Hai, semuanya! Mohon baca ulang bab 5 atau 6 ya. Hal ini dikarenakan ada kesalahan update. Makanya bab ini dan bab 6 isinya sama. Yang benar, isi bab ini memang untuk bab 7. Sedangkan untuk bab 6 baru saja aku revisi. Kalian perlu baca ulang isi bab 6, karena di akhir bab itu akan menyambung ke adegan di bab 8 nanti.
.
.
.
Bel istirahat baru selesai berdering semenit yang lalu, Bu Dera—guru Bahasa Inggris—buru-buru membereskan buku pelajaran di hadapannya dan mengucapkan salam pada muridnya. Langkahnya terburu-buru kembali ke ruang guru. Panji yang duduk di dekat pintu tersenyum kecil melihat tingkah guru galak yang diam-diam pacaran dengan Pak Banu—guru Fisika. Akhir pekan kemarin, Panji tanpa sengaja melihat sejoli yang dimabuk asmara itu sedang jalan-jalan ke mal. Keduanya langsung menyuap Panji dengan seporsi mi ayam sebagai ganti tutup mulut agar tidak menyebarkan apa yang baru saja dilihatnya. Pasalnya, jenis hubungan Pak Banu dan Bu Dera di sekolah terlihat seperti musuh bebuyutan daripada sepasang merpati.
Bicara soal hubungan setelah melihat Pramita dalam keadaan berantakan dan dipapah Arsena keluar dari gudang, Panji memutuskan—lebih tepatnya mengakhiri, walau tidak pernah memulai—hubungannya dengan Rita. Panji menyadari, seharusnya sejak lama dirinya sudah menarik garis batas yang jelas di antara mereka. Panji tahu, Rita sudah menyukainya sejak mereka berkenalan di Masa Orientasi Sekolah, tapi Panji tidak bisa—mungkin lebih tepatnya enggan—membalas perasaan Rita. Tidak ada alasan khusus untuk hal itu.
“Kamu dateng ke pestanya anak-anak tim voli di rumahnya Deka, kan?”
Panji mengangkat kedua bahunya.
“Kamu temenan sama anak-anak voli, kan? Sena, Deka, Galih, mereka anak tim voli yang sekelas sama kamu, kan? Kalian temenan, kan? Kata Sena, mereka ngundang semua anak kelas tiga, beberapa kelas dua dan satu, juga para guru buat ngerayain tim voli kita juara nasional.”
Panji mematikan penghitung waktu di sebelah kirinya, kemudian sedikit menunduk untuk memastikan bahwa hasil proyeksi klise film dari alat enlarge bekas milik sekolah di kertas fotonya, terproyeksi dengan baik.
“Panji! Kamu dateng, kan?”
Panji bisa mendengar Pramita mendengkus sebal. Namun, cowok itu mengabaikannya dan malah sibuk dengan penjepit dan kehati-hatiannya mengambil kertas foto dan memindahkannya ke dalam wadah berisi cairan developer, sembari berucap, “Aku enggak diundang.”
Di sebelahnya, Pramita masih belum berhenti mengoceh tentang pesta perayaan kemenangan tim voli dan para teman sekelas Panji.
Bukan hal baru jika Panji tidak pernah sekalipun mendapat undangan dari teman-teman seangkatannya. Jangankan seangkatan, sekelas saja tidak ada yang mengajaknya sekedar pergi ke kantin untuk makan. Bukan tanpa alasan, semua temannya sudah bosan menawari Panji, karena cowok itu selalu menolak jika diajak atau ditawari sesuatu. Panji benar-benar akan mengatakan ‘iya’, jika yang datang padanya adalah hal yang memang diinginkannya. Mungkin satu pengecualian pada sosok Pramita yang kala itu, Panji sendiri yang mengundangnya masuk ke dalam kehidupannya, untuk satu alasan yang tidak pernah Panji ungkapkan.
“Kamu anak kelas tiga, ya otomatis diundang. Kamu bisa dateng bareng aku. Ya?”
Panji tak mengacuhkan Pramita yang kini memilih duduk di kursi plastik yang ada di dekat pintu. Mulutnya masih menggerutu dengan sikap Panji yang keras kepala dan menolak ajakannya dan lebih memilih berada di kamar gelap sekolah untuk mencetak film.
“Panji,” rengek Pramita.
“Aku enggak bisa, Ta. Aku mesti nyetak foto-foto ini buat mading edisi besok, juga buat dikirim ke media. Lagipula, kamu bisa pergi bareng pacar kamu si Arsena, kan?”
“Itu dia masalahnya. Sena ada acara dulu sama keluarganya, setelah itu baru nyusul ke rumahnya Deka. Makanya dia enggak bisa jemput aku.”
“Minta anterin sopir aja kalau gitu. Biasanya juga gitu, kan? Kamu ke mana-mana dianter sama sopir,” ujar Panji tanpa menoleh pada Pramita dan kini sudah memindahkan kertas fotonya ke wadah kedua.
“Kalau sama supir, waktuku di pesta cuma sejam!”
“Memangnya kalau sama aku, jadi bisa lebih, gitu?”
“Ehm … ya bisa jadi, sih. Aku udah punya rencana buat itu. Mbak Intan mau bantuin aku, biar aku bisa main lebih lama.”
“Memang apa?”
“Mbak Intan mau nge-date sama cowoknya. Nanti Mbak Intan bilang ke papa, kalau dia pengen ngajak aku. Tapi, nanti aku diturunin di tempatnya Deka dan Mbak Intan pergi nge-date.”
“Lalu? Kenapa masih butuh aku?”
“Aku juga enggak tahu pastinya, tapi Mbak Intan enggak percaya sama Arsena sejak nganterin aku pulang tempo hari, pas aku dikunciin di gudang. Padahal, kan, Sena udah bantuin aku, tapi Mbak Intan tetap aja jutek kalau ketemu sama Sena. Dia percayanya cuma sama kamu. Makanya, Mbak Intan mau bantuin aku, asalkan kamu juga dateng.”
“Nyuci dan nyetak foto-foto ini enggak bentar, Ta.”
“Aku tahu.” Pramita menghela napas mendengar jawaban Panji. “Gimana kalau gini, Nji? Kalau kamu bener-bener enggak bisa dateng, kamu cukup tunggu aku di depan rumahnya Deka. Setelah Mbak Intan udah pastiin kamu ada di sana, kamu boleh pergi. Mau pulang, mau balik ke sekolah lagi buat nerusin kerjaan kamu ini, by the way, apa kamu enggak takut malam-malam di sekolah sendirian buat nyetak foto?”
“Enggak dapet duit dari media buat makan, lebih menakutkan daripada kuntilanak di sini. Lagian, kalau enggak nonton pertandingan bola, Pak Gugun sering nemenin aku di sini.”
“Jadi? Kamu mau nolongin aku, kan?”
Panji mengangkat kertas foto yang masih basah, sedikit mengibaskannya agar cairan fixer dari wadah ketiga berkurang. Kemudian menggantung kertas foto tersebut di tali yang melintang di sisi kanannya dengan menggunakan jepit jemuran.
Setelahnya, Panji membalikkan tubuhnya dan sudah menemukan Pramita berdiri di hadapannya. Cahaya lampu merah safety menerpa wajahnya yang tersenyum lebar dan senyum itu selalu berhasil membuat Panji mengiyakan permintaan Pramita.
Mendapati Panji mengangguk setuju, Pramita memekik bahagia dan langsung memeluk Panji seraya terus mengucapkan terima kasih. “Kalau gitu, aku pulang duluan, ya! Aku mau siap-siap buat nanti malem! Bye!”
Senyum kecil yang samar itu mampir sekejap di wajah Panji. Terlihat menyedihkan sekaligus menyakitkan, ketika dirinya terlambat menyadari satu perasaan asing yang hadir ketika melihat Pramita dekat dengan Arsena setelah peristiwa di gudang itu. Panji tidak pernah membayangkan bahwa Pramita yang sejak menginjakkan kakinya di sekolah ini tidak memiliki banyak teman seperti dirinya, kini berteman dengan sang Kapten Tim Voli.
Kabar terbaru yang Pramita sempat sampaikan dua minggu lalu, mereka sudah berpacaran. Kenyataan yang membuat hubungan Pramita dengan Panji perlahan semakin merenggang. Panji tidak lagi menemukan Pramita di perpustakaan sedang mendengarkan discman-nya ataupun membaca majalah Trubus. Tidak lagi mempunyai waktu untuk menyesap es wawan di warung Ce Mimi, ataupun pergi ke toko buku mencari perlengkapan menggambar.
Semua kegiatan yang biasanya mereka lakukan berdua, kini sulit untuk diulang kembali. Hanya sesekali Panji akan menemukan Pramita berada di sampingnya, seperti tadi, ketika gadis itu tiba-tiba saja berdiri di depan kamar gelap dan mengekori Panji. Jangan tanya seberapa bahagianya Panji saat Pramita berada di sebelahnya, meskipun pada akhirnya hanya berakhir untuk membantu gadis itu menghabiskan waktu dengan Arsena nanti malam.
Terakhir kali Panji datang ke rumah Deka adalah ketika dirinya menjadi rekan satu kelompok untuk mata pelajaran Biologi yang mengharuskan para siswa meneliti tentang tumbuhan. Kebetulan mama Deka adalah seorang wanita yang gemar mengoleksi berbagai macam tanaman, sehingga seluruh anggota tim merekomendasikan untuk mengerjakan penelitian itu di rumah Deka. Meskipun pada akhirnya mereka lebih banyak bermain dan mengobrol daripada mengerjakan tugas. Namun, uang bisa membeli segalanya, kan? Vino, cowok rajin, lumayan pintar, tapi miskin dan ingin memiliki play station di rumahnya, menjadi solusi ideal untuk menyalurkan bantuan dana dari seorang Deka.
Malam ini, Panji kembali untuk urusan yang berbeda. Lagi-lagi dirinya hanya menghela napas dan dengan sepedanya masih menunggu mobil Pramita muncul di belokan gang. Panji tak mengacuhkan tatapan dari banyak pasang mata yang menatapnya penuh kebingungan, bahkan tidak sedikit pula yang memandangnya rendah sekaligus mengernyitkan dahi, seolah kehadiran Panji di sini adalah satu dari tujuh keajaiban dunia. Satu per satu wajah yang dikenalnya turun dari mobil pribadi maupun taksi—hanya beberapa yang naik motor, tapi tidak ada satu pun yang naik sepeda, kecuali Panji.
Sebuah mobil sedan warna perak melaju perlahan, lalu berhenti tepat di depan gerbang rumah Deka. Tak berapa lama kemudian, sang Kapten Tim Voli keluar dari pintu belakang mobil dengan setelan varsity putih bergaris hijau yang menjadi kebanggaannya. Wajahnya tidak berhenti tersenyum, bahkan ketika dia menunduk untuk berbicara dengan seorang pria di kursi supir.
“Papa enggak usah jemput. Nanti aku balik sama anak-anak.”
Hanya kalimat itu yang berhasil ditangkap oleh indera pendengaran Panji, dari tempatnya berdiri. Setelah sang Kapten Tim Voli melangkah masuk ke halaman rumah Deka, mobil sedan itu kembali melaju pergi. Panji sempat sekilas melirik sosok lawan bicara Arsena yang dipanggil papa olehnya. Pria dengan kemeja warna biru, rambut yang tersisir rapi, dan lesung pipi di pipi kanan—seperti milik lesung pipi Panji—yang masih terlihat di sana.
***
“Mana temen kamu? Kalau dia enggak ada, Mbak enggak mau ninggalin kamu di sini.”
“Ada, kok! Mungkin dia udah di dalem. Aku turun aja sekarang, ya?”
“Kalau gitu biar Mbak masuk dulu buat nyari—”
“Jangan gitu dong, Mbak Intan. Mbak mau aku diketawain satu sekolah, karena Mbak tiba-tiba ke sana nyari Panji buat jadi baby sitter aku? Lagian seperti yang udah aku bilang, di sana juga ada Arsena.”
“Cowok yang nganterin kamu pulang dulu? Mbak udah bilang, kan? Mbak enggak suka sama dia.”
Pramita mencebik kesal mendengar kalimat Intan. Pasalnya, kakak perempuannya itu tidak memiliki alasan jelas untuk membenci sosok Arsena yang sudah membantu Pramita. Tiba-tiba saja, di suatu hari, sikap Intan berubah 180 derajat pada Arsena. Intan meminta Pramita untuk menjauhi Arsena dan tidak lagi berhubungan dengan cowok itu.
“Mbak tahu kalau Sena itu udah nolongin aku, malah enggak dipercaya. Giliran Panji, yang Mbak Intan bahkan belum pernah ketemu, kok percaya banget?”
“Meski Mbak belum pernah ketemu Panji, tapi dari cerita kamu dan Pak Yono, Panji memang orang yang baik. Makanya Mbak percaya.”
“Hanya karena ucapanku dan Pak Yono? Itu namanya enggak adil!”
“Jadi, Panji juga bukan cowok baik?”
“Bukan begitu—”
“Jalan, Pak! Kita pulang aja!”
“Eh! Kok gitu?!”
“Panji atau enggak sama sekali?”
“Iya-iya!” kesal Pramita, lalu menatap ke luar untuk mencari sosok Panji. Tak jauh dari tempatnya saat ini, dia berhasil menemukan Panji tengah berdiri di dekat pintu gerbang rumah Deka. Cowok itu hanya berdiri diam tanpa berniat sedikitpun bertegur sapa dengan kawan-kawannya. Tapi, itu terserah Panji, bukan itu yang Pramita pedulikan saat ini! “Itu dia!”
Intan mengikuti ke mana arah tunjuk Pramita, kemudian memastikan pada Pak Yono, bahwa cowok itu benar adalah Panji. Tanpa sepatah kata pun, Intan tiba-tiba saja langsung turun dari mobil dan menghampiri Panji, membuat Pramita gelagapan dan langsung mengikuti langkah kakaknya.
“Kamu yang namanya Panji?”
Panji mendongak dan menatap Intan dengan tatapan bingung. Sedangkan Intan terkejut bukan main saat melihat lebam di wajah cowok yang ada di hadapannya ini. Mendadak ragu untuk menyerahkan keselamatan adiknya.
“Panji! Muka kamu kenapa?”
“Ah, ini gara-gara jatuh. Tadi sepedaku enggak sengaja diserempet mobil.”
“Mbak Intan, ini yang namanya Panji, temen aku. Panji, ini Mbak Intan, kakak tiri aku.”
Panji mengangguk seraya tersenyum kikuk mendengar bagian akhir kalimat Pramita. Seharusnya cewek itu melihat bagaimana wajah kakak perempuannya mendadak kehilangan senyum tipis, setelah Pramita selesai mengucapkan kalimatnya.
“Panji, kamu yakin datang ke pesta dengan kondisi seperti ini?”
“Enggak apa-apa. Lagian juga di dalam lampunya enggak terang-terang amat kok, Mbak. Jadinya lukaku enggak akan terlalu kelihatan.”
“Ok,” sahut Intan, lalu mengalihkan tatapannya pada Pramita yang masih khawatir pada Panji. “Ta, inget pesan aku. Dua jam, setelah itu Pak Yono bakal jemput kamu. Selama di dalam, jangan minum minuman beralkohol. Kalau ada yang ngasih kamu—”
“Iya, Mbak Intan. Mbak udah ngomong kayak gitu berulang kali.”
“Mbak cuma enggak mau kalau kamu kenapa-kenapa. Kalau terjadi sesuatu sama kamu, aku dan ibu juga bakal kena marah sama papa.”
“Iya – iya. Udah sana, nanti cowok Mbak Intan marah lho kelamaan nunggu,” gerutu Pramita, lalu mendorong tubuh Intan menuju mobil.
“Panji, nitip Mita, ya!” teriak Intan sebelum akhirnya berlalu meninggalkan rumah Deka.
Setelah mobil yang ditumpangin Intan sudah tidak lagi terlihat, Pramita segera berbalik dan kembali menghampiri Panji yang hendak pergi.
“Mau ke mana?”
“Tugas aku udah selesai. Kamu cuma perlu Mbak Intan lihat aku ada di sini, kan?”
“Ehm … iya, sih. Tapi kamu beneran enggak apa-apa sama muka kamu ini?”
“Ini luka kecil, palingan dikasih selep juga sembuh.” Panji menaikki sepedanya dan hendak mulai mengayuh pedal. “Aku ke sekolah dulu, mau lanjutin nyetak foto,” pamit Panji, kemudian tanpa menunggu jawaban dari Pramita, kaki Panji mulai mengayuh pedal sepedanya.
***
“Ngapain kamu ke sini, Nji? Hujan-hujan gini?”
“Tadi enggak hujan, pas udah nyampe depan gerbang baru hujan. Lagian aku mesti nyelesaiin kerjaan, Pak.”
“Besok kan hari minggu. Kerjain aja besok, enggak usah sekarang.”
“Nanggung! Biar besok tinggal ngecek aja, kalau ada yang kurang pas. Lagian udah nyampe sini juga, kan?” Panji menyugar rambutnya yang basah akibat hujan yang tiba-tiba saja mengguyur, tepat saat dirinya hampir sampai di sekolah.
“Lho, muka kamu kenapa? Udah diobati belum?”
“Udah,” bohong Panji. “Aku lanjutin nyetak foto dulu, Pak. Pak Gugun mau nemenin atau nonton bola?”
“Chelsea nih yang tanding. Ntar abis tanding, Bapak samperin ke sini. Kalau kamu udah duluan kelar, nanti anterin kuncinya ke kamar Bapak,” jelas Pak Gugun seraya memberikan segepok anak kunci pada Panji.
Pak Gugun segera kembali ke kamarnya yang berada di dekat bangunan kantin, meninggalkan Panji yang masih meringis nyeri karena luka lebam di pipi dan pelipis kirinya. Panji kembali masuk ke kamar gelap, menyalakan lampunya dan mengambil baju ganti yang memang dia simpan di lemari ketika dia lembur seperti ini. Kemudian mengambil kotak P3K yang memang selalu tersedia di dekat pintu. Dibasahinya kapas dengan alkohol untuk membersihkan lukanya, sebelum mengoleskan salep.
Setelah mengobati dirinya, Panji kembali mematikan lampu utama dan menyalakan safe light untuk meneruskan pekerjaannya. Namun, ketika dirinya hendak mengambil klise yang sudah siap dicetak, Panji urung dan terduduk kembali di kursi. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan, bukan karena dia kedinginan, melainkan karena mengingat kejadian yang baru terjadi beberapa waktu silam.
Panji masih ingat benar, bagaimana mata pria itu menatap dirinya yang tiba-tiba saja menghentikan laju mobil warna peraknya, penuh amarah. Langkah lebarnya setelah turun dari mobil, mendekati Panji dan tangannya terulur hendak menghajar Panji. Namun, Panji lebih cepat mencekalnya dan langsung menghajar pria dengan lesung pipi itu. Belum sempat pria itu berdiri, Panji sudah terlebih dahulu menindih dadanya dengan kaki kiri. Jemarinya mencengkeram kuat kerah kemeja pria itu.
“Begal berengsek!” maki pria itu, masih memelotot pada Panji dan berusaha melepaskan diri.
Panji mengangkat tinjunya lagi, lalu menghantamkannya tepat di pipi kiri pria di bawah tindihannya, berulang kali! Hingga akhirnya pria yang kesakitan itu memanfaatkan kelengahan Panji dengan menekuk lututnya dan menghantamkannya ke punggung Panji. Membuat Panji tersungkur seraya meringis memegangi punggungnya. Tanpa memberi Panji kesempatan untuk bangkit, pria dengan kemeja rapi itu membalas pukulan Panji bertubi-tubi.
“Berengsek! Kamu salah pilih korban buat kamu begal!” teriaknya, lalu pergi meninggalkan Panji yang terkapar dengan wajah lebam.
Panji menggeleng sekuat tenaga untuk mengusir bayangan keji beberapa saat lalu itu. Mencoba kembali fokus pada sisa-sisa klise yang belum dicetaknya.
Dan entah untuk berapa lama, Panji tidak tahu pasti dia menghabiskan waktunya di kamar gelap. Pak Gugun sudah dua kali menyempatkan diri memeriksa keadaan Panji, setiap jeda pertandingan bola yang ditontonnya. Berlembar-lembar kertas foto sudah tergantung rapi di tali, tinggal menunggu kering saja, lusa akan Panji serahkan pada Yudha dan kirim ke surat kabar lokal.
Panji hendak membereskan alat-alat fotografinya, ketika pintu kamar gelap tiba-tiba saja terbuka. Pak Gugun tidak akan pernah membuka pintu itu tanpa mengetuk terlebih dahulu, tapi kali ini berbeda dan memang bukan Pak Gugun yang berdiri di ambang pintu. Deru derasnya hujan dan petir yang beberapa kali menyambar, langsung menyeruak masuk dan menambah kesan dramatis kedatangan tiba-tiba sosok yang tidak pernah dibayangkan Panji akan mengunjunginya dalam kondisi seperti saat ini.
Pramita berdiri di sana. Tubuhnya basah, napasnya terengah, rambutnya yang semula dikuncir ekor kuda, kini sudah berantakan dan basah. Kedua pundaknya bergetar—entah menggigil atau terengah kehabisan napas—ekspresi wajahnya sulit Panji terka, tapi Panji bisa melihat dengan jelas kedua pelupuk mata Pramita yang berkaca-kaca.
“Ta?”
Panji hendak melangkah mendekat, tapi Pramita lebih dulu berlari ke arahnya dan langsung menubruk tubuh Panji. Panji bisa merasakan pelukan erat kedua lengan Pramita di sekeliling pinggangnya. Cewek itu menenggelamkan wajahnya ke d**a Panji dan seketika tangis—yang entah sudah berapa lama ditahannya—akhirnya pecah.
Panji tidak akan bertanya tentang apa yang terjadi pada Pramita. Namun, melihat bagaimana cara cewek ini menangis, Panji sudah bisa menebaknya. Panji tidak akan menghakimi Pramita atas keputusan yang diambilnya. Meskipun bisa saja saat ini Panji menertawakannya, tapi tidak, Panji hanya akan melingkarkan kedua lengannya untuk memeluk pundak rapuh itu. Membiarkannya menangis selama yang dia inginkan.
***