Bab 8. MB

2201 Kata
“Masuklah,” sahut Luna dari dalam. Luna yang semula duduk bersandar di sandaran ranjang, mengubah posisi duduknya menjadi duduk di tepi ranjang. Ia tau, kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Malik. Tatapan Luna kini beralih ke arah pintu kamarnya. Malik membuka pintu kamar Luna secara perlahan. Ia lalu masuk ke dalam kamar itu, dengan tangan kirinya yang membawa nampan yang berisi makanan dan segelas s**u hangat. Malik melangkah menuju sofa, lalu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Ia lalu melangkah menghampiri Luna yang saat ini masih menatapnya sejak dirinya membuka pintu tadi. “Non, sarapan Non Luna sudah siap,” ucapnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. “Bantu aku berdiri.” Malik menganggukkan kepalanya. Ia lalu membantu Luna untuk berdiri. Luna merangkulkan tangannya ke bahu Malik, ia lalu menatap kedua mata pria yang saat ini tengah memeluk pinggangnya itu. Kedua mata itu saling menatap satu sama lain. “Saya akan membantu Non Luna berjalan menuju sofa.” Luna menganggukkan kepalanya. Malik lalu memapah tubuh Luna secara perlahan menuju sofa, lalu membantunya untuk duduk di sofa. Malik mengambil piring yang ada di atas nampan yang diletakkannya di atas meja. “Silahkan, Non. Sarapannya,” ucapnya lalu memberikan piring yang berisi makanan itu kepada Luna. Luna hanya menatap piring itu, lalu kedua matanyanya dialihkan menatap ke arah Malik yang saat ini tengah berdiri di depannya sambil menyodorkan piring yang berisi makanan itu ke arahnya. “Aku gak mau makan sendiri. Tugas kamu sekarang adalah menyuapi aku.” “Tapi, Non...” “Kenapa? apa kamu mau menolak perintahku lagi?” Malik menundukkan kepalanya, “maafkan saya, Non. Saya akan melakukan apapun yang Non Luna perintahkan.” Luna menepuk sofa sebelahnya, “kamu duduk disini,” perintahnya. “Tidak, Non. Saya akan berdiri disini saja.” “Aku bilang duduk disini. Apa kamu mau aku pecat sekarang juga!” Malik berjalan memutar, lalu mendudukkan tubuhnya di samping Luna. “Sekarang suapi aku.” Luna lalu mengambil sendok dan diletakkan di tangan Malik. Malik mengambil satu sendok makanan, lalu disuapkan di depan mulut Luna. Luna dengan senang hati membuka mulutnya. “Apa kamu sudah makan?” bertanya dengan mulut yang tengah mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. Malik kembali menyuapkan satu suap makanan ke dalam mulut Luna. “Kenapa kamu diam? Kenapa kamu selalu mengacuhkan pertanyaanku?” “Maafkan saya, Non. Saya akan melakukan tugas saya untuk menyuapi Non Luna. Setelah ini, saya akan mengantar Non Luna ke rumah sakit untuk memeriksakan luka di kaki Non Luna.” Luna menutup mulutnya, saat Malik kembali menyodorkan satu suap makanan di depan mulutnya. Ia lalu mengambil alih sendok itu dari tangan Malik. “Sekarang buka mulut kamu. Aku tau kamu juga belum sarapan.” “Maaf, Non.” Malik ingin mengambil alih sendok yang ada di tangan Luna. Tapi Luna mengangkat tangannya ke atas, hingga makanan yang ada di sendok itu tumpah di celana jeans yang Luna pakai. “Maafkan saya, Non. Saya akan membersihkannya.” Malik lalu mengambil tisu yang ada di atas meja, lalu mulai membersihkan tumpahan makanan itu yang tumpah di atas kedua paha Luna. Luna memegang tangan Malik, menghentikan gerak tangannya. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan jantung yang berdetak dengan sangat cepat. “Maafkan saya, Non. Celana Non Luna jadi kotor gara-gara saya.” “Kenapa kamu terus meminta maaf? Makanan itu tumpah karena aku, bukan karena kamu. Lalu...” Luna menatap tangannya yang masih mencengkram tangan Malik. “Apa kamu akan membersihkan tumpahan makanan ini? kamu yakin akan melakukannya? Apa kamu gak lihat, dimana makanan itu tumpah?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Malik sontak langsung menarik tangannya dari cengkraman tangan Luna, ia lalu beranjak dari duduknya, membungkukkan sedikit tubuhnya. “Maafkan kelancangan saya, Non. Saya benar-benar minta maaf. Saya akan menerima hukuman atas kelancangan saya itu.” Luna tersenyum, ‘kenapa aku baru menyadari, kalau wajahnya terlihat menggemaskan kalau sedang gugup seperti itu,’ gumamnya dalam hati. “Sekarang bantu aku berdiri.” Malik menganggukkan kepalanya, lalu membantu Luna untuk berdiri. Malik terkejut, saat Luna melingkarkan kedua tangannya ke lehernya. “Non. Apa yang Non lakukan?” “Gendong aku seperti semalam kamu menggendongku.” “Tapi...” “Apa kamu mau membantahku lagi? kenapa kamu selalu membantahku? Apa kamu...” Mulut Luna langsung terkatup saat Malik membopong tubuhnya. Ia lalu tersenyum. “Apa aku boleh tanya sesuatu sama kamu?” “Apa lagi yang ingin Non Luna tau tentang saya?” Malik melangkah menuju ranjang. “Apa kamu sudah mempunyai kekasih?” “Saya tidak harus menjawab pertanyaan Non Luna, karena itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya.” Luna mengeratkan pelukannya, saat Malik ingin menurunkannya ke tepi ranjang. “Jawab dulu pertanyaanku. Kalau gak, aku gak akan turun. Biar kita tetap seperti ini.” Luna menatap kedua mata Malik, “apa kamu mempunyai kekasih?” tanyanya lagi. “Saya tidak mempunyai kekasih.” Luna tersenyum, “kamu gak bohong ‘kan?” “Saya mana berani berbohong sama Non Luna.” “Ok. Turunkan aku sekarang.” Luna terlihat sangat bahagia, hanya dengan mendengar kalau bodyguardnya itu tidak mempunyai kekasih, alias masih single. “Saya akan menunggu Non Luna di luar. Panggil saya, kalau Non Luna sudah selesai.” Malik lalu melangkah menuju pintu. Meninggalkan Luna untuk mengganti celananya yang ketumpahan makanan. Luna menyentuh dadanya masih berdetak dengan sangat kencang. “Apa aku benar-benar sudah jatuh cinta sama Malik?” Malik langsung mengantar Luna ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kakinya. Ia mendampingi Luna saat melakukan pemeriksaan. Bahkan saat ini tangannya tengah dicengkram erat oleh kedua tangan Luna. “Sakit, Dok!” pekik Luna saat dokter itu menjahit lukanya. “Sakitnya hanya sebentar kok. Ditahan sebentar ya,” ucap dokter cantik itu dengan senyuman di wajahnya. Luna menatap Malik, mulutnya mengerucut saat melihat Malik yang kini tengah menahan tawa. “Ketawa aja kalau mau ketawa. Kenapa harus kamu tahan kayak gitu? Kamu senang ya, melihat aku menderita seperti sekarang!” kesalnya. Malik diam. Ia lalu menatap dokter cantik itu, “Dok, apa nanti lukanya akan meninggalkan bekas?” Dokter itu menganggukkan kepalanya, “tapi sekarang peralatan rumah sakit semakin canggih. Bekas lukanya bisa dihilangkan. Tapi, untuk saat ini, saya sarankan untuk tidak banyak berjalan dulu.’ Luna tersenyum, dengan luka di kakinya saat ini, ia bisa selalu meminta Malik untuk selalu ada di dekatnya selama dua puluh empat jam. Dokter sudah selesai mengobati luka di kaki Luna. Dokter itu lalu menuliskan resep dan diberikan kepada Malik. “Tolong tebus obat ini. Obatnya harus diminum secara teratur.” Malik mengambil resep itu dari tangan dokter cantik itu, “baik, Dok. Terima kasih.” “Istirahat yang cukup, jangan terlalu banyak berjalan. Usahakan, kalau mau ke mana-mana, minta bantuan orang lain, jangan jalan sendiri.” “Baik, Dok. Terima kasih.” Kini Luna lah yang menjawabnya. Malik kembali memakaikan topi di kepala Luna, “kalau begitu kami permisi dulu, Dok,” pamitnya. Dokter cantik itu menganggukkan kepalanya. Malik membopong tubuh Luna, dan membawanya keluar dari ruang pemeriksaan itu. Luna menenggelamkan wajahnya ke dadaa bidang Malik. Ia tak ingin ada orang yang mengenalinya. Dengan menenggelamkan wajahnya ke dadaa bidang Malik, ia juga bisa menghirup bau maskulin tubuh Malik. “Lik.” Luna mendonggakkan wajahnya menatap wajah Malik yang terus menatap ke depan. “Apa aku boleh bertemu dengan adik angkatmu?” Malik menghentikan langkah kakinya. Ia lalu menatap kedua mata Luna. “Maksud Non Luna, apa ya?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. “Aku ingin bertemu dengan adik angkat kamu itu. Siapa namanya? Jenar?” “Untuk apa Non Luna ingin bertemu dengan adik saya?” tanya Malik penasaran. “Kenapa? apa aku gak boleh menemui keluarga kamu satu-satunya?” Malik melanjutkan langkahnya, “saya akan mengantar Non Luna pulang ke rumah. Non Luna harus banyak istirahat.” “Gak! Aku gak mau pulang!” Malik menurunkan Luna, lalu membuka pintu penumpang depan, karena Luna tak akan pernah mau duduk di kursi penumpang belakang saat hanya berdua dengan Malik di dalam mobil. “Saya akan bantu Non Luna untuk masuk.” Luna menepis tangan Malik yang ingin membantunya masuk ke dalam mobil. “Aku gak akan masuk ke dalam mobil, sebelum kamu berjanji akan membawa aku untuk bertemu dengan adik angkatmu itu!” ancamnya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Astaga! Sebenarnya ada apa sih dengan Non Luna? kenapa sejak semalam, aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya. Kenapa sekarang aku merasa Non Luna sedang menyelidiki tentang kehidupanku? Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kalau sampai Non Luna bertemu dengan Jenar, maka semuanya akan kacau. “Kamu gak akan mengajakku ke rumahmu? Jadi kamu memilih untuk meninggalkanku disini?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahinya. “Maafkan saya, Non. Bukannya saya tidak mengizinkan Non Luna untuk menemui adik saya. Tapi, kampung saya itu sangat jauh, Non. Bagaimana kalau sampai nanti Nyonya mencari Non Luna? apa yang harus saya katakan? apalagi Non ‘kan sedang sakit.” “Aku baik-baik saja. Hanya kakiku yang sakit, aku masih pergi, kan ada kamu yang akan menggendongku nanti,” ucap Luna sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Soal mama, biar aku yang menghubungi mama nanti,” lanjutnya. Malik sepertinya sudah tak ada pilihan lain lagi, selain mengajak Luna untuk ke rumahnya, untuk bertemu dengan adik angkatnya, yang tak lain adalah istrinya. Wanita yang dinikahinya secara sirih. “Baiklah. Saya akan mengajak Non Luna untuk ke rumah saya. Tapi, Non Luna nanti jangan terkejut, saat melihat rumah kontrakan saya yang ada di kampung.” Luna mengacungkan ibu jarinya. Malik lalu membantu Luna untuk masuk ke dalam mobil. Ia lalu menutup pintu itu, berjalan memutar untuk masuk ke kursi pengemudi. Malik lalu melajukan mobilnya keluar dari basement rumah sakit itu. Dalam perjalan menuju rumahnya, Malik memikirkan cara, agar Jenar tak memberitahu Luna, kalau dia adalah istrinya. Bagaimanapun, Malik tak ingin identitasnya terbongkar. Ia tak menginginkan pernikahan itu. Ia juga tak ingin sampai kehilangan pekerjaannya. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam, Malik dan Luna akhirnya sampai di kampung halaman Malik. Malik membantu Luna untuk turun dari mobil. Ia terkejut, saat Luna melingkarkan kedua tangannya di lehernya. “Kamu gak akan membiarkan aku untuk berjalanke rumahmu ‘kan? Kamu gak lupa apa kata dokter tadi?” Luna tersenyum. Malik menatap sekeliling, ‘untung sepi. Jadi gak ada yang lihat, saat aku sedang membopong Non Luna masuk ke dalam rumahku,’ gumamnya dalam hati. Dengan satu gerakan, Luna sudah berada digendongan Malik. Luna menenggelamkan wajahnya ke dadaa bidang Malik. Saat sampai di depan pintu, Malik terkejut, saat pintu itu dibuka dari dalam. Jenar ada di rumah? Jenar begitu terkejut, saat melihat Malik yang tengah membopong seorang wanita cantik. “Mas...” Luna menatap Jenar, “Lik, apa dia adik angkat kamu?” Kedua mata Jenar membulat dengan sempurna saat Luna mengatakan kalau dirinya adalah adik angkat Malik. Semua itu memang benar, kalau dirinya adalah adik angkat Malik. Tapi itu dulu, sebelum pria itu menikahinya secara sirih. “Iya, Non. Kenalkan, dia Jenar. Adik angkat saya,” ucap Malik sambil menatap tajam ke arah Jenar yang masih diam mematung di depan pintu. Luna tersenyum, “hai, aku Luna,” ucapnya memperkenalkan diri. Jenar hanya diam. Kedua matanya masih betah menatap kedua mata Malik. Ada apa ini? siapa gadis cantik ini? apa dia majikan Malik? Lalu... kenapa Malik harus menggendongnya seperti itu? bahkan saat aku sakit pun, Malik tak sudi menggendongku. “Apa kamu akan terus berdiri disitu?” tanya Malik dengan nada dingin. Luna menatap Malik, “kenapa kamu bicara seperti itu pada adikmu?” “Maaf. Silahkan masuk,” ajak Jenar lalu menyingkir dari depan pintu. Malik melangkah masuk ke dalam rumah, lalu mendudukkan Luna di atas kursi yang ada di ruang tamu itu. “Maaf, Non. Saya tinggal sebentar. Non mau minum apa?” tawar Malik dengan sopan. “Apa saja, terserah kamu,” ucap Luna dengan senyuman di wajahnya. Malik lalu menarik tangan Jenar dan membawanya menuju dapur. Ia lalu menghempaskan tangan Jenar. “Kamu tau ‘kan siapa dia?” “Apa dia majikan kakak?” “Kalau sampai kamu membuka mulut kamu, dan mengatakan kalau kamu adalah istriku! Maka aku gak akan segan-segan untuk meninggalkan kamu saat ini juga!” ancam Malik sambil mencengkram lengan Jenar. Jenar meringis menahan sakit di lengannya. “Tapi kenapa? kenapa dia gak boleh tau tentang hubungan kita? Kenapa?” Kedua mata cantik Jenar sudah dipenuhi oleh cairan bening. “Kamu ingin tau kenapa?” Malik mendekatkan wajahnya ke wajah Jenar, “karena bagiku, pernikahan ini sama sekali gak ada artinya buatku! Aku terpaksa menikahimu, karena permintaan mama aku! aku masih bertahan sampai sekarang, karena janji yang sudah aku ucapkan kepada mamaku! Tapi, sampai kapanpun, aku gak akan pernah menganggap kamu sebagai istriku! Cam kan itu baik-baik!” Malik lalu menghempaskan lengan Jenar, “sekarang buatkan minuman untuk Non Luna!” serunya lalu melangkah keluar dari dapur itu. Jenar terduduk lemas di lantai, air matanya mengalir dari kedua sudut matanya. “Aku tau, kamu bersamaku karena terpaksa. Tapi, aku tulus mencintaimu. Biarkan hati ini menjadi milikmu, meskipun hatimu tak akan pernah menjadi milikku.” Jenar lalu menghapus air matanya, “asalkan aku masih bisa bersamamu, aku akan terima semua perlakukan kamu ke aku. Aku yakin, suatu saat nanti, kamu akan mulai mencintaiku. Hatimu akan menjadi milikku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN