Reinan berjalan dengan langkah lebar memasuki rumah sakit. Dia telah berulang kali menegaskan pada dirinya sendiri kalau dia tidak memiliki perasaan apapun pada Zea. Setelah selesai melakukan rapat dan pertemuan penting dengan klien, dia berniat untuk menjemput Zea.
Setelah berpikir dan mencernanya selama beberapa saat, dia merasa bahwa perasaan gelisahnya adalah karena dia telah membuat wanita itu terluka hingga dirawat di rumah sakit. Namun dia malah terlalu keras pada Zea, terlepas dari apa yang telah dilakukan oleh wanita itu pada Kezia.
Reinan menarik napas panjang. Sebelumnya, dia tidak pernah membawakan buah atau apa pun saat menjenguk seseorang. Dia sudah mau datang untuk menjenguk saja sudah merupakan sebuah berkah bagi orang yang dijenguknya. Sisi egonya terlalu tinggi, ini adalah kali pertama dia datang menjenguk seseorang sambil membawa sekeranjang kecil buah.
"Apa dia akan menyukainya?"
Menepis semua keraguannya, Reinan dengan percaya diri masuk ke dalam ruang rawat milik istrinya. Saat masuk ke dalem ruang rawat Zea, dia tidak mendapati seseorang yang dia cari. Hanya ada seorang perawat yang sedang membersihkan ruangan tersebut.
"Dimana pasien yang ada di sini?" Kening Reinan seketika berkerut tidak senang, meski dia sudah mengetahui jawabannya, namun dia tetap ingin memvalidasi tebakannya.
"Maksud Anda Nona Zea? Dia baru saja pulang, ada seseorang yang menjemputnya." perawat yang melihat Reinan tampak tersenyum manis. Bagaimana pun mendapati seorang pria tampan menanyakan sesuatu padanya membuat perawat tersebut tampak salah tingkah.
"Dia sudah pulang? Kenapa dia tidak menghubungiku?"
Ekspresi wajah Reinan seketika suram. Dia keluar dari ruang rawat tersebut, sepenuhnya mengabaikan perawat tersebut yang berusaha untuk menarik perhatiannya. Melihat buah-buahan di tangannya dengan ekspresi buruk dan rahang yang mengeras. Pria itu mendekat ke arah tempat sampah, tanpa ragu membuangnya. Beranjak pergi dari rumah sakit seolah-olah dia tidak pernah datang. Meski ada rasa penasaran siapa yang telah menjemput wanita itu tanpa sepengetahuannya.
"Pulang ke rumah!" Roni, asisten Reinan segera melajukan mobilnya sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Reinan tanpa banyak bicara. Dia tahu dengan pasti bahwa suasana hati atasannya sedang buruk dan tidak ingin mencari masalah.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya mobil Reinan sampai di depan rumah mewah berlantai dua. Dia segera turun dari mobilnya, memasuki rumah dan disambut oleh para pelayan.
"Dimana Zea?" pertanyaan yang keluar dari bibir Reinan sangat tidak enak didengar, membuat pelayan yang dia tanyai tampak gugup dan hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Nona Zea belum kembali Tuan Muda."
Mendengar jawaban yang sangat tidak ingin dia dengar, Reinan segera menendang guci besar yang ada di sampingnya sebagai pajangan. Menimbulkan suara pecahan yang keras dan memekakkan telinga. Para pelayan langsung berlutut karena takut melihat kemarahan majikan mereka yang tidak disangka-sangka.
Sedangkan Reinan setelahnya langsung berjalan menuju ke ruang kerjanya. Suasana hatinya benar-benar buruk. Dia ingin mencari pelampiasan untuk melepaskan gejolak emosi dalam dirinya. Hanya karena satu orang, dia telah kehilangan kendali atas ketenangan dirinya. Memejamkan kedua matanya selama beberapa saat, Reinan mencoba untuk tenang, sayangnya tidak bisa.
Mengambil ponsel miliknya dari saku celana, Reinan segera menghubungi seseorang, "cepat cari tahu dimana istriku berada. Juga, selidiki semua tentangnya tanpa terkecuali. Brikan jawabannya padaku secepatnya."
Setelahnya Reinan mematikan panggilan telepon. Dia menatap lurus ke depan, namun tidak dengan pikirannya yang tengah melayang memikirkan sosok Zea, atau lebih tepatnya Ziya.
"Siapa kamu sebenarnya, hanya dalam waktu yang singkat semuanya telah berubah. Bahkan kamu berhasil mempengaruhiku hingga sejauh ini. Zea yang kutahu tidak mungkin sanggup merubahku hingga sejauh ini."
Reinan lalu membuka laci, mengambul sebuah foto berwarna hitam putih. Memandanginya selama beberapa saat, tatapannya sadar atau tidak telah berubah menjadi lebih lembut dan penuh dengan kerinduan. "Aku merindukanmu."
Di tempat lain, Ziya melihat restoran yang ada di depannya. Dia sebelumnya berpikir kalau Rendy akan langsung mengantarnya pulang. Nyatanya pria itu malah membawanya ke sebuah restoran.
"Mungkin bisa sedikit memperbaiki suasana hatimu." Rendy yang menyadari tatapan penuh tanya dari Ziya hanya mengatakan dengan singkat. Entah mengapa dia hanya berpikir kalau foto yang baru saja diterima oleh wanita ini akan mempengaruhi suasana hatinya.
"Terima kasih." Ziya tersenyum, dia tidak mau berpikir lebih. meski ada rasa kesal pada Reinan, namun hanya sebatas itu. Dia tidak menyukai pria itu sama sekali, tidak ada yang perlu sampai mempengaruhi suasana hatinya. Tapi niat baik dari Rendy akan dia terima.
Mereka masuk ke dalam restoran, Ziya memesan udang asam manis dan juga kudapan ringan untuk dimakan setelahnya. Makanan di rumah sakit agak hambar, jadi dia ingin makanan yang lebih terasa di lidah untuk saat ini.
"Apa kamu ingin langsung pulang setelah ini?"
Pertanyaan dari Rendy membuat Ziya menghentikan kunyahannya. Berpikir sejenak dan menggelengkan kepala. Dia mulai berpikir bahwa rumah itu sejak awal bukanlah tempatnya. Selama beberapa minggu terakhir dia mencari petunjuk di sana dan masih belum berhasil menemukan apa pun. Reinan, pria itu juga belum tentu akan kembali ke rumah setelah sibuk dengan kecantikannya.
Ziya menggelengkan kepalanya, "maaf merepotkanmu. Aku ingin ke tempat lain setelah ini."
Rendy hanya menganggukkan kepalanya. Dia berpikir kalau Ziya pasti sedang marah dan tidak ingin bertemu dengan Reinan setelah melihat foto kemesraan Reinan dengan Kezia. Jadi dia tidak banyak bertanya lebih lanjut.
"Kamu, apakah tidak masalah seperti ini?"
"Seperti ini bagaimana?" Rendy masih mengunyah makananya dengan tenang. Bukannya dia tidak mengetahui maksud dari pertanyaan Ziya padanya.
"Hubunganmu dan Reinan, sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli. Hanya saja kamu mungkin akan terlibat konflik lebih jauh saat berhadapan dengan pria itu."
Rendy jelas menyadari adanya keterasingan dalam kata-kata Ziya saat menyebut Reinan. Hal itu tanpa sadar malah membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. Semua masih sesuai dengan prediksinya. Selama hubungan kedua orang di depannya hanya sebatas hitam di atas putih, dia tidak akan segan.
"Sayangnya aku juga tidak peduli pada pendapat Reinan mengenai hal ini. Lagi pula, siapa di antara kami yang tidak mengetahui kalau hubungan kalian hanya sebatas hitam di atas putih. Cepat atau lambat kalian akan berpisah. Ada atau tidaknya aku di antara kalian, kurasa tidak akan begitu berpengaruh besar. Aku tahu dengan jelas bagaimana sosok Reinan."
Gerakan tangan Ziya yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya terhenti. Jelas dia merasa tertarik mengenai penjelasan dari Rendy kalau pria ini mengetahui dengan jelas bagaimana sosok Reinan. Meski dia sudah berinteraksi beberapa kali dengan Reinan, dia sampai saat ini masih meraba-raba mengenai sifat asli dari Reinan. Karena apa yang dia dapatkan beberapa kali tidak sesuai dengan apa yang telah dirumorkan di luar sana.
"Sayangnya aku tidak tahu apapun tentangnya. Entah sampai kapan hubungan ini bisa bertahan." Ziya tertawa pelan, bersikap seolah dia tengah mentertawakan dirinya sendiri.
"Tanyakan saja apa yang ingin kamu ketahui."
Sudut bibir Ziya naik saat dia sedang menunduk dan mengunyah makanannya. Karena ini adalah tujuannya. Dia ingin bertindak sebagai perempuan yang tampak menyedihkan di depan Rendy. Tentu saja tujuannya untuk mengorek informasi lebih dalam.
"Terima kasih, mungkin aku akan merepotkanmu dalam beberapa hal ke depannya." Ziya tersenyum manis hingga lesung pipi sebelah kirinya terlihat. Membuat Rendy termenung selama beberapa saat menatapnya. "Kenapa, apa ada sesuatu di wajahku?"
Ziya segera mengusap wajahnya, menyingkap sebelah rambutnya ke belakang telinga agar tidak menghalangi wajahnya.
"Cantik,"
"Kamu mengatakan sesuatu?"
Rendy spontan mengulurkan ujung jarinya untuk mengusap saus di bibir Ziya. Gerakan tangannya sangat ringan dan halus. Membuat Ziya terdiam dengan tatapan mata keduanya saling bersitatap selama beberapa saat.
"Bukan apa-apa." Secara kebetulan ponsel milik Rendy berdering selama beberapa kali. Dia memberi isyrat untuk berdiri dan berjalan menjauh untuk mengangkatnya. Hal itu membuat Rowena menatap punggung pria itu dari arah belakang.
Ziya memegangi bibirnya tanpa sadar. Tindakannya saat ini, entah apakah ini bisa disebut dengan dia mencoba bermain api. Tapi secara keseluruhan seharusnya dia bisa dekat dengan pria mana pun yang dia inginkan. Terlepas dari identitasnya sebagai istri pengganti dari saudarinya, dia adalah wanita independent dan bebas. Tidak ada yang berhak mengatur kehidupannya.
Tidak jauh dari sudut tempat di luar restoran, terdapat seseorang yang memegang kamera. Tampak puas begitu melihat beberapa gambar yang telah berhasil dia ambil dari sudut yang pas. Sosok tersebut segera pergi, bersikap seolah tidak terjadi apapun dan segera menghubungi seseorang.