[9]

2648 Kata
Panji baru saja selesai membaca satu buku dongeng anak-anak PeterPan. Alangkah menyenangkannya jika Panji tidak pernah menua, bertumbuh dewasa dalam fase kehidupannya. Jika boleh kembali ke masa lalu dan memilih, Panji lebih baik tetap menjadi bocah berumur lima tahun yang setiap hari Minggu menonton serial kartun di TV. Setidaknya Doraemon bisa membuatnya tertawa terpingkal melihat kebodohan Nobita yang selalu mendapat nilai nol saat ulangan. Panji mendongak dan melihat deretan buku fiksi yang berjajar rapi di rak sesuai dengan nomor serial saat mereka resmi menjadi penghuni perpustakaan sekolah. Judul-judul n****+ roman picisan yang memanjakan pikiran dan hati para pembaca, terutama para wanita tentang dongeng yang berakhir bahagia. Fiksi-ilmiah bagi mereka yang tergila-gila dengan benda langit ataupun tentang partikel atom. Bahkan serial fiksi horor tentang pemburu hantu pun ada di sana. Panji masih terduduk di lantai perpustakaan, bersandar pada rak buku, kemudian menoleh ke sisi kirinya. Di sana, biasanya Pramita akan duduk sembari mendengarkan musik klasik sembari membaca buku, tapi sudah hampir seminggu—sejak kejadian gadis itu menangis dan basah kuyup memeluknya—Pramita tidak muncul di sekolah. Ini lebih buruk dari saat dirinya disekap di dalam gudang. Panji sudah tiga kali menelepon ke rumahnya dan selalu suara serak seorang pria yang menjawabnya. Kalimat yang sama juga selalu menjadi jawaban yang diberikan pria itu. Mita sedang demam. Mungkin memang benar adanya, mengingat bagaimana gadis itu berlari menerjang hujan di tengah malam. Panji beranjak dari duduknya, kemudian melangkah keluar sembari lalu menyapa Bu Ida yang sedang menempelkan label nomor seri pada buku-buku baru. “Tumben. Bel masuk belum bunyi, kamu udah balik?” sindir Bu Ida, yang paham betul kebiasaan Panji. Pemuda itu tidak akan kembali ke kelas sebelum bel masuk ataupun tanda istirahat selesai berdering. Panji baru akan duduk di bangkunya—mungkin—sekitar 15 menit setelahnya. “Di sini enggak asyik. Aku mau makan di kantin aja.” Bu Ida hanya mengangguk. “Nji, Mita sakit apa, sih?” “Bukannya Pak Gugun udah cerita?” “Iya, sih. Demam, gara-gara tengah malam hujan-hujan buat nyamperin kamu di sini, kan?” Kedua netra Bu Ida menyipit tajam pada Panji. “Kalian pacaran? Kamu udah nyakitin dia, ya?” “Ibu ketinggalan gosip, nih! Mita itu pacarnya Sena.” “Oh … Jadi, kamu kalah cepet sama Sena?” “Maksudnya?” Bu Ida mencebik mendengar pertanyaan Panji. Bagi Bu Ida yang sudah menjalani hidup selama 43 tahun dan memiliki pengalaman percintaan selama lebih dari 30 tahun, merasakan pahit manisnya menjadi bodoh atas nama cinta, beliau bisa melihat dengan jelas bahwa pemuda ini memiliki perasaan yang lebih dari sahabat pada Pramita. Entah apa yang membuatnya ragu untuk mengungkapkan, padahal waktu yang mereka habiskan bersama tidaklah sebentar. Mungkin memang benar, di saat kamu selalu bersamanya, kamu tidak akan menyadari perasaanmu yang sebenarnya. Namun, begitu dia menjauh, perlahan tapi pasti, rasa tak nyaman itu akan muncul. Tinggal bagaimana kamu mengartikan rasa tidak nyaman itu. Apakah sebentuk kekosongan sementara, kehilangan, atau kecemburuan? “Enggak. Ya udah, sana! Nanti keburu bel masuk.” Panji tidak lagi memedulikan kalimat Bu Ida, dirinya kembali melangkah menuju kantin. Sesampainya di sana, dia langsung memesan satu porsi soto dan es teh manis. Seperti biasanya, satu bangku di dekat jendela itu menjadi tempat favoritnya. Namun, baru sesuap dia menikmati makanan kesukaannya itu, sosok yang paling tidak ingin dilihatnya sejak Panji mengetahui nama dan siapa dia sebenarnya, langsung duduk di hadapannya. “Nji. Mita belum masuk juga?” Panji tak acuh pada pertanyaan Arsena dan lebih memilih menyeruput kuah sotonya. “Nji, gue tahu. Apa yang gue lakuin salah banget.” Panji masih tidak menggubris keberadaan Arsena. Cowok itu langsung meneguk habis segelas es tehnya. Kemudian beranjak tanpa sekalipun menoleh. Arsena dengan sigap langsung mencekal lengan Panji. “Lepasin!” “Gue enggak tahu apa masalah lo sama gue, Nji. Tiga tahun kita sekelas dan lo enggak pernah ramah sama gue. Fine! Gue masa bodoh dengan itu. Tapi enggak dengan kali ini, soal Mita.” Panji menarik lengannya, lalu berbalik untuk mendapati sepasang mata yang menatapnya. Panji tidak menyukai dua manik itu! Dua manik mata yang tidak menampakkan sedikit pun penyesalan di sana, berani menatapnya, dan dengan mulutnya itu menyebut nama Pramita. “Gue—” Panji tidak membiarkan Arsena untuk menyelesaikan kalimatnya. Tangannya seketika terulur, tepat ke arah leher Arsena. Mencengkeram erat di sana, lalu mendorong tubuh Arsena hingga membentur dinding. Jemarinya semakin mengetat, membuat Arsena berusaha melepaskan diri dengan memukul lengan Panji. Namun, seperti kerasukan setan yang kuat, Panji bergeming dengan kedua mata yang menatap penuh amarah pada Arsena. Beberapa siswa yang masih di sana hendak memisahkan Panji, tapi satu tatapan bengis darinya, berhasil membuat nyali para siswa itu menciut. “Nji …” Arsena bersusah payah menahan kesakitan di lehernya. “Nji … enggak perlu … sejauh ini. Gue beneran minta … maaf.” “Mulai sekarang, lebih baik lo jauhin Mita. Paham?” geram Panji dengan jemari yang perlahan semakin mengetat. Arsena buru-buru mengangguk sebagai jawaban, dan detik berikutnya, cengkeraman Panji mengendur. Arsena terbatuk dan tubuhnya meluruh dengan napas tersengal. Melihat kondisi Arsena yang seperti itu, alih-alih menolong, Panji langsung membuang muka dan melangkah pergi meninggalkan Arsena. Langkah lebarnya bergegas menuju kelas dan mengambil tas sekolahnya. Tidak memedulikan tatapan dari banyak mata yang mengikutinya, Panji langsung meninggalkan sekolah. *** Cabang-cabang ranting pohon dan dedaunan masih mengintip di sela pagar tinggi yang mengelilingi rumah di hadapan Panji. Ini adalah kali kedua Panji menginjakkan kaki di depan rumah Pramita. Pertama adalah saat mengantarnya pulang di tengah malam kemarin dan selanjutnya adalah hari ini. Seorang pria yang adalah satpam di rumah Pramita menanyakan maksud kedatangan Panji. Tentu saja, apalagi selain untuk menjenguk Pramita yang sudah berhari-hari tidak masuk sekolah, karena demam. Setelah beberapa saat meninggalkan Panji di depan, satpam itu kembali dan mempersilakan Panji masuk dan memintanya menunggu di teras samping. Di sana, Panji duduk di salah satu kursi rotan yang menghadap langsung ke halaman berumput dengan jejeran pot-pot bunga yang tertata rapi di bawah pohon mangga. Suasana yang begitu tenang, teduh, untuk siang hari ini yang cukup terik, ditambah dengan suasana hati Panji yang masih kesal. “Hai,” sapa Pramita yang tersenyum tipis, lalu duduk di samping Panji. Kemudian disusul dengan seorang wanita paruh baya yang membawa minuman dan kudapan untuk mereka. Panji langsung mengulurkan tangannya ke kening Pramita. “Enggak panas?” Pramita mengangguk. “Kamu bolos?” “Sekolah enggak asyik, enggak ada kamu.” “Jangan suka bolos. Bentar lagi kamu kan ujian.” “Hm.” Panji meneguk minuman sirup jeruk dingin di hadapannya. “Kamu sendiri juga bolos, kan? Tumben, seorang Pramita berani bolos.” Pramita menghela napas mendengar pertanyaan Panji. “Kamu yang ngajarin.” “Apa ini ada hubungannya sama Arsena?” “Aku capek,” ujar Pramita pelan. “Aku pikir, aku akan dengan mudah melalui ini semua. Seenggaknya, aku bisa bertahan sampai lulus nanti. Tapi ternyata enggak semudah seperti yang aku bayangin. Aku enggak tahu salah apa yang aku lakukan sampai dimusuhi satu sekolah. Apa menjadi rajin, pandai, dan disayang oleh para guru adalah suatu dosa besar yang membuat orang-orang berhak menghakimiku? Aku pikir dengan tidak memedulikan ocehan dan sikap mereka, aku akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Rita adalah satu dari sekian banyak orang yang semula diam, lalu tidak tahan memendam kebenciannya padaku, sehingga nekat menyekapku. Itu pun, karena dia mengira kamu dan aku memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan. Konyol sekali. Kalau aku adalah murid pintar dengan prestasi yang baik, dan menjadi favorit para guru, apakah itu salahku? Bukankah seharusnya mereka berkaca, melihat jauh ke dalam diri mereka sendiri dan bertanya, apa yang kurang pada diri mereka? Mengapa bisa sampai tersingkir olehku? Bagaimana mungkin aku yang murid pindahan bisa menimbulkan rasa benci bagi mereka? Bahkan mereka sengaja mempermainkan perasaanku. Rita, yang mendekatiku dan menawarkan pertemanan, ternyata memiliki maksud tersendiri. Kemudian Arsena, aku pikir dengan perbuatannya yang menolongku saat disekap di gudang, itu adalah sikap tulus yang memang dimilikinya. Tapi ternyata dia hanya mempermainkanku, dia hanya kasihan padaku. Di belakangku, dia menertawakanku, Nji. Malam itu, semua mata menatap kesal padaku. Seolah kehadiranku sangat tidak diinginkan di sana. Namun, aku tetap menyakinkan diri, bahwa Arsena yang mengundangku, jadi untuk apa aku harus memedulikan pendapat orang lain, kan? Naif, ya? Aku pikir kisah remaja SMA-ku bisa seperti film-film yang romantis. Di mana seorang Pangeran dengan kuda putih akan menjadi tokoh utama yang menyelamatkan seorang gadis tertindas dari para penjahat. Nyatanya itu semua tidak berlaku dalam kisaku, Nji. Pangeran berkuda putih itu enggak pernah ada dalam kehidupanku dan aku tetap menjadi tokoh yang tertindas, kan?” Pramita kembali menghela napas, kemudian menoleh pada Panji yang menunduk diam mendengarkan keluh kesahnya. Hal yang tidak diketahui Pramita adalah gejolak amarah yang memenuhi batin Panji, ketika mendengar Pramita mengucapkan kalimat aku capek. Hanya dengan dua kata itu saja, Panji sudah dapat menebak apa yang hendak diucapkan Pramita. Ternyata perkiraannya selama ini meleset jauh. Pramita yang dikirannya kuat dan tidak peduli dengan ocehan orang lain, pada akhirnya menyerah. Seolah itu belum cukup buruk, emosi Panji kembali tersulut ketika nama Arsena terucap dan bagaimana cowok itu memperlakukan Pramita, benar-benar membuat Panji marah. “Apa baiknya aku pindah sekolah, ya? Mungkin aja di sekolah lain, aku lebih mujur.” “Kamu masih punya aku, Ta.” “Hm. Benar. Aku masih punya kamu,” gumam Pramita. “Tapi hanya sampai tahun ajaran ini selesai. Setelah itu, kamu akan melanjutkan hidup jadi anak kuliahan.” “Kamu tinggal bilang aja kalau ada yang ganggu. Aku akan datang. Pokoknya, kamu harus hubungi aku, ok?! Aku akan bikin perhitungan dengan orang-orang yang udah nyakitin kamu!” Panji menoleh pada Pramita, tersenyum sekejap untuk menghibur kawannya itu. “Janji sama aku, Nji.” Pramita mengulurkan kelingkingnya. “Kamu akan selalu ada untukku.” Panji sekali lagi tersenyum seraya mengaitkan jari kelingkingnya pada kelingking Pramita. Apapun yang terjadi, Panji akan berusaha menepati janjinya itu. Tidak peduli bagaimana pun caranya! Bahkan tanpa Pramita tahu, Panji sudah berjanji pada dirinya sendiri semenjak mengajak Pramita untuk duduk bersamanya di kantin kala itu, akan menjaga Pramita. “Besok kamu masuk sekolah?” Pramita mengangguk. “Aku enggak punya pilihan lain, kan? Papa pasti membelikanku kambing, kalau besok aku masih pura-pura demam,” kekehnya. “Kamu bisa jadi tukang sate kambing,” balas Panji. “Panji, kenapa malam itu kamu enggak nanya ke aku, kenapa aku datang dalam kondisi seperti itu?” tanya Pramita yang menghentikan kekehan Panji. “Terkadang, sebuah pelukan dan diamnya seseorang itu lebih diperlukan, daripada sebuah pertanyaan. Aku tahu, kamu butuh waktu. Kalau pada akhirnya kamu enggak cerita, aku juga enggak masalah.” “Makasih.” “Hm.” “Satu lagi, janji sama aku, kamu enggak akan ngapa-ngapain Arsena.” Panji mengernyitkan keningnya. “Kenapa? Setelah apa yang dia lakuin ke kamu, kamu masih belain dia?” “Bukan begitu. Aku cuma enggak mau kamu kenapa-kenapa. Arsena itu anak dari orang yang punya pengaruh di sekolah, Nji. Kalau kamu apa-apain dia, terus orang tuanya enggak terima, kamu bisa dikeluarin!” “Kalau begitu, setelah lulus, aku boleh hajar dia? Mungkin, saat pesta perpisahan?” *** Ujung stiletto Pramita menghentak keras di lantai-lantai kantornya. Rahangnya mengatup rapat dengan tatapan lurus ke depan. Suasana hati Pramita terlalu buruk, meski hanya sekedar melirik mereka yang memberikan salam. Arsena sudah menghancurkan harinya! Bintang yang tak pernah nampak di langit karena tertutup polusi dan sepoi angin malam yang bercampur bau asap knalpot motor di bawah sana, menyambut Pramita, ketika dirinya tiba di rooftop. Wanita itu bergegas melangkah menuju studionya, menyambar kanvas dan pensil warna yang berantakan di atas meja kerjanya. “Apa dia bilang? Kawin?” gumamnya sembari mengarsir warna oranye bagian selendang yang menyampir. “Dia pikir, emangnya dia siapa? Kenakalan remaja dia bilang? Ngetawain cewek yang katanya pacarnya, bilang kalau cuma kasihan, yang lebih buruk mengatakan bahwa seharusnya cewek itu sujud syukur masih ada yang mau sama tuh cewek. Hitung-hitung biar cewek itu punya pengalaman jatuh cinta saat sekolah? Memangnya gue peduli?” Pensil warna oranye itu menggelinding ke sisi kiri meja, selanjutnya Pramita meraih pensil warna hijau. “Dulu minta maaf, terus minta jadian. Begitu jadian, dia selingkuh lagi. Dan sekarang dia mau kawinin gue? Sinting! Cowok Berengsek!” teriak Pramita. Pramita beranjak dari kursinya, ternyata kali ini mewarnai sama sekali tidak membuatnya tenang. Kakinya melangkah keluar studio menuju pinggiran teralis pembatas. Sebelah tangannya merogoh saku mantel dan mengambil sebungkus rokok. Baru saja Pramita hendak mengambil korek, sebuah nyala api langsung membakar ujung rokoknya. Pramita menoleh dan mendapati Panji di sampingnya. “Kamu ngapain di sini?” tanya Pramita seraya mengedarkan pandangannya, berharap akan menemukan orang lain di sana. Rizal, misalnya? “Saya mau ambil properti di gudang buat foto besok pagi,” jawab Panji sembari menyimpan kembali korek apinya. “Ibu sendiri, belum pulang?” “Kelihatannya gimana?” “Memang belum,” gumam Panji. “Kalau begitu, saya ambil barang dulu, Bu.” “Hm.” Asap nikotin itu mengepul begitu saja seiring dengan Panji yang menjauh dari dirinya. Sekali lagi Pramita terdiam di tempatnya, hanya melihat Panji sibuk memilih barang-barang di gudang—di sebelah studio Pramita. Ingin hati mencari jawaban tentang semua pertanyaan yang muncul di kepalanya, semenjak pertemuannya dengan Panji di Swan Lake. Mencari tahu, mengapa sikap pria ini begitu asing baginya. Apakah memang benar, karena penampilan Pramita yang sangat berbeda atau pria ini terlalu merasa bersalah dan malu atas apa yang sudah dilakukannya pada Pramita, sehingga memilih untuk diam? Jika itu memang yang dipilih oleh Panji, maka Pramita merasa tidak terima dengan itu semua. Panji masih berhutang penjelasan tentang dirinya yang tiba-tiba saja meninggalkan Pramita! Pramita menginjak puntung rokok yang tinggal seperempat itu, lalu menghampiri Panji. Diraihnya lengan pria itu untuk tegap berdiri berhadapan dengan Pramita. Dua netra cokelat yang berkilat tertimpa cahaya itu, kembali ditemukan oleh Pramita. Namun, rasa yang ditimbulkannya begitu berbeda. Asing. “Mau sampai kapan kamu pura-pura seperti ini?” “Maksudnya?” “Kamu tahu siapa aku, kan? Kamu tahu siapa Arsena, kan?” “Tentu saya tahu, Bu. Kalau maksud Ibu membahas hal ini, karena masalah kemarin yang menimbulkan kesalahpahaman dengan Pak Arsena, saya minta maaf. Saya akan jelaskan pada Pak Arsena, bahwa saya dan Ibu enggak ada hubungan apa-apa. Hanya sebatas rekan kerja.” “Panji!” Terlalu sesak di dalam d**a Pramita, melihat sikap Panji yang seolah tidak mengenal dirinya. Mungkin semuanya akan terasa lebih mudah, jika mereka tidak pernah bertemu kembali, jika Pramita tidak menyetujui saran Rizal untuk menerimanya bekerja di Lust, atau mungkin mereka tidak berdua saja seperti ini. “Aku Mita,” gumam Pramita pelan sekali, seolah hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. “Aku Mita, Nji. Aku Mita-nya … kamu,” lirih Pramita di kata akhirnya. Tidak ada apapun. Tidak terjadi apapun. Bahkan setelah dengan suara bergetar Pramita mengucapkan namanya berkali-kali, memberitahu Panji bahwa dirinya—masih—miliknya. Bodoh! Pramita merutuki dirinya sendiri dan menemukan bibirnya tersenyum getir melihat sikap Panji yang hanya diam. Sungguh memalukan! Pramita sudah memilih untuk menjatuhkan harga dirinya ke tingkat paling dasar hanya untuk menyebut dirinya masih milik pria yang bahkan memilih tak mengacuhkannya. Pramita baru saja melanggar satu sumpahnya, bahwa dirinya akan melupakan satu masa dalam hidupnya, yakni masa di mana dia bersama Panji. Namun, lihat sekarang! Seperti orang bodoh yang putus asa—bahkan suaranya terdengar penuh permohonan—Pramita memproklamirkan dirinya sebagai milik seorang Panji. Melihat Panji masih bergeming, membuat Pramita berpikir, mungkin saja Panji juga bersumpah bahwa dirinya akan menghapus Pramita dalam kehidupannya. Kalau memang begitu, lebih baik Pramita mengikuti permainan Panji. “Lupain! Lupain apa yang baru saja aku omongin. Itu tadi mungkin karena aku terlalu banyak pikiran, makanya—” Pramita tidak lagi melanjutkan kalimatnya, ketika sepasang tangan itu kembali meraihnya. Memeluknya erat sekali dan memberikan perasaan hangat yang seketika memenuhi benak Pramita. Angin malam yang dingin, bau asap knalpot yang samar-samar masih tercium, dan bunyi klakson tidak lagi terdengar. Semuanya mendadak hening bagi Pramita. Tidak ada yang lain, kecuali pelukan hangat sepasang lengan itu yang semakin mengerat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN