Saat terbangun, dia mencium aroma yang cukup menggugah seleranya. Beruntung sakit kepala yang semalam dia rasakan telah banyak mereda dan dia bisa bangun sendiri tanpa harus dibantu oleh siapa pun.
“Apa sudah lebih baik?”
“Kenapa kamu datang ke sini?” Ziya melihat nampan berisi makanan yang tampak menggugah. Karena biasanya makanan dari rumah sakit tidak mungkin semenarik ini. “Kamu yang menyiapkannya?”
Rendy hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih sama, tidak banyak berbicara. Dia hanya melakukan segala sesuatunya secara langsung, seperti membantu mengambilkan air minum untuk Ziya dan mengambilkan makanan ke dalam mangkuk untuk dimakan oleh Ziya.
Apa yang dilakukannya memang merupakan hal yang sederhana, namun bagi Ziya malah menimbulkan tanda tanya berlebih di kepalanya. Dia tidak tahu apa motif pria ini mendekatinya. Sejak awal hingga sekarang, dia bahkan tidak sempat bertanya siapa namanya dan apa alasan yang membuatnya mau membantunya hingga sejauh ini. Padahal sikap Reinan sebelumnya jelas menunjukkan penolakan dan peringatan bagi pria ini untuk menjauhinya. Ziya hanya tahu kalau pria ini adalah salah satu teman Reinan, selebihnya dia tidak mengetahui apapun.
“Makanlah,” Rendy menyodorkan semangkuk makanan yang sudah disertai lauk oleh pria itu di dalamnya.
Namun Ziya tidak langsung menerimanya, dia malah menatap Rendy selama beberapa saat. Entah mengapa dia seakan merasa akrab dengan sosok pria di depannya ini. “Kenapa kamu membantuku sampai sejauh ini? Bukankah kamu adalah teman Reinan?”
Rendy tidak langsung menjawab, dia mengambil sebelah tangan Ziya agar mau mengambil mangkuk dari tangannya dan kembali duduk. Masih mempertahankan raut wajah tanpa ekspresi khas miliknya. “Bukan apa-apa, aku hanya tidak menyukai pria yang bertingkah kasar pada perempuan.”
Ziya pada akhirnya tersenyum. “Terima kasih telah menolongku. Kurasa hanya kamu pria yang normal di sini, tidak seperti dia …”
Rendy hanya diam, dia masih bisa mendengarnya. Dia tentu saja paham dengan siapa yang dimaksud oleh Ziya. Siapa lagi kalau bukan Reinan. “Makanlah, aku akan keluar.”
“Tunggu, kalau boleh tahu siapa namamu?”
Rendy menatap Ziya selama beberapa saat, seolah sedang berpikir dan tidak menyangka kalau sejak kemarin Ziya ternyata masih belum mengetahui siapa dirinya. Entah apa yang ada di pikiran wanita ini, namun Rendy menahan diri dan hanya bisa merasa bahwa ini adalah hal yang lucu. Karena dia selama ini sudah terlalu terbiasa dikelilingi dan dipuja oleh banyak orang, terutama wanita. Melihat Ziya tidak mengetahui siapa dirinya, membuat Rendy tidak habis pikir.
“Rendy. Jangan banyak berpikir, cepat makanlah dan segera pulang setelah memulihkan kondisimu.”
Ziya spontan menganggukkan kepalanya, dia tersenyum manis ke arah Rendy. Kali ini senyumnya tulus, karena dia juga bisa merasakan kalau sikap pria itu padanya juga tulus. Biasanya intuisinya tidak pernah salah. Setidaknya saat ini, dia berharap kalau Rendy benar-benar orang yang tulus dan tidak memiliki motif tersembunyi padanya. Karena bagaimana pun, dia masih membutuhkan seseorang yang bisa dia andalkan saat tidak ada siapa pun yang bisa dia percaya dalam posisinya saat ini.
Tidak butuh waktu lama bagi Ziya untuk menyelesaikan makannya, dia juga tidak bertindak seperti pasien yang suka menyisakan makanan yang ada di piringnya. Karena dia pada dasarnya tidak sakit, namun dibuat sakit oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Malah pria itu sejak awal tidak pernah mengucapkan kata maaf setelah membuatnya harus menginap di rumah sakit ini. Membuat Ziya semakin geram dibuatnya.
“Kalau begitu aku pergi.”
Selepas kepergian Rendy, suasana di dalam ruang rawat Ziya menjadi sepi. Meski kehadiran sosok Rendy tidak berisik sama sekali dan tidak jauh berbeda seperti saat ini, namun tetap saja dia merasa sepi. Jika orang tuanya mengetahui kondisinya saat ini, dia sangat yakin kalau mereka pasti akan merasa khawatir. Namun dia tidak ingin memberitahunya, agar tidak membuat mereka khawatir.
*
Saat terbangun, Reinan melihat sekelilingnya. Keningnya mengerut saat melihat ruangan yang tampak asing. Kepalanya terasa berat dan dia benci mengakui kalau semalam terlalu banyak minum hingga membuat ingatannya kabur. Biasanya dia memiliki toleransi tinggi terhadap alcohol. Hanya saja dia semalam telah melewati batasnya. Jawabannya karena seseorang yang membuatnya merasa tidak nyaman. Siapa lagi jika bukan Ziya.
“Kamu sudah bangun?”
Suara seseorang yang tidak asing di telinga Reinan membuatnya menoleh. Menyipitkan mata seketika dengan kening berkerut. Dia sama sekali tidak bisa mengingat apa pun. Bagaimana bisa dia berakhir bersama dengan Kezia? Bukankah wanita ini semalam berada di rumah sakit?
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Apa kamu tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi semalam?” Kezia berjalan mendekat ke arah Reinan, memberikan secangkir minuman pereda sakit kepala padanya.
Reinan menerima minuman tersebut, menghabiskannya dalam sekali stegukan. Sayangnya dia hanya bisa mengingat beberapa pecahan memori samar. Dia hanya ingat telah menghajar Rendy karena terbawa oleh pengaruh alkohol dan suasana hatinya yang buruk. Selebihnya dia lanjut minum dan tidak bisa mengingat apapun lagi.
“Semalam kamu mabuk, aku datang dan membawamu ke sini.”
Kening Reinan sekali lagi mengerut, dia segera memakai bajunya dan beranjak berdiri. meski masih terasa agak pusing saat dia berdiri, namun dia harus segera pergi ke perusahaan untuk menghadiri rapat penting. Dia rasa tidak ada sesuatu hal apa pun yang terjadi antara dia dengan Kezia. Bagaimana pun dia bukan pria bodoh yang tidak bisa merasakan hal itu.
“Kalau begitu terima kasih karena telah menjagaku semalam. Aku harus segera pergi ke perusahaan untuk menghadiri rapat.”
Kezia hanya menganggukkan kepalanya. Melihat punggung Reinan yang semakin menjauh darinya. Memang semalam dia tidak ingin melakukan rawat inap di rumah sakit. Terlebih setelah Reinan meninggalkannya begitu saja, alhasil dia mendapat informasi kalau pria itu tengah mabuk di klub malam. Alhasil dia memanfaatkan hal itu untuk menjaga Reinan.
Senyum tipis muncul di bibir Kezia, dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Jangan lupa kirimkan foto-fotonya.”
**
Setelah menyelesaikan semua prosedur, akhirnya Ziya diperbolehkan untuk pulang oleh dokter. Tentu saja dengan sekantong obat yang harus dia minum secara rutin untuk mempercepat masa pemulihannya. Dia sedang bersiap-siap, namun seseorang tiba-tiba datang dan memberinya sebuah amplop berwarna coklat.
“Siapa yang mengirimiku amplop?”
Merasa penasaran, Ziya segera membuka amplop di tangannya. Begitu melihat isi di dalamnya, keningnya seketika berkerut. Ada sekitar lebih dari sepuluh foto yang ada di dalam amplop tersebut. Semua foto tersebut menunjukkan sosok Reinan dan juga Kezia yang diambil dari berbagai sudut sehingga tampak ambigu.
Ziya hanya bisa mengernyitkan keningnya jijik melihat pose kedua orang yang tidak tahu diri itu. Dia rasanya ingin mual membayangkan apa saja yang dua orang itu telah lakukan semalam. Bahkan sekujur tubuh Ziya rasanya merinding, mengingat kalau Reinan telah menyentuh seluruh tubuhnya.
“Pria ini memang menjijikkan.”
“Apanya yang menjijikkan?”
Ziya seketika menolehkan kepalanya ke arah seseorang yang menyahuti ucapannya. Melihat seseorang yang tidak asing lagi baginya setelah mereka bertemu beberapa kali.
“Kenapa kamu datang ke sini?”
“Pihak rumah sakit memberitahuku kalau kamu sudah diperbolehkan pulang. Bagaimana pun aku yang telah membawamu ke rumah sakit. Secara tidak langsung, mereka menggunakan kontakku sebagai selama dirawat di sini.”
Ziya hanya bisa tersenyum. “Maaf karena telah merepotkanmu. Aku sekarang sudah baik-baik saja.”
“Biar kuantar pulang.”
Ziya ingin menolak, namun melihat foto-foto yang ada di tangannya membuat wanita itu merasa semakin kesal. “Baiklah, kalau begitu aku akan merepotkanmu sekali lagi.”
Rendy juga bisa melihat foto-foto yang ada di tangan Ziya, namun dia hanya diam saja dan tidak banyak bertanya.