"Mereka yang berdiri setelah di hantam badai tidak akan terusik apalagi goyah oleh guyuran gerimis."
-----
Sisilia, Italia
.
"Cepat katakan, di mana kau menyimpan salinan data penting terkait organisasi kami!"
Mikael, seorang pria berperawakan tinggi besar. Memiliki tatto hampir di sekujur tubuhnya kini sedang mencengkram dengan kasar leher milik pria yang tengah terduduk lemah di sebuah kursi.
Dengan kondisi kedua tangan terikat, ia terus saja menunduk. Mungkin sudah kehabisan tenaga karena berapa kali menerima pukulan di sekujur tubuhnya.
"Percuma saja aku memberi tahu," sahutnya. "Toh, setelah kalian ku beri tahu, tetap saja aku akan di bunuh. Lalu apa bedanya? Lebih baik aku mati sekalian."
Mikael mengatupkan rahangnya keras. Pria berbadan besar itu sudah siap mengambil aba-aba ingin kembali memukul. Tapi, tindakannya itu kali ini di cegah oleh pria lain yang sedang duduk santai sambil menyesap cerutu di tangannya.
"Hentikan Mikael," perintahnya.
Mikael menoleh. Mengernyit heran tapi tetap mematuhi apa yang diperintahkan.
"Kemari ... " Pria itu melambaikan tangannya. Meminta Mikael untuk mendekat. "Bukan seperti itu caranya seorang mafia meminta musuh mereka untuk berbicara. Kau ini bodoh sekali!" hardiknya.
Mikael menarik napas pelan. Takut-takut kalau bosnya itu marah atas tindakannya yang sedari tadi tidak sedikit pun membuahkan hasil.
"Tapi, Tuan Valentino, dari cara halus sampai kasar sudah ku lakukan. Tidak sedikitpun pria itu buka mulut, apalagi memberikan kita informasi di mana keberadaan orang yang sudah menyimpan rahasia penting organisasi kita."
Pria paruh baya itu berdiri dari duduknya. Berjalan pelan mendekati tawanan mereka yang terduduk lemah di kursi pesakitannya.
"Raul Altemose ... " ucapnya sembari mengusap halus kucuran darah yang membasahi pelipis pria di hadapannya. "Aku akan membebaskanmu kalau kau bersedia memberitahu siapa yang membawa salinan informasi organisasi kami."
Pria benama Raul itu tertawa mengejek.
"Don Valentino, aku tahu siapa kalian. Mana ada sejarahnya seorang mafia melepaskan tawanannya."
Valentino menyeringai seraya mengangguk.
"Kau benar. Sebagian besar mafia memang tidak membiarkan musuhnya keluar dari sarang mereka dalam keadaan hidup-hidup. Tapi, tidak denganku. Aku bisa membebaskanmu. Dan ku pastikan untuk menepati janjiku setelah kau memberi tahu di mana salinan itu berada." Pria itu berujar panjang lebar. Meraih dagu Raul, meminta untuk menatap wajahnya. "Atau ... kau mau keluargamu ikut merasakan penderitaan seperti yang kau rasakan sekarang?" Valentino meraih handphone dari saku celananya. Membuka galeri foto yang menunjukkan gambar kegiatan istri beserta anak-anak Raul yang sedang asyik bersantai.
Hal ini membuat Raul terdiam sejenak. Dari raut wajahnya tampak sekali menimbang tawaran yang Valentino berikan padanya. Pria itu jelas-jelas mengancam dengan cara halus. Ia pikir, dari pada keluarganya yang terkena masalah, lebih baik dirinya yang mati sekalian. Memang sudah menjadi risikonya sebagai anggota badan keamaan intelejen negara bila suatu saat tertangkap sekelompok mafia seperti ini.
"Aku bersumpah kalau bukan aku yang membawanya."
Valentino menyipitkan matanya.
"Lalu siapa? Partner kerjamu?"
Raul diam saja. Pria itu tidak membantah, tapi tidak pula mengiyakan.
"Kalau kau terus bungkam, aku tidak bisa menjamin ketika pulang nanti, keluargamu masih bernyawa atau mungkin malah hilang di telan bumi."
Raul menelan ludahnya. Valentino tidak main-main dengan ancamannya. Maka hal yang ia lakukan adalah kembali bersuara.
"Salinan data tersebut berada di tangan seseorang yang mungkin saja kau kenal. Bisa jadi sekarang ia tengah berada di Italia, Irlandia atau bahkn di Inggris," sahut Raul dengan tenang. "Silahkan cari sendiri. Yang pasti, aku yakin salinan itu tidak akan mudah kalian dapatkan."
Valentino menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Tidak masalah kalau kau tidak mau memberitahukannya secara detail. Kabar baiknya aku memiliki banyak relasi serta jaringan yang cukup luas di ketiga negara itu. Bukan Valentino namanya kalau tidak bisa menemukan dengan segera."
Raul menghela napas pelan.
"Aku sudah memberikanmu petunjuk. Jadi tolong tepati janjimu."
Valentino menyunggugingkan senyum.
"Aku bukan pembohong yang gemar ingkar janji," kata pria itu. Lalu pandangannya beralih pada Mikael dan anak buah lainnya. "Lepaskan pria ini. Tapi sebelum di lepas, kalian tahu sendiri, kan? Apa yang harus dilakukan?"
Mikael tertawa. Cepat pria itu mendekati posisi Raul. Memberi kode kepada dua teman lainnya untuk memegangi tubuh tawanan mereka. Detik kemudian Mikael menerima sodoran gelas berisi minuman dari rekan lainnya.
"Mau apa kalian?!" Raul berteriak. Merasa sesuatu yang tidak beres akan terjadi padanya.
"Ssstss ... " Di posisi duduknya Valentino mendesis pelan. Menaruh telunjuknya tepat di atas bibir lalu berkata-kata, "Diam dan nikmati saja. Setelah ini, kau akan ku bebaskan seperti janjiku."
Raul menggelengkan kepala. Sejurus kemudian Mikael kembali melancarkan aksinya. Meraih wajah Raul lalu memeganginya dengan kuat dibantu dua rekan lainnya. Memaksa pria itu untuk membuka mulut. Lalu mencekokinya dengan segelas air yang ternyata di campuri oleh cairan asam berbahaya.
"Arghhh!!!"
Raul berteriak seraya meronta-ronta. Merasa tenggorokannya seketika terbakar akibat meminum minuman yang sengaja Mikael tuang ke dalam mulutnya.
"Aku memang akan membebaskanmu, Raul," ucap Valentino dari kejauhan. "Tapi tetap saja aku harus menghilangkan risiko kau buka mulut kepada anggota intelejen lainnya."
"Tuan, apa membuatnya bisu sudah lebih dari cukup? Ku rasa, walaupun pria ini tidak bisa bicara, ia bisa saja membocorkan keberadaan kita bila di bebaskan."
Valentino kali ini bangkit dari duduknya. Mendekati Mikael, lalu menepuk pelan pundak anak buahnya itu.
"Tentu saja kau harus bertindak lebih. Setelah ini, buat pria itu tidak bisa melihat. Terserah pakai cara yang bagaimana. Yang pasti, setelah membuatnya cacat, bebaskan seperti janjiku padanya," perintah pria paruh baya itu. "Dan satu lagi ... " lanjutnya. "Setelah pekerjaanmu selesai, cepat hubungi jaringan kita yang ada di Inggris atau Irlandia, suruh mereka mengerahkan semua personil untuk mencari tahu di mana keberadaan orang yang menyimpan salinan informasi penting organisasi kita."
Mikael mengangguk paham dengan tugas yang diberikan. Tanpa banyak bicara lagi pria itu langsung menjalankan perintah. Sementara Valentino melenggang santai keluar dari ruangan.
****
Kiano baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memasuki kamar presidential suite miliknya, ia mendapati Anne yang tengah duduk santai menonton tv sembari menikmati camilan di tangannya.
Lama, Kiano memperhatikan. Berulang kali ia menarik napas begitu dalam. Pikirannya masih saja sama seperti sebelumnya. Benar-benar meragukan kalau wanita yang sedang asyik menonton itu tengah mengandung anak darinya.
Ya Tuhan.
Kenapa harus dengan cara seperti ini kau menegurku?
Aku memang nakal, tapi kenapa juga harus bertanggung jawab kepada wanita yang sama sskali tidak pernah aku tiduri.
Terlalu larut dalam lamunan, Kiano tidak menyadari Anne yang tadinya sedang menonton, kini sudah berdiri sempurna di hadapannya. Wanita itu bahkan sengaja menegurnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Kiano tersadar. Sedikit salah tingkah pria itu kemudian menyahut, sembari menggelengkan kepala penuh irama.
"Tidak ada!" Pria itu berkilah. "Lagi pula, ini kamarku. Aku bebas mau melakukan apa pun. Jadi, kau tidak perlu banyak tanya."
Anne menyipitkan matanya.
"Benarkah? Bukannnya diam-diam kau sedang memperhatikanku?"
Kiano mendengkus. Merasa kepergok tapi ia malas sekali kalau harus mengaku. Mau ditaruh di mana harga dirinya.
"Enak saja!" Ia berusaha untuk berkilah. "Kenapa juga aku harus memperhatikanmu?"
Anne mengedikkan kedua bahunya. Seringai menggoda terpancar jelas di wajah cantiknya.
"Ya, siapa tahu saja kau mengangumi kecantikanku."
Kali ini Kiano mendengkus. Ia pikir, yang paling percaya diri di dunia ini adalah Edward Cullen. Nyatanya, ada lagi manusia lain yang bahkan jauh lebih menyebalkan dari pria itu.
"Yang benar saja! Untuk apa aku mengagumimu? Asal tahu saja, kau itu bahkan bukan tipeku."
Anne mendekat. Dengan sengaja membawa tangannya mengusap lembut rahang Kiano yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Kalau aku bukan tipemu, bagaimana caranya kau bisa sampai menghamiliku, hah?"
Kiano langsung menepis tangan Anne. Mundur selangkah demi menghindari wanita di depannya.
"Tidak usah dekat-dekat," ucapnya mengingatkan. "Lagi pula, sampai detik ini aku bahkan tidak percaya kau hamil anakku."
Di pikiran Kiano memang mustahil Anne hamil anaknya. Sedang ia sendiri selama ini tidak pernah meniduri seorang wanita sekali pun. Jadi bagaimana ceritanya, kalau calon bayi yang ada di dalam perut wanita bertubuh ramping itu adalah darah dagingnya. Bisa saja semua foto dan video yang dijadikan barang bukti oleh Anne adalah rekayasa. Siapa tahu, kan?
"Sudah ku katakan, kau boleh membawa dokter untuk memeriksakan apakah bayi di dalam perutku ini darah dagingmu atau bukan."
"Jangan bodoh," sahut Kiano. "Satu-satunya cara untuk mencari tahu anak itu darah dagingku atau bukan adalah melakukan tes DNA. Itu artinya aku harus terus bersamamu sampai bayi itu lahir!"
Anne mengangguk.
"Kalau mau paparazzi, keluarga besar atau mungkin kolega bisnismu tahu kau menelantarkan wanita yang tengah mengandung anakmu, silahkan saja. Besok aku akan pergi dari hotel ini."
Kiano menggeram kesal. Ia memang tidak mungkin membiarkan itu semua terjadi. Bisa rusak reputasi yang sudah ia bangun selama ini.
"Baiklah, aku akan turuti permainanmu. Tapi karena kau sekarang tinggal di wilayah teritoriku, bersikaplah yang baik. Asal kau tahu, aku bisa melakukan apa saja kepadamu."
Pria itu berlalu pergi. Memutuskan untuk segera mandi lalu beristirahat. Begitu banyak pekerjaan hari ini yang menguras otak dan pikirannya.
Namun, baru saja membaringkan tubuh dan hendak menutup mata, Kiano di kejutkan dengan kedatangan Anne. Wanita itu tanpa canggung langsung merebahkan tubuh tepat di sebelah Kiano. Ikut menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya.
"Anne, demi Tuhan, apa yang kau lakukan di tempat tidurku? Bukannya kamarmu ada di sebelah?"
Anne mengangguk.
"Aku pikir, tidak baik seorang ibu hamil tidur sendirian di kamarnya. Kalau terjadi sesuatu, bisa berbahaya, kan?"
Kiano mendesah sebal. Di saat letih seperti ini, wanita di sebelahnya malah membuat ulah yang membangkitkan emosinya.
"Kembali ke kamarmu!" perintah Kiano.
Anne tidak perduli. Ia semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Aku mau tidur di sini. Anggap saja pemanasan sebelum kau benar-benar menikahiku."
"Ck!" Kiano langsung berdecak keras. "Memangnya siapa yang mau menikahimu? Jangan banyak bermimpi. Walaupun kau mengandung anakku, atau kau satu-satunya wanita di dunia ini, aku tidak akan mau memilih lalu menikahimu!"
Anne tertawa kecil. Tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Kiano yang jelas-jelas mencibirnya.
"Pegang omonganmu baik-baik." Anne sengaja mengingatkan. "Jangan sampai kau melanggar ucapanmu sendiri. Aku hanya khawatir nanti kau malah tergila-gila padaku."
"Tidak akan pernah!" balas Kiano penuh yakin.
Pria itu menyibak selimut yang ia pakai sebelumnya. Beringsut turun dari kasur. Berjalan dengan kesal menuju sofa. Memilih untuk tidur di sana dari pada seranjang dengan Anne.
.
(Bersambung)