanku dengan Bintang. Lalu Tyas membaca setiap chatnya. Ziva: Lo liatkan? Anjing kali. t*i. Palingan juga ngeask sendiri! Regita: Lah lucu! Emang dia seterkenal itu apa sampe ada yang nanyain tentang Bintang ke dia? Sok famous banget. Vira: Najis! Kebelet famous banget sih, Bulan. Nanda: Semalem juga dia nongol lagi kan? Ziva: Iya! Haha gue jamin tuh anak ngeask sendiri. Liat aja gak lama lagi pasti ada dia di home ask.fm. Aku sakit hati. Sungguh. Waktu itu memang banyak yang menanyakan tentang Bintang padaku. Tapi itu bukan aku, melainkan Iffah dan Fiyyah. Mereka sengaja di anon supaya Bintang tidak tau. Bagaimana aku tau? Mereka yang bilang padaku dan meminta maaf setelah tau aku di judge. Masih ku ingat. Aku menangis semalaman dan esok paginya aku berhenti menjadi bendahara. Awalnya mereka kaget dan memohon padaku untuk tidak berhenti tetapi aku menolak aku bilang kalau kalian masih butuh bantuan orang lain jangan pernah bersikap busuk dibelakang orang itu. Hargai dia seperti dia menghargai kalian. Salma yang panik segera menghampiri Ziva dan memohon pada gadis itu supaya meminta maaf padaku, mungkin Ziva sudah cerita pada semuanya bahwa semalam aku mengchatnya menanyakan perihal tentang ketidaksukaannya padaku apalagi aku melihat dia mengask Regita; Benerkan apa kata gue? Yaelah orang kayak gitu mah paling juga ngeask sendiri biar dibilang famous. Najis banget kan. Sudah ku bilang aku sakit hati kan? Padahal aku sudah mulai menjauhi Bintang karena aku tau Ziva menyukainya. Bukan Ziva saja tapi ada Nanda juga yang menyukai dia. Aku mundur karena aku sadar, dari segi otak dan kekayaan aku tak pantas bersanding dengan Bintang. Aku sudah merelakan cowok itu bahkan sampai membuat cowok itu membenciku. Namun apalah daya aku selalu jadi pihak yang dilimpahkan kesalahan. Ziva melihatku dia bilang pada Salma biarkan saja aku nanti juga ada yang akan gantiin posisiku jadi bendahara. Aku tak peduli siapa itu intinya aku muak dibohongi oleh temanku sendiri. Untuk kesekian kalinya aku dikhianati. Seminggu lewat. Perlahan-lahan kelas mulai kembali seperti biasa walau aku masih menatap marah pada semua anak perempuan dikelas tetapi aku bisa bersikap biasa pada mereka. Mereka sudah menjelaskan semuanya padaku dan meminta maaf tapi aku hanya diam dan pergi. Bukannya aku seorang pendendam hanya saja prinsip hidupku adalah jangan memaafkan orang. Karena aku pernah memaafkan orang namun dia kembali mengkhianatiku. Selama itu pula aku melihat Bintang yang berubah tidak seperti biasanya. Matanya selalu bengkak dan ada lingkaran hitam, rambutnya pun selalu acak-acakan, pakaiannya tidak terkendali apalagi ucapannya. Segala omongan kasar ia keluarkan tak tanggung-tanggung. Widi dan Dini berbicara pada Bintang sabtu lalu. Mewakiliku mereka bertanya pada Bintang apa yang terjadi padaku dan dirinya. Sungguh nelangsa untukku mendengar semua penuturan Bintang lewat rekaman suara yang sengaja Widi kasih untukku. "Gue gak tau apa yang terjadi sama Bulan... Tiba-tiba aja dia minta buat kita gak lagi saling kenal. Gue kira dia bercanda tapi dia serius ngelakuin itu. Dia pergi tanpa kasih gue kejelasan apapun. Gue kecewa. Apalagi tadi lo liat sendirikan? Waktu gue mau deketin dia belom juga ada semeter dia langsung menghindar. Setiap gue tatap dia langsung buang muka. Gue gak tau apa yang terjadi." Suara Bintang terdengar lirih. "Lo tau gak? Bulan kayak gini gara-gara dia dijudge sama anak kelas dan itu semua sebabnya adalah lo. Ziva dan Nanda suka sama lo, Bintang. Dia ngerelain lo buat bahagia sama Ziva ataupun Nanda. Bulan bilang dia gapapa gak bahagia asalkan lo bahagia, lo ketawa itu udah cukup buat dia senang." Itu suara Widi. Aku tersenyum getir. Memang aku menjauhinya. "Astaga, sumpah gue gak tau kalau dia dijudge... Jadi, waktu dia bilang mau cerita sama gue itu dia lagi dijudge? Gue kira dia mau cerita apaan gak taunya... Huft. Gue bingung sekarang mesti apa. Semuanya udah terjadi. Bulan udah benar-benar pergi dari hidup gue. Yaudahlah kalau emang itu maunya gue bisa apa?" "Lo tau gak sih sebenernya perasaan Bulan ke lo?" "Tau kok. Gue tau banget. By the way lo serius Ziva dan Nanda suka sama gue? Kok gue gak tau ya?" "Loh? Lo tau Bulan suka sama lo tapi lo gak tau Ziva dan Nanda suka sama lo?" "Ya... Entahlah. Mungkin karena selama ini gue hanya menaruh perhatian sama Bulan jadi gue gak tau kalo mereka suka juga sama gue." Hatiku terenyuh. Saat ia kecewa sempat-sempatnya dia berkata manis seperti itu. Widi bilang, mata Bintang ketika mengatakan itu memerah dan wajahnya yang terlihat sedih. Aku memutuskan untuk memessagenya. Bulan: Besok bisa ngomong berdua? Bintang: Ngomong apa? Bulan: Penting. Bintang: Oke. Abis pulang sekolah. Maka sepanjang hari itu aku merasa menunggu benar-benar lama. Aku harus menunggu sepuluh jam untuk berbicara pada Bintang. Widi, Dela dan Dini sudah ribut sejak jam pelajaran pertama agar aku cepat-cepat berbicara pada Bintang karena Dini bilang padaku dia membaca masa lalu Bintang--Dini memiliki keahlian khusus yang tak banyak orang memilikinya. Cowok itu bisa dibilang trauma oleh cewek tetapi dia memaksa untuk menghilangkannya, dulu Bintang pernah ditinggalkan pacarnya hanya karena sikapnya yang cuek dan dia yang suka travelling keliling dunia bersama keluarganya. Bintang juga jarang megang hp dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama ps atau keluarga atau sahabatnya. Ya, cewek itu adalah Pelangi. Cewek yang sudah membuat nama Bintang jelek di sekolah. Bisa dibilang Bintang perusak hubungan Pelangi dengan Alex dulu, dia mendekati Pelangi yang jelas-jelas sudah punya Alex. Setelah Pelangi dan Alex putus Bintang menyatakan cintanya dan diterima oleh Pelangi. Denny bilang padaku, kalau dulu Bintang sempat jadi sasaran setiap kejahatan yang ada disekolah karena dia pelaku kandasnya hubungan Pelangi dan Alex. Aku sempat menggeram marah ketika tau Pelangi hanya diam saja tanpa adanya pembelaan, dia malah memutuskan Bintang dan kembali ke Alex. Meskipun itu salahnya Bintang tetapi bisakah cewek itu tidak asal meninggalkan? Aku memang tidak tau pasti apa yang terjadi namun aku sudah bertemu langsung dengan Pelangi. Memang terlihat dia orangnya terlalu meninggikan harga dirinya dan yeah bermuka banyak. Jam pelajaran terakhir pun selesai. Aku melihat Bintang yang sedang merapihkan tasnya, aku ingin mendekat namun ragu-ragu. Alhasil aku memilih untuk duduk didepan pintu dulu memandangi rintikkan air hujan yang waktu itu membasahi bumi. Ternyata cuaca sedang berpihak padaku. Aku menutup mataku perlahan. Ada perasaan gugup mengingat ini pertama kalinya aku berbicara dan mungkin akan jujur pada perasaanku sendiri, lalu ada juga perasaan sakit karena seharian ini Nanda memanfaatkan kesempatan sebagus mungkin. Dia mendekati Bintang terus-terusan seperti sepasang sepatu yang terus bersama. Itu sungguh menyakitkan mataku. Oh, hatiku juga ya? "Katanya mau ngomong kok malah bengong disini." Aku nyaris terjungkal kalau saja tidak ada tubuh seseorang yang menahanku dari belakang. Aku memutar kepala dan menahan nafas. Wajahku dan Bintang hanya berjarak tiga centimeter saja! Hidung kami sudah saling bersentuhan. Mataku tak bisa berpindah dari mata Bintang yang tajam... Aku melihat dibola mata hitamnya ada rasa kecewa, menyesal, sedih, senang, gugup, takut dan yang paling menonjol adalah tatapannya yang mengisyaratkan jangan pergi ku mohon. Segera ku putar kembali kepalaku, bergerak sedikit menjauh. Terdengar suara Bintang yang menghela nafas. Dia duduk disampingku tatapannya mengarah lurus memandangan air hujan yang kian menderas. Aku ingat apa saja percakapan yang kami bicarakan. "Jadi, mau ngomong apa?" "Hmm... Gue mau minta maaf." "Maaf buat apa ya?" "Maaf karena udah diemin lo, jauhin lo, minta lo buat saling gak kenal lagi. Gue minta maaf, Bintang. Beneran." "Minta maaf buat apa ya?" "Ih Bintang! Gue serius." "Gue juga serius." "Hmm... Lo marah ya? Kecewa sama gue?" "Lan, sekarang gini aja. Lo deket sama dia, lo nyaman sama tuh orang, nah tiba-tiba aja orang itu minta lo buat gak lagi saling kenal. Orang itu pergi ninggalin lo tanpa penjelasan apa lo bakalan diem aja? Lo gak sakit gitu?" Aku melihat tatapannya yang menahan emosi, matanya memerah kemudian tak berapa lama setitik air mata jatuh bersamaan dengan kepalanya yang menunduk namun segera ia tepis. Astaga apa aku menyakitinya? Ku lirik Ziva dipojok kelas, dia dan teman-temannya menatapku sangsi. Kemudian aku melirik Bintang yang ternyata sedang menatap Ziva tajam membuat cewek itu segera memalingkan wajahnya memerah antara malu dan juga kesal. "Lo... Sakit hati?" "Jelas lah, Bulan! Hati gue sakit! Bangetttt bener-bener sakit banget!" Aku tertawa. Nanda lewat dihadapan kami. Dia duduk dibelakang kami. "Gue tau kok kenapa lo jauhin gue dan minta gak saling kenal lagi." "Oh ya? Bagus deh kalo udah tau. Berarti sekarang waktunya lo deketin dia! Ayo dong respect ke dia keburu diambil cowok lain nanti nyesel loh. Mau gue bantuin gak?" Bintang menggeleng marah padaku. "Apasih, Lan? Gue gak perduli. Seharusnya kalo lo emang suka lo pertahanin! Lo tunjukin kalo lo kuat. Jangan dengerin apa kata mereka, toh, mereka gak akan peduli ini sama lo. Kalo emang dia belum punya pacar lo ngegas aja deketinnya. Kalo dia suka dan lo suka juga saingan jangan lo yang mundur. Lagipula gue gak suka dia! Dan gue gak mau sama dia! Gak peduli juga bodo amat." "Eh gak boleh gitu! Kasian! Lo sama dia aja cocok loh. Gue jamin lo bak--" "Bintang bener, Lan. Kalo lo suka lo jangan mundur apalagi nyerah. Lo harus kejar dia sebelum jalur kuning melengkung!" Nanda menginterupsi omonganku. Cewek itu memberikan tepukan pada bahuku lalu dia tersenyum dan pergi. "Jadi... Gimana?" "Hmm... Lo marah ya sama gue? Gue minta maaf Bintang." "Hei. Minta maaf gak segampang itu." "Terus gue harus gimana?" Bintang hanya tersenyum. Terus tersenyum ketika aku memohon padanya supaya memaafkanku. Aku panik. Aku bingung akhirnya aku pun menangis. "Oke gue maafin. So, lo maunya kita gimana sekarang?" "Gimana apanya?" "Mau kayak dulu lagi atau tetep kayak sekarang yang saling gak kenal?" "Hm... Dulu?" "Yakin? Nyesel gak?" "Bintanggggg." "Hahahaha." Dibawah guyuran air hujan aku dan Bintang tertawa bersama. Memandangi air hujan yang deras, merasakan cuacanya yang sangat dingin Bintang merapatkan tubuhnya ketubuhku, supaya hangat katanya. "Hmm... Bintang?" "Ya?" "Boleh nanya satu hal?" "Iya." "Lo tau kalo gue... Hmm.. Suka sama lo?" "Tau." "Darimana?" "Gue bisa baca dari gerak tubuh lo." "Emang segitu ketahuannya ya? Terus kenapa lo gak tau kalo Ziva dan Nanda suka sama lo?" "Iya. Hmm... Oh. Gue gak merhatiin mereka jadi gak tau." Perlahan tapi pasti pipiku memerah panas padahal cuacanya dingin sekali. Bintang terkekeh kecil, tangannya yang hangat ia taruh diatas tanganku yang kecil. Jari-jarinya mulai aktif menggerakkan sela-sela jariku agar mau kebuka membiarkan jarinya menggenggam erat jari-jariku. Aku tersenyum mulai membuka telapak tanganku dan membiarkan cowok itu menggenggamnya. Bintang dan aku menoleh kami saling bertatapan dan tersenyum. Semenjak itu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tak akan menyerah pada apapun! Bintang cowok yang ku suka sendirilah yang memintaku untuk tidak mundur. Maka selama beberapa bulan aku berusaha keras mengusir Nanda dan Ziva agar tidak mendekat pada Bintang. Aku nyaris menangis waktu itu saat Nanda tanpa henti-hentinya menempel pada Bintang bahkan cewek itu mendorong tubuhku menjauh padahal aku sedang berbicara pada Bintang. Banyak yang menanyakan hubunganku dengan Bintang. Apakah aku berpacaran atau tidak? Aku hanya jawab kita teman tetapi Bintang entahlah cowok itu hanya tersenyum sambil menatapku... Penuh perasaan. Tak ada yang percaya padaku kalau kami hanya berteman mereka bilang aku dan dia pasti lebih dari kata teman pasalnya Bintang selalu merangkulku, memperhatikanku, menjagaku, menggenggam tanganku ketika di tempat latihan futsal pada hari dimana kelasku bertanding melawan tim futsal dari sekolah Sayandika. Orang-orang bilang aku dan dia friendzone. Aku tak peduli meskipun memang benar itu yang terjadi. Bintang bilang kepadaku dan anak kelas dia tak ingin buru-buru menjalin hubungan takut kalau hubungannya hanya sebatas jagung, ah, cowok itu selalu memberiku kode kalau dia juga menyukaiku sayangnya aku tak mau kegeeran makanya aku selalu tutup kuping kalau dia mulai berbicara yang diselipkan dengan makna lain. Lagi-lagi aku tersenyum mengingat banyaknya kenangan diriku pada Bintang. Sekarang semua terasa terbalik. Kalau dulu Bintang menjauhi Ziva dan teman-temannya karena dia marah pada Ziva. Gara-gara cewek itu aku menjauhi Bintang. Maka saat ini Bintanglah yang menjauhiku. Sedih? Memang. Mungkin Tuhan ingin aku merasakan perasaan Ziva dulu. Dering ponsel disaku celana mengagetkan ku. Aku mengambilnya. Melihat nama dilayar ponselku. Mamah? Tumben sekali. "Hallo mah?" "Hallo, kak. Hari ini mamah pulang ke Indonesia kakak bisa kan kerumahnya om Revon sehabis pulang sekolah?" "Kan jauh mah, yakali aku naik motor kesana." "Nanti supirnya om Revon yang jemput kamu dirumah. Bisa gak kak?" "Hmm bisa sih kayaknya. Emang mau ngapain sih?" "Mamah mau minta izin sama kamu..." Aku tersenyum dibalik ponsel. Aku mengerti kemana arah pembicaraan ini. "Mamah mau nikah?" "Hmm... Iya." "Yaudah aku ke rumah om Revon. Mamah hati-hati ya! Titip salam buat om Revon. Udah ya mah ada guru nih. Sayang mamah selalu! Bye!" Aku segera mematikan ponselku. Aku tertawa kecil membalikkan tubuhku menghadap kedua sahabatku, Dela dan Dini. Sementara Widi ada disebelahku. "Nyokap mau nikah lagi?" Dini bertanya sambil memakan bekalnya. "Yup!" "Sama om Revon?" Aku mengangguk. Mengunyah dikit roti selai cokelat yang ku beli di koperasi Memang masih jam istirahat kedua aku sengaja berbohong pada mamah karena tadi aku dengar om Revon yang mencari mamah namun mamah tidak menjawabnya. Papah dan mamah sudah bercerai sejak dua bulan lalu. Setelah bercerai papah memutuskan untuk pindah ke Bandung, beliau bernegosiasi pada atasannya supaya beliau bisa dipindah tugaskan beruntung atasan papah adalah teman papah jadi beliau bisa langsung dipindahkan. Atasan papah memindahkan papah ke Bandung, mengurus perusahaan pusat milik atasan papah itu. Bisa dibilang papah adalah tangan kanan atasannya. Papah juga mengambil hak asuh Yasmin. Tadinya beliau juga mengambilku namun aku menolak ingin bersama mamah saja. Mana mungkin aku meninggalkan wanita yang sudah berjuang mempertahankanku? Walau awalnya beliau tak menerimaku. Tetapi sekarang beliau adalah satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Sementara papah ke Bandung, mamah kembali pada mantannya. Om Revon seorang pengusaha sukses pemilik dari Lawston's House yang berpusat di London. Ya... Sebulan yang lalu mamah dan Key ikut om Revon tinggal di London. Meninggalkanku sendirian di sini. Aku tinggal di apartment milik om Revon, dibawah apartment itu adalah sebuah mall besar dikotaku. Rumahku yang dulu telah dijual oleh papah. Bukannya mereka tak ingin aku ikut tetapi kata om Revon nanti saja kalau mereka sudah sah menjadi suami istri. Dan aku juga bilang aku ingin menyelesaikan sekolahku dulu di Indonesia baru nanti kuliah aku akan ikut bersama mereka. "BULAN!" Suara teriakkan dari arah pintu kelas membuat anak-anak kelasku menjadi diam. Mendadak kelasku hening. Semua tatapan mata mengarah pada seorang anak cowok yang berdiri dengan tubuh bergetar, air mata yang menggenang pada pelupuk matanya. Aku beranjak dari kursiku. Tiba-tiba perutku mual. Kepalaku pusing. Dadaku sesak. Perasaanku tak enak. Aku tau ini pasti ada sesuatu yang tak enak sedang terjadi. Dan pastinya itu bersangkutan pada Aulia. Sahabatku, batinku dengan batinnya sudah terikat. Jadi kami bisa merasakan kesakitan satu sama lain. "Abang? Kenapa?" kataku menghampiri cowok berkacamata itu buru-buru. Dia Rudy. Sahabatku dari SMP. Aku memanggilnya abang, ya aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Meskipun anak satu sekolah bilang aku dengannya serasi bahkan tak jarang banyak yang mengira aku ini berpacaran dengan Rudy, aku tetap tak ada rasa selain rasa sayangku padanya karena dia sahabatku dan juga kakakku. "Lan..." suaranya lirih. Dia langsung menubruk tubuhku. Memelukku sangat erat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. "Ada apa, bang?" Rudy diam dalam pelukkanku. Persetan dengan Bintang yang terkejut akan Rudy yang memelukku! Persetan dengan semua anak kelas yang mulai memanas-manasi Bintang! Persetan dengan semua anak sekolah yang mulai mengintip di jendela menontonku dan juga Rudy! Persetan dengan CCTV disudut pojok kelas! Persetan dengan semuanya! "Abang! Bilang dong ada apa!" "Bulan gue tau lo pasti udah tau sebelum gue kasih tau." Rudy menangis dalam pelukkanku. Astaga... Apa memang benar kalau... Splash... Cairan kental hangat itu mengalir dari kedua hidungku tanpa peringatan apapun mereka keluar dengan derasnya. Jadi... Benar? "Abang... Ada apa sama Aulia?" Aku harap tidak ada apa-apa. Dia hanya kambuh karena penyakit sialannya itu, atau dia lagi-lagi masuk kerumah sakit karena kesehatannya yang menurun. Ya ku harap tak ada yang lebih mengkhawatirkan dari itu semua. Aku menutup hidungku memakai tangan kiriku. Darah sudah mengenai seragam putih Rudy. "Aul... Dia..," sial. Jantungku berpacu cepat. Tuhan semoga tidak ada apa-apa ku mohon. "Meninggal." Aku membeku. Ini tak mungkin terjadi! Aku melepas pelukan Rudy secara paksa. Aku mundur beberapa langkah hingga ku rasakan tubuhku menabrak seseorang tapi aku tak peduli siapa dia. Mataku panas, nafasku terengah. Anak-anak menjerit karena melihat darah yang keluar tanpa henti dari kedua lubang hidungku. Kepalaku semakin berputar. Aku melihat Rudy berusaha merengkuh diriku kembali namun ada tangan yang sudah memelukku lebih dulu. Tubuhku meluruh seketika ke lantai. Aku menangis keras mencengkram kuat seragam seseorang yang memelukku. Ya Tuhan... Apalagi ini? Bukankah aku sudah pernah memohon untuk tidak ada lagi yang meninggalkanku. Enam tahun lalu kakekku yang dari kecil selalu menerimaku meninggal dunia, tiga tahun lalu kedua nenekku yang meninggal, dua tahun lalu pacarku memutuskanku dan jadian dengan teman dekatku sendiri yang padahal dia tau aku sangat mencintai cowok itu, tujuh bulan yang lalu kakek dari papahku juga meninggal, tidak lama dari itu aku ditinggalkan oleh Bintang, mamah dan papah cerai, aku yang difitnah abis-abisan oleh Pelangi, aku yang harus kuat melihat Bintang berdekatan bahkan menggoda cewek lain didepan mataku dan kini aku harus bisa merelakan Aulia pergi meninggalkanku?! Tuhan! Apa mau-Mu sebenarnya. Kenapa Kau memberikanku ujian hidup yang sangat berat. Aku... Aku sungguh tak kuat lagi harus menerima kenyataan bahwa orang yang kusayang sudah meninggalkanku. Aku mengerjap beberapa kali. Sayup-sayup ku dengar suara berisik yang terus memanggil namaku. Bibirku bergetar hebat. Dalam hitungan detik kemudian selimut hitam menutupi mataku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN