[6]

3884 Kata
“Lo siapanya Panji?” “Hah?” “Panji itu cowoknya Rita! Lo harusnya tahu diri, jangan keganjenan godain cowok orang!” “Aku? Godain cowok orang? Panji?” tanya Pramita bingung dan tak percaya pada Dina, teman Rita. Tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, Pramita bisa melihat dengan jelas sosok Rita yang katanya adalah kekasih Panji. Gadis dengan seragam SMA super ketat, rok yang berada 10 senti di atas lutut, ditambah dengan wajah yang dipulas make-up, membuatnya terlihat seperti gadis murahan, dan Panji adalah kekasihnya? Sejauh Pramita mengingat, tidak pernah sekalipun Panji menyebut tentang statusnya dengan Rita. Cowok itu selalu membicarakan tentang makanan dan fotografi saat bersamanya ataupun dengan Bu Ida. Lalu sekarang muncul seorang cewek dan antek-anteknya yang memojokkan Pramita di gudang sekolah? Menggelikan! “Lo kalau dibandingin sama Rita itu udah bagai cacing tanah sama bidadari, jadi enggak usah ngimpi lo bisa dapetin Panji!” “Tunggu, aku dan Panji enggak ada hubungan apa-apa, kami hanya berteman.” “Halah! Orang buta juga bisa lihat kalau—” “Orang buta itu enggak—” “Bacot!” gusar Rita yang sudah berdiri di hadapan Pramita menggantikan Dina. “Lo harusnya ngaca dan lihat gimana penampilan lo! Jelek! Lo pikir Panji baik sama lo, karena ada rasa? Lo jangan geer! Dia cuma main-main aja! Jadi, mending lo mundur teratur mulai sekarang.” Pramita tersenyum kecil mendengar kalimat Rita. “Sudah berapa kali aku bilang? Aku dan Panji adalah sahabat. Kalau kamu suka sama dia, tapi dianya enggak suka sama kamu, harusnya kamu yang sadar diri!” geram Pramita yang langsung mendorong tubuh Rita, membuat cewek itu terhuyung. Pramita segera berlari, tapi Dina dan Fani sudah menghalau di depannya. Kembali mendorong Pramita mundur untuk bertemu dengan Rita, memojokkannya di bagian terdalam gudang sekolah yang penuh dengan kursi dan meja usang. Pramita kembali berusaha melewati kungkungan Dina dan Fani, tapi Rita mencengkeram erat kedua bahunya dan mendudukannya di kursi. “Cepet!” teriak Rita. “Sebelum ada yang denger!” Kedua mata Pramita membelalak saat mendapati Dina mengeluarkan tali tambang dari dalam tasnya. Pramita terus meronta, tapi satu lawan tiga bukanlah hal yang mudah, terlebih Fani yang anggota mapala dan sudah sering terasah kekuatan fisiknya dengan pendakian gunung, tentu bukan lawan yang sebanding dengan Pramita. “Rita! Lepasin!” “Gue enggak nyangka aja, Panji lebih milih lo daripada gue!” geram Rita sembari mengikat kedua kaki Pramita. “Kayaknya semalam di sekolah sendirian, bakal jadi peringatan pertama yang bagus buat lo. Kalau lo masih nekat deketin Panji, maka selanjutnya wajah lo yang udah jelek ini, bakal gue bikin makin jelek!” Fani dan Dina langsung tertawa senang mendengar ancaman Rita. Seolah ide ancaman itu adalah sebuah ide brilian yang yang patut dirayakan. Tidak hanya mengikat, Rita bahkan mengambil lakban dari dalam tasnya dan langsung membekap mulut Pramita. Tidak ada yang bisa dilakukan Pramita untuk melawan tiga cewek itu, selain meronta dan berusaha berteriak dengan mulut terbekap. Namun, semakin Pramita berusaha, semakin keras pula tawa Rita dan kawan-kawannya melihat kondisi Pramita tak berdaya. Di tengah kondisi seperti saat ini, sebuah ketukan di pintu gudang seketika membuat suasana hening. Ketiga cewek itu saling pandang dan Fani langsung melompat untuk membekap mulut Pramita, sedangkan Rita berjalan ke arah pintu gudang dan membukanya. “Ngapain lo di sini?” Terdengar suara pria dari balik pintu, tapi Pramita tidak bisa melihat siapa pemiliknya. Dirinya kembali meronta, tapi Dina segera mendekapnya. “Tadi gue denger ada suara ketawa dari gudang pas mau ambil net sama bola voli dari ruang olahraga, gue pikir aneh banget. Jadi—” “Itu suara gue sama temen-temen gue,” sahut Rita. “Oh, Dani sama Fani?” “Iya.” “Ngapain kalian di gudang sekolah?” “Dih, ini urusan cewek!” ujar Rita dengan nada genit yang dibuat-buat. “Eits! Mau ngapain! Dina lagi telanjang, jangan coba-coba maksa masuk!” “Telanjang? Kalian ngapain, sih? Makin bikin gue penasaran.” “Udah sana! Enggak usah ikut campur!” Selanjutnya terdengar Rita menutup kembali pintu gudang, lalu berbalik dan menyeringai, menatap Pramita yang sudah menangis. “Hampir aja ketahuan. Kita pastiin lagi ikatan dan sumpalan di mulutnya, biar dia enggak bisa ngapa-ngapain!” *** “Tumben, sendirian?” “Pramita enggak ke sini, Bu?” tanya Panji pada Bu Ida. “Tadi istirahat ke sini. Kenapa?” “Aku cari di kelasnya enggak ada.” “Mungkin jemputannya udah dateng.” “Mungkin, ya. Tapi tumben dia enggak ngabarin aku kalau mau langsung pulang.” “Memangnya, kamu siapanya Mita? Pacar bukan, apalagi kakak!” Panji mencebik. “Apa harus jadi pacar atau kakak buat khawatir sama seseorang? Jadi sesama manusia aja, bisa enggak?” Bu Ida terdiam mendengar pertanyaan Panji yang masuk di akalnya. “Kalau kamu khawatir, coba tanya temen-temennya.” “Dia enggak punya temen.” “Siapa bilang?!” Panji menatap Bu Ida penuh rasa penasaran? Pasalnya, Pramita yang dia kenal memang tidak memiliki teman di sekolah ini, tentu saja selain dirinya. Pramita di sekolah ini, seolah menjadi musuh nomer satu para murid, karena kepandaiannya yang membuat para guru jatuh hati. “Kamu enggak masuk dua hari, dia jadi punya teman! Ibu jadi mikir, jangan-jangan dia selama ini enggak punya teman, apa gara-gara kamu, ya? Murid-murid di sini jadi takut mau kenalan sama Mita, karena udah takut lihat kamu duluan yang selalu nempel.” “Memangnya siapa temen-temennya Pramita yang Ibu maksud?” “Itu si Rita, terus Arsena si Kapten Voli.” “Rita sama Arsena?” Bu Ida mengangguk. “Iya, mereka—heh! Mau ke mana? Panji!” Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari Bu Ida, Panji langsung berlari mencari sosok yang namanya disebut Bu Ida tadi. Namun, keduanya sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. “Fani!” panggil Panji. Fani yang baru saja keluar dari kelas dan menenteng tas carrier-nya langsung melambaikan tangan. “Lo enggak ikut muncak?” “Enggak, gue belum selesai nyetak foto buat mading sama koran.” “Oh, oke.” “Fan, lo lihat Rita, enggak?” “Wah, tumben banget nanyain Rita? Kenapa? Kangen, ya? Biasanya juga lo cuekin.” “Fan?” “Dia udah pulang dari tadi.” “Sendirian?” Fani mengangguk. “Kenapa, sih? Kalau perlu ngomong sama dia, kan lo bisa telepon ke rumahnya.” “Kalau Pramita, lo lihat, enggak?” “Pramita si cewek jelek dan culun itu? Ah, maaf-maaf.” Fani buru-buru minta maaf ketika menyadari perubahan raut muka Panji. “Gue enggak akan ngomong kayak gitu lagi soal dia. Mita, ya? Gue enggak lihat. Biasanya dia dijemput, kan? Mungkin aja udah pulang duluan.” “Mungkin. Ok, thanks!” Entah mengapa, Panji tidak mendapatkan ketenangan dari jawaban Bu Ida maupun Fani. Jawaban kedua orang itu sama sekali tidak berhasil menyakinkan Panji untuk tidak lagi memikirkan Pramita. Segera dia berlari keluar sekolah menuju wartel di sebelah warung Ce Mimi untuk mengubungi orang rumah Pramita, memastikan bahwa gadis itu memang ada di sana. Namun, sebuah jawaban yang didapat Panji semakin membuat keningnya mengerut dan khawatir. Pramita menginap di rumah Rita? Tanpa berpikir lama, Panji langsung pergi menuju rumah Rita. Sesampainya di sana, dirinya disambut Rita dengan senyum merekah yang manis. “Kenapa?” “Pramita di sini?” “Pramita? Mita si anak—” “Enggak usah banyak omong! Pramita di sini, enggak?!” Rita menggeleng. “Gue enggak tahu lo dapat ide dari mana, kalau Mita ada di rumah gue. Jawabannya tentu aja enggak ada.” “Tapi orang rumahnya bilang kalau dia nginep di rumah temennya yang namanya Rita!” “Dan lo pikir itu Rita gue?” “Siapa lagi?” “Benar juga, di sekolah yang namanya Rita cuma gue,” kekeh Rita. “Tapi dia enggak ada di sini, Nji. Kalau enggak percaya, lo masuk aja, cek sendiri.” Namun, Panji tidak menerima tawaran Rita itu. Dirinya hanya sedikit melongok lebih dalam ke rumah Rita dan tidak ada siapapun di sana. Lagipula, saat tiba tadi, dirinya sudah memperhatikan deretan sepatu dan sandal yang tertata rapi di teras. Ada sepatu sekolah Rita di sana, tapi tidak dengan sepatu Pramita. “Wah, murid teladan kabur dari rumah? Berani-beraninya dia nyatut nama gue! Wah, ini bisa jadi gosip ter—” “Kalau lo berani ngomong macem-macem soal ini ke seantero sekolah, gue enggak akan pernah anggap lo ada! Ngerti!?” “Hm,” gumam Rita sembari melakukan gerakan mengunci mulutnya. Setelah dari rumah Rita dan tidak menemukan Pramita di sana, Panji bergegas mencari Pramita di tempat-tempat yang mungkin saja didatangi gadis itu. Mulai dari toko es krim favorit Pramita, toko musik yang sering didatangi Pramita, hingga Panji kembali ke perpustakaan sekolah yang sudah tutup. Pramita tidak mungkin tiba-tiba saja kabur dari rumah. Meskipun dia berani membalas dengan lantang ucapan siswa-siswa lain yang meremehkannya, tapi gadis itu terlalu pengecut untuk sekedar pergi ke warung Ce Mimi sendirian. Dan sekarang, tiba-tiba saja Pramita memutuskan untuk kabur dari rumah? Sungguh tidak masuk di akal Panji! Panji seperti orang gila mencari keberadaan Pramita. Dimasukinya ruang kelas satu per satu, bahkan memastikannya ke Pak Gugun—penjaga sekolah yang bertugas mengunci seluruh ruangan—bahwa tidak ada Pramita di sana. “Enggak ada, Nji! Ya, kalau ada orang di dalem kelas, masa Bapak kunciin?” Panji hanya bisa nyengir dan menggaruk kepalanya. “Palingan sisa anak-anak yang pada ikut ekstra di lapangan sana. Coba aja cari di lapangan sana, kali aja Mita lagi nungguin cowoknya.” “Pramita enggak punya cowok, Pak,” sergah Panji, lalu segera berlari menuju lapangan sekolah. Dilihatnya beberapa wajah siswa yang dikenalnya, tapi tidak ada sosok Pramita di sana. Bahkan, tidak ada satu pun dari mereka yang melihat Pramita. Panji semakin kalut, inginnya untuk memberi tahu keluarga Pramita tentang yang terjadi pada anak gadis mereka, tapi Panji tahu hubungan Pramita dan keluarganya kurang baik. Kalau memang ini adalah sikap protes Pramita terhadap keluarganya, maka Panji tidak boleh terburu-buru untuk melaporkannya pada keluarga Pramita. Dengan langkah gontai, Panji berjalan kembali menyusuri lorong kelas dengan harapan Pramita akan tiba-tiba muncul di hadapannya. Jika saat itu terjadi, Panji berjanji tidak akan memarahi Pramita karena sudah membuatnya khawatir seperti orang gila. Panji hanya akan memeluknya dan menenangkannya. Panji tidak akan menanyakan alasan kepergian gadis itu. Dan sepertinya Tuhan mendengar permohonan Panji. Begitu dirinya menatap lurus ke depan, gadis yang membuatnya hampir gila sudah berdiri di sana bersama dengan seorang cowok! Panji langsung berlari menghampirinya, tapi begitu jarak mereka tinggal beberapa langkah, si Kapten Voli mengangkat tangannya, meminta Panji untuk tidak lagi mendekat. Panji menurut dan berhenti di tempatnya. Manik matanya bergerak cepat melihat kondisi Pramita yang berada dalam rangkulan Arsena. Gadis itu terlihat kacau, tidak baik-baik saja, dan dia menangis! “Ta, kamu kenapa?” “Lo masih berani nanya dia kenapa?” “Gue enggak ngomong sama lo!” “Asal lo tahu aja, dia jadi begini gara-gara lo!” Panji menatap sengit Arsena yang masih merangkul tubuh Pramita yang gemetar ketakutan. Gadis itu menunduk dalam dan sesekali menyeka air matanya. “Ta, ayo, aku antar pulang.” “Enggak perlu. Gue yang bakal antar dia. Mulai sekarang, lebih baik lo jauh-jauh dari Mita, paham?” *** “Ta, dapet dari mana model kayak gitu?” “Hah?” “Tuh, yang di sebelah sana lagi duduk di bar, itu model lo, kan?” Pramita menoleh ke arah anggukan Gia, salah satu kolega sesama pemilik perusahaan mode. Didapatinya Panji sedang menikmati jus jeruk yang disajikan oleh bartender di acara after party. Acara ini memang sengaja diadakan oleh Lia untuk menjamu para tamu setelah pagelaran busananya, sebagai salah satu bentuk apresiasi atas kedatangan mereka. Pramita menyematkan sebatang rokok di sela jemarinya dan memantik api seraya menyesap nikotin di dalamnya, tanpa melepaskan tatapannya pada Panji yang kini sedang sibuk berbincang dengan model wanita yang menjadi pasangannya saat di atas catwalk tadi. Baiklah, Pramita awalnya berharap Panji akan terpeleset, jatuh di atas catwalk, atau terjadi hal apapun yang bisa membuatnya malu di muka umum. Namun, Pramita harus menelan kekecewaan saat harapannya itu tidak terwujud dan yang terjadi malah sebaliknya. Semua orang jatuh pada pesona Panji. Siapa pula yang tidak akan terlena dengan pesona Panji, bahkan dulu sekali Pramita pernah dengan bodohnya menganggap Panji sebagai sosok terbaik dalam hidupnya. “Heh! Bengong aja,” tegur Gia lagi. “Abis ini mau ke mana?” “Pulang.” Tawa Gia seketika meledak mendengar jawaban Pramita. “Pulang? Lo? Kalau memang beneran lo pulang, kayaknya tahun depan Indonesia bakal jadi juara Piala Dunia. Ayolah, lo mana mungkin pulang, ini masih jam sepuluh.” “Gue banyak kerjaan. Deadline proyek gue banyak yang mepet.” Pramita kembali menyesap rokok, lalu mengepulkan asapnya ke wajah Gia. “Gue bukan lo, ngaku desainer tapi enggak bisa gambar, ngandelin koneksi keluarga buat naikin brand lo dan bayar orang buat ngerjain semuanya.” “Itu gunanya duit orang tua, Ta. Widyatmoko punya cukup duit buat modalin lo dan bayar orang, tapi lo malahan milih merangkak dari nol. Dunia fashion itu gelap, Ta! Segelap masa depan Lust punya lo.” Pramita mencebik. Gianina, Gia, teman satu angkatannya saat menempuh kuliah di London, benar-benar menyebalkan. Wanita dengan sejuta fasilitas mewah, mulai dari flat, mobil, hingga gedung kantor dari orang tuanya ini memang senang mencemooh Pramita yang lebih memilih merintis usahanya daripada menerima uang Prama Widyatmoko. “Gue lagi enggak mood adu mulut sama lo. Kalau masih aja bikin gue emosi, mendingan lo jauh-jauh dari gue.” “Yaelah, Ta.” Gia mengambil dua gelas wine dan memberikan salah satunya pada Pramita. “Bercanda doang.” “Halo, Ta!” sapa seorang pria yang langsung duduk di sisi lain Pramita dan menariknya ke dalam pelukan. “Lama enggak ketemu,” ujarnya dengan tubuh sempoyongan. “Lepasin!” Pramita menarik paksa tubuhnya dari pelukan Arsena dan hendak beranjak menjauh, tapi pria itu lebih dulu mencekal tangan Pramita dan membuatnya kembali terduduk. “Kita enggak ada urusan lagi, Sen.” “Wah, gue pikir kalian bakal sampe nikah, lho! Secara, kayaknya si Sena bucin banget sama lo, Ta. Udah, balikan aja, Ta. Lumayan, kan, enggak ada duitnya Widyatmoko masih ada duitnya Darmawangsa.” “Bener yang dibilang Gia, Sayang. Lo mau apa? Lo mau gue inves di perusahaan lo? Ok, lo butuh berapa?” “Gue enggak butuh duit lo!” “Ayolah! Jangan jual mahal sama gue dong, Ta.” Gia yang duduk di sisi lain Pramita masih terbahak melihat Arsena bertekuk lutut, memohon pada Pramita. “Makanya, jadi laki dijaga tuh matanya. Kalau perlu pake kaca mata kuda biar enggak meleng ke sana ke sini! Rasain lo!” “Berisik!” kesal Arsena. “Eh, ini siapa, Ta?” Arsena mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan fokusnya dari efek memabukkan sebotol wine yang baru saja dihabiskannya. Arsena menyipitkan matanya, mencoba fokus untuk melihat sosok Panji yang berdiri di hadapannya. “Kayaknya gue pernah lihat, Ta.” Arsena menggaruk kepalanya. “Tapi gue enggak inget. Tolong bantuin gue, Ta. Siapa nih cowok di depan lo ini?” Pramita tidak menggubris pertanyaan mabuk Arsena. Dirinya lebih tertarik pada reaksi yang diberikan Panji begitu melihat Arsena. Tidak ada! Pria itu terlihat tenang, sama seperti saat pertama kali mereka bertemu lagi, ketika pemotretan buku tahunan di Swan Lake. Bahkan Panji tidak perlu repot-repot mengurusi Arsena yang kebingungan dengan jati dirinya, pria itu hanya fokus mengajak Pramita pulang—karena Rizal yang menyuruhnya. “Bu, kita pulang sekarang? Pak Rizal minta saya untuk mengantar Ibu pulang sekarang,” ucap Panji dengan sedikit berteriak, karena suara dentum musik yang semakin keras. “Rizal siapa lagi, Ta?” Arsena berdiri, lalu merangkul Panji. “Lo yang namanya Rizal?” “Bukan, Mas. Saya Panji.” “Panji … hem … Panji … kayak pernah denger, di mana, ya?” Arsena masih mencoba berusaha mengingat tentang Panji. “Ah, kepala gue sakit banget, sial! Kepala gue pusing banget, udahlah, enggak penting.” “Ayo, Sen!” Pramita berdiri seraya menggandeng Arsena. “Wah, lo mau ajak gue ke mana, Ta?” kekeh Arsena senang, lalu membalas rangkulan Pramita, dan keduanya langsung pergi dari acara after party tersebut. Panji buru-buru menghubungi Rizal dan mengatakan kondisi Pramita saat ini. Di seberang telepon, Rizal menggeram kesal dan meminta Panji untuk tetap mengikuti Pramita dan segera membawanya kembali ke apartemen. “Zal! Aku bukan anak kecil!” kesal Pramita yang langsung menyambar ponsel Panji. Setelah berteriak keras, Pramita mematikan sambungan telepon dan mengembalikannya pada Panji. “Kamu jangan jadi pengadu, ya! Bos kamu itu saya! Bukan Rizal! Ngerti? Kalau kamu masih suka ikut campur, mending kamu sendiri yang pulang!” Dengan kesal, Pramita langsung kembali menggandeng Arsena dan masuk ke mobil cowok itu. Setelah mengatakan ke mana tujuan mereka pada sang supir, mobil sedan mercy hitam itu mulai melaju. Panji langsung berlari mengambil mobil dan membuntutinya. Selama hampir setengah jam, mobil Arsena hanya berputar-putar saja, tidak menentu arah, hingga akhirnya mobil tersebut berbelok ke komplek apartemen Pramita. Pramita terlihat turun dari mobil, disusul oleh Arsena, keduanya langsung masuk ke lift menuju lantai apartemen Pramita. Dengan menggunakan lift lain, Panji menyusul keduanya—tidak ada maksud lain selain memastikan bahwa Pramita benar-benar pulang ke apartemennya. “Sekarang lo udah boleh pulang, Sen!” “Ayolah, Ta. Dulu juga gue sering mampir ke sini, kan?” “Tadi lo bilang cuma mau mastiin gue sampai di apartemen, kan? Sekarang kita udah berdiri di depan apartemen gue. Jadi, lo bisa pulang lagi sekarang, ok?” “No … No … gue pengen mampir. Biasanya lo bikinin gue mi rebus, setiap kali gue mabuk. Sekarang gue lagi mabuk dan mau makan mi rebus buatan lo.” “Pulang! Lo ludah mulai sadar dari mabuk!” Arsena menggeleng dan tubuhnya terhuyung ke depan, memeluk Pramita. “Please, Ta.” Pramita memutar matanya malas melihat kelakukan mabuk Arsena, tapi kali ini dirinya tidak akan menuruti permintaan pria itu, seperti dulu saat mereka masih berhubungan. Didorongnya tubuh Arsena dan diseret kembali menuju lift, tapi tubuh tegap Arsena membuat Pramita kesulitan. Pria itu bertahan di posisinya, bahkan sebelah tangannya yang terbebas meraih panel kunci pintu apartemen Pramita. “Dua … Sembilan … Dua …” ujar Arsena terbata sembari jemarinya sibuk menekan angka di panel kunci. “Pin lo masih sama, kan?” “Ayo, Sen!” “Ta …” rengek Arsena, tapi Pramita tidak memedulikannya dan masih berusaha menarik mantan kekasihnya itu kembali ke lift. “Gue kangen sama lo,” lanjut Arsena dan kini pria itu sudah menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga keseimbangan. Kedua tangannya menangkup wajah Pramita, ibu jarinya mengelus pelan kedua belah pipi Pramita. Matanya yang sayu menatap lurus ke manik mata Pramita. Perlahan Arsena menundukkan kepalanya, semakin dekat, dan mencium bibir Pramita. “Gue minta maaf untuk yang lalu, Ta,” bisik Arsena di atas bibir Pramita. “Aku tahu, udah nyakitin kamu, bahkan dari sejak pertama kita kenal.” Pramita mendorong tubuh Arsena, menarik turun kedua tangan pria itu yang masih menangkup pipinya. Sekali lagi Pramita kembali menghela napas lelah, menatap wajah tampan di hadapannya yang sangat memelas. Ingin hati Pramita tertawa lepas merayakan kemenangannya atas Arsena. Kemenangan, karena berhasil membuat pria di depannya ini merengek, memohon pada Pramita. Sungguh lucu memang kehidupan itu. Di satu masa, kamu bisa berada di bawah sekali, di masa yang lain kamu bisa berada di atas. Setidaknya, itulah yang dirasakan Pramita saat ini. “Gue akan bantu lo. Gue akan bantu Lust.” “Maksud lo?” “Keluarga lo udah cerita semuanya. Kemarin saat kantor gue meeting sama PH-nya Mas Damar, gue ketemu sama papa lo. Kita ngobrol banyak hal, termasuk tentang kondisi Lust. Gue bisa bantu lo, Ta. Tapi, please, maafin gue, dan balik sama gue lagi, ya?” Pramita tertawa kecil mendengar jawaban Arsena. “Lo sama sekali enggak berubah, Sen. Selalu aja harus ada timbal baliknya kalau nolong orang. Dulu waktu lo selametin gue dari gudang, lo minta gue jadi cewek lo. Dan lihat di mana kita berakhir sekarang?” “Arsena yang sekarang, bukan lagi Arsena yang lo kenal saat sekolah, apalagi Arsena yang dua tahun lalu. Arsena yang sekarang, udah sadar, betapa bodohnya dia udah ngelepasin lo.” “Tapi bagi gue, lo masih Arsena yang sama,” ujar Pramita pelan, lalu menggandeng Arsena menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Arsena tidak memiliki kesempatan lagi untuk menyampaikan penyesalannya. Dengan langkah gontai, Arsena memasuki lift, bibirnya tersenyum sebelum pintu lift kembali menutup dan membawanya ke lobi. “Kamu boleh keluar sekarang,” ucap Pramita. Dirinya sadar, sejak Arsena memeluknya tadi, seseorang sudah memperhatikannya dari balik dinding di dekat tangga darurat. “Apa Rizal yang nyuruh kamu sampai seperti ini?” Panji keluar dari persembunyiannya dengan kepala menunduk dalam, terlalu takut untuk memandang kedua mata Pramita. Dari nada bicaranya yang penuh amarah dan kesal, Panji tahu dirinya sudah melakukan kesalahan yang menyinggung perasaan bosnya ini. Jadi, pilihan terbaik Panji saat ini adalah diam dan menurut seperti anjing baik pada majikannya. “Saya khawatir kalau Ibu kenapa-kenapa. Pak Rizal meminta saya memastikan Ibu benar-benar sampai di apartemen dengan selamat.” “Kamu tahu? Perbuatan kamu ini bisa saya laporin ke polisi atas dasar perbuatan tidak menyenangkan. Saya merasa keselamatan saya justru terancam dengan adanya kamu yang menguntit saya.” “Tapi—” “Memangnya kamu pikir saya ini masih anak kecil?” “Bukan begitu, Bu. Hanya saja pria yang bersama Ibu tadi, terlihat …” Panji ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Dirinya akan terlihat seperti orang bodoh, sok tahu, dan suka ikut campur jika mengatakan apa yang ada di pikirannya saat ini. “Terlihat seperti apa memangnya?” Panji meneguk ludahnya, kembali melarikan tatapan matanya ke lain tempat, asalkan tidak menatap wajah Pramita. “Saya lagi nanya sama kamu.” “Maaf, terlihat sedikit berbahaya.” “Berbahaya?” Panji mengangguk. “Maksud saya, biasanya kalau orang mabuk itu bisa melakukan sesuatu di luar batas. Saya khawatir kalau Ibu kenapa-kenapa.” “Kamu khawatir sama saya?” “Ma—maksud saya, Pak Rizal yang khawatir.” Pramita mendengkus geli mendengar jawaban Panji. Inilah Panji yang dia kenal, selalu berbeda apa yang diucapkannya dengan apa yang dipikirkannya. Mengatakan tidak khawatir dan tidak peduli, tapi Pramita tahu bahwa sebenarnya pria ini sangat peduli padanya. Namun, satu hal yang masih sangat mengganjal di hati Pramita adalah sikap Panji yang seolah tidak mengenal dirinya, bahkan Arsena. Apa satu hal itu, Panji juga sedang berpura-pura? Pramita maju selangkah, membuat Panji bergerak mundur tanpa diminta. Melihat hal itu, Pramita semakin bergerak maju, hingga membuat Panji terpojok ke dinding. Pramita tidak peduli, bagaimana wajah Panji yang memerah sekarang, berapa kali jakun pria itu bergerak naik turun, bahkan kini benar-benar memalingkan wajahnya, enggan berhadapan dengan Pramita. Sikap dari Panji yang baru dilihat oleh Pramita. Selama mengenalnya, Pramita tidak pernah melihat Panji yang seperti ini—malu-malu dan gugup, mungkin karena Pramita tidak pernah melihat cowok itu bersama dengan seorang cewek. Bahkan cewek yang pernah mengaku sebagai kekasih Panji dan membuat Pramita membenci tempat sempit dan tertutup, tidak pernah sekalipun membuat Panji bertingkah seperti ini. Justru malah sebaliknya, Panji selalu tak acuh dan kesal setiap kali mereka bertemu. Namun, lihat sekarang, Pramita yang bukanlah cewek populer di sekolah, hanya dengan sedikit berdandan, bisa membuat Panji yang dia kenal menjadi salah tingkah. “Aku lebih suka kalau kamu yang khawatir,” bisik Pramita di telinga kiri Panji, lalu dengan nakalnya Pramita menggigit cuping telinga Panji. “Kalian sedang apa?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN