“Ujian udah selesai, kamu masih belajar aja, Ta?”
“Saya cuma baca-baca kok, Bu.”
Bu Ida—sang Penjaga Perpustakaan Sekolah—menghela napas, kemudian memilih duduk di kursi yang berseberangan dengan Pramita. Wanita dengan senyum ramah dan kacamata tanpa bingkai itu mungkin adalah satu-satunya teman Pramita di sekolah ini.
“Sekarang lagi ada lomba antar kelas, kan? Kamu enggak ikutan?”
Pramita kembali mendongak dari majalah Trubus edisi terbaru yang membahas tentang ternak lele. “Aku enggak bisa basket, voli, ataupun atletik lainnya, Bu. Kalau aku ikutan, nanti yang ada malahan kalah kelasku. Jadi, mending aku baca-baca di perpus aja.”
“Kamu mau ternak lele?” kekeh Bu Ida yang akhirnya malah membuat keduanya tertawa.
“Sssst!”
Tawa Pramita dan Bu Ida langsung hilang, begitu sebuah teguran terdengar dari deretan meja dan kursi baca di belakang Pramita. Keduanya menoleh ke sumber suara dan tidak mendapati siapapun di sana. Bu Ida yang pikirannya suka berkelana ke hal-hal klenik, langsung berdiri dan menghampiri deretan bangku itu. Matanya berputar malas ketika mendapati seorang siswa berbaring dengan sebelah lengan terbebat perban yang menutupi kedua matanya.
“Ini perpustakaan, bukan kamar tidur kamu. Ke UKS aja!”
“Ini juga bukan mal. Lagian UKS penuh sama anak-anak yang mendadak lemes pas disuruh ikut lomba,” timpal si murid yang belum bergerak dari posisinya.
“Tumben kamu enggak ikut voli?”
Murid itu menunjuk lengan kanannya. “Ibu lupa, gara-gara siapa saya jadi begini?”
Bu Ida cuma nyengir mendengar sindiran si murid. “Lagian udah dibilangin biar Pak Gugun aja yang benerin lampunya, kamu sok-sokan mau bantuin.”
Murid itu menghela napas, menurunkan lengannya, lalu bangkit dari berbaringnya. Matanya menyipit untuk beberapa saat sebelum mendapati wajah Bu Ida di depannya.
“Yakin nungguin Pak Gugun sambil gelap-gelapan di perpus yang engap ini. Kan ibu paling takut kalau—” kalimat murid laki-laki itu terputus saat menyadari ada sosok lain yang menatapnya sedari tadi. “Ngapain lihatin gue kayak gitu?”
Pramita menggeleng cepat sebagai jawaban. Tidak ingin membuat masalah dengan sosok yang sebelah lengannya tergantung dengan perban itu, Pramita buru-buru membalikkan wajah dan membaca majalah Trubus-nya lagi.
“Heh! Jadi cowok galak amat! Kamu enggak tahu siapa dia?” tegur Bu Ida. “Mita ini anak pindahan, baru sebulan di sini. Kamu jangan galak-galak kalau sama dia. O iya, Mita, ini Panji yang kemarin bantuin Ibu nyariin daftar buku-buku yang mau kamu baca untuk bahan belajar ujian. Dia emang galak kalau sama cewek, tapi dia sebenernya baik kok. Dan kamu, Nji, tolong bersikap lebih ramah. Nanti kalau Mita enggak betah—”
“Saya tahu kok siapa dia, Bu. Dia adalah Pramita yang pintar, baik, ramah, idola para guru termasuk Bu Ida, murid pindahan dengan sejuta prestasi akademisnya dan juga beasiswa yang seolah jadi nama tengahnya.”
Pramita menutup majalah Trubus-nya, lalu berbalik memandang cowok itu penuh kekesalan. Pramita tidak suka dengan tiap-tiap kata yang diucapkan cowok itu, meskipun semuanya adalah fakta. Kalimat itu, memang tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat yang sering dilontarkan para siswa lain, hanya saja dengan nada yang merendahkan dan Pramita selalu tak mengacuhkannya. Sedangkan cowok ini, mengucapkannya dengan nada datar, tanpa ekspresi, yang entah mengapa malah menyulut kekesalan dalam diri Pramita. Seolah-olah, Pramita lebih baik mendengar kalimat pujian palsu itu dilontarkan dengan sengaja untuk menyindir dirinya, daripada seperti yang diucapkan cowok ini—entah apa sebutannya, Pramita tidak bisa menemukan istilah yang tepat untuk apa yang baru saja dilakukan cowok yang masih menatapnya dalam diam.
“Aku juga tahu siapa kamu!” kesal Pramita. “Biang onar sekolah. Kerjaannya tiap hari bikin gaduh di kelas bareng sama temen-temen kamu yang juga enggak kalah ngeselinnya. Merekrut adik kelas untuk gabung ke geng kalian. Kasih pengaruh buruk ke adik kelas supaya bertingkah kayak kalian!”
Sebelah alis cowok itu terangkat mendengar ucapan Pramita, tapi dia masih bergeming.
“Itu-sangat-menganggu!” Pramita beranjak mendekati si cowok dan Bu Ida. “Apa kamu dan teman-teman kamu mau bertanggung jawab soal masa depan siswa yang kalian ajak bolos? Terus nilai mereka jelek dan enggak lulus ujian? Kamu mau tanggung jawab? Enggak, kan? Kalau mau gagal dalam hidup kamu, enggak usah ngajak orang lain!”
Setelah menutup pidato panjangnya dengan dengkusan kesal, Pramita langsung pergi meninggalkan perpustakaan. Bu Ida hanya bisa mengernyitkan keningnya seraya tatapannya terus mengikuti sosok Pramita yang akhirnya benar-benar tidak terlihat lagi di perpustakaan.
“Saya salah apa, Bu?”
Bu Ida mengangkat kedua bahunya. “Entahlan, Nji. Mungkin suasana hatinya tiba-tiba buruk gara-gara lihat muka kamu.”
“Lha, muka saya juga dari dulu begini,” sungut Panji, lalu turut beranjak dari duduknya.
“Mau ke mana kamu?”
“Mau ke kantin. Laper habis dengerin ceramah.”
Riuh rendah sorakan para murid memenuhi pinggiran lapangan voli yang berada di sebelah bangunan kantin. Hari ini memang sedang diadakan class meeting selama lima hari seusai ujian tengah semester, diisi dengan lomba antar kelas dan pertunjukan band sekolah yang suara penyanyinya bisa membuat setan di perpustakan yang biasanya menganggu Bu Ida, lari terbirit-b***t.
Panji duduk di salah satu kursi di dekat jendela yang menghadap langsung ke lapangan voli, setelah memesan seporsi katsu daging ayam—yang lebih banyak tepungnya daripada ayamnya—dan segelas es teh manis. Namun, sedetik kemudian dia menghela napas kesal menyadari bahwa tulang siku kanannya yang retak—karena jatuh saat membantu Bu Ida memasang bohlam lampu perpustakaan—sangat menyebalkan! Membuatnya kesulitan melakukan aktivitas, salah satunya makan, apalagi ini makanan yang perlu dipotong terlebih dahulu.
Sekali lagi Panji menghela napas, kemudian mengambil garpu dengan tangan kiri dan menusuk daging di piringnya. Niat hati ingin langsung memakannya dalam potongan besar-besar, tapi seseorang tanpa diundang tiba-tiba saja duduk di hadapannya, dan membuat Panji kembali menurunkan garpunya.
Kedua mata Panji menatap mata cewek yang beberapa saat lalu menceramahinya soal tanggung jawab dan masa depan, dan kini malah duduk diam di depannya sehingga membuat suasana canggung. Panji sungguh tidak suka dengan keadaan ini, dia tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman dan gosip tidak penting jika teman-temannya melihat apa yang dilakukan cewek bernama Pramita di hadapannya saat ini. Pramita meraih garpu Panji yang masih menancap di daging katsu, lalu dengan menggunakan pisau yang semula diabaikan Panji, mulai memotong daging katsu itu menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah untuk dimakan.
“Aku bukan tipe orang yang suka berutang.”
“Utang?” Panji menggaruk lehernya. Bingung memikirkan arti kalimat yang baru saja diucapkan Pramita. Utang? Kapan?
“Bu Ida bilang, kamu udah bantuin nyari buku-buku yang aku perluin dari timbunan buku-buku di gudang perpus.” Pramita meraih tangan kiri Panji dan meletakkan garpu di sana. “Ini sebagai bentuk ucapan terima kasihku.”
Setelah mengucapkan maksudnya, Pramita segera beranjak. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar Panji bersuara memanggil namanya. Mulai detik itu, kalimat yang kemudian keluar dari mulut Panji, berhasil mengubah hubungan canggung keduanya.
“Mau temenin gue makan?”
Tidak ingin terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan gosip? Bullshit!
***
“Ta? Jadi, enggak?”
Pramita mendongak dan melihat Rizal berdiri di ambang pintu ruangannya. Buru-buru dia menyimpan kembali bingkai foto yang sedari pagi dia tatap dan membawanya ke masa 12 tahun silam, ke dalam laci meja kerjanya.
“Ya? Kenapa, Zal?”
“Kata Key, kamu manggil aku?”
“Ah, iya. Masuk! Aku mau bahas hasil foto kita buat proyek pertama Lust di tahun ini.”
“Udah punya pilihan?” tanya Rizal seraya duduk di sofa, setelah dipersilakan oleh Pramita. “Kamu pilih yang mana?”
Pramita beranjak duduk di samping Rizal, kemudian sibuk memilah lembaran-lembaran hasil pemotretan produk yang dilakukan kemarin siang. Manik mata Pramita bergerak cepat memilih gambar-gambar yang disisihkannya di sisi tangan kirinya, lalu beralih pada tumpukan gambar lainnya.
“Ehm, Ta, apa yang dibilang Risa dari bagian keuangan pas rapat kemarin, itu bener?”
“Hm? Bagian yang mana?”
“Ayolah, kamu tahu benar yang aku maksud.”
Tangan Pramita yang semula sibuk memilah, kini berhenti, dan mulai merapikan foto-foto yang dipilihnya. “Foto pertama dan kedua untuk di media cetak, terus tiga foto selanjutnya buat di media online atau web Lust. Untuk iklannya sendiri, akan mulai syuting dengan pihak ketiga, besok lusa.”
“Ta?”
Pramita menghela napas. Dirinya tahu, lambat laun, topik ini memang akan dibahas oleh seluruh pegawai di Lust, tidak terkecuali Rizal yang baru saja bergabung selama seminggu. Sekeras apapun Pramita menyembunyikannya dengan tujuan menghindari kegaduhan, tetap saja dinding di kantor ini memiliki mata dan telinga. Pramita tidak akan menyalahkan siapapun yang membocorkan kondisi keuangan Lust, karena Pramita sadar, seharusnya dia tidak menyembunyikan masalah sebesar ini dari karyawannya.
“Mungkin ini karmaku, karena sikapku selama ini pada Prama.”
Rizal mengerutkan keningnya. “Prama? Ayah kamu?”
“Memangnya ada Prama lain yang aku kenal?” Pramita menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku terlalu angkuh dan percaya diri menolak uang dari Prama. Terlalu yakin, bahwa perusahaan yang aku bangun hanya bermodalkan passion dan niat, serta uang tabunganku—baiklah, juga uang Mbak Intan dan Mas Damar, akan berhasil.”
“Memang berhasil, kan?”
“Ehm …”
Rizal menggapai tangan Pramita, meremas pelan di sana untuk memberikan semangat. “Keysha udah cerita semua ke aku. Return tahun lalu jauh meleset dari target kamu, tapi itu bukan berarti kamu gagal, Ta.”
“Aku tahu. Makanya tahun ini, aku bahkan ngambil proyek dengan pemerintah. Kamu tahu, kan? Selama Lust berdiri, aku selalu menghindari proyek dari pemerintah, tapi aku harus menyelamatkan para pegawaiku.”
“Ngambil proyek dengan pemerintah itu enggak selamanya buruk, kok. Ya, meski rentan untuk dikorupsi, tapi itu urusan oknum pegawai pemerintah, kan? Kamu tetap dibayar sesuai dengan ketentuan kontrak kerjasama kalian. Tahun ini kamu dapat dua proyek, kan?”
Pramita mengangguk. “Setelah tim pemasaranku babak belur dihajar Darmawangsa.”
“Ah, Darmawangsa, saingan yang berat, tapi tim kamu berhasil dapet, kan? Dua, lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Hem, kamu benar. Seenggaknya kalau tiga proyek Lust sendiri enggak mencapai target tahun ini, uang dari proyek pemerintah bisa buat nutup kerugiannya.” Pramita menyerahkan hasil foto kemarin yang sudah dipilihnya pada Rizal untuk diserahkan ke bagian publikasi Lust. “O iya, tim kamu gimana? Masih butuh orang lagi?”
“Ah iya, soal itu …” Rizal meragu untuk melanjutkan kalimatnya, pasalnya, perkara tim fotografinya yang memutuskan sepihak untuk keluar setelah mendengar kondisi keuangan Lust yang tidak sehat, membuat Rizal kelimpungan. Namun, dirinya juga tak sampai hati membebani Pramita dengan masalah ini. Terlebih dirinya masih bisa meng-handle semua posisi—yah, meskipun Rizal harus merelakan waktu tidurnya, tapi apapun itu, akan dilakukannya demi Pramita.
“Kenapa?”
“Sisa personel dari tim lama aku, mereka mengundurkan diri. Masalah keluarga,” bohong Rizal.
“Terus?” kening Pramita mengerut. “Pemotretan selanjutnya gimana? Kamu mesti cepet cari orang, Zal.”
“Enggak usah. Aku bisa handle sendiri, kok.”
“Zal, pemotretan di Lust ataupun nanti sama pemerintah, kamu enggak akan bisa nyiapin semuanya sendiri. Fotograferku yang lama, minimal butuh tiga sampai empat orang buat nge-set semuanya. Mulai dari asisten fotografer, set desain, sampai tukang gulung kabel.”
Rizal tersenyum kecil mendengar ucapan Pramita. Apa yang diucapkan wanita itu memang benar adanya, tapi melihat situasi keuangan Lust yang seperti ini, Pramita lebih baik menyimpan uangnya untuk keperluan yang lebih penting. Lagipula mempekerjakan seorang profesional—bahkan sebagai penggulung kabel, tidaklah murah.
“Aku minta Mas Damar aja buat nyariin atau minjemin bagian fotografi dari PH-nya aja, gimana?”
Rizal lagi-lagi menggeleng. “Beneran, Ta. Enggak apa-apa.”
“Aku yang apa-apa.” Pramita memijat pelipisnya. “Begini, Zal. Bukannya aku enggak percaya kemampuan kamu bisa handle ini semua sendiri, tapi mau berapa lama? Sebulan? Dua bulan? Mungkin baru seminggu kamu udah tipes duluan. Nanti Mas Damar mikir kamu kerja rodi di sini.”
“Tapi—”
“Enggak harus pro, gimana kalau nyewa freelance? Atau mungkin anak magang, bisa juga fresh graduate? Gimana?”
“Ta—”
“Zal. Berapa lama kita kenal? Setahun? Dua tahun? Enggak, kan? Kamu enggak yakin aku bisa bayar tim kamu?”
Tidak. Rizal tidak pernah meragukan kemampuan Pramita. Seorang perempuan yang sudah mengalami jatuh bangun dalam hidupnya, melebihi dirinya sendiri. Jika ada penghargaan tentang pengalaman hidup paling menyedihkan dan nominasinya adalah mereka berdua, maka Pramita adalah pemenangnya.
“Kamu butuh berapa? Tiga? Empat? Lima anak fresh graduate?”
“Satu aja.”
“Satu?”
“Hm. Aku rasa satu orang cukup, kalau orangnya dia.”
“Dia? Siapa?”
“Kamu inget Panji? Fotografer yang nge-set studio di Swan Lake?”
Tubuh Pramita menegang mendengar nama dari bagian masa lalunya itu disebut. Nama yang berhasil memenuhi kepalanya beberapa hari ini, setelah pertemuan mereka kembali—pertemuan yang sebenarnya membingungkan Pramita selama ini. Di satu sisi, Pramita tidak ingin bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya, tapi sisi hatinya yang lain berontak tidak terima dan ingin membalaskan sakit hatinya.
“Pan—Panji?”
Rizal mengangguk. “Kamu inget, kan? Fotografer yang bantuin aku. Kemarin kami sempet ngobrol, dari sana aku tahu kalau dia lagi nyari pekerjaan tetap juga. Gimana?”
“Kenapa harus dia?”
“Kenapa enggak? Pengalaman dia oke banget lho, Ta. Dia udah pergi ke banyak tempat buat proyek foto majalah ataupun foto-foto model buat merchant baju online yang sering dijual di online shop.”
“Aku masih ragu.”
Bisakah Rizal merekomendasikan orang lain saja? Bisik salah satu sisi hati Pramita.
Kenapa? Justru ini adalah kesempatan yang bertahun-tahun sudah kamu nantikan, kan? Buat dia merasakan apa yang kamu rasakan dulu! Kata hati Pramita yang lainnya.
“Kamu yakin bisa kerjasama?”
“Ta, aku kerja bareng dia selama tiga hari buat motret anak-anak. Makanya aku yakin, cukup dia, dan semua akan beres. Kita berdua bisa kerjasama buat gulung kabel,” kekeh Rizal. “Lagian juga pas pemotretan banyak anak-anak dari divisi lain, kan? Ada wardrobe, marketing, bahkan bisa jadi kamu ada di studio buat bantuin gulung kabel.”
“Zal! Jangan bercanda!”
“Ok-ok. Kali ini aku serius, Ta! Panji udah cukup buat aku. Kalau nanti aku kewalahan, aku akan minta kamu buat rekrut personil baru. Gimana?”
Pramita meneguk ludahnya sekali, sebelum akhirnya mengucap, “Ok.”
***