Pramita memaki dalam hati semenjak bokongnya menempel di kursi plastik dua lapis yang susah dipisahkan. Punggungnya tegak, kedua matanya waspada kalau-kalau ada lalat yang tiba-tiba terbang di depannya atau di mangkok buburnya, dan ingin langsung dihajarnya. Semangkok bubur ayam dengan taburan daun bawang mungkin akan menjadi sarapan yang menyenangkan, jika tidak di tempat seperti ini, di pinggir jalan. Lalu lalang kendaraan, suara bising klakson, belum lagi asap metromini yang menambah vitamin ke dalam mangkok adalah paduan mimpi buruk yang tidak ingin Pramita alami. Bahkan menjadi gosip orang sekantor masih lebih baik, daripada harus makan di pinggir jalan seperti ini.
Sedangkan Panji, entah memang kelaparan atau terlalu takut menatap Pramita, wajah pria itu seakan melekat dengan buburnya. Sekali saja, dia tidak menatap Pramita semenjak menerima mangkok bubur ayam yang sama sekali tidak diaduknya itu.
“Saya enggak nyangka, bakal kamu ajak ke tempat makan seperti ini.”
Satu kalimat pembuka yang membuat Panji tersedak dan buru-buru menggapai gelas teh tawarnya. Sebenarnya Panji tidak bermaksud mengajak Pramita makan di sini. Hanya saja, sudah tidak ada pilihan lain yang tersisa. Kedai kopi di lobi, ditolak. Kantin karyawan, ditolak. Kafe sebelah kantor, belum buka. Sisanya ya, abang bubur ayam yang mangkal di tingkungan, dekat halte.
“Maaf, Bu. Saya enggak tahu harus ke mana lagi. Soalnya kafe atau resto di dekat kantor belum buka. Yang ada hanya ini.”
Pramita melengos, tapi sedetik kemudian teringat tujuannya mengajak Panji keluar berdua. Sekali lagi Pramita menarik napas untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian meletakkan mangkok bubur ayam di tangannya ke atas kursi plastik yang kosong.
“Semalam.”
Satu kata, berhasil menarik perhatian Panji dari mangkok buburnya.
“Kenapa kamu tiba-tiba peluk saya?”
“Ehm, maaf, Bu. Saya memang lancang, seharusnya saya enggak peluk Ibu sembarangan. Seharusnya—”
“Saya nanya alasan kamu. Enggak usah muter-muter!” tegas Pramita membuat perhatian Abang bubur yang sedang mencuci mangkok bekas pakainya dengan air seember, lalu membilasnya sekali lagi dengan ember di sebelahnya, beralih padanya. Tapi buru-buru si Abang menundukkan pandangan, saat Pramita meliriknya tajam.
Alasan, ya? Panji bahkan tidak bisa menemukan alasan yang tepat atas tindakannya. Semalaman, Panji berusaha mengingat kembali saat-saat dirinya hendak mengulurkan tangan dan menarik bosnya ke dalam pelukannya, tapi hasilnya nihil. Hal yang terjadi malahan jantungnya berdebar kian cepat, setiap mengingat wajah sedih Pramita.
“Karena saya kasihan sama Ibu.”
“Kasihan?”
Panji mengangguk. Tidak terlalu berlebihan dan terdengar kurang ajar, kan?
“Saat melihat Ibu menangis, saya jadi teringat dengan adik dan kakak saya, juga Alma.”
“Kakak? Alma?”
Panji mengangguk lagi. “Alma adalah perempuan di TK Swan Lake. Ibu ingat perempuan yang saat itu bersama kakak Ibu?”
Iya. Pramita ingat tentang sosok perempuan itu. Namun, bukan itu yang membuat Pramita bertanya-tanya kali ini. Tadi Panji mengatakan bahwa saat Pramita menangis, mengingatkan Panji pada sosok kakak dan adiknya? Pramita mencoba menggali ingatannya bertahun-tahun silam saat dirinya pergi ke rumah Panji. Saat itu, Panji menceritakan tentang kondisi keluarganya, lebih tepatnya ibu dan adiknya. Tidak salah lagi, Panji hanya menceritakan dua sosok itu, tapi tidak dengan kakak. Apa memang ada yang masih Panji sembunyikan tentang keluarganya?
“Dia sudah seperti saudara saya sendiri. Saya juga paling enggak tega melihat wanita menangis. Makanya, semalam saya refleks meluk Ibu. Maaf ya, Bu.”
Panji kembali menyendok buburnya sambil berharap-harap cemas bahwa alasannya cukup masuk akal diterima oleh Pramita, sehingga dirinya tidak perlu dipecat. Satu lagi yang diharapkan Panji, Pramita tidak mengungkit tindakan Panji selanjutnya.
“Kalau enggak ada timnya Rizal naik ambil barang, waktu itu kamu juga mau nyium saya, kan?”
Panji kembali tersedak buburnya. Si Abang bubur buru-buru mengisi ulang gelas teh Panji, takut kalau pelanggannya kenapa-kenapa.
“Apa itu juga mengingatkan kamu dengan Alma atau saudara kamu yang lain?”
Untuk yang satu ini, Panji benar-benar tidak bisa mengarang alasan lagi. Pasalnya, Panji tidak memandang Alma seperti dirinya memandang Pramita. Alma sudah seperti adiknya sendiri, sedang Pramita? Baiklah, Panji merasa Pramita juga seperti adiknya yang sudah tiada. Namun, ada satu perasaan mengganjal yang tidak bisa dijelaskan Panji, dan perasaan asing itu membuat degup jantungnya menggila seperti sekarang ini. Duduk bersebelahan dengan semangkok bubur ayam, bisa membuat kedua pipi Panji bersemu. Beruntung kulit tubuhnya kecoklatan, sehingga menyamarkan semu malu di wajahnya.
“Apa kamu juga ingin mencium Alma saudara kamu?” tanya Pramita lagi.
“Bukan begitu, Bu—”
“Kamu menyukai saya?”
“Ya?”
“Kamu ingin mencium saya, karena kamu menyukai saya? Kamu jatuh cinta sama saya?”
***
Panji menatap seisi mobil sedan, tempat ia berada saat ini. Sedan warna hitam dengan jok kursi beludru dan ornament kayu di dashboard-nya, mengesankan bahwa ini adalah mobil orang kaya. Dan sosok yang duduk di sebelahnya, yang sedari tadi enggan menatapnya dan memilih pemandangan di luar mobil sebagai pelariannya adalah orang kaya itu.
“Bagaimana kamu tahu aku ada di sini? Ah, seharusnya aku enggak perlu bertanya seperti itu, ya? Aku pikir, kamu enggak bakalan dateng.”
Sosok itu masih diam.
“Soalnya waktu di telepon, kamu kedengerannya enggak berminat dan lebih memilih tinggal di sana.” Panji menyandarkan punggungnya di jok kursi, telapak tangan kanannya mengelus beludru halus di bawahnya. “Mengabaikan ibu yang sudah melahirkan kita dan lebih memilih orang-orang asing yang sama sekali tidak ada hubungan keluarga dengan kita, bahkan tidak keluarga jauh sekalipun. Mereka orang asing.”
“Yan, jalan!”
Pria yang tadi mengajak Panji ke mobil, kini sudah berada di balik kemudi, dan mulai melajukan mobil sedan itu.
“Aku harap, nanti kamu anterin aku pulang. Soalnya aku enggak punya duit buat naik metromini lagi. Kalau dari komplek tadi, cukup duitku. Tapi kalau sekarang kamu bawa aku ke tempat—”
“Bagaimana kabar Ibu?”
“Oh, kamu ingat sama Ibu? Aku pikir di otak kamu hanya ada uang.”
Sebuah dengusan tawa meluncur dari mulut sosok pemuda di sebelah Panji. “Aku ini realistis, Nji. Hidup itu perlu uang.”
“Ya, bahkan dengan menjual keluargamu sendiri, bahkan dirimu sendiri.”
“Itu yang dilakukan ibu pada Putri, tapi enggak denganku. Aku tidak menjual diri, tapi aku menawarkan jasaku. Aku bekerja untuk mereka, dan itu adalah dua hal yang berbeda.”
“Kamu pikir dengan begitu, kamu berhak menyandang nama Adipramana?” Panji tergelak mendengar kalimatnya sendiri yang ditujukan pada pemuda di sebelahnya. “Kamu lupa dengan ceritaku tentang sebuah pemandangan yang membuatku mual berhari-hari? Pemandangan di mana Ibu mencium pria lain, selain pria yang sekarang kamu panggil papa? Sosok sempurna yang kamu puja itu, bukan papa kamu!”
Seolah kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya adalah sebuah lelucon, Panji langsung tertawa keras setelahnya. Bahkan sampai pelupuk matanya berair dan pipinya pegal, karena begitu lama menertawakan kenyataan yang membuat orang tuanya bercerai.
“Yan, di lampu merah depan, belok kiri. Nanti kalau ketemu swalayan, belok kiri lagi. Enggak seberapa jauh dari situ, ada rumah megah, mewah, besar, berdiri kokoh di tepi kanan jalan. Kamu bisa berhenti di depannya.”
“Mau ke mana kita?”
“Tentu saja bertemu dengan papa kita tersayang, Adikku yang baik,” ujar Panji sembari mencubit pipi si cowok, tapi langsung ditepis. “Nanti setelah pulang dari sini, kamu bisa cerita semuanya ke keluarga Adipramana, termasuk Putri. Hah, sayang sekali, adik tersayang kita yang manis itu harus terbunuh dan tidak sempat bertemu dengan papa.”
“Itu kecelakaan! Putri meninggal—”
“Adikku, kamu kenapa polos sekali?! Aku sudah bilang ke kamu, kan? Bahwa saudara tiri kita yang mengatakan bahwa Putri itu dibunuh!”
“Kamu percaya omongan bocah yang sedang main truth or dare, buat mengisi waktu luang mereka?”
“Tentu.”
“Kamu sinting!”
“Lebih baik aku jadi sinting seperti ibu, daripada gila harta seperti kamu dan papa kita.”
“Orang tua kita adalah Adipra—”
“Sudah kubilang, Pandu!” teriak Panji. “Adipramana bukan orang tua kita! Kalau dia memang orang tua kita, saat Putri dan kamu sekarat, membutuhkan donor darah, seharusnya dia bisa langsung memberikan darahnya! Tapi enggak bisa, kan? Karena dia bukan papa kita!”
Panji kembali membanting punggungnya pada sandaran kursi. Mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya seraya menggeram kesal mengingat betapa keras kepalanya sang Adik yang berpura-pura bodoh ini!
Mobil sedan itu memelankan lajunya, hingga akhirnya berhenti di seberang sebuah rumah mewah dengan lampu taman yang menyala terang. Sungguh kontras sekali dengan rumah kontrakan petak Panji yang berada di tengah himpitan padat penduduk dan pencahayaan remang-remang—lebih mirip komplek lokalisasi.
“Kamu bisa bayangkan? Papa kita di dalam sana, bersama keluarga tercintanya sedang menikmati makan malam ayam panggang, steak, dan minum anggur sepuasnya. Sedangkan kamu? Harus terus menerus memasang senyum palsu, bersikap sopan, dan tenggelam dengan buku-buku tentang bisnis. Tapi kamu tenang saja, kamu lebih beruntung daripada aku. Setidaknya, atap rumah kalian tidak bocor saat hujan, kan?”
“Berhentilah bertingkah seolah kamu yang paling menderita. Kamu jadi seperti ini, karena pilihan kamu sendiri.”
“Aku memilih ibu. Aku memilih ibu yang melahirkan kita! Aku tidak silau akan harta seperti dirimu!”
“Benarkah? Lalu kenapa aku mendapat kabar bahwa saldo di tabunganmu berkurang?”
“Kamu pikir, aku menggunakan uang itu untuk bersenang-senang? Aku menggunakannya untuk membeli obat ibu! Kamu tenang saja, aku akan mengembalikan uang itu secepatnya!”
“Tuan,” ujar Yan membuat pertengkaran dua orang di kursi belakang berhenti untuk sesaat. “Ada mobil yang datang.”
Sebuah sedan warna perak berbelok dan berhenti tepat di depan pagar gerbang yang tinggi. Seorang pria yang pakaiannya mirip dengan Yan, turun dari sisi pengemudi dan menekan bel di dekat pagar. Tak berapa lama kemudian, seorang pria turun, sedikit melangkah menjauh dari mobil, dan memantik api untuk rokoknya. Kepulan asap bernikotin itu membumbung di hadapan wajah congkaknya. Wajah congkak yang memiliki garis wajah mirip dengan pemuda di sebelah Panji.
“Kamu lihat? Itu adalah papa kita. Dan cowok yang baru saja turun dengan seragam voli itu, adalah saudara tiri kita,” bisik Panji di telinga Pandu yang menatap lurus ke arah pria itu yang kini mengusap kepala anak laki-lakinya. “Itu bisa jadi kita di posisinya. Tapi tentu saja sekarang tidak mungkin, kan? O iya, kamu lihat luka lebam di pipinya itu? Itu karyaku.”
“Sebaiknya kita lupakan dia!”
Panji terkekeh mendengar kekesalan adiknya. Ada rasa puas tersendiri, ketika melihat Pandu yang tidak pernah terlihat marah, emosi, kini rahangnya mengeras dan sorot matanya penuh kebencian.
“Yan! Punya rokok?” tanya Panji, dan tanpa menunggu jawaban Yan, dia langsung mengambil sekotak rokok yang berada di dekat tongkat perseneling beserta pemantik api. Panji menyesap dalam-dalam nikotin yang terbakar, seraya membuka jendela di sisi kirinya, lalu mengembuskan asap kuat-kuat. “Kalau bagian ini, aku mirip dia,” lanjutnya.
“Yan. Kita antar Panji pulang!”
“Ayolah, kita baru sebentar di sini. Apa kamu sudah puas melihat papa dan saudara tirimu?” cibir Panji. “Okelah, Yan! Ayo antar aku pulang!” lanjutnya, begitu Pandu menghadiahinya dengan tatapan kesal.
Iyan kembali melajukan mobilnya membelah jalanan kota. Melaju dalam keheningan. Tidak ada seorang pun di antara dua sosok di belakang kursinya itu memulai pembicaraan lagi. Yang satu sibuk menghabiskan sekotak rokok milik Iyan, yang lainnya sibuk dengan amarah yang berkecamuk dan berusaha ditekannya dalam-dalam, ketika menyadari bahwa semua ucapan Panji adalah suatu kebenaran yang selama ini selalu disangkalnya.
Tak berapa lama kemudian, Iyan kembali menghentikan mobilnya di depan sebuah gang sempit. Sesekali bocah-bocah dengan penampilan kumal akan berlari keluar, saling bekejaran di pinggir jalan—maklum, mereka tidak memiliki halaman untuk bermain—atau pedagang asongan yang masih menjajakan dagangannya.
Panji membuka pintu, tapi urung untuk menapak turun dari mobil mewah ini, ketika melihat Pandu sama sekali tidak berniat membuka pintu di sebelahnya.
“Kamu enggak turun?”
“Aku harus balik sekarang juga.”
Panji mengangguk. “Jadi, kamu datang ke sini, hanya ingin membuktikan bahwa aku benar-benar menghajar papa kita? Wah, aku merasa tersanjung. Sayang sekali, sepertinya aku kurang keras menghajarnya. Tadi, lebamnya sudah hampir enggak kelihatan.”
“Cepatlah turun!”
“Ok.” Panji melangkah keluar mobil, tapi lagi-lagi berbalik. Kali ini untuk memastikan satu hal. “Kamu masih menyimpan kalung hadiah ulang tahun dari ibu?”
“Tentu saja.”
“Kalung milik Putri? Kamu simpan juga?”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa. Ya udah, Yan! Buruan antar Tuan Muda ini ke bandara! Keluarga Adipramana mungkin sudah lapor polisi Singapura, karena anak kesayangannya kabur!”
“Baik, Mas.”
“Eh, tunggu!” cegah Panji lagi. Kepalanya kembali melongok ke dalam kabin mobil. “Kamu kenal Pramita?” tanyanya pada Pandu.
“Siapa?”
“Pramita.”
“Enggak.”
***