Chapter 31

1276 Kata
Prangg.. Bunyi benda yang sengaja dibanting kelantai itu sudah berulang kali ini. Jika sedari tadi adalah botol minuman keras. Maka kali ini adalah giliran vas bunga yang menjadi sasaran. Botol minuman keras telah habis terbanting. Hanya vas bunga yang ada dalam jangkauannya, sehingga Edward langsung saja mengambil vas bunga tersebut dan membantingnya dengan keras. Alex hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Edward. Ia membiarkan Edward melampiaskan emosinya dengan cara seperti itu. Setidaknya ia hanya perlu menunggu sambil bersandar pada tembok, dan wajah akan selamat dari hantaman keras tangan Edward. Edward melampiaskan emosinya karena ia benar-benar marah kali ini. Penolakan Grace yang bertubi-tubi ditambah kini wanita itu mengabaikan Edward, membuat Edward emosi meledak. Dan disinilah ia meluapkan emosinya. Dikamar apartmentnya, dan disaksikan oleh Alex yang dengan santai menontonnya sambil menyandarkan diri ditembok. "Katakan Lex!! Apa aku perlu mencarikan donor mata untuknya agar ia bisa segera mengoperasi matanya yang tidak bisa melihat ketampananku ini!" ucap Edward dengan penuh emosi. "Atau aku perlu mencarikan rumah sakit terbaik dan termahal diseluruh penjuru dunia untuknya agar ia bisa memeriksakan otaknya disana. Sepertinya ada banyak sel yang mati di otaknya hingga ia begitu bodoh menolak pria sepertiku berkali-kali." sambungnya. 'ya sebaiknya begitu. Dan kau juga harus ikut memeriksakan otakmu. Terlalu banyak sel yang mati disana sehingga kau juga begitu bodoh masih mengejarnya walaupun ia sudah menolakmu berkali-kali.' ucap Alex dalam hati. Tentu saja dalam hati. Ia tidak akan mempunyai keberanian untuk melontarkan pernyataan tersebut dari mulutnya meskipun ia ingin. Bisa dipastikan, sedetik setelah ia bicara seperti itu. Sesuatu akan mendarat diwajah mulusnya. Entah itu bogeman keras dari Edward,atau pecahan beling yang berserakan dilantai. Membayangkannya saja sudah membuat Alex bergidik ngeri. "Sudah kubilang, kau Seharusnya bersabar. Bukan terus mendesaknya dengan pernyataan cinta dan memaksa dia menjadi pacarmu" ujar Alex berusaha tenang dan menenangkan Edward. Namun pernyataannya barusan justru terkesan menyalahkan Edward atas semua yang terjadi. "Kau menyalahkanku?" Edward tersenyum sinis. "Memang dasarnya wanita sialan itu yang terlalu arogan. Terlalu sombong. Dia selalu bilang dia punya kekasih. Sepertinya itu hanya di imajinasinya saja. Atau dia memang sudah gila" Alex berdecak. 'Kau yang gila. Kau terlalu menginginkan Grace. Kau terlalu ambisius.' batin Alex. "Kau sebenarnya benar-benar mencintai Grace, atau hanya  berambisi memilikinya?" tanya Alex. Edward menoleh. Tatapannya tajam karena ia masih emosi. Ia menatap Alex lebih tajam lagi kini. "Mengapa kau malah menatapku. Jawab Ed!" perintah Alex. Edward menghembuskan napas kasar. "Entahlah." ucap Edward. "Lihatlah dirimu. Kau seperti orang gila." Alex menyeringai. "Sepertinya kau sudah jatuh cinta pada nona Dominica." ujar Alex kemudian. "Diam kau! Kau tidak tahu apapun tentang perasaanku! Aku hanya ingin berkencan dengannya. Tidur satu malam. Dan membuang dia seperti wanita-wanita lainnya" ucap Edward dengan cepat. "Benarkah? Sepertinya keadaanmu sekarang ini sudah cukup untuk menggambarkan perasaanmu untuknya. Kau sangat buruk dan frustasi" ucap Alex. "Aku hanya benci penolakan!" pekik Edward. "Sudahlah Ed. Akui saja kau sudah jatuh cinta. Kau bukan hanya menyukainya karena cantik, tapi kau sudah benar-benar mencintainya. Tenangkan emosimu, dan kita akan memikirkan strategi untuk mendapatkan pujaan hatimu itu." "Terserah apa katamu. Dan pikirkan saja sendiri! Aku sudah muak dengan wanita arogan itu." ujar Edward. Ia kemudian melangkah menuju pintu. "Mau kemana kau Ed?" tanya Alex . "Mendesah dan berkeringat diatas ranjang." jawabnya. "Kau sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi Ed. Kau sudah berjanji agar bisa mendapatkan Grace." ucap Alex mengingatkan. "Benarkah? Aku tidak ingat pernah membuat janji itu. Oh, dan kau perlu tahu. Aku tidak mendapatkannya. Jadi untuk apa aku menyiksa diri dengan janji bodoh yang bahkan Grace juga tidak ketahui." ujar Edward. "Tapi dia tahu kau berubah karenanya." ucap Alex. Edward menghentikan langkahnya. Ia kemudian berbalik. "Lalu? Apa dia berniat mengubah keputusannya setelah mengetahui info itu?" tanya Edward menatap tajam Alex. Alex menelan ludahnya. Ia juga bingung harus menjawab apa. Edward yang rela melakukan apapun demi Grace, bahkan berbuat baik. Kini Edward yang seperti itu telah hilang. Sepertinya Grace sangat berpengaruh bagi Edward. Edward terkekeh. "Kau tidak mampu menjawabnya?" ledek Edward. "Sudah cukup! Hentikan pembicaraan, rencana , misi atau apapun yang telah kau lakukan agar aku mendapatkan wanita itu. Dia adalah wanita keras kepala, seperti batu. Biarkan batu itu jatuh dalam air. Dan perlahan waktu akan membantu air untuk mengikisnya hingga hancur. Berhenti melakukan apapun yang akan sia-sia. Aku yakin, suatu saat wanita itu akan datang mengemis cinta padaku!" ujar Edward. Ia langsung memutar knop pintu, membuka pintu, keluar dan menutup pintu dengan membantingnya sangat keras.                               ---- Grace duduk diatas sofa dengan gelisah. Beberapa menit lalu ayahnya meminta ia untuk datang ke ruang kerjanya. Dan dengan secepat kilat, kini Grace sudah berada di ruang kerja ayahnya. Dengan jantung Berdebar, Grace hanya mampu menundukkan wajahnya. Ayahnya masih meletakkan beberap dokumen. "Ada apa Ayah?" tanya Grace setelah kini Federico duduk disebelahnya. Hawa intimidasi semakin menguat dan membuat Grace semakin gemetar. "Bagaimana kabarmu?" tanya Federico. Bagus Grace, sapaan yang manis untuk awal dari interogasi yang mencekam. Grace hafal betul kebiasaan ayahnya. Ruang kerjanya ini sangat keramat. Grace hanya akan dipanggil kesini jika ayahnya ingin membicarakan mengenai perusahaan, menginterogasi Grace mengenai kesalahan yang diperbuatnya. Ataupun membicarakan mengenai pasangan.  Opsi terakhir, membuat Grace semakin berdebar. "Baik Ayah. Langsung saja ada apa?" ujar Grace. Ia benar-benar ingin buru-buru kembali kekamarnya. Hari ini cukup melelahkan baginya, ditambah malam ini ia harus menjalani interview dengan sang ayah. Ah, ia ingin segera tidur nyenyak diatas kasur. Meskipun ia tidak tahu apakah ia mampu untuk tidur setelah ini. "Berapa usiamu, Grace?" tanya Federico . "Dua puluh lima. Ayah tahu itu kan?" Grace mengerutkan keningnya. "Apa kau sudah memiliki pasangan?" tanya Federico kemudian. Glekk.. Grace kesulitan menelan ludahnya. Sepertinya ia akan kesulitan tidur malam ini. "Belum.." Ujar Grace lirih. Firasatnya tidak enak, sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi. "Lalu Edward?" tanya Federico. "Aku.. Aku dan dia hanya rekan bisnis, Ayah" jawab Grace. Federico tersenyum dan mengangguk. Senyum yang sangat mengerikan bagi Grace saat ini. "Ayah ingin kau menikah"  "Tapi aku masih ingin mengurus perusahaan Ayah. Dan lagipula ak-" "Minggu depan" potong Federico cepat. Membuat Grace serasa menelan golok dikerongkongannya. "Tapi aku tidak memiliki pasangan." ucap Grace. "Kau akan menikah dengan lelaki pilihan Ayah" Ucap Federico. Kali ini ucapan ayahnya membuat mata Grace serasa ingin loncat dari tempatnya.  Apa ini, apa ia dijodohkan. "Apa maksud Ayah? Apa aku dijodohkan?" tanya Grace dengan tak terima. Federico hanya mengangguk dengan tenang. "Dengan siapa Ayah?" tanya Grace. "Kau akan mengetahuinya tiga hari lagi." Ujar Federico. "Apa? Bagaimana, ah. Aku tidak mau! Aku tidak mau menikah! Apalagi dengan pria yang tak kukenal" pekik Grace. Ini pertama kalinya Grace berani membantah ucapan Ayahnya, setelah selama ini ia selalu menjadi anak yang penurut. "Keputusan Ayah sudah bulat. Selama ini Ayah sudah memberimu banyak waktu untuk memilih pasanganmu." ucap Federico. "Kau bisa menolak perjodohan ini jika tiga hari lagi kau bisa membawa pria yang ingin kau nikahi kehadapan Ayah. Dan jika Ayah menyukainya, kau akan menikah dengan pria pilihanmu." sambungnya. Grace mematung . Apa-apaan ini. Federico membuatnya dalam keadaan seperti ini. Pilihannya benar-benar sulit.  Bagaimana mungkin Grace bisa mendapatkan pria yang ingin ia nikahi hanya dalam waktu tiga hari. Apalagi Grace adalah tipe pemilih,dan sang calon suami harus benar-benar memenuhi syarat tipe pria idaman Grace. "Tiga hari itu terlalu singkat Ayah."  "Dua hari!" titah Federico. "Baik-baik tiga hari. Jika aku tidak membawa pria yang kuinginkan dalam tiga hari, apa yang akan terjadi?" tanya Grace. "Kau akan menikah dengan pria pilihan Ayah." ujar Federico. "Huh. Baik" ucap Grace dengan pasrah. Ia tidak akan pernah bisa melawan perintah Ayahnya. Tak akan.  Grace memutuskan untuk kembali kekamarnya, sepertinya ia tidak akan bisa tidur selama tiga malam. Ia berdiri dari duduknya. "Permisi Yah." ucap Grace. "Ingat Grace, jika kau kabur. Ayah pastikan kau akan sangat menyesal." ucap Federico mengingatkan-mengancam. Grace hanya menganggukkan kepala. Ia benar-benar pasrah.  Perintah Ayahnya begitu menyulitkan dan Kejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN