Bab 7. MB

2195 Kata
Malik berpapasan dengan Thomas saat melangkah menuju paviliun. Ia lalu menyapa pria paruh baya yang sudah berjasa banyak padanya selama ini. “Pagi, Paman,” sapanya. “Pagi. Semalam kamu tidur dimana? Kenapa kamu gak ada di kamar kamu?” tanya Thomas sambil mengernyitkan dahinya. “Maafkan saya, Paman. Semalam Non Luna meminta saya untuk menjaganya. Jadi saya semalaman menjaga Non Luna di kamarnya. Saya tau itu salah dan tak seharusnya saya melakukan itu,” ucap Malik sambil menundukkan wajahnya. Malik tak berani menatap kedua mata Thomas. Pria yang sudah sangat berjasa padanya. Bahkan memberikannya pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi. Ia tak ingin sampai mengecewakan Thomas. Thomas menghela nafas panjang, “apa kamu sama sekali gak tau peraturan di rumah ini? kenapa kamu malah melanggarnya? Apa kamu sudah siap untuk menjadi pengangguran lagi dan kembali hidup di kampung? Apa kamu gak sayang dengan perjuangan kamu selama ini?” Malik menggelengkan kepalanya, “maafkan saya, Paman.” “Lik. Paman tau, kamu melakukan itu karena tekanan dari Non Luna. Tapi, kamu juga harus tau batasan kamu. Kamu itu seorang pria yang sudah menikah. Tak seharusnya kamu berada di dalam satu kamar dengan wanita lain, meskipun itu atas permintaan Non Luna sendiri.” Malik mendongakkan wajahnya untuk menatap kedua mata pria paruh baya itu, “Paman, apa Paman menceritakan kepada Tuan Johannes, kalau saya sebenarnya sudah menikah?” Thomas menggelengkan kepalanya, “Paman tak bisa mengatakan itu pada Tuan Johannes, karena Tuan Johannes tak akan mempekerjakan kamu sebagai bodyguard putrinya kalau sampai Tuan Johannes tau kamu sudah menikah.” “Paman... Paman tau ‘kan, kenapa saya sampai bisa menikah dengan Jenar? Saya terpaksa menikah siri dengan Jenar karena saat itu mama saya sedang dalam masa kritis. Saya pikir, setelah saya menikahi Jenar, mama akan baik-baik saja. Tapi, justru mama pergi meninggalkan saya untuk selama-lamanya,” ucap Malik sambil menundukkan wajahnya. Malik memang sudah menceritakan semuanya kepada Thomas, tentang hubungannya dengan Jenar yang sebenarnya. Dimana pernikahannya dengan Jenar hanyalah formalitas, agar mamanya bisa mempunyai semangat untuk hidup. Tapi, takdir ternyata berkata lain. Setelah Malik selesai mengucapkan ijab qobul, justru saat itu mamanya menghembuskan nafas terakhirnya. Ia juga tak bisa membatalkan pernikahannya dengan Jenar. Wanita yang selama ini hanya Malik anggap sebagai adiknya. Selama menjalani masa pernikahannya dengan Jenar, Malik sekalipun tak pernah menyentuh Jenar. Bahkan sikapnya kepada Jenar semakin terlihat dingin. Sama sekali tak ada perhatian dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya. Thomas menepuk bahu Malik, “Paman tau apa yang kamu rasakan. Paman juga tau, kenapa kamu mau menerima pekerjaan ini, karena kamu ingin menjauhi Jenar ‘kan?” Malik menganggukkan kepalanya, “saya gak bisa selamanya hidup seperti ini, Paman. Pernikahan ini semakin mengikat saya. Tapi, saya juga gak bisa meninggalkan Jenar begitu saja, karena dia sekarang adalah tanggung jawab saya. Apalagi saya sudah berjanji kepada almarhumah mama saya untuk selalu menjaga Jenar.” Thomas menghela nafas panjang, “lebih baik sekarang kamu mandi. Setelah itu sarapan. Kamu harus bersiap-siap untuk mengantar Non Luna ke kampus.” “Sepertinya hari ini Non Luna gak akan pergi ke kampus, Paman. Kakinya sangat susah buat berjalan.” Thomas mengernyitkan dahinya, “kenapa? apa Non Luna sakit? apa karena itu juga kamu semalaman menjaganya?” Malik menganggukkan kepalanya, “semalam kaki Non Luna tak sengaja menginjak pecahan kaca gelas yang pecah. Lukanya lumayan dalam. Non Luna gak bisa jalan, kalau gak dibantu jalan.” “Apa kamu sudah mengobatinya?” “Sudah, Paman. Tapi, saya akan membawa Non Luna ke rumah sakit, untuk memastikan lukanya tak sampai infeksi. Selain itu, sepertinya luka di kaki Non Luna perlu dijahit.” “Baiklah. Sekarang pergilah. Paman sekarang harus mengantar Tuan Johannes ke luar kota, karena beliau ada dinas di luar kota.” “Dimana, Paman? Berapa lama?” Thomas mengernyitkan dahinya, “kenapa kamu menanyakan itu? apa kamu berharap Tuan Johannes akan lama perginya?” “Ah... bukan begitu maksud saya, Paman. Paman jangan salah paham.” Thomas tersenyum, “tiga hari. Paman harap kamu bisa menjaga rumah ini agar tetap aman. Selama Paman dan Tuan Johannes pergi, rumah ini menjadi tanggung jawab kamu.” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Paman. Saya tak akan mengecewakan Paman dan Tuan Johannes.” Thomas menepuk bahu Malik, “Paman percaya sama kamu. Paman pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik. Meski kamu ingin menjauh dari Jenar, tetap hubungi dia, kasih kabar keadaan kamu sama dia, agar dia tak mencemaskan kamu. Bagaimanapun, Jenar tetaplah keluarga kamu.” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Paman.” Thomas lalu melangkah pergi meninggalkan Malik. Malik menghela nafas panjang, ia lalu melangkah menuju kamarnya. *** Adelia mendudukkan tubuhnya di samping kakaknya, “kak, apa kakak...” Luna mengedikkan kedua bahunya, “kakak juga gak tau. Tapi, saat Malik membantu kakak semalam, ada yang aneh di hati kakak.” Adelia mengernyitkan dahinya, “jangan bilang semalam dia menemani kakak di kamar ini?” Luna menganggukkan kepalanya. “Semalaman!” seru Adelia dengan kedua mata yang sudah membulat sempurna. Luna kembali menganggukkan kepalanya, “kakak yang memintanya. Dia awalnya menolak, tapi kakak memaksanya.” Adelia menggelengkan kepalanya, “aku gak tau apa yang kakak pikirkan. Kak Zico yang jelas-jelas tampan, seorang model, tapi kakak justru suka sama Malik? Usianya bahkan lebih tua dari kakak.” “Del, kakak tau, kalau kamu selama ini suka sama Zico.” Kedua mata Adelia membulat dengan sempurna, “da—dari mana kakak tau? Se—sejak kapan kakak tau soal itu?” tanyanya gugup. “Dari sikap kamu, dari cara kamu menatap Zico. Semua bisa terlihat dengan sangat jelas,” ucap Luna dengan senyuman di wajahnya. Adelia menundukkan wajahnya, “apa Kak Zico juga tau, kalau suka sama dia?” “Soal itu kakak gak tau. Tapi, kalau kamu memang suka sama Zico, kenapa kamu gak katakan sama dia langsung? Kenapa harus kamu pendam seperti ini?” Adelia menghela nafas panjang, memilin bajunya, masih dengan posisi menunduk. “Yang Kak Zico sukai itu kakak. Bukan aku. Bahkan, aku bisa melihat dengan jelas, cinta di kedua mata Kak Zico saat menatap kakak.” “Tapi kakak hanya menganggap Zico sebagai sahabat. Gak lebih.” Luna lalu menggenggam tangan Adelia, “kalau kamu memang benar-benar suka sama Zico, maka tunjukkan sama dia, kalau kamu itu pantas untuk dia. Kakak janji, kakak akan mendukung kamu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Terdengar suara ketukan di pintu. “Masuk,” sahut Luna dari dalam. Pintu terbuka dengan perlahan. Terlihat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di depan pintu kamar Luna. “Iya, Bik. Ada apa?” tanya Luna sambil menatap ke arah wanita paruh baya itu. “Sarapan sudah siap, Non. Nyonya sudah menunggu dan Tuan sudah menunggu dibawah.” “Baik, Bik. Terima kasih, kami akan turun sebentar lagi.” Bukan Luna yang menjawab, tapi Adelia. “Baik, Non. Bibi permisi,” pamit wanita paruh baya itu lalu menutup kembali pintu kamar Luna. Adelia beranjak dari duduknya, “aku bantu kakak turun.” Luna menggelengkan kepalanya, “tolong kasih tau Malik. Suruh dia untuk membawakan sarapan kakak ke kamar. Kakak mau makan di kamar aja.” “Kalau begitu, biar aku bawa sarapan kakak ke kamar.” Luna menggelengkan kepalanya, “Malik, Del. Bukan kamu.” Adelia mengernyitkan kakinya, “jangan bilang, setelah menghabiskan malam berdua di dalam kamar ini sama Malik, kakak jadi gak mau pisah sama dia?” selidiknya. “Pergilah. Jangan lupa kasih tau Malik. Kakak sudah lapar soalnya.” Luna mencoba untuk menghindar dari tatapan mata Adelia yang mulai mengintimidasinya. Adelia melipat kedua tangannya di depan dadanya, “aku gak setuju kalau kakak sama Malik! Dia gak cocok untuk kakak!” “Yang menentukan siapa yang pantas dan gak pantas untuk kakak, itu kakak. Kamu gak berhak ikut campur urusan pribadi kakak.” “Aku juga yakin, Mama dan Papa juga gak akan setuju.” Luna membulatkan kedua matanya, “awas ya, kalau kamu sampai bilang yang macam-macam sama Mama dan Papa! Kakak gak akan lagi kasih kamu uang jajan!” ancamnya. “Yah... kok gitu!” Luna tersenyum, “biarin. Tapi, kalau kamu tutup mulut, uang jajan kamu kakak tambahin.” Adelia mengacungkan ibu jarinya, tanda ia setuju dengan permintaan Luna untuk menutup mulutnya. “Tapi, Kak. Bagaimana dengan Malik? Apa dia juga suka sama kakak?” Luna mengedikkan kedua bahunya, “kakak gak tau soal itu. Tapi, kakak akan mencari tau. Masa sih dia gak tertarik sama pesona seorang Lunara? Artis dan juga model terkenal.” “Udahlah, Kak. Itu urusan kakak. Aku mau keluar. Perut aku sudah lapar. Lagian hari ini aku ada kelas pagi.” “Jangan lupa kasih tau Malik untuk mengantar sarapan kakak ke kamar.” Adelia menganggukkan kepalanya, “siap Tuan Putri Luna,” ucapnya sambil meletakkan telapak tangannya di keningnya, persis seperti orang yang tengah memberi hormat. Adelia lalu melangkah keluar dari kamar Luna itu. Melani dan Johannes melihat Adelia yang tengah melangkah menuju ruang makan seorang diri. “Lho, Sayang, kok kamu sendirian? Dimana kakak kamu?” Melani meletakkan makanan yang sudah diambilnya di depan suaminya. Adelia menarik salah satu kursi yang ada di samping papanya. “Kak Luna mau sarapan di kamarnya, Ma. Kaki Kak Luna sedang sakit, gak bisa buat jalan.” “Kaki kakak kamu sakit? kenapa bisa sakit? apa yang terjadi sama kakak kamu?” kini Johannes yang terlihat panik. “Semalam Kak Luna gak sengaja menginjak pecahan gelas yang Kak Luna pecahkan.” Adelia lalu mengambil nasi goreng dan diletakkan di piring kosongnya. “Lalu sekarang keadaan kakak kamu?” kini Melani yang gantian bertanya. “Apa sudah diobati lukanya?” Johannes kembali bertanya. Tubuh Adelia lunglai, kedua orang tuanya ini, kalau soal kakaknya, pasti sudah sepanik ini. “Ma, Pa...” Adelia menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Kak Luna baik-baik saja. Lukanya juga sudah diobati sama bodyguard Kak Luna. Kak Luna hanya susah berjalan sekarang. Jadi, Kak Luna gak akan pergi kemana-mana hari ini.” Johannes dan Melani bernafas lega. “Tapi, bagaimanapun luka kakak kamu itu harus di periksakan ke dokter. Papa gak mau sampai terjadi apa-apa nanti.” Adelia menganggukkan kepalanya, “Malik pasti akan mengantar Kak Luna ke rumah sakit. Dia ‘kan bodyguard yang paling setia sama Kak Luna. Bahkan semalam...” Adelia menutup mulutnya. Ia hampir saja keceplosan. Astaga! Bisa mati aku kalau sampai mama dan papa tau tentang Kak Luna dan Malik yang semalam menghabiskan malam di kamar itu. Ya... meskipun gak ngelakuin apa-apa sih. Tapi tetap aja. Papa ‘kan orangnya sangat protektif kalau soal Kak Luna. Melani mengernyitkan dahinya, “Sayang, kenapa kamu diam? Semalam kenapa? apa yang terjadi semalam?” tanyanya penasaran. “Em... bukan apa-apa kok, Ma. Itu... semalam untung ada Malik yang bantuin Kak Luna untuk mengobati lukanya, jadi sekarang kaki Kak Luna sudah agak mendingan,” ucap Adelia sambil nyengir kuda. Johannes mengambil segelas air putih, lalu meneguknya. “Malik memang pria yang baik. Papa gak salah memilih dia untuk menjadi bodyguard kakak kamu. Selama Malik bekerja menjadi bodyguard kakak kamu, kakak kamu jadi aman, gak ada lagi masalah yang menimpa kakak kamu itu.” “Iya, Pa.” Tapi Papa gak tau aja, sekarang Kak Luna justru malah jatuh cinta sama bodyguardnya itu. Apa yang akan Papa lakukan? Apa Papa akan tetap mempekerjakan Malik menjadi bodyguard Kak Luna, setelah mengetahui semua itu? Johannes yang sudah menyelesaikan sarapannya, lalu melangkah pergi keluar dari ruang makan. Melani mengikuti suaminya, untuk mengantarnya sampai di depan pintu seperti biasanya. Apalagi suaminya itu akan pergi dinas ke luar kota selama tiga hari. Adelia melihat Malik yang tengah melangkah menuju dapur. “Malik,” panggilnya sambil melambaikan tangannya, meminta Malik untuk mendekat. Malik yang merasa terpanggil, melangkah mendekat. Ia lalu membungkukkan sedikit tubuhnya. “Iya, Non Adelia. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan. “Tolong bawakan sarapan Kak Luna ke atas. Tadi Kak Luna yang minta agar kamu yang membawakan sarapannya ke atas.” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Non.” “Ya udah, aku mau ke kampus dulu. Jangan lupa, nanti bawa Kak Luna ke dokter. Aku gak mau sampai luka di kaki Kak Luna makin parah.” Malik kembali menganggukkan kepalanya, “baik, Non. Saya akan bawa Non Luna ke rumah sakit untuk memeriksakan luka di kakinya.” “Kamu tau makanan kesukaan Kak Luna ‘kan?” “Iya, Non.” “Ok. Aku pergi dulu.” Adelia lalu melangkah pergi keluar dari ruang makan. Malik mengusap perutnya yang sudah keroncongan. Ia sebenarnya sangat lapar. Tapi, ia mencoba untuk menahannya. “Mendingan aku antar sarapan Non Luna dulu ke kamar. Setelah itu aku baru makan. Sekarang Non Luna pasti sudah sangat lapar dan menungguku untuk mengantar makanan ke kamarnya. Aku gak akan membuat Non Luna menunggu.” Malik lalu mengambil piring kosong, dan mulai mengisinya dengan makanan kesukaan Luna. Malik menaruh piring yang berisi makanan itu ke atas nampan. Tak lupa, ia membuat segelas s**u hangat, karena Luna selalu sarapan dengan s**u hangat setiap harinya. Malik melangkah menuju tangga, menaikinya satu persatu-satu. Tujuan langkah kakinya adalah kamar Luna. Malik mengetuk pintu kamar Luna, setelah sampai di depan pintu yang ada gantungan namanya. Gantungan nama itu bertuliskan Isabella Lunara. “Masuk,” sahut Luna dari dalam kamarnya. Tatapan Luna mengarah ke arah pintu kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN