Sebelum baca bab ini, mohon baca ulang dari bab 5 atau 6. Karena kemarin aku salah update isi di bab 6. Yang seharusnya bab 7, malahan aku update di bab 6. Makanya isi bab 6 dan 7 kemarin sempat sama. Sekarang udah aku revisi, silakan baca ulang bab 6 ya. Soalnya, bab ini, nyambung dari adegan di bab 6.
Kalau isinya masih belum berubah, coba logout dulu, terus login lagi. Makasih.
Maaf, untuk ketidaknyamanannya. Makasih.
.
.
.
“Kalian sedang apa?”
Pramita buru-buru menarik dirinya menjauh dari Panji, dan ketika berbalik, Pramita mendapati Arsena menatapnya. Pramita memutar matanya malas, mendapati mantan kekasihnya ternyata kembali lagi. Dengan langkah sempoyongannya, Arsena mendekati Pramita dan langsung merangkulnya.
“Cowok ini, kenapa ada di sini? Bukannya dia pelayan di pestanya Lia?”
Pramita menyingkirkan tangan Arsena, kemudian menariknya kembali masuk ke lift. Namun, pria itu menolak dan malah langsung berjalan menuju pintu apartemen Pramita. Rupanya pengaruh alkohol sudah berkurang, karena sekarang Arsena dengan mudahnya menekan pin pengaman pintu apartemennya.
“Silakan, Princess,” ujar Arsena seraya membungkuk dan mempersilakan Pramita memasuki apartemennya.
“Pulang, Sen. Kita udah enggak kayak dulu lagi, jadi lo enggak bisa seenaknya masuk ke apartemen gue.”
Arsena menghela napas, lalu berdiri di hadapan Pramita. Menyentuh dagu wanita itu dan membuatnya menengadah. Arsena sekali lagi menatap manik mata yang dulu sangat memujanya, tapi kini begitu membencinya. Arsena tidak pernah menyangka bahwa Pramita adalah jenis wanita yang mampu menyimpan kekecewaan—mungkin lebih tepatnya kebencian yang begitu besar padanya. Arsena tidak pernah menyangka, bahwa permainan konyol yang dilakukannya bersama para anggota klub voli, begitu menyakiti hati Pramita.
“Tunggu,” gumamnya, lalu kedua matanya tidak lagi menatap Pramita, tapi beralih pada Panji yang sedari tadi berdiri tak jauh dari mereka. “Gue inget di mana pernah lihat lo.”
Arsena menghampiri Panji, senyum tipis terbit di wajahnya. Sedikit menelengkan kepalanya ke kiri untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah dalam mengenali sosok yang balas menatapnya tanpa ekspresi ini.
“Jadi, karena cowok ini, lo enggak mau balikan sama gue, Ta?” Arsena menatap Pramita dan Panji bergantian. “Karena lo balikan sama Panji?”
“Maaf, Anda salah orang, Mas. Saya dengan Bu Pramita—”
“O, ya? Lo Panji, kan? Panji Adipramana?”
Dan tepat setelah selesai mengucapkan kalimatnya, Arsena tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan meninju wajah Panji. Kemudian mencengkeram kerah kemeja flannel Panji, mendorong pria itu hingga punggungnya kembali membentur dinding.
“Sena!” seru Pramita seraya berusaha melepaskan cengkeraman Arsena pada Panji. “Lepasin! Jangan ribut di sini!”
“Satu tinju tadi, belum sebanding dengan apa yang udah lo lakuin buat keluarga gue!”
“Sena!”
Tak mengacuhkan permintaan Pramita, Arsena kembali meninju wajah Panji dan kali ini berhasil membuat tubuh pria yang hampir sebanding dengan tubuhnya, tersungkur di dekat pintu apartemen Pramita. Arsena langsung menindih tubuh Panji dan hendak meninju lagi, tapi Panji menangkis pukulan Arsena dan mendorongnya. Arsena segera bangkit dan menyerang kembali, membuat baku hantam tak terelakan.
Kedua pria itu baru berhenti saat seorang petugas keamanan yang ditelepon Pramita datang dan memisahkan keduanya. Satpam itu menarik tubuh Arsena dan memeluknya, agar pria itu tidak kembali menghajar Panji yang babak belur di dekat pintu apartemen.
“Bawa dia keluar, Pak!”
“Ta! Panji itu b******n!” teriak Arsena saat dirinya digelandang pergi masuk ke lift. “Ta! Panji itu—”
Pintu lift sudah lebih dahulu menutup sebelum Arsena menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan Pramita langsung berbalik dan membantu Panji berdiri, lalu memapahnya masuk ke apartemen. Panji tidak menolak saat Pramita menyuruhnya menunggu di sofa ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Pramita duduk di hadapannya dan sibuk dengan ponselnya. Kemudian, langsung beranjak lagi menuju dapur dan kembali dengan sebaskom air hangat beserta handuk.
“Bersihin luka kamu, sambil nunggu obatnya dateng.”
Panji meringis merasakan perih di sudut bibirnya yang berdarah. “Enggak usah, Bu. Saya langsung pulang saja.”
“Saya udah minta ojol buat beliin salep dan perintilan obat lainnya! Terus mau diapain obatnya kalau kamu langsung pulang?”
“Maaf,” ucap Panji, lalu menunduk menghindari tatapan Pramita. Diambilnya handuk kering di samping baskom dan mencelupkannya, kemudian mulai membersihkan luka memar di wajahnya.
Pramita mendecih kesal melihat sikap Panji saat ini. Pria ini benar-benar menyebalkan dan tidak tahu malu. Mau sampai kapan dirinya berpura-pura tidak mengenal Pramita? Apakah kemarahan Arsena tadi belum cukup membuat Panji menyadari dan mengingat bahwa Pramita yang sekarang duduk di hadapannya adalah Pramita yang dulu selalu bersamanya—tentu saja sebelum Panji meninggalkan dirinya tanpa penjelasan!
“Kamu—”
“Ya?”
“Kamu bener-bener enggak tahu siapa saya?”
“Itu—”
Bel apartemen Pramita berdering, membuat Panji urung berbicara. Panji memperhatikan Pramita yang beranjak untuk menerima tamunya yang ternyata adalah ojol yang mengantar obat-obatan untuk Panji. Sedetik kemudian, berbagai macam jenis obat berserak di atas meja tamu.
“Saya enggak tahu obat apa yang bener-bener buat luka memar. Makanya saya minta ojolnya buat beli semua jenis obat nyeri, salep memar, dan—”
“Terima kasih, Bu.” Panji tersenyum, kemudian meraih sekotak salep di dekatnya dan membukanya. “Saya bisa pakai salep ini.”
Panji mengoleskan sedikit demi sedikit salep di luka-luka memarnya. Sedikit kesulitan untuk memastikan di mana tempat yang tepat untuk mengoles dan itu membuat Pramita gemas. Wanita itu langsung menyambar salep di tangan Panji dan membantunya mengobati luka.
“Apa Ibu enggak apa-apa?”
“Saya enggak apa-apa. Daripada kamu khawatirin saya, kamu mendingan lihat kondisi kamu sendiri, deh. Babak belur.”
“Sssshh!”
“Maaf, perih, ya?” tanya Pramita, kemudian meniup-niup pelan memar di pelipis Panji.
“Maksud saya, apa enggak apa-apa kalau Ibu ngobatin saya gini, sedangkan cowok Ibu malah digelandang pergi sama satpam?” Panji melirik sekilas pada Pramita. “Aduh!” pekiknya saat Pramita menekan kuat-kuat lebam di pipi kirinya.
“Kamu jangan kege-eran! Saya enggak ada maksud apa-apa dengan ngobatin kamu kayak gini,” kesal Pramita. “Pertama, Arsena bukan cowok saya! Dia mantan! Paham?”
Panji mengangguk.
“Kedua, karena dia adalah mantan dan kamu adalah aset saya, lebih tepatnya asetnya Rizal. Asetnya Lust. Paham?”
Panji mengangguk kembali.
“Jadi jangan mikir macam-macam kalau saya lebih milih ngusir dia daripada ngusir kamu. Nih! Lanjutin sendiri!”
Pramita memilih meninggalkan Panji sendirian di ruang tamu, sedangkan dirinya masuk ke kamar untuk mengganti gaunnya dengan pakaian yang lebih nyaman. Namun, pikiran dan hatinya sendiri sebenarnya masih bertanya-tanya, apakah yang diucapkannya adalah benar? Bahwa dirinya menolong Panji, hanya karena pria itu adalah aset Lust? Apakah bukan karena perasaan yang telah lama dikuburnya, kini perlahan kembali? Entahlah.
Setelah mengganti pakaiannya, Pramita kembali ke ruang tamu dan tidak menemukan Panji di sana. Pria itu tengah berada di dapur dan sedang mencuci baskom serta handuk yang dipakainya tadi.
“Ta!”
Rizal sekonyong-konyong berlari masuk, menghambur memeluk Pramita erat sekali. Bahkan untuk beberapa menit Pramita meronta, Rizal menolak untuk melepaskannya.
“Tadi pas aku nyampe di lobi, satpam bilang ada kerusuhan di apartemen kamu? Arsena bikin ribut?”
“Lepasin dulu!”
Rizal merenggangkan pelukannya. “Kamu enggak apa-apa?”
Pramita mengangguk, lalu melepaskan pelukan Rizal dan berjalan menuju sofa. “Kali ini, aku harus berterima kasih sama kamu.”
“Kenapa? Aku bahkan belum nonjok Arsena!”
“Gila kamu!” gelak Pramita melihat respon Rizal akan kegaduhan yang ditimbulkan Arsena. “Enggak perlu. Udah diwakili sama Panji,” lanjut Pramita sembari mengangguk pada Panji yang tengah menghampiri mereka.
Rizal menoleh. “Dia udah gebukin Arsena? Kok kayaknya malahan Panji yang digebukin?”
Pramita melotot gemas pada Rizal yang menertawakan Panji, tapi langsung kembali serius begitu melihat ekspresi Pramita.
“Tapi kamu beneran enggak apa-apa, kan?” tanya Rizal sekali lagi sambil memastikan tidak ada luka di tubuh Pramita.
“Iya, aku enggak apa-apa.”
“Syukurlah.” Rizal langsung menarik Pramita kembali ke dalam pelukannya. “Malam ini aku nginep di sini, ya? Siapa tahu Arsena balik lagi.”
“Enggak usah cari kesempatan!” kekeh Pramita. “Lagian unit kamu cuma beda dua lantai!”
“Apa aku pindah ke lantai ini sekalian? Oma Farida, penghuni sebelah, apa berniat ngejual apartemennya dan memilih tinggal sama anaknya?”
“Jangan konyol kamu!”
“Beneran, Ta, aku—”
“Maaf,” potong Panji. “Saya permisi dulu. Sudah malam, saya mau langsung pulang.”
“Ah, maaf, Nji. Saya jadi lupa kalau ada kamu,” sesal Rizal. “Soalnya saya khawatir banget sama kondisi Mita. Makasih udah jagain Mita, ya.”
“Iya, Pak.”
“Kamu pake mobil saya aja.”
“Bapak bercanda, nih! Mana muat mobil Bapak masuk gang rumah saya?”
“Iya-ya, kalau gitu kamu nginep aja di apartemen saya. Besok pagi berangkat langsung dari sini ke kantor.”
“Terima kasih, Pak. Tapi saya enggak enak sama Nyonya Rose kalau harus mendadak nginep buat nemenin Ibu saya. Lebih baik saya pulang aja.”
“Beneran?”
Panji lagi-lagi mengangguk pasti untuk menyakinkan Rizal.
“Ya sudah, hati-hati, Nji.”
“Permisi, Bu Pramita.”
Selepas kepergian Panji, Rizal kembali memohon pada Pramita agar diizinkan menginap di apartemennya. Namun, tentu saja Pramita menolak mentah-mentah keinginan Rizal itu. Dulu, mungkin Pramita akan membiarkan Rizal keluar masuk apartemen seenak hatinya, tapi tidak setelah Pramita memutuskan untuk mencoba memperbaiki hubungannya dengan Mas Damar. Tidak mungkin, kan, kalau selamanya hubungan antara ipar ini tidak berlangsung baik? Bagaimanapun juga, Mas Damar adalah suami Mbak Intan, kakaknya.
***
“Jadi begitu. Kita perlu sponsor kalau mau pemotretan di luar kota. Bagaimana, Bu?” tanya Jenna dari bagian pemasaran, ketika menutup sesi presentasinya. “Bu Mita?” panggilnya sekali lagi.
Melihat tidak ada respon dari orang di sebelahnya, Rizal menoleh dan menyenggol lengan Pramita. Wanita itu langsung menoleh gugup dan segera menatap kembali layar ponselnya.
“Bu?”
“Ya, kenapa, Jen?” Pramita meraih gelas kopinya.
“Kita butuh sponsor untuk proyek kebaya.”
“Sampai sekarang, udah ada berapa sponsor yang mau ikut?”
“Satu,” jawab Jenna.
Pramita hampir tersedak mendengar jawaban Jenna. Proyek Lust yang sudah direncanakan sejak tahun lalu dan diharapkan menjadi salah satu proyek yang bisa memulihkan keuangan Lust, ternyata baru bisa menggaet satu sponsor?
“Kerjaan kalian ngapain aja? Kalian ini promosinya gimana, sih? Kalian jelasin, kan, gimana prediksi tren ini? Apalagi sekarang banyak daerah di Indonesia mewajibkan para pegawai pemerintahan di hari tertentu untuk memakai kebaya, kan?”
“Sudah, Bu, tapi—”
Pramita mengangkat tangannya untuk menghentikan kalimat Jenna. “Satu sponsor itu, dari mana?”
“D&D.”
“D&D? Maksud kamu D&D punyanya Darmawangsa?”
Jenna mengangguk. “Tapi …”
“Tapi kenapa lagi?”
“Pihak D&D baru benar-benar ikut andil, setelah pihak mereka bertemu dengan Bu Mita.”
“Kenapa saya? Semua kontrak sudah kamu yang urus.”
“Saya juga bilang seperti itu, Bu. Tapi kata staf D&D, Pak Arsena ingin bertemu dengan Bu Mita terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk benar-benar berinvestasi.”
Pramita memijat pelipisnya. Tiba-tiba saja pening menyerangnya setelah mendengar nama Arsena.
“Siang ini pihak D&D mengajak Ibu untuk makan siang.”
“Siang ini?” Pramita menghela napas kesal. Niat hati tidak ingin lagi berurusan dengan Arsena, tapi keadaan berkata lain. “Ok, rapat sampai di sini. Susan, kamu tetep jadwalin makan siang sama D&D.”
Pramita langsung beranjak meninggalkan ruang rapat menuju ruang kerjanya. Di belakang, Rizal mengekorinya dan tentu saja membuat Pramita semakin kesal.
“Ta, kamu enggak bakal terima D&D, kan?”
“Entahlah.”
“Apa kejadian semalam kurang gila? Sampai kamu masih memikirkan bahwa hanya D&D yang mau invest di Lust.”
“Aku juga lagi mikirin solusi agar kamu dan yang lainnya masih bisa makan, Zal!”
“Aku akan invest. Aku punya cukup uang buat bantu kamu. Bahkan kamu bisa pakai uangku tanpa syarat apapun.”
Pramita menggeleng. “Itu bukan bisnis namanya, Zal.”
“Memang bukan. Anggap aja ini sebagai pinjaman dari teman atau saudara.”
“Itu lebih buruk,” hela Pramita. “Aku akan temui Arsena, jelasin ke dia dan perjelas hubungan kami. Bahwa kami udah enggak ada hubungan apapun. Kalau memang D&D adalah satu-satunya jalan keluar yang dimiliki Lust, maka hubunganku dan dia hanya sebatas rekanan bisnis, enggak lebih.”
“Ta …”
“Zal, kalau aku nerima bantuan kamu gitu aja, maka Prama akan tertawa puas. Dia akan semakin memandang rendah aku. Aku harus bisa buktiin sama dia, kalau aku bisa buat Lust seperti beberapa tahun lalu saat kami menguasai pasar Asia, bahkan lebih.”
Rizal tidak lagi membantah kalimat Pramita. Dirinya sadar, sekeras apapun memaksa Pramita menerima uluran tangannya, wanita itu tidak akan mau menerimanya. Ibarat kata, Pramita lebih memilih mengemis dari satu investor ke investor lainnya, daripada menerima uluran tangan gratis dari siapapun, apalagi dari Rizal. Selain karena Pramita percaya bahwa no free lunch, gengsi dan harga dirinya yang tersisa harus dipertahankan di depan ayahnya.
“Maaf, Bu.” Susan melongok masuk di antara daun pintu ruang kerja Pramita. “Makan siang dengan D&D sudah saya konfirmasi. Siang ini.”
“Aku antar?” tawar Rizal.
“Enggak usah. Aku bisa naik taksi, nanti sekalian ambil mobil di bengkel. Susan, tolong pesenin taksi!”
Pramita mengambil tas dan agendanya, memastikan bahwa seluruh keperluannya tidak ada yang tertinggal, terutama tentang proyek kebaya Lust. Setelah itu, dia langsung turun menuju lobi dan melaju pergi dengan taksi menuju tempat makan siang yang sudah disetujui dengan pihak D&D.
Tak berapa lama kemudian, Pramita sampai di sebuah restoran Jepang. Seorang pelayan yang menggunakan yukata menyambut dan mempersilakan Pramita mengikuti langkahnya menuju sebuah ruangan VIP yang terletak di bagian paling dalam restoran—di samping kolam ikan.
Kedua mata Pramita terpaku pada satu sosok yang duduk di sana, di sisi kiri Arsena. Sosok tua yang semenjak dirinya pergi menempuh kuliah di London, tidak pernah lagi ditemuinya. Prama, dengan tubuhnya yang sedikit bungkuk, rambutnya yang memutih, dan kerutan tuanya, mendongak serta menatap Pramita. Tidak ada senyum atau sapa sekalipun. Pria itu memilih mengambil gelas dari tanah liat yang berisi ocha panas, lalu menyeruputnya.
“Halo, Ta. Kita ketemu lagi, silakan duduk.”
Seandainya Pramita memiliki tenaga yang besar untuk menyobek mulut manis Arsena yang masih berani tersenyum padanya—setelah apa yang dilakukannya semalam—pastilah Pramita tidak perlu berpikir dua kali. Namun, saat ini dirinya harus menahan diri untuk tidak menampar, bahkan sekedar memaki pun harus dia telan bulat-bulat.
Pramita mengambil posisi duduk di sisi kanan Arsena, berhadapan langsung dengan sosok Prama yang masih tidak ingin menatapnya. Setelah memilih menu makanan dan minuman, Pramita mengeluarkan agenda dan dokumen proyek Lust.
“Enggak usah buru-buru, Ta. Kita nikmatin aja makan siang dulu, ya?
“Muka lo enggak apa-apa?”
“Wah, lo khawatir sama gue? Gue begitu tersanjung.”
Pramita mendecih. “Gue ngungkit kejadian semalam bukan karena peduli dengan kondisi lo. Gue mau lo minta maaf sama gue dan Panji.”
Arsena tergelak mendengar kalimat Pramita, seolah kata-kata yang baru meluncur dari bibir merah Pramita adalah sebuah lelucon.
“Gue minta maaf soal yang semalam. Enggak seharusnya gue bikin ribut di apartemen lo.” Arsena menatap lekat kedua netra Pramita. “Tapi kalau untuk minta maaf dengan Panji, sorry banget, Ta. Gue enggak bisa.”
“Lo masih marah karena peristiwa saat pesta perpisahan? Itu salah lo dan—”
“Tujuan lo ke sini bukan mau ngomong perkara Panji, kan? Apa perkara dia lebih penting dibandingkan Lust? Lagian, di sini ada papa lo. Enggak mau nyapa?”
Pramita menghela napas. “Kenapa dia ada di sini? Ini urusan Lust dan D&D!”
“Hem, memang benar. Kalau urusan duit, itu memang perkara Lust dan D&D. Tapi …” Arsena menggantung kalimatnya beberapa saat. “Ada hal lain yang harus gue sampaiin ke Om Prama, soal kita.”
“Enggak ada lagi yang namanya kita! Hubungan kita enggak lebih dari rekanan bisnis.”
“Kita belum mulai berbisnis, Honey.” Arsena meneguk ocha dingin. “Omong-omong soal itu, gue akan danai proyek kebaya Lust secara menyeluruh, bahkan mungkin tidak hanya proyek itu saja, tapi juga yang lainnya. Tentu saja dengan satu syarat.”
Pramita menunggu Arsena melanjutkan kalimatnya, tapi pria itu kembali sibuk meneguk ocha dingin, kemudian memutar tubuhnya untuk menghadap Prama. Pria tua itu menatap Arsena dengan kening mengerut dan penuh kebingungan, melihat anak dari salah satu koleganya tiba-tiba saja meraih tangan kanannya.
“Om Prama, saya ingin meminta restu untuk meminang Pramita.”
***