Gerimis masih mengguyur kota hingga pagi ini dan berhasil menciptakan genangan di beberapa tempat yang memperburuk kemacetan. Namun, segelas kopi panas yang dibelikan Pramita berhasil membuat senyum Rizal terus terkembang dan pria itu juga masih melantunkan syair lagu cinta yang diputar di radio. Kemarin setelah menyakinkan Pramita, Rizal pikir bisa langsung menghubungi Panji dan memintanya langsung datang ke Lust, tapi ternyata Rizal harus melakukan perjalanan menuju ke selembar alamat yang tertulis di kartu nama yang diberikan Panji minggu lalu. Pasalnya, nomor ponsel yang diberikan pria itu mendadak sulit untuk dihubungi.
Mobil Rizal menepi di tepi jalan, tepatnya di depan sebuah toko yang berada di samping mulut gang. Kepalanya melongok sebentar ke luar jendela mobil untuk memastikan bahwa nama gang yang tertulis di papan jalan itu, sama dengan yang ada di lembar kartu nama. Yup! Tidak salah lagi, ini tempatnya! Rizal segera mengambil payung di kursi belakang, kemudian turun dan melangkah menyusuri gang sempit dan detik selanjutnya dia menyesalinya saat celana jins yang baru saja dipakainya harus direlakan terciprat air dari anak-anak gang yang sedang bermain air.
Setelah dua kali bertanya pada ibu-ibu yang kebetulan sedang ingin ke pasar ataupun mencuci baju, akhirnya Rizal sampai di rumah Panji. Sebuah rumah di tengah hunian padat penduduk yang lebar terasnya hanya cukup untuk satu kursi—itu pun busa kursinya sudah mencuat ke sana-sini dan basah terkena cipratan air hujan—kaca jendela yang sudah buram, lampu teras yang menyala kuning, sama sekali tidak bisa memberikan penerangan yang layak di pagi yang mendung ini.
“Cari siapa, Mas?”
Seorang wanita dengan daster motif bunga mawar besar di bagian perut, rol rambut warna oranye yang menggelung jambulnya, menyapa Rizal. Diikuti dengan tatapan menyelidik dari ujung kepala hingga kaki, sungguh mengingatkan Rizal pada ibu kosnya dulu saat masih menempuh pendidikan sarjananya.
“Ini betul rumahnya Panji, Bu?”
“Masnya siapa?”
“Saya Rizal, temannya Panji.”
Kedua mata wanita itu kembali memperhatikan Rizal, kali ini ditambah keningnya yang mengerut. “Temennya Panji?”
Rizal mengangguk.
“Panji enggak ada.”
“Maksudnya, Bu?”
“Lagi pergi.”
“Sepagi ini?”
“Pagi-pagi! Lo pikir sekarang jam berapa? Udah jam tujuh, cuma lagi mendung sama gerimis aja. makanya kelihatan masih kayak setengah enam!”
“Ah, iya,” pasrah Rizal yang lebih memilih mengalah, daripada adu mulut dengan wanita berponi anti badai ini. “Jadi, Panji ke mana, Bu?”
“Lagi pergi beli obat buat emaknya.”
“Kira-kira masih lama enggak ya, Bu?”
“Ya mana gue tahu. Kalau lo mau nunggu, tunggu aja di dalem.”
Rizal lagi-lagi mengangguk seperti anak ayam penurut. “Di sini aja, Bu.”
“Hujan! Lagian kursinya basah.”
Rizal tidak ada pilihan lain selain menurut dan langsung duduk di kursi yang penampakannya mirip dengan kursi di teras, hanya saja busa-busanya tidak mencuat keluar. Pria berkemeja biru itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang bahkan tidak lebih luas dari kamarnya ini. Tidak banyak yang bisa dilihat, hanya ada dua kursi, meja, dan televisi berukuran kecil yang menampilkan iklan home shopping tentang alat memasak yang harganya tidak masuk di akal Rizal, dua juta untuk sebuah wajan? Gila!
Tatap Rizal berhenti, tepat pada sosok wanita yang duduk di kursi lainnya dan sibuk dengan benang serta jarum rajut. Jemarinya menari lincah untuk merajut, mengaitkan benang-benang yang tertumpuk di atas pangkuannya menjadi satu bentuk.
“Pagi, Bu,” sapa Rizal membuka percakapan, tapi wanita itu bergeming dan masih menunduk.
“Itu ibunya Panji,” celetuk wanita berdaster yang tiba-tiba muncul kembali dengan dua gelas air mineral kemasan di tangannya. “Masnya emang ada perlu apa sama Panji?”
“Itu—”
“Saya boleh tahu, kan?”
“Saya mau ngajak Panji kerja, Bu.”
“Wah, kerja apa?”
“Jadi asisten saya.”
“Emangnya Mas kerjanya apa?”
Rizal tersenyum sesaat sembari mengulurkan kartu namanya pada wanita di hadapannya. “Saya seorang fotografer di perusahaan mode. Kebetulan, saya dan perusahaan sedang membutuhkan asisten untuk bantu-bantu saya.”
“Oh, tukang foto ya? Yang moto-moto itu, kan? Sama kayak yang sering saya lihat di Kota Tua tiap sore itu, kan? Yang ke mana-mana bawa kamera moncongnya panjang?”
“Hm … ya … tapi—”
“Wah, Panji mau jadi asisten Masnya? Jadi Panji ikut moto-moto, dong? Wah, cocok banget, Mas! Panji pinter banget kalau urusan moto-moto gitu. Dia sering banget diminta sama Pak RW buat motoin kegiatan kelurahan, sering juga diminta motoin kalau ada orang punya gawe!” ujarnya lagi penuh semangat. “Panji juga sering menang lomba lho, Mas! Beberapa kali ada wartawan yang dateng buat wawancara dia, tapi anehnya saya enggak pernah lihat atau baca artikel, atau minimal lihat mukanya Panji di majalah atau di TV.”
“Sepertinya saya enggak salah pilih ya, Bu.”
“Oh, jelas enggak kalau yang kita omongin adalah Panji.” Wanita itu menghela napas setelah menyelesaikan kalimatnya, tatapannya seketika menerawang ke luar rumah, menatap sendu rintik air yang menetes dari ujung-ujung atap asbes rumah Panji. “Saya ikutan seneng kalau Panji bisa kerja bareng Mas di gedung-gedung gede gitu. Ngelihat dia pake baju bagus, rambut klimis, pokoknya rapi dan ganteng kayak yang sering saya lihat kalau mau pergi ke pasar.”
“Memangnya pekerjaan Panji yang sekarang, enggak seperti itu, Bu? Kemarin saya ketemu sama Panji, dia juga pake baju bagus, rapi, dan ganteng.”
“Iya, sih. Cuma dia kerjanya tukang foto serabutan. Kalau Mas mau ngajak dia kerja di perusahaan tempat Masnya kerja, dia enggak perlu ke sana-sini buat nyari kerjaan moto. Dan yang penting, Panji udah enggak perlu terlalu mikirin dari mana dia dapet duit buat beli obat ibunya.”
Rizal melirik pada wanita lain yang ada di ruangan itu, yang masih sibuk merajut.
“Ehm, kalau boleh tahu, ibunya Panji sakit apa, Bu?”
“Oh, ibunya itu—”
Kalimat wanita itu terhenti saat melihat Panji sudah berdiri di teras rumah sembari menyeka air dari wajah dan bajunya. Buru-buru dia bangkit dan pergi ke belakang untuk mengambil handuk dan segera diulurkannya untuk Panji.
“Makasih, Nyonya Rose,” ucap Panji seraya masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Hm! Eh, Nji, itu ada yang nyariin.”
“Siapa?”
“Siapa, ya? Gue lupa namanya, tadi dia ngasih kartu namanya, tapi gue tinggal di meja. Katanya dia mau nawarin lo kerjaan. Udah, buruan sana temuin!”
Nyonya Rose langsung mengambil handuk dari tangan Panji dan mendorong punggung pemuda itu untuk segera memasuki rumahnya, bertemu dengan Rizal.
“Mas Rizal?”
“Halo, Nji? Apa kabar?”
Rizal mengulurkan tangannya untuk berjabat, yang dibalas dengan hangat oleh Panji.
“Baik, Mas. Ada perlu apa ya, hujan-hujan begini sampai ke rumah saya?”
“Aku mau nawarin kamu kerjaan.”
Seketika Rizal bisa melihat mata Panji berbinar setelah mendengar satu kalimat pendek yang baru diucapkannya. Seolah dirinya baru saja mendapatkan lotre berhadiah besar yang uangnya bisa menanggung biaya hidupnya seumur hidup.
“Iya?”
“Aku butuh asisten untuk kerjaan aku di Lust.”
“Lust?”
Rizal mengangguk. “Kamu masih inget wanita yang bareng sama aku di TK tempo hari?”
“Iya.”
“Dia Pramita, pemilik perusahaan mode Lust. Aku kerja di sana sebagai fotografer dan aku butuh asisten buat bantu-bantu atau gantiin aku, kalau misalnya aku enggak bisa motret. Gimana? Kamu mau?”
Tak perlu menunggu ditanya dua kali, Panji langsung mengangguk dan menjabat kembali tangan Rizal. Berulang kali pemuda itu mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan oleh pria yang begitu baik dan ramah padanya, semenjak pertama kali mereka bertegur sapa di pemotretan TK tempo hari.
“Kalau gitu, hari ini kamu bisa ke kantor?”
Panji mengangguk.
“Oh, kita barengan aja, aku juga mau ke kantor. Nanti aku kenalin langsung ke Mita.”
“Ah, iya. Baik. Tapi saya mau ganti baju dulu dan mengurus ibu saya sebentar. Apa tidak apa-apa?”
Rizal menoleh pada wanita yang sama—yang masih sibuk dengan rajutannya, dia benar-benar tidak memedulikan kehadiran Rizal sejak masuk tadi.
“Iya. Aku tunggu.”
Tidak perlu waktu lama bagi Panji untuk bersiap. Setelah mengganti pakaiannya, Panji segera menyiapkan sarapan dan obat-obatan untuk ibu. Kemudian dia berlari keluar sebentar, dan kembali bersama Nyonya Rose. Nyonya Rose bisa dikatakan sebagai penyelamat Panji di hampir setiap kesempatan. Wanita itu selalu menawarkan bantuan, bahkan di saat Panji tidak memerlukannya, termasuk menjaga ibu Panji saat dirinya pergi bekerja.
Setelah memastikan penampilannya rapi dan ibu sudah ada yang menjaga, Panji segera megikuti langkah Rizal menuju mobil, yang kemudian melaju membelah jalanan kota yang masih basah. Tak berapa lama kemudian, mobil Rizal melambat dan berbelok masuk ke area parkir gedung perkantoran. Segera Panji menyusul Rizal turun dan melangkah ke lift menuju lantai di mana ruangan pimpinan Lust berada.
“Susan, Mita ke mana? Belum datang?” tanya Rizal pada Susan—sekretaris Pramita—saat melihat ruangan kaca yang berada tepat di samping ruangannya kosong.
“Oh, Bu Mita sudah datang. Sekarang lagi ada di studionya, di rooftop. O iya, Pak Rizal dari mana aja? Tadi memang Bu Mita juga nanyain kenapa Bapak belum dateng. Bu Mita juga pesen, kalau Pak Rizal dateng, diminta langsung ke studio aja.”
“Hm, saya tadi ada urusan sebentar. Ok, saya langsung nyusul Mita aja.” Rizal menoleh pada Panji yang berdiri di belakangnya dan sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. “Nji, yuk! Kita ke rooftop.”
Panji mengangguk, kemudian mengikuti langkah Rizal menuju tangga darurat. Lantai studio rooftop yang dimaksud Susan, dan menjadi tempat Pramita mengerjakan seluruh desainnya memang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga darurat. Rizal mendorong pintu besi di ujung anak tangga, menyebabkan angin dingin serta sapuan rintik hujan kembali mengenai wajahnya. Buru-buru Panji dan Rizal berlari menuju pintu sebuah bangunan yang terletak di sisi lain dari pintu tangga darurat, lalu membukanya.
Tangan Pramita yang semula sibuk mewarnai desain clutch untuk koleksi akhir tahun Lust seketika berhenti. Kepalanya mendongak dengan kening mengerut begitu melihat Rizal muncul di ambang pintu, seraya mengibaskan tangan untuk menyeka air hujan di jaketnya.
“Kamu ke mana aja, kok baru dateng?” tanya Pramita sambil lalu, kemudian kembali menekuni desain di mejanya. “Aku tadi sempet ke apartemen kamu, aku pikir kamu masih tidur, soalnya hape kamu juga susah dihubungi. Jadinya, kopinya aku taruh aja di depan pintu apartemen kamu.”
“Makasih buat kopinya. By the way, kenapa kamu ke apartemenku pagi-pagi? Kangen?”
“Bukan. Tadi aku mau bilang butuh tebengan. Mobil aku di bengkel dari kemarin. Terus taksi online juga susah kalau pas hujan-hujan gini. Makanya aku mau nebeng.”
“Ah, sori banget, Ta. Aku dari pagi udah jalan buat jemput Panji.”
Lagi-lagi tangan Pramita berhenti memulas, ketika Rizal menyebut satu nama dari masa lalunya itu. Pramita kembali menoleh ke ambang pintu dan sosok Panji sudah berdiri berdampingan dengan Rizal.
“Panji, ini Ibu Pramita, Direktur Lust. Ta, ini Panji. Kalian udah pernah ketemu, kan? Cuma, mungkin pertemuan kalian waktu itu agak kurang berkesan baik, karena Mita tiba-tiba aja sakit.”
“Pagi, Bu Pramita.” Panji melangkah mendekat untuk menjabat tangan Pramita. Meski tidak yakin, bahwa perempuan itu akan membalas jabat tangannya, setelah dulu sempat menolaknya tanpa alasan. Namun, sebagai karyawan baru, Panji harus tetap menghormati Pramita sebagai bosnya, kan?
Tangan besar itu kembali terulur di hadapan Pramita, membuatnya terpaku untuk beberapa saat sebelum menyadari setetes air dari ujung lengan kemeja Panji yang basah, menetes di atas desainnya. Membuat warna merah menyala yang sebelumnya ada di sana, perlahan memudar.
“Ah, maaf, Bu!” Panji buru-buru menarik tangannya kembali begitu menyadari kesalahannya. “Maaf, saya—”
Pramita langsung berdiri dan kedua tangannya menggebrak meja, lalu bertumpu di atasnya, tubuhnya condong ke depan—ke arah Panji bersama dengan tatapan kesal mengiringinya. “Kamu tahu berapa lama saya buat sketsa ini?! Kamu tahu berapa banyak waktu yang saya pakai untuk menyelesaikan semua ini? Tapi, kamu dalam sedetik bisa menghancurkan semuanya!”
“Ta—”
“Diam, Zal! Aku lagi kesal!” geram Pramita, kemudian beranjak menuju sofa. “Belum juga mulai kerja, udah berhasil bikin kacau Lust!”
“Saya bisa menggambarnya ulang, Bu,” ucap Panji, mencoba memperbaiki keadaan. Namun, sepertinya, apa yang dilakukan pria itu malah semakin memperburuk keadaanya.
Pramita menoleh dan semakin menatap kesal pada Panji. “Kamu? Gambar ulang? Memangnya bisa? Apa sekarang kamu pikir saya enggak bisa gambar ulang semua desain saya, hah?!”
“Bukan begitu, saya—”
“Cukup!” Pramita memijat pelipisnya. “Saya enggak mau lihat kamu lagi. Zal, bawa dia pergi.”
“Tapi, Ta. Aku, maksudku kita, Lust, butuh dia.”
“Cari anak magang lain aja!”
***