Panji menghela napas lagi—entah untuk ke berapa kalinya—ketika menyadari, batin dan otaknya tidak sinkron. Batinnya menolak keras untuk mendatangi bangunan dua tingkat di hadapannya ini, tapi otak, logika, dan kebutuhan untuk membeli perlengkapan fotografi membuat kakinya melangkah ke mari. Panji berdiri di depan sebuah bank dengan tangan kanannya memegang buku tabungan yang tidak pernah dia sentuh lagi, semenjak ibu memberikannya.
Panji tidak tahu pasti berapa jumlah nominal yang akan muncul di baris terakhir, ketika nanti petugas bank selesai mencetak saldo di halaman pertama. Namun, Panji yakin jumlahnya bisa untuk membeli kamera merek Kodak keluaran terbaru—sekitar seribu buah atau mungkin lebih.
Dulu sekali, Panji bersumpah tidak akan menggunakan sepeser pun uang dari tabungan ini, tapi uang kerja sambilan Panji sebagai fotografer lepas yang tidak menentu, akhirnya tidaklah cukup untuk menebus obat ibu—meskipun setengahnya. Mungkin kali ini, Panji memang harus menjilat ludahnya sendiri demi ibu. Ya, itu tidak masalah, kan? Nanti juga, setelah kondisi keuangannya membaik, Panji akan mengembalikan uang ini.
Setelah memantapkan niat, Panji menaiki anak tangga satu per satu, melewati sebuah pintu, dan selanjutnya langsung dihadapkan pada suasana antrian bank yang sangat padat. Tahu begini, dulu dia terima saja tawaran membuat kartu ATM oleh pegawai bank. Panji tidak punya pilihan lain selain menunggu antrian bersama para nasabah lainnya.
“Mau ambil uang atau nabung, Dek?” tanya seorang ibu-ibu.
“Ambil uang, Tante.”
“Uang kamu sendiri?”
Ya iyalah! Masa uang presiden? Panji tersenyum seraya mengangguk sebagai jawaban.
“Wah, kamu pinter banget. Masih muda udah inget sama yang namanya nabung. Anak Tante, aduhhh … susah banget dibilangin buat nabung. Padahal ke depannya kita enggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi uangnya dia malahan dipake buat hura-hura sama pacarnya.”
Panji menggaruk lehernya, canggung, bingung, tidak tahu harus bagaimana menanggapi curahan hati ibu-ibu di sebelahnya. Masalahnya, Panji sendiri tidak pernah menabung. Uangnya selalu habis untuk keperluan rumah dan obat ibu. Untuk makan di kantin sekolah saja, Panji mengharap dari belas kasih—meskipun pada akhirnya saat Panji memiliki sisa penghasilan di akhir bulan, dia akan membayarnya. Sedangkan uang yang baru saja diakui sebagai tabungannya ini, bukanlah miliknya. Baiklah, memang tabungan ini atas namanya, tapi tidak dengan uangnya.
Uang yang ada di dalam rekening ini berasal dari saudaranya yang tinggal di negeri seberang. Setiap bulannya, saudara yang terasa seperti orang asing itu akan mengirim sebagian dari uang jajannya untuk ibu. Katanya, sebagai penebusan rasa bersalah atas keputusan yang diambilnya. Bullshit!
“Makanya Tante irit-irit banget pengeluaran rumah. Sisanya ini,” ujarnya seraya menunjukkan dua bendel uang—yang Panji yakini jumlahnya pasti bisa untuk membeli ratusan rol film untuk kamera usangnya. “Tante tabung buat keperluan masa depan nanti. Ibu kamu pasti bangga ya, punya anak yang memikirkan masa depan.”
Lagi-lagi Panji hanya nyengir mendengar pujian si Ibu. Tak berapa lama kemudian, Panji merasa lega, karena nomor antrian si Ibu tiba, ketika menceritakan tiga anjing dan dua kucing miliknya. Panji menengadah menatap papan nomor antri yang berada di atas para teler bank, tinggal lima antrian lagi.
Saat gilirannya tiba, Panji melangkah menghampiri seorang teler bank di deretan paling kiri. Seorang wanita dengan potongan rambut bob dan kacamata berbingkai kuning, tersenyum menyambutnya. Setelah menanyakan keperluan Panji, wanita itu meminta buku tabungan dan slip penarikan yang sudah diisi oleh Panji saat mendengarkan curhatan si Ibu Yang Anaknya Suka Party.
Setelah beberapa saat menunggu, lamunan Panji buyar saat teler bank itu memanggil Panji dan menyerahkan lembaran uang yang ditarik oleh Panji. Dan berbekal uang tersebut, Panji bergegas menuju apotik untuk menebus obat Ibu.
***
“Mas Panji!” teriak seorang gadis yang tidak lebih tua darinya, seraya berlari tergopoh-gopoh. “Mas Panji buruan!”
Panji yang baru saja turun dari metromini langsung berlari menghampirinya. “Kenapa, Al?”
“Ibu, Mas. Ibu—”
Tanpa menunggu Alma menyelesaikan kalimatnya, Panji langsung berlari memasuki gang menuju rumahnya. Begitu sampai, pemandangan ibu yang menangis di pojok kamarnya membuat hati Panji pilu. Tangannya terulur hendak memeluk, tapi ibu menepisnya. Bahkan berteriak mengusir Panji.
“Anakku sudah kembali! Adikmu sudah pulang!”
“Bu, ini Panji.” Panji masih berusaha meraih ibu ke dalam pelukannya. “Ini, Panji, Bu.”
“Nji! Ini obat dan airnya.” Nyonya Rose langsung memberikan obat dan segelas air pada Panji.
Panji memeluk ibunya dengan sebelah tangan, terus membisikkan kalimat untuk menenangkan, sembari tangannya yang lain berusaha membuat Ibu menelan obatnya. Panji terpaksa melakukan hal ini—memaksa Ibu meminum obatnya. Biasanya, jika kondisi Ibu tenang, Ibu akan dengan sendirinya meminum obat. Namun, kali ini berbeda. Padahal sudah bertahun-tahun Ibu tidak pernah histeris seperti ini, tapi hari ini Ibu kembali menjerit, meneriakkan tentang adik Panji.
“Nyonya, kenapa bisa sampai seperti ini?”
Ekspresi Nyonya Rose mendadak panik mendengar pertanyaan Panji. Dirinya takut jika disalahkah, karena sudah melanggar amanat Panji, jangan tinggalin Ibu, sebelum saya datang. Hanya sebaris kalimat itu yang menjadi permohonan Panji, tapi Nyonya Rose telah melanggarnya.
“I—Itu … tadi gue pulang bentar, Nji.”
Kedua kelopak mata Panji melebar, membuat nyali Nyonya Rose semakin ciut.
“Ya, gue pikir bentar doang. Lagian ada temen lo yang nemenin Ibu tadi.”
“Temen?”
Nyonya Rose mengangguk cepat. “Cewek. Tuh, anaknya lagi nungguin di rumah gue. Gara-gara takut ngelihat Ibu seperti ini.”
Teman Panji? Cewek? Siapa? Sejauh Panji mengingat, dirinya tidak pernah memberitahu di mana dia tinggal pada teman-teman sekolahnya, bahkan termasuk Pramita. Tidak ada alasan khusus untuk itu, dirinya memang tidak suka dikunjungi. Lagipula, kalau ada temannya main ke rumah, mau dipersilakan duduk di mana? Mau diberi kudapan apa? Rumah petak di tengah permukiman padat penduduk ini bahkan sangat sesak, walau hanya menampung dua orang di dalam rumah, termasuk barang-barang sampah milik Ibu.
Beberapa saat kemudian, emosi Ibu berangsur reda dan perlahan tertidur dalam pelukannya. Panji segera membopongnya dan membaringkannya di tempat tidur. Sekali lagi dirinya memastikan, bahwa Ibu sudah benar-benar terlelap. Panji kemudian beranjak menemui Nyonya Rose yang menunggu di ruang tamu dan memintanya untuk mengantar bertemu dengan temannya.
Begitu Panji tiba di ruang tamu Nyonya Rose, dirinya menemukan Pramita masih dengan seragam sekolahnya, duduk di sebelah Alma dengan ekspresi syok dan takut.
“Mita, kenapa kamu ke sini?!”
Pramita menoleh, tapi urung menjawab saat mendapati Panji yang memelotot padanya ditambah dengan nada suaranya yang tinggi. Membuat Pramita hanya mampu menelan ludah.
“Kamu kenapa ke sini?” ulang Panji sembari menggantikan Alma duduk di samping Pramita. “Kamu tahu dari mana rumahku di sini?”
“I—Itu … aku nanya Pak Gugun,” jawab Pramita dengan suara pelan.
“Kenapa?”
“Habisnya kamu enggak masuk sekolah, tanpa kabar! Aku khawatir Arsena sama temen-temennya ngapa-ngapain kamu!” kesal Pramita dengan suara bergetar menahan tangis, tapi pada akhirnya air matanya mengalir begitu saja.
Panji tak kuasa untuk tidak mengulurkan tangan menghapus air mata gadis di sampingnya ini. Tidak seharusnya Panji marah, padahal Pramita begitu mengkhawatirkannya.
“Kan anak kelas tiga udah selesai ujiannya, Ta.”
“Bukan berarti kamu terus tiba-tiba enggak dateng ke sekolah berhari-hari, kan? Anak-anak yang lain masih main ke sekolah!”
“Ok, aku minta maaf. Udah, jangan nangis. Kamu ke sini dianter sama sopir?”
Pramita menggeleng.
“Terus?”
“Dianter sama Pak Gugun.”
“Supir kamu?”
“Aku suruh pulang dan bilang kalau aku diajak pergi sama Mbak Intan,” jelas Pramita. “Aku juga minta dia buat nyampe rumah jam lima sore.”
“Aku antar kamu pulang, ok?” tawar Panji seraya menatap jam dinding di ruang tamu Nyonya Rose yang menunjuk pukul empat lebih lima menit.
“Tapi—”
“Kamu enggak lihat sekarang udah jam berapa?”
Panji langsung meraih tangan Pramita dan mengajaknya keluar dari rumah Nyonya Rose. Keduanya berjalan menuju halte yang terletak di samping mulut gang, menunggu metromini yang menuju komplek perumahan Pramita. Hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang bersamaan dengan orang-orang yang baru saja pulang kerja, membuat kondisi jalanan di depan halte lumayan ramai. Tanpa sepatah kata pun, keduanya duduk dalam diam di bangku halte.
Panji menoleh untuk memastikan bahwa Pramita tidak lagi menangis, karena ketakutan terhadap ibu ataupun sikapnya tadi. Dan sepertinya Pramita sudah lebih baik, meski dia masih sesekali menyeka ingus dengan sapu tangan.
“Ta, aku minta maaf. Enggak seharusnya tadi aku teriak di depan kamu.”
“Hm.” Pramita mengangguk kecil.
“Tuh!”
Pramita menoleh ke arah anggukan Panji. Sebuah metromini lajunya melambat dan akhirnya berhenti di depan halte. Dua orang turun dari pintu belakang dan tiga orang dari pintu depan. Sedangkan si Kondektur masih sibuk berteriak memanggil para calon penumpang. Panji langsung menggandeng tangan Pramita dan naik ke metromini. Kondisi di dalam bus tidak terlalu padat seperti dua bus awal yang baru saja lewat, sehingga Pramita dan Panji bisa langsung duduk berdampingan di kursi dekat pintu belakang. Perlahan, bus mulai melaju membelah lalu lintas sore hari itu yang mulai padat.
“Maaf, ya. Taksi agak susah di sini, adanya metromini. Kamu risih, ya?” tanya Panji saat melihat Pramita lebih banyak diam dan memilih membuang pandangan ke luar.
Pramita tersenyum kecil mendengar kalimat Panji. Panji salah. Pramita sama sekali tidak merasa risih, karena berjibaku dengan para penumpang lainnya—orang kantoran dengan aroma kolonye yang memudar, para pedagang di pasar, penjual asongan, hingga preman bertato yang sedang berbincang dengan si Kondektur. Ini adalah kali pertama Pramita naik bus umum bersama banyak orang, biasanya dia hanya naik taksi atau diantar supir. Dan ini juga menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendebarkan bagi Pramita.
“Kenapa?” tanya Panji saat melihat Pramita sudah tidak lagi menatap ke luar jendela, tapi malah terus menatap dirinya.
Pramita menggeleng.
“Kamu penasaran dengan sikap ibu aku tadi?”
Haruskah Pramita berbohong pada Panji dan menjawab tidak? Jujur, sebenarnya dia sangat ingin tahu perihal apa yang terjadi pada ibu Panji. Mengapa wanita itu begitu histeris saat Pramita memberi salam tadi. Namun, mengingat selama kenal dengan Panji, cowok itu tidak sekalipun menyinggung tentang keluarganya, membuat Pramita merasa ragu dan tidak enak hati. Haruskah Pramita memberanikan diri bertanya tentang keluarga Panji? Bahkan di saat cowok itu tidak pernah mempertanyakan apapun tentang diri Pramita, sekalipun mengusik tentang keluarganya—mengapa dia sampai memiliki ibu dan kakak tiri, tidak pernah mempertanyakan apa yang terjadi dengan ibu kandung Pramita?
“Sedikit, tapi kalau kamu kamu enggak mau cerita—”
“Pertama-tama, aku minta maaf soal kejadian tadi. Kamu pasti kaget banget dengan semua peristiwa tadi.”
“Hm, lumayan.”
“Ibu aku sakit.” Panji menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku bus yang keras. Tatapnya menunduk pada jemarinya yang bertaut dengan Pramita. “Kamu tahu sakit yang aku maksud, kan? Bukan sakit seperti demam, kulitnya tergores, ataupun kanker, dan sejenisnya. Ibu sakit semenjak adikku meninggal. Dibunuh.”
Tautan jemari Panji mengetat ketika menyebutkan kata terakhir yang meluncur dari bibirnya. Sedangkan Pramita sangat terkejut dan bingung harus bagaimana menanggapi.
“Ibu pasti mengira kamu adalah adikku yang sudah meninggal itu. Makanya ibu jadi histeris.”
“Apa aku mirip dengan adik kamu?”
“Turun mana, Mas?” tanya si Kondektur sambil mengulurkan tangannya untuk meminta uang pada Panji dan Pramita.
“Komplek depan,” jawab Panji sembari memberikan dua lembar uang. “Adikku meninggal saat dia masih berumur sepuluh tahun, dan dia sama sekali enggak mirip sama kamu.”
“Hm.” Kening Pramita mengerut mendengar jawaban Panji. Kemudian tatapannya menerawang keluar kaca jendela bus, melihat deretan pohon dan mobil yang melaju berlawanan arah. Memikirkan, apa yang menjadi alasan ibu Panji bersikap seperti itu padanya?
Jika dirinya sama sekali tidak ada kemiripan dengan adik Panji, lalu apa yang menyebabkan ibu memeluknya erat sambil menangis dan berteriak bahwa Pramita adalah anaknya yang sudah kembali? Bahkan setelah Alma yang seumuran dengan Pramita dan Nyonya Rose muncul untuk menolongnya, tidak membuat keyakinan ibu akan Pramita menyurut.
“Kamu cantik, tapi adikku lebih cantik,” sambung Panji yang membuat Pramita kembali menoleh padanya. Panji tersenyum membalas senyum Pramita, dengan kedua netranya yang tidak bisa lepas dari satu benda berwarna perak di leher Pramita—berkilau saat cahaya matahari sore menerpanya.
Liontin berbentuk potongan puzzle dengan ukiran kata ‘US’ berantai perak yang mengalung indah di leher Pramita itulah jawaban dari semua pertanyaan yang berputar di kepala Pramita perihal ibu Panji. Liontin itu pula yang memaku tatapan Panji, ketika Pramita pertama kali duduk di hadapannya saat di kantin, dan menawarkan balas budi dengan membantunya menyuap makanan. Karena liontin itu pula yang menahan Panji beranjak dari sisi Pramita selama ini. Dan Panji yakin, liontin yang dianggap jimat keberuntungan oleh Pramita itulah yang membuat ibu mengira bahwa Pramita adalah adik Panji.
Bukan tanpa alasan Panji dan ibu begitu tertarik pada liontin yang dipakai oleh Pramita. Liontin itu jelas mengingatkan Panji dan membuka luka lama ibu, karena kemiripan yang dimilikinya sama persis dengan milik Putri—adik Panji.
“Ta.”
“Ya?”
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Tentu. Soal apa?”
“Kalung yang kamu pakai itu …”
Pramita menunduk dan menggapai untaian kalung di lehernya. “Oh, kalung ini? Ini kalung hadiah dari teman.”
“Teman?”
Pramita mengangguk. “Bentuknya unik, ya? Puzzle. Ada kata us di sini. Tapi aku enggak tahu pasti artinya. Apakah us kita atau us dalam USA?”
“Us dalam artian kita,” gumam Panji.
“Hm? Kamu bilang apa?”
“Enggak ada. Kenapa temen kamu ngasih kalung ini ke kamu?”
Pramita mengangkat kedua bahunya. “Sayangnya, aku enggak terlalu ingat kejadiannya, kenapa dia memberiku kalung ini. Tapi dia juga enggak bisa dibilang teman, sih. Yang aku ingat, kami bertemu di pemakaman dan hari itu adalah pemakaman mamaku. Lalu ada seorang bocah laki-laki yang berdiri di dekatku memberikan kalung ini—kalau aku enggak salah inget, sih.”
“Bocah laki-laki?”
Pramita mengangguk. “Kayaknya, sih, cowok. Soalnya rambutnya pendek. Bisa enggak, kita ngomongin yang lain? Aku enggak mau inget-inget hari itu,” ujar Pramita murung.
“Komplek … Komplek …!” teriak si Kondektur.
Panji hendak meneruskan bertanya, tapi teriakan si Kondektur yang menginformasikan bahwa tujuan Panji dan Pramita sudah dekat, membuatnya segera beranjak mendekat ke pintu belakang bus untuk turun. Setelah mereka turun dan bus kembali melaju, keduanya berjalan dalam hening di sepanjang trotoar yang beberapa bagiannya berkubang air—karena tadi sempat gerimis.
Kepala Panji masih dipenuhi dengan rasa penasaran akan bocah laki-laki yang memberi Pramita kalung berliontin puzzle itu, tapi dirinya sendiri tidak ingin membuat Pramita mengingat hari—yang mungkin—paling menyedihkan baginya. Apalagi, cewek ini sejak melewati satpam komplek masih terus-terusan murung, menunduk, menatap ujung sepatunya yang basah karena kubangan air.
“Jadi, kamu enggak masuk sekolah, karena ngerawat ibu?” tanya Pramita membuka kembali pembicaraan, ketika mereka sudah sampai di depan rumah.
Panji mengangguk. “Beberapa hari ini aku sibuk lembur di rumah, ngerjain proyek buat media. Ngejar hasil cetak yang tertunda, karena ujian kemarin. Tapi kamu tahu sendiri, kan, penghasilan aku enggak tentu dari sana, juga enggak tentu kapan dibayarnya. Hari ini aku berencana masuk sekolah, setidaknya ketemu kamu. Tapi aku harus ambil uang dulu di bank, lalu beli obat ibu. Eh, pas nyampe malahan udah ada kamu di rumah. Kamu sendiri? Nyariin aku hanya karena aku bolos?”
Pramita mengangguk.
“Makasih udah khawatir sama aku.”
“Well, kemarin kamu juga melakukan hal yang sama, kan? Enggak ada salahnya, kan? Kita saling peduli sesama teman.”
“Kalau gitu, kamu buruan masuk, gih!”
“Ok. Kamu hati-hati baliknya.”
Panji mengangguk dan setelah Pramita masuk ke rumah, Panji segera kembali menuju halte yang berada di seberang pintu keluar komplek. Menanti bus metromini lainnya yang akan mengantarnya pulang. Langit sore itu masih mendung, setelah seharian ini mengguyurkan hujan. Orang-orang juga sibuk lalu lalang, berusaha agar dirinya tidak kebasahan. Sebuah mobil Volvo hitam berhenti tepat di depan halte. Seorang supir dengan kemeja warna biru muda turun dan langsung berlari menuju halte.
“Mas Panji,” ujarnya.
Panji menengadah dan bertanya-tanya siapa gerangan orang ini.
“Udah ditunggu sama adik.”
Setelah kalimat kedua meluncur dari bibir pria itu, Panji tidak kuat menahan dengus tawanya. Adik, dia bilang? Adik yang mana lagi? Adiknya sudah lama mati!
***