Four Seasons oleh Vivaldi mengalun merdu di telinga kiri Pramita, melalui sebuah earphone yang tersambung dengan Discman warna biru hadiah ulang tahun ketiga belasnya. Pramita masih ingat sore itu, tidak ada pesta ulang tahun seperti tahun-tahun sebelumnya, karena mama sedang disibukkan dengan pagelaran busana rancangannya di Singapura. Tidak banyak waktu luang yang bisa mama sempatkan, mengingat mama masih harus melakukan fitting dengan model yang akan memakai busana rancangannya. Namun, demi putri semata wayangnya, mama akan dengan senang hati meluangkan waktu. Meskipun hanya makan malam bersama papa dan Pramita di restoran cepat saji yang terkenal dengan maskot badut berambut merah dan pakaian didominasi warna kuning serta garis.
Di gigitan ketiga Pramita pada burger di tangannya, mama tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah kotak terbungkus kertas kado dengan gambar kuda poni. Dengan senyuman lebar, mama mendorong kotak itu ke arah Pramita dan berikutnya papa meletakkan satu keik cokelat dengan lilin angka 13 menyala di atasnya. Dari banyaknya pesta ulang tahun yang bisa diingatnya, ulang tahun yang ketiga belas adalah favoritnya, karena tak ada orang lain. Hanya papa, mama, dan Pramita.
Pramita meletakkan burger yang tinggal setengah di atas meja. Perhatiannya kini sudah teralihkan oleh nyala lilin yang langsung ditiupnya, tepat setelah mengucapkan permintaannya. Menit selanjutnya, tangan-tangan kecil Pramita sudah sibuk membuka selotip kadonya, dan kedua mata Pramita berbinar mendapati isi dari kotak kado pemberian mama. Sebuah discman yang sangat diinginkan Pramita. Discman warna biru yang dilihatnya di toko musik tadi siang saat berjalan-jalan dengan papa, dan papanya itu menolak untuk membelikannya. Namun, siapa sangka, kini benda itu sudah ada di tangan Pramita, berikut dengan sebuah CD kumpulan lagu-lagu klasik. Dua benda itu yang pada akhirnya menjadi benda terakhir pemberian dari mama dan akan menjadi hadiah favorit Pramita untuk waktu yang sangat lama.
Senyum terbit di wajah Pramita tatkala melihat Panji terlelap di sampingnya, dengan earphone yang masih menempel di telinga kanannya. Tak peduli dengan Bu Ida yang memicingkan mata kesal sejak tadi, pipi sebelah kiri Panji masih menempel di meja dengan kedua mata terpejam. Sedangkan Pramita sedang sibuk memulas gambar-gambar di bukunya dengan pensil warna.
“Ta, kamu bolos kelas?” tanya Bu Ida. “Panji yang ngajakin bolos terus tidur di sini?”
Pramita menggeleng. “Aku enggak bolos, Bu. Pak Faisal emang enggak bisa ngajar, makanya dikasih tugas. Bagi yang udah selesai, boleh langsung pulang, karena ini kan jam pelajaran terakhir. Nah, karena jemputanku belum dateng, makanya aku nunggu di sini aja.”
“Terus? Kenapa Panji juga ada di sini?”
Pramita menoleh pada Panji yang masih betah dengan posisinya semula, bahkan dengkuran halus sesekali terdengar darinya. Pramita mengangkat kedua bahunya, tidak tahu. Gadis itu memang tidak tahu, kenapa Panji bisa muncul di sini. Saat Pramita berjalan menuju perpustakaan tadi, dia memang melihat Panji dari kejauhan, berdiri di depan kelasnya bersama beberapa orang temannya. Pramita mengabaikannya dan langsung menuju perpustakaan untuk menghabiskan waktu sembari menunggu mobil jemputannya datang, tapi tiba-tiba saja Panji sudah berdiri di ambang pintu memanggil namanya. Sebelum Pramita sempat mengomel, karena suara keras Panji, cowok itu sudah duduk di sebelah Pramita.
Panji menggeliat, merenggangkan kedua lengannya, dan menguap lebar sekali. Cowok itu tiba-tiba saja menegakkan punggungnya, membuat earphone di telinga kanannya terlepas. Cengiran lebar langsung dia berikan pada Bu Ida yang berkacak pinggang di sampingnya. Panji tahu, penjaga perpustakaan yang merangkap sebagai guru BK ini sebentar lagi akan mengomelinya, tapi tidak mengapa, Panji sudah terbiasa.
“Enggak capek, Bu, berdiri terus? Sini,” ujar Panji seraya menepuk sisa bangku di sebelahnya. “Nanti varisesnya makin kelihatan lho.”
Bu Ida mencebik. “Ini kenapa pelipis kamu bonyok begini? Abis ikut tawuran tadi pagi, ya?”
Panji menghindar dari Bu Ida yang hendak memeriksa kondisi pelipisnya. Sedangkan Pramita yang duduk di sisi lainnya, langsung menangkup wajah Panji—turut memeriksa pelipis kiri cowok yang meringis perih.
“Kamu ikut tawuran tadi pagi?”
“Ck! Enggak, Ta, Bu, aku enggak ikut tawuran. Yudha minta aku ngeliput tawuran buat mading.”
“Emangnya kamu wartawan?”
Panji menggeleng. “Seksi dokumentasi di ekstra mading.”
“Terus?” tanya Bu Ida, belum puas dengan jawaban Panji.
“Ini tadi kepentok kayu warungnya Ce Mimi pas aku kabur dari serangan sekolah sebelah.”
“Siapa yang menang tawuran?”
Panji mengangkat kedua bahunya. “Boro-boro kalah menang, yang ada juga cuma capek dan luka-luka kayak aku gini.”
“Sini!”
Entah sejak kapan kotak P3K yang biasanya ada di meja Bu Ida, sudah ada di sebelah buku gambar Pramita. Tangan gadis itu dengan telaten menuang cairan antiseptik untuk membersihkan luka sobek di pelipis Panji, mengoleskan salep, lalu membuka plester dengan gambar Doraemon dan menempelkannya di sana.
“Makasih, Ta.”
“Hm, lain kali, kamu enggak usah ikutan tawuran—”
“Aku enggak ikut tawuran, aku cuma ambil foto buat—”
Panji menelan kembali kalimatnya saat melihat Pramita menatapnya tak suka. Gadis itu juga mengambil paksa earphone di tangan Panji, lalu menyimpannya ke dalam tas sekolahnya.
“Iya-iya, lain kali kalau Yudha minta difoto waktu tawuran, aku tolak, deh.”
Pramita tersenyum lebar mendengar kalimat Panji, tangannya terulur mengelus puncak kepala cowok di depannya. “Pinter.”
“Mau beli es wawan di warung Ce Mimi?” tawar Panji.
Pramita langsung mengangguk dan memasukkan discman, pensil warna, serta buku sketsanya ke dalam tas.
“Ayo!”
Pramita dan Panji melangkah pergi dari perpustakaan menuju warung Ce Mimi yang berada tak jauh dari sekolah. Meninggalkan Bu Ida yang melongo menatap dua orang yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Terlalu syok untuk mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Panji dan Pramita? Sejak kapan?
Panas matahari begitu menyengat siang ini dan Ce Mimi masih sibuk membereskan sisa-sisa sampah tawuran yang mampir di halaman warungnya. Menyebalkan memang, tapi memangnya bisa apa, kalau bocah-bocah kelebihan gula dan adrenalin itu sudah saling adu kekuatan? Tapi setidaknya, Ce Mimi masih bisa menjual es teh plastik untuk peserta tawuran yang kehausan. Memang selalu saja ada hikmah di balik setiap peristiwa.
“Kamu ngapain, sih? Dari tadi sibuk gambar?” tanya Panji sembari memberikan setengah es wawan rasa perisai anggur yang sudah dipatahkan, pada Pramita. Kemudian melongok untuk melihat gambar di buku sketsa gadis itu. “Hm, lumayan.”
“Menurut kamu ini lumayan?”
Panji mengangguk. “Memangnya mau kamu apain tuh gambar kalau udah selesai?”
“Aku kirim ke perusahaan desain?”
Panji duduk di sebelah Pramita dan mengambil buku sketsanya. “Kamu pengen jadi desainer?”
“Iya, kayak mamaku, desainer terkenal.”
“Oh, jadi mama kamu juga desainer?”
“Kamu pernah denger nama Nandika Widyatmoko? Dia ibu aku.”
Panji mengerutkan keningnya saat mendengar nama yang diucapkan oleh Pramita. Bukan karena tahu bahwa Nandika adalah seorang desainer terkenal, melainkan sebaliknya! Panji sama sekali tidak tahu siapa Nandika? Jangankan tahu tentang Nandika, mendengar namanya saja baru pertama kali bagi Panji.
“Wajar, sih, kalau kamu enggak tahu. Kamu, kan, cowok. Pasti jarang ngomongin soal fashion.”
“Jadi, kamu mau jadi desainer, karena terinspirasi dari ibu kamu?”
Pramita mengangguk. “Aku ingin melanjutkan warisannya. Menciptakan karya-karya seperti dia, bahkan mungkin lebih. Kamu sendiri? Kamu pengen jadi apa kalau udah selesai sekolah atau kuliah nanti?”
“Ehm …”
Panji memikirkan sejenak apa yang ingin dikatakannya sebagai jawaban atas pertanyaan Pramita. Sebenarnya, Panji sendiri tidak pernah benar-benar memikirkan pekerjaan apa yang akan dia geluti nanti, lebih tepatnya, dia tidak pernah memikirkan masa depannya. Panji memutuskan berhenti memikirkan semua rencana dalam kehidupannya sejak tiga tahun lalu. Kini, dirinya lebih memilih menikmati hidup dan fokus pada kesehatan ibu, satu-satunya keluarga yang dia miliki.
“Aku tahu!” seru Pramita antusias. “Kamu pasti pengen jadi fotografer, kan?”
Panji mengerjap beberapa kali dengan kening mengerut.
“Soalnya kamu jago banget motret. Foto tawuran yang minggu lalu nongol di koran, itu karya kamu, kan?”
“Kamu baca koran?”
“Supir aku. Waktu itu foto kamu terpampang di bagian depan koran gede banget! Dan itu foto yang sama, yang ada di mading! Terus, foto-foto pemandangan yang kamu ambil pas mendaki Pangrango juga bagus.”
“Hm, gitu, ya? Jadi menurut kamu, aku cocok jadi fotografer?”
“Iya. Fotografer majalah Trubus atau Lampu Merah,” kekeh Pramita yang membuat Panji mendelik tak percaya.
“Kamu ngeledek aku, ya?”
“Ampun! Ampun! Ya habisnya foto-foto kamu cuma soal kriminal, kekerasan, sama pohon doang.” Pramita berusaha melepaskan dua jemari Panji yang mencubit pipi kirinya, tapi kekuatan cowok itu terlalu kuat. “Sakit! Lepasin, dong!”
“Makanya jangan suka ngeledek.”
“Makanya, kamu juga sekali-kali motret orang, dong! Giliran motret monyet sama maling aja cepet, tapi kalau disuruh ngeliput lomba, pensi, bahkan jadi fotografer buku tahunan, kamu enggak mau. Apa coba yang cocok selain majalah Trubus dan Lampu Merah buat hasil foto kamu itu?”
“Jadi, aku harus gimana?”
Pramita menutup buku sketsanya, menggeser tubuhnya lebih dekat pada Panji, lalu merangkul pundak cowok itu.
“Mana kamera kamu?”
Panji mengambil kameranya dari dalam tas dan menyerahkannya pada Pramita.
“Gimana cara makenya? Bisa langsung teken aja?” tanya Pramita seraya mengotak-atik kamera Panji.
“Kamu mau apa?”
“Foto. Kita berdua foto bareng.”
“Enggak!”
“Ih, sekali ini aja!”
“Enggak mau.” Panji mengambil kembali kameranya dari tangan Pramita dan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan gadis itu.
Namun, Pramita masih berusaha merebutnya kembali, menggapai kamera yang berada jauh di tangan kiri Panji. Pramita merangkul tubuh Panji dengan kedua tangannya, berusaha menarik tubuh tegap cowok itu agar bisa menggapai kamera.
“Siniin! Aku pinjam sebentar.”
Dan tanpa disengaja, jempol Panji menekan tombol shutter kamera kesayangannya. Pramita menyadari ketidaksengajaan Panji dan tertawa senang.
“Kefoto, ya?” tanyanya dengan cengiran lebar. “Bagus! Nanti kalau udah kamu cetak, aku minta salinan klisenya, ya!”
“Buat apa?”
“Ya buat aku cetak ulang. Buat kenang-kenangan sama kamu.”
Panji memutar matanya malas.
“Mulai sekarang, kalau kamu enggak mau berakhir jadi tukang foto majalah Lampu Merah atau Trubus, mendingan banyak-banyakin foto orang, deh.”
“Gitu, ya?”
Pramita mengangguk. “Nanti kalau aku udah sukses sebagai desainer dan kamu sebagai fotografer, kita bisa kerjasama bareng. Seru, kan?!”
“Hm … boleh juga.”
Panji mengangkat kamera dan langsung mengarahkannya pada wajah bulat dengan kacamata bundar milik Pramita. Kemudian tanpa berucap sepatah katapun, Panji menekan kembali tombol di kameranya. Kamera hadiah ulang tahun Panji tiga tahun silam, hari ini berhasil mengabadikan—yang menurutnya adalah karya terbaiknya. Karya terbaiknya, yang bertahun-tahun kemudian, kelak terpajang di satu galeri seni. Karya terbaik yang diberi nama Pramita.
***
“Yang ini lebih cocok, sih. Kalau yang Grace ini, kayaknya pas ada masalah sama lighting-nya, makanya kurang kelihatan detail maniknya,” jelas Panji sembari menunjuk salah satu gambar yang ada di layar monitor Rizal. “Ekspresi Grace, sorot matanya, kalau menurutku kurang bisa ngeyakini bahwa kamu-terlihat-sangat-cantik-dengan-tas-ini. Kita nyari hasil foto yang bisa bikin orang tertarik sama produk Lust, kan? Coba buka foldernya Malika.”
Rizal menurut dan tangannya mulai menggeser kursor menuju folder dengan nama Malika.
“Coba foto yang ketiga. Nah, bagiku, Malika lebih ok daripada Grace.”
“Hm, kalau aku pribadi lebih prefer foto Grace yang ini.”
“Jadi, gimana?”
“Kita kasih aja ke Mita, foto mana aja yang kita pilih. Nanti biar Mita yang nentuin.”
“Ok.”
“Zal!” panggil Pramita yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu ruangan Rizal. “Ada waktu? Aku mau ngomong bentar.”
“Masuk aja, Ta. Kebetulan kita juga ada perlu sama kamu.” Rizal mempersilakan Pramita untuk duduk di kursi di seberang mejanya—lebih tepatnya di sebelah Panji. “Duduk, Ta.”
“Kamu pindah sini!” pinta Pramita sembari mengangguk ke kursi kosong di sebelah Panji.
“Hah?” bingung Rizal, tapi pada akhirnya tetap beranjak dari kursi kerjanya dan menuruti Pramita. Meskipun dalam hatinya, Rizal terus bertanya-tanya, mengapa Pramita selalu bersikap ketus pada Panji semenjak pria itu resmi bekerja di Lust sejak seminggu lalu. Rasa-rasanya masalah perkara sketsa desain yang basah sudah selesai pada saat itu juga, tapi kenapa Pramita masih bersikap tak ramah pada Panji.
Tak ubahnya dengan Rizal, Panji juga dibuat pusing dengan sikap Pramita padanya. Pasalnya dia sudah meminta maaf perkara merusak desain Pramita, menawarkan diri untuk menggambar ulang yang ditolak Pramita, bahkan Panji masih ingat dengan jelas kala Pramita mengatakan bahwa dirinya sudah memaafkan Panji dan tetap menerimanya bekerja di Lust.
“Jadi, kamu mau ngomong apa?”
“Oh, ini. Aku sama Panji mau ngasih unjuk ke kamu foto buat web. Kemarin Grace sama Malika udah photoshoot.”
Pramita menatap layar monitor Rizal, diam untuk beberapa saat, lalu berucap, “Yang ini.”
“Malika? Hm, Panji juga milih Malika. Kalau gitu—”
“Kayaknya Grace lebih cocok,” potong Pramita yang membuat Panji dan Rizal menatapnya bingung. “Kenapa? Aku enggak boleh mengubah pilihan?”
“Boleh aja, sih, Ta. Jadi? Grace?” tanya Rizal sekali lagi untuk memastikan.
Pramita memaki dirinya sendiri yang bertingkah seperti anak kecil. Seharusnya dirinya bisa bersikap profesional untuk masalah pekerjaan. Namun, emosi dan amarah masih melingkupi hatinya, setiap kali berada di dekat Panji. Dan entah untuk alasan apa dirinya merasa tidak senang jika selera atau pilihan modelnya sama seperti Panji.
“Ta?”
“Malika, Malika, Malika,” putus Pramita dengan nada kesal—yang lagi-lagi membuat Panji dan Rizal hanya saling pandang bingung. “Maaf, aku lagi kurang fokus.”
“Ok, sudah diputuskan Malika yang akan ada di halaman depan web, sedangkan Grace akan ada di bagian artikelnya. O iya, Ta, kamu tadi mau ngapain ke sini?”
“Oh, itu …” Pramita meragu sejenak saat melihat Panji masih berada di kursinya dan turut menunggu kalimat yang hendak diucapkan Pramita.
“Saya permisi dulu,” ujar Panji buru-buru, karena merasa tak enak hati dan tahu diri bahwa keberadaannya sangat tidak diinginkan oleh bosnya sendiri.
“Lho, kenapa? Kita masih belum selesai, Nji.”
“Nanti aku balik lagi.”
“Jadi?” tanya Rizal begitu hanya tinggal dirinya dan Pramita di ruangan.
“Nanti malam, kamu ada acara? Aku mau ajak kamu ke pagelaran busananya Lia. Kamu tahu, kan? Lia pemilik butik baju pengantin?”
“Aku, sih, mau aja, Ta. Tapi kayaknya enggak bisa. Sore ini aku harus jemput papa sama mama di bandara.”
“Gitu, ya? Ya udah, aku hubungi Michael, Tian, atau Fahmi aja kali ya.”
“Siapa mereka?”
“Mantan fotografer Lust sebelum kamu.”
“Oh,” gumam Rizal pelan. “Aku pikir kamu udah berubah, Ta.”
“Hm?” Pramita menghentikan jemarinya yang sibuk mencari nomor ponsel pria-pria yang disebutkannya tadi. “Aku masih Pramita yang sama, Zal.”
“Kalau gitu, kenapa kamu enggak mau mencobanya denganku?”
“Zal, kita udah pernah bahas ini. Kamu beda dengan pria-pria itu. Kamu itu—”
“Terlalu baik,” potong Rizal. “Aku enggak sebaik itu, Ta. Kita juga udah pernah tidur bareng, kan? Apa salahnya kalau kita—”
“Aku sudah bilang, aku enggak mau merusak kepercayaan Mas Damar ataupun Mbak Intan, Zal.”
“Kamu lebih mentingin perasaan orang lain daripada aku?”
Pramita menghela napas lelah menghadapi sikap Rizal yang kekanakan setiap kali membahas hubungan mereka. Dulu sekali, Pramita dan Rizal memang pernah menjalin hubungan, tapi bukan hubungan dengan komitmen seperti pacaran apalagi pernikahan. Hanya hubungan sebatas Friends with Benefit, cinta satu malam seperti judul lagu dangdut yang sempat viral itu, atau apapun itu namanya. Namun, pada akhirnya bagi Pramita Rizal tak ubahnya dengan pria-pria lain yang sempat menjadi teman kencannya.
“Aku pulang dulu mau siap-siap,” ucap Pramita yang langsung beranjak keluar dari ruang kerja Rizal, tidak ingin membuat suasana canggung dengan mendebat Rizal.
***
Pramita memutar tubuhnya sekali lagi di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sangat pantas untuk menghadiri pagelaran busana. Selembar gaun satin berwarna hijau zamrud dengan potongan off shoulder membalut tubuhnya, membentuk setiap senti lekukan tubuh Pramita dengan pas. Jangan lupakan sebuah kalung dan sepasang anting mutiara yang melingkar indah di pangkal leher dan telinga Pramita. Kemudian sebuah clutch dan sepasang stiletto warna hitam, serta rambut panjangnya yang disanggul modern, menambah kesan elegan seorang Pramita yang namanya diperhitungkan dalam kancah fashion.
Setelah menelepon layanan taksi daring, Pramita segera turun menuju lobi apartemen. Namun, sebuah pemandangan yang benar-benar tidak diduga Pramita, menyambutnya di depan pintu lift. Panji berdiri di sana, tersenyum kecil sebagai sapaannya pada Pramita.
“Selamat malam, Bu.”
“Ka—kamu ngapain di sini?”
“Pak Rizal minta saya untuk mengantar Ibu ke acara pagelaran busana.”
“Dengan pakaian seperti ini?” tanya Pramita dengan tatapan menghakimi bahwa pakaian yang dikenakan Panji adalah suatu dosa besar untuk dikenakan pergi ke acara fashion malam ini yang akan dipenuhi oleh para desainer dari seluruh penjuru Indonesia—mungkin juga Asia, pengamat mode, dan para model yang tentu saja kesemuanya tidak akan berpakaian seperti Panji. Celana jins, kaos, dan kemeja flannel? Pria ini pasti bercanda!
“Saya hanya mengantar Ibu pergi dan pulang saja. Jadi nanti saya tunggu di parkiran.”
“Kamu mau nganter saya pake apa? Mobil saya masih di bengkel, kamu juga enggak punya mobil, kan? Saya enggak pernah lihat kamu ke kantor bawa mobil. Jangan bilang kalau mesti naik bus atau taksi! Kalau seperti itu—”
“Pak Rizal meminjamkan mobilnya, jadi Ibu enggak perlu khawatir. Pak Rizal ke bandara bersama kakaknya.”
Pramita masih memberikan tatapan tak percaya pada Panji. Wanita itu tidak sepenuhnya yakin bahwa Panji bisa menyetir.
“Mari,” ajak Panji mempersilakan Pramita untuk mengikuti langkahnya menuju mobil Rizal yang sudah menunggu di depan lobi.
Panji membukakan pintu penumpang belakang untuk Pramita, tapi wanita itu menolak dan memilih duduk di kursi depan. Panji mengangguk, lalu mempersilakannya masuk, kemudian dirinya sendiri langsung duduk di kursi supir. Dilihatnya Pramita sedikit kesulitan untuk memasang sabuk pengamannya, Panji menawarkan diri untuk membantu—tapi lagi-lagi ditolak oleh bosnya itu.
Tak berapa lama, mobil sudah melaju menuju tempat pagelaran busana yang jaraknya bisa ditempuh sekitar satu jam perjalanan dengan kondisi lalu lintas seperti saat ini. Sesampainya di sana, bak supir valet, Panji kembali membukakan pintu untuk Pramita, setelahnya langsung menuju parkiran mobil dan menunggu di sana sampai Pramita menghubunginya.
Pramita tersenyum ramah menyapa para koleganya, berbincang mengenai prediksi tren mode di masa mendatang, hingga bergosip tentang skandal Yohanna Christie yang meniduri para model pria sekaligus fotografernya sebagai pelarian dari rasa kesepiannya, karena suaminya sibuk dengan wanita lain. Tentu saja skandal itu mengingatkan Pramita pada dirinya sendiri, bedanya Pramita masih lajang dan cara bermainnya sangat rapi. Namun, lebih baik menghindar sekarang juga daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, terutama namanya disinggung oleh para penggosip skandal ini, Pramita memilih beranjak menuju ruang ganti untuk menemui Lia.
“Lia?”
Pramita menyapa hangat seorang wanita yang sedang sibuk membenahi veil gaun pengantin di salah satu kepala model yang akan memperagakan busana pengantin rancangannya. Wanita itu menoleh dan tersenyum membalas sapaan Pramita.
“Makasih, Ta, udah dateng. Kamu cantik banget malam ini,” puji Lia. “Sorry banget, aku belum bisa temenin kamu. Aku masih sedikit sibuk di sini.”
“Enggak apa-apa. Aku cuma mau nyapa kamu aja. Kayaknya aku harus cepet-cepet cari kursi di baris depan buat nonton gaun pengantin rancangan kamu,” kata Pramita, lalu berbalik menuju ballroom.
Namun, baru beberapa langkah setelah berpamitan, Pramita mendengar kepanikan dari balik punggungnya. Dilihatnya Lia dengan wajah panik dan berjalan mondar-mandir dengan telepon di telinga kirinya.
“Terus gimana? Enggak mungkin aku batalin acara ini, kan? Ok-ok, aku akan coba cari yang lain.”
“Kenapa, Lia?”
“Pramita! Syukurlah kamu masih di sini, dua orang model pria yang harusnya tampil mengalami kecelakaan. Aku harus buru-buru nyari model baru.”
“Aku bantu telepon modelku?”
“Makasih, Ta. Makasih banget. Aku juga coba hubungi agensiku. Kalau bisa dalam waktu sepuluh menit udah nyampe ya, Ta. Maaf banget ngerepotin kamu.”
Pramita segera mencari ponselnya, tapi kemudian menyadari bahwa clutch warna zamrud yang berisi ponselnya tidak ada di tangannya! Pramita menggeram kesal menyadari kebodohannya dan langsung bergegas keluar ruangan untuk mencari Panji.
“Bu Pramita, ini tasnya ketinggalan dan ponsel Ibu bunyi terus.”
Entah harus merasa lega atau marah saat melihat Panji tiba-tiba saja muncul di hadapan Pramita seraya menyerahkan clutch itu pada pemiliknya. Pramita segera menyambarnya dan langsung mengambil ponsel menghubungi Susan untuk mencarikan satu model pria agar segera datang ke pagelaran busana Lia.
“Ta, ini modelnya?” tanya Lia. “Ok-ok, thanks, Ta. Kamu langsung ikut saya, ayo!” ajak Lia tanpa menggubris kebingungan Pramita dan Panji.
“Eh! Lia, bukan! Dia sopir aku.”
“Sopir? Tapi …” Lia sekali lagi menatap Panji dari ujung kepala hingga kakinya. “Tapi dia oke buat pasangan modelku, aku pinjam dia sebentar ya, Ta.”
“Tapi—”
Lia tidak lagi memedulikan Pramita dan langsung menarik Panji masuk ke ruang ganti.
***