Bab 6. MB

2325 Kata
Malik mendudukkan tubuh Luna di sofa yang ada di kamar itu dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin membuat Luna semakin merasakan sakit. Ini pertama kalinya Malik masuk ke dalam kamar Luna. Kamar itu sangat luas, bahkan lebih luas dari kamarnya yang ada di paviliun. Ya iyalah, namanya juga kamar seorang artis. Begitu banyak foto Luna yang terpasang di kamar itu. Berbagai macam foto pemotretan yang pernah Luna lakukan. Luna terlihat sangat cantik di foto itu. Apalagi dengan pose yang berbeda-beda. Tapi, dalam foto itu, hanya ada Luna. Tidak ada Zico atau rekan kerjanya yang lain. Malik tak akan pernah memungkiri, kalau majikannya itu memang mempunyai paras yang cantik. Hanya saja sifatnya keras kepala dan judes. Luna sejak tadi bahkan belum mengeluarkan sepatah katapun. Kedua matanya bahkan tak berpaling dari wajah tampan yang saat ini tengah berdiri di depannya. “Maaf, Non. Dimana Non Luna meletakkan kotak P3K? luka di kaki Non Luna harus segera diobati.” “Di laci dalam laci meja dekat ranjang.” Saat berbicara pun, Luna tetap tak mengalihkan tatapannya. Tatapan mata Luna, membuat Malik gugup. Malik mengira, dirinya mempunyai salah sama majikannya itu, hingga Luna terus saja menatapnya. Tapi, ia tak tau apa kesalahannya. Malik membalikkan tubuhnya, menggerakkan kedua kakinya menuju ranjang, membuka laci meja itu, dan mengambil kotak P3K yang dicarinya. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Malik kembali melangkah mendekati Luna. Malik duduk berjongkok di depan Luna, mengangkat kaki Luna dan menaruhnya di atas pahanya. Ia lalu melepas ikatan kain yang tadi diikatkan di kaki Luna. Luna meringis menahan sakit, saat Malik mulai membersihkan lukanya dengan alkohol. “Aw!” pekiknya yang sudah tak bisa menahan rasa sakitnya. “Maaf.” Malik menghentikan gerak tangannya, “saya akan lebih berhati-hati,” lanjutnya. Luna menganggukkan kepalanya. Kedua matanya masih betah menatap pria yang saat ini tengah mengobati luka di kakinya. Aku gak nyangka, Malik akan bersikap seperti ini. Padahal aku terluka karena kecerobohan aku sendiri. Malik lalu kembali melanjutkan membersihkan luka di kaki Luna, setelah itu mengoleskan obat di luka itu, lalu membalutnya kembali dengan kain kasa. Malik lalu menurunkan kaki Luna dari pahanya, ia lalu beranjak berdiri, dan meletakkan kotak P3K itu ke atas meja. “Sebaiknya Non Luna beristirahat saja, biar saya yang mengambilkan minum untuk Non Luna.” Luna hanya menganggukkan kepalanya. “Saya akan mengambilkan minum untuk Non Luna sekarang.” Malik lalu melangkah keluar dari kamar Luna. Setelah Malik keluar dari kamar itu, Luna menghela nafas lega. Ia lalu melihat kakinya yang baru saja diobati oleh Malik. Ia lalu tersenyum. Aku gak nyangka, dibalik sikap dinginnya, dia masih mempunyai rasa peduli yang tinggi. Tapi, aku yakin, dia bersikap seperti itu tadi, hanya karena aku adalah majikannya. Malik mengetuk pintu kamar Luna, lalu membuka pintu itu, melangkah masuk ke dalam. Di tangannya saat ini ada nampan yang diatasnya ada segelas air putih. Ia lalu meletakkan segelas air putih ke atas meja. “Apa ada yang anda inginkan lagi, Non? Biar sekalian saya ambilkan. Non Luna jangan banyak bergerak dulu.” Luna menganggukkan kepalanya, “bantu aku ke sana,” pintanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah ranjangnya. Malik menganggukkan kepalanya, “tapi saya minta maaf, karena saya harus membopong Non Luna seperti tadi.” “Hem... lagi pula aku juga gak mungkin berjalan sampai ranjang.” Malik langsung membopong tubuh Luna. Luna melingkarkan kedua tangannya di leher Malik. Menatap kedua mata Malik yang saat ini juga tengah menatapnya. “Apa aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” tatapannya sama sekali tak teralihkan ke arah lain. Malik menganggukkan kepalanya, “apa yang ingin Non Luna tanyakan sama saya?” tanyanya penasaran. “Maaf. Aku tadi gak bermaksud untuk menguping pembicaraan kamu di telepon tadi. Tapi, aku merasa penasaran. Kalau boleh aku tau, siapa itu Jenar? Apa dia kekasihmu?” Kedua mata Malik membulat dengan sempurna, ‘jadi Non Luna tadi mendengar apa yang aku katakan sama Jenar?’ gumamnya dalam hati. “Kenapa kamu diam? Apa kamu gak mau memberitahu aku siapa itu Jenar?” “Maafkan saya, Non. Bukannya saya tidak mau memberitahu Non Luna. Tapi pertanyaan Non Luna itu sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan saya.” Luna mendekatkan wajahnya ke wajah Malik, hingga membuat Malik membulatkan kedua matanya, dan langsung memundurkan wajahnya. Luna tak menyerah begitu saja, ia menarik tengkuk Malik, agar wajah tampan itu kembali mendekat. Malik menelan ludah, “Non... apa yang...” “Apa kamu sudah mulai berani menentang aku?” wajah Luna bahkan sangat dekat dengan wajah Malik. Luna bahkan harus mencoba untuk menahan debaran di dadanya. “Maafkan saya, Non. Saya tidak bermaksud untuk menentang Non Luna.” tatapan kedua mata Malik saat ini mengarah ke bibir mungil milik Luna. Astaga! Situasi macam apa ini. “Sa—saya akan membawa Non Luna ke ranjang sekarang,” ucap Malik langsung melangkahkan kakinya menuju ranjang. “Kenapa kamu begitu gugup? Apa ini pertama kalinya kamu berada sedekat ini dengan seorang gadis?” Luna terus menatap kedua mata Malik. “Saya tidak harus menjawab pertanyaan Non Luna.” Luna tersenyum, “kenapa sekarang kedua pipi kamu merona? Apa kamu malu sama aku?” godanya lagi. Malik hanya diam. Ia lalu mendudukkan Luna di tepi ranjang, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya. “Sebaiknya sekarang Non Luna beristirahat. Saya akan keluar sekarang.” Luna menarik tangan Malik, saat pria itu ingin melangkahkan kakinya, “siapa yang mengizinkan kamu pergi dari sini?” Luna menarik tangan Malik, agar mendekat padanya. Lalu menarik baju Malik, hingga membuat Malik menunduk ke arah Luna. Wajah mereka kembali dekat. Malik mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Luna dari bajunya, “Non. Tidak seharusnya Non Luna bersikap seperti ini.” Luna semakin mengeratkan cengkraman tangannya, menariknya hingga membuat wajahnya dan wajah Malik hanya berjarak beberapa senti. “Kenapa? apa kamu takut? Atau jangan-jangan selama ini kamu belum pernah sedekat ini dengan seorang wanita?” Malik menelan ludah. Tinggal sedikit lagi, bibirnya menyentuh bibir Luna. “Non.” Luna bukannya melepaskan cengkraman tangannya, tapi justru semakin mendekatkan wajahnya, lalu membisikkan sesuatu di telinga Malik. “Aku gak akan mengizinkan kamu keluar dari kamar aku, sebelum kamu menjawab semua pertanyaan aku,” bisiknya lalu kembali memundurkan wajahnya. “Apa yang Non Luna ingin tau tentang saya?” “Semuanya.” Malik menganggukkan kepalanya, “baiklah, saya akan menjawab semua pertanyaan Non Luna. Tapi lepaskan cengkraman tangan Non Luna pada baju saya.” “Ok.” Luna lalu melepaskan cengkraman tangannya, lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya. Malik merapikan kembali pakaiannya, lalu menautkan kedua tangannya di depan tubuhnya. “Sekarang apa yang ingin Non Luna tanyakan sama saya.” “Siapa itu Jenar?” “Adik angkat saya.” Luna mengernyitkan dahinya, “adik angkat?” “Iya. Jenar diangkat anak oleh almarhum kedua orang tua saya saat usianya 10 tahun.” “Sekarang dia dimana?” Aku gak tau kalau kedua orang tua Malik sudah meninggal. Papa juga gak pernah cerita soal itu. Apalagi Paman Thomas. Sepertinya aku harus mulai mencari tau tentang kehidupan Malik dan keluarganya. “Sekarang dia tinggal di kampung.” “Kenapa kamu meninggalkannya sendirian? Kenapa kamu gak membawanya kesini? disini juga masih banyak kamar kosong.” “Maafkan saya, Non. Tapi saya disini untuk bekerja. Saya tidak mungkin mengajaknya untuk tinggal disini. Selain itu, dia juga bekerja disana, dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan.” Luna mengangguk mengerti, “ok. Untuk saat ini, hanya itu pertanyaan aku. Lain kali, aku akan bertanya lagi sama kamu.” Malik menganggukkan kepalanya, “kalau begitu saya akan keluar sekarang.” “Aku gak bilang kamu boleh keluar dari kamar ini.” “Tapi, Non. Ini sudah malam. Kalau sampai Tuan dan Nyonya melihat saya berada di kamar ini, apa yang akan mereka pikirkan tentang saya dan Non Luna nanti?” “Aku gak peduli. Apa kamu lupa kalau saat ini kaki aku terluka? Aku bahkan gak bisa berjalan. Kalau nanti aku membutuhkan sesuatu, aku harus minta tolong sama siapa?” “Kalau begitu saya akan berjaga di depan pintu kamar Non Luna.” Luna menggelengkan kepalanya, “kamu tetap disini. Ini perintah! Kamu gak boleh membantah! Atau kamu mau aku pecat sekarang juga!” Luna tau, Malik tak akan membantah perintahnya, kalau dirinya mengancam akan memecatnya. Ia tau, kalau pekerjaan ini sangat berharga buat Malik. “Tapi, Non...” “Gak ada tapi-tapian. Kamu gak boleh keluar dari kamar ini. Kalau sampai kamu keluar dari kamar ini, aku akan pastikan besok kamu angkat kaki dari rumah ini! aku gak suka sama orang yang selalu membantah perintah aku!” Luna tersenyum, saat Malik tak lagi membantahnya, “kamu boleh berjaga sambil duduk di sofa itu. Sekarang aku mau tidur.” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Non.” Malik lalu membalikkan tubuhnya, melangkahkan kakinya menuju sofa, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa itu. Kedua matanya menatap ke arah Luna yang saat ini sudah merebahkan tubuhnya. Tapi kedua matanya masih terjaga. “Tidurlah, Non. Saya tidak akan pergi kemana-mana.” Malik tau apa yang ada dalam pikiran Luna. Sebenarnya dirinya juga tak tega meninggalkan Luna sendirian di kamar itu. Apalagi dengan luka di kakinya. Luka itu sangat dalam. Dirinya yakin, luka itu akan dijahit nantinya saat diperiksakan di rumah sakit. Tapi, Malik salut dengan majikannya itu. Karena Luna bisa menahan rasa sakit dari luka di kakinya itu. Ia yakin, rasanya pasti sangat sakit. Luna melambaikan tangan kanannya, meminta Malik untuk kembali mendekat. Malik yang belum lama mendudukkan tubuhnya, terpaksa harus kembali beranjak dari duduknya dan melangkah menghampiri Luna. “Ada yang bisa saya bantu, Non?” “Bantu aku bangun.” Malik lalu membantu Luna untuk duduk. “Aku ingin ke kamar mandi. Antar aku ke kamar mandi.” Malik menganggukkan kepalanya, lalu membopong tubuh Luna dan membawanya menuju kamar mandi. Ia lalu menurunkan Luna tepat di depan kamar mandi. “Non Luna bisa jalan sendiri kan?” Luna menganggukkan kepalanya, “gak mungkin juga aku minta kamu untuk mengantar aku masuk ke kamar mandi. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan ya!” “Saya juga tidak mungkin berani, Non. Saya akan menunggu disini.” Malik membuka pintu kamar mandi itu, “silahkan masuk, Non.” “Hem...” Luna lalu dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja dengan menahan rasa sakit di kakinya. Luna membuka kedua matanya secara perlahan. Setelah kedua matanya terbuka sepenuhnya, hal pertama yang ingin Luna lihat adalah Malik. Ia ingin tau, apa bodyguardnya itu menepati janjinya untuk tetap berada di dalam kamarnya untuk menemaninya. Mendapatkan tatapan dari majikannya, Malik langsung beranjak dari duduknya dan langsung melangkah menghampiri Luna. “Selamat pagi, Non Luna.” “Pagi. Aku kira kamu pergi dari kamar aku.” “Saya tidak mungkin mengingkari janji saya pada Non Luna. Sekarang apa yang ingin Non Luna lakukan?” “Aku mau mandi.” “Saya akan menyiapkan air hangat untuk Non Luna.” Luna menganggukkan kepalanya. Malik lalu melangkah menuju kamar mandi, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk Luna. Tak lupa ia mengambil handuk dari dalam lemari dan menyiapkannya. Setelah air hangat sudah siap, Malik melangkah keluar dari kamar mandi, kembali menuju ranjang. “Air hangatnya sudah siap, Non. Apa Non Luna ingin mandi sekarang?” “Hem...” Malik langsung membopong tubuh Luna, membawanya menuju kamar mandi, menurunkannya tepat di depan pintu kamar mandi. “Sekarang kamu boleh pergi.” Malik menganggukkan kepalanya, “saya akan suruh Bibi untuk datang kesini untuk membantu Non Luna.” “Hem...” Malik membukakan pintu kamar mandi untuk Luna, “silahkan masuk, Non.” Luna lalu masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi itu. Malik lalu melangkah keluar dari kamar Luna. Saat ingin melangkah pergi dari depan pintu kamar Luna, Malik berpapasan dengan Adelia. “Kenapa kamu keluar dari kamar Kak Luna pagi-pagi begini?” tanya Adelia curiga. Malik membungkukkan sedikit tubuhnya, “pagi, Non Adelia,” sapanya. “Pagi. Kamu belum menjawab pertanyaan aku. Kenapa kamu keluar dari kamar Kak Luna pagi-pagi begini?” “Maafkan saya, Non. Tadi Non Luna menghubungi saya dan meminta saya untuk datang ke kamarnya.” Adelia mengernyitkan dahinya, “pagi-pagi begini?” tanyanya curiga. “Non Luna membutuhkan bantuan saya.” “Ada apa dengan Kak Luna? apa yang terjadi padanya?” Adelia mulai terlihat cemas. “Semalam kaki Non Luna terluka karena terkena pecahan gelas. Jadi...” “Apa? kaki Kak Luna terluka? Astaga! Padahal Kak Luna itu seorang model, kenapa itu bisa terjadi? Apa kamu gak menjaga Kak Luna dengan baik?” Malik membungkukkan sedikit tubuhnya, “maafkan saya, Non. Saya kurang berhati-hati dalam menjaga Non Luna. Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi.” “Sekarang kamu boleh pergi. Biar Kak Luna aku yang urus.” Malik kembali membungkukkan tubuhnya, “saya permisi,” pamitnya lalu melangkah pergi dari depan kamar Luna. Adelia lalu masuk ke dalam kamar Luna, tapi ia sama sekali tak menemukan Luna di dalam kamar itu. Apa Kak Luna ada di dalam kamar mandi? Adelia lalu melangkah menuju kamar mandi, “Kak. Apa Kak Luna ada di dalam?” Luna yang sudah selesai mandi, membuka pintu kamar mandi itu. “Adel? Ngapain kamu di kamar kakak?” “Kata Malik, kaki kakak terluka.” Adelia lalu menatap kaki Luna yang diperban, “astaga kakak! Kenapa bisa sampai terluka?” “Nanti kakak ceritakan. Sekarang bantu kakak berjalan. Kaki kakak masih sakit untuk berjalan.” Adelia memapah tubuh Luna, “apa semua ini gara-gara bodyguard kakak itu? apa dia gak becus menjaga kakak?” Adelia lalu membantu Luna untuk duduk di tepi ranjang. “Ini bukan salah Malik. Justru Malik sudah menolong kakak semalam, dan mengobati luka di kaki kakak,” ucap Luna sambil tersenyum. Luna menatap kakinya yang diperban, “kalau gak ada Malik, kakak gak tau apa yang akan terjadi. Kakak juga gak mungkin bisa mengobati kaki kakak sendiri,” lanjutnya. Tentu saja masih dengan senyuman di wajahnya. Adelia mengernyitkan dahinya, lalu mendudukkan tubuhnya di samping Luna. “Kenapa kakak tersenyum saat membicarakan bodyguard kakak itu? jangan bilang kakak...”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN