11. Reinan Mabuk

1351 Kata
Reinan melihat jam dinding di ruang tamu. Sudah hampir jam 12 malam, namun Ziya hingga selarut ini masih belum kembali. Entah sudah berapa banyak minuman yang masuk ke tenggorokannya. Bahkan makanan di atas meja yang sudah disiapkan oleh pelayan masih utuh tak tersentuh. "Wanita ini, menjadi semakin berani." Reinan saat ini hanya meminum wine dengan kadar alkohol yang tidak begitu tinggi. Namun dia sudah menghabiskan satu botol dengan meneguknya sedikit demi sedikit di gelas sloki. Ekspresinya sangat buruk. Dia seolah macan yang telah diusik ketenangannya, menunggu mangsanya datang untuk diterkam. Pria itu tampak mengotak-atik ponsel miliknya, sayangnya dia lupa kalau dia tidak menyimpan nomor ponsel istrinya. Di satu sisi dia ingin mengetahui dimana istrinya berada, namun di sisi lain dia tidak ingin membuat wanita itu merasa besar kepala dan terlalu percaya diri. Reinan sangat kesal. Dia membanting gelas sloki di tangannya ke lantai. Menimbulkan suara pecahan yang nyaring hingga serpihan kaca berserakan di lantai. "Wanita sialan!" Reinan kini beralih menghubungi seseorang, menunggu dengan tidak sabaran dengan ujung jarinya yang mengetuk meja dengan tempo lambat. "Cepat cari tahu keberadaan Zea. Rendy juga." Reinan segera menambahkan, dia masih curiga kalau dua orang itu akan memiliki hubungan lebih dari apa yang dia bayangkan. Memikirkannya saja sudah membuat Reinan merasa emosi. "Selama kamu masih menjadi istriku, jangan pikir kamu bisa bersenang-senang dengan pria lain di luar sana." Tidak hanya gelas sloki, botol wine yang sudah kosong di tangannya juga dia lemparkan ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Para pelayan yang ada di rumah tersebut memilih untuk menjauh dan ketakutan. Karena ini adalah kali pertama tuan muda mereka berada di rumah dalam kondisi menakutkan seperti ini. Kemarahan Reinan adalah sesuatu hal yang paling mereka takuti selama ini. Apapun yang terjadi, mereka hanya bisa berharap semoga kemarahan pria itu akan segera mereda. Mereka juga berharap semoga Ziya segera pulang untuk menenangkan emosi tuan muda mereka. Di tempat lain, Ziya sedang sibuk mengutak-atik laptop di tangannya. Ada begitu banyak progam yang sedang dikerjakannya. Orang awam yang melihatnya akan merasa pusing saat melihat layar tersebut terus berganti dan berkedip selama beberapa saat. Kecepatan tangan gadis itu semakin lama semakin cepat, matanya fokus melihat ke arah layar laptop. Suara dering di ponselnya sama sekali tidak membuat Ziya terkecoh. Karena ini adalah saat-saat kritis dan dia tidak boleh lengah sedikit pun. Meski dia bukan seorang hacker terkenal yang menduduki puncak dunia, setidaknya dia masih termasuk elit di Asia. Untuk berurusan dengan beberapa orang yang tidak begitu relevan, masih sanggup dia lakukan dengan mudah. Ziya saat ini sedang berusaha untuk memulihkan rekaman terdekat yang ada di sekitar pantai sebelum saudarinya mengalami kecelakaan. Rekaman tersebut telah dihapus dan rusak sebelumnya, butuh waktu lama baginya untuk bisa menemukan petunjuk ini. Kening Ziya seketika berkerut, melihat sosok saudarinya tampak berbicara dengan seseorang yang mengenakan jaket hitam dalam posisi memunggungi kamera. Membuatnya kesulitan untuk melihat bagaimana sosoknya. Kamera yang ada di minimarket ini juga tidak begitu jelas. Karena jarak pandangnya cukup jauh dari posisi saudarinya yang sedang berdiri dan berbicara dengan pria bertudung jaket hitam itu. "Tinggi badannya kira-kira 180cm, dia laki-laki." Penampilan pria itu tampak tertutup rapat. Bahkan kepalanya tertutup tudung jaket. Mendengar suara ponselnya terus berdering sejak tadi, wanita itu tampak kesal. Dia melihat siapa yang telah mengganggunya. Menyipitkan mata, melihat nomor yang asing. "Siapa?" Ziya tidak mau repot-repot menggunakan nada ramah pada seseorang yang tidak di kenalinya di telepon. Apa lagi orang ini sangat mengganggunya di saat-saat penting dalam penyelidikannya. Meski begitu tatapan mata Ziya tidak sedikit pun lepas dari layar ponsel yang baru saja dia pulihkan. Sayangnya baru beberapa menit, tiba-tiba saya layar laptopnya mulai berubah kembali. "Tidak tidak, kumohon jangan hilang!" Ziya spontan berkata dengan panik. Sayangnya semua telah terlambat, tidak peduli bagaimana usahanya untuk kembali memulihkan rekaman cctv tersebut, semuanya telah hilang dan berubah menjadi berkas rusak yang akan balik menyerang laptopnya jika dia lengah. Ziya pada akhirnya hanya bisa menghela napas panjang. Memejamkan kedua matanya dengan emosi tertahan dan perasaan tertekan yang luar biasa geram. "Nona Zea, mohon Anda segera kembali ke rumah. Tuan muda di sini sudah meminum banyak sekali minuman dan terus saja mengamuk karena Anda tidak pulang ke rumah. Kami para pelayan tidak bisa berbuat apa-apa." Ziya sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Dia sangat kesal saat mengetahui bahwa rekaman tersebut telah hilang begitu saja saat sudah berada di depan matanya. Namun ketika mendengar suara ketakutan dari seseorang yang ada diseberang telepon, dia sudah bisa mengenali suara tersebut. Siapa lagi jika bukan kepala pelayan di rumah Reinan, dia hanya bisa diam selama beberapa saat. Pria yang sudah melewati usia paruh baya dengan sebagian rambut memutih itu adalah sosok kepala pelayan yang selama ini tidak begitu bersikap buruk padanya. Memang tidak baik, namun juga tidak buruk. Karena kepala pelayan hanya bersikap netral dan sopan kepadanya, hanya sebatas itu. Tidak seperti para pelayan lain yang tidak jarang membicarakan hal buruk tentangnya di balik punggungnya. "Baiklah, aku akan pulang." "Kalau begitu biar saya siapkan sopir untuk menjemput Anda pulang." "Tidak perlu, aku bisa naik taksi." Ziya segera memotong perkataan pelayan tersebut dan mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Ziya mengiyakan permintaan kepala pelayan bukan tanpa sebab, namun karena sadar bahwa dia masih memerlukan identitas sebagai istri Reinan untuk mencari dalang di balik kematian saudarinya. Mengesampingkan segala keluhan dan rasa kesalnya pada Reinan, Ziya mulai menunggu hingga taksi online yang dipesannya tiba. Dia tidak banyak melakukan persiapan, berpakaian ala kadarnya dan menunggu dengan tenang. Tidak menunggu waktu lama dia akhirnya masuk ke dalam taksi online untuk kembali ke rumah itu. Rumah mewah dengan nuansa seolah-olah dia akan menjadi burung di dalam sangkar emas. Saat membuka pintu utama, dia langsung disambut oleh kepala pelayan yang membukakan pintu. Ziya tidak banyak bicara, langsung berjalan masuk dan mencium aroma alkohol yang cukup menyengat dari ruang tamu. Dia sempat mengibaskan tangannya di depan hidung untuk menyesuaikan diri dengan aroma alkohol yang pekat. Melihat kondisi Reinan saat ini, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pria itu biasanya selalu tampil rapi dan tidak pernah terlihat seberantakan ini. Entah apa yang sebenarnya terjadi, sampai bisa membuat sosok pria ini tampak menyedihkan. Ziya berjongkok di samping Reinan, mengulurkan tangannya untuk menepuk pipi pria itu. Dia ingin memastikan apakah Reinan masih sadar atau benar-benar sudah terpengaruh alkohol saat ini. Sayangnya tangan Ziya langsung dipegang dengan erat oleh Reinan sebelum dia sempat memegang pipinya. Kedua mata Reinan yang semula terpejam kini membuka seutuhnya. Obsidian sehitam malam itu menatapnya dengan lurus dan tajam. "Kamu akhirnya ingat pulang?" Ziya yang mendengar hal itu hanya bisa menatap ke arah lain. Jelas sekali merasa muak dan ingin berkata di depan wajah pria ini kalau dialah penyebab dia enggan tinggal di sini. Semua perlakuan buruk Reinan padanya, telah membuat Ziya merasa sakit hati. "Biar kuantar ke atas, kamu mabuk." Ziya tidak begitu menggubris perkataan Reinan. Dia berusaha untuk membantu Reinan berdiri dari sofa. Meski agak sulit, namun pria itu tidak banyak bergerak dan terus saja menatapnya. Zita benar-benar tidak tahu apakah Reinan saat ini benar-benar telah terpengaruh oleh alkohol atau ini hanya aktingnya semata. Dia hanya akan membawa pria itu ke kamarnya sebelum dia juga kembali ke kamarnya sendiri dan tidur dengan tenang. "Kenapa kamu berat sekali?" Ziya tidak bisa berhenti mengeluh saat berusaha membopong tubuh besar Reinan yang tidak sebanding dengan tubuh mungilnya saat berada di dekat pria itu. Mengabaikan Reinan yang sejak tadi tidak berhenti menatapnya, hingga membuat Ziya merasa agak risih. Setelah usahanya untuk membawa pria ini menaiki tangga, akhirnya Ziya berhasil meletakkan Reinan di atas ranjangnya sendiri. Dia ingin segera pergi dan kembali ke kamarnya sendiri. Sayangnya tangan Ziya ditarik dari arah belakang hingga Ziya yang tidak siap merasa kaget dan tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. "Aaaa!" Saat membuka mata, Ziya langsung disuguhkan oleh tatapan Reinan yang tampak mengintimidasinya. Kejadiannya begitu cepat, dia saat ini telah berada di bawah kurungan tubuh besar Reinan saat dia lengah. "Apa yang ingin kamu lakukan?" Tangan pria itu dengan mudah mencengkeram rahang Ziya dengan kuat. Tanpa banyak bicara Reinan langsung membungkam bibir Ziya dengan ciuman dalam dan penuh nafsu. Membuat Ziya tertegun sejenak sebelum memberontak dan berusaha melepaskan ciuman sepihak dari Reinan, hingga dia dengan sengaja menggigit bibir Reinan agar pria itu mau melepaskannya. "Kamu berani ...,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN