Roda ban metromini yang hampir halus permukaannya itu, melaju dengan kecepatan sedang menuju kawasan padat penduduk, tempat Panji tinggal. Di kursi penumpang di bagian paling belakang, Panji masih berusaha mengatur degup jantungnya yang berdebar tak karuan. Namun, detik berikutnya, dirinya tersadar bahwa otak dan jantungnya sedang berkomplot untuk membuatnya mati muda. Di saat jantungnya menggila, isi kepalanya lebih gila lagi! Kelebatan bayangan kejadian beberapa jam silam terus-terusan muncul di kepalanya.
Pikiran Panji melayang ke peristiwa di rooftop bersama Pramita—bosnya! Sial! Pramita pasti melaporkan kekurang ajaran yang dilakukan Panji kepada Rizal. Memeluk, mengusap air mata, dan hampir mencium Pramita! Beruntung pintu lift yang tiba-tiba terbuka dan segerombolan karyawan studio yang lembur, keluar dari sana untuk membantu Panji mengambil properti. Bagaimana kalau tidak? Mungkin saat ini dirinya sedang bergumul dengan Pramita. Besok bisa dipastikan Rizal akan memberinya pesangon!
Panji menggeleng cepat untuk menghapus pikiran buruknya. Jika sampai hal itu terjadi, maka dirinya harus kembali mengais rejeki dari satu proyek ke proyek lainnya yang tidak pasti kapan datangnya. Mungkin, jalan terbaik yang bisa diambil Panji saat ini adalah mengambil ponselnya dan segera menelepon Pramita untuk meminta maaf. Ditekannya nomor ponsel bosnya itu, terdengar nada sambung, tapi tidak ada jawaban dari seberang. Berulang kali Panji mencoba, tapi hasilnya tetap nihil. Hingga akhirnya perjalanan Panji berakhir di depan halte bus di depan gang. Panji melangkah gontai menuju rumahnya. Sepetak rumah kontrakan yang sudah belasan tahun ditinggali Ibu dan uang sewanya terus naik akibat inflasi yang menggila di negara kita ini.
Langit boleh saja gelap, tapi teriakan para bocah yang masih asyik bermain, latar belakang suara tivi yang sedang menayangkan sinetron, serta gesekan wajan dan spatula milik Bang Ahmad menjadi musik pengiring langkah Panji hingga sampai di rumahnya. Begitu dia masuk, Panji melihat Ibu duduk di kursi sembari tangannya sibuk merajut dan tivi yang menyala.
“Malam, Bu,” sapa Panji dan langsung memberikan pelukan pada sang Ibu. Panji melirik sekilas ke atas meja dan ada sisa piring kotor di sana. Itu artinya Nyonya Rose sudah menyuapi Ibu seperti biasanya.
Jika Pak RT mengadakan acara penghargaan untuk memilih masyarakat terbaik tahun ini, Panji akan memilih Nyonya Rose! Bagaimana tidak? Nyonya Rose sudah membantu Panji dalam banyak hal, terutama menjaga ibu di saat Panji sibuk bekerja. Wanita itu juga menolak untuk dibayar, tapi Panji cukup tahu diri untuk membalas jasa beliau melalui putra semata wayangnya—dengan membelikannya alat tulis, sepatu sekolah, atau camilan dari minimarket.
“Sudah malam, Bu. Ayo istirahat.” Panji mematikan tivi, lalu mengajak ibu untuk masuk ke kamar dan beristirahat. Setelah memastikan ibu sudah nyaman di atas ranjangnya, Panji kembali membereskan piring kotor dan menyimpan alat rajut ibu.
***
Cuaca dingin dan air hangat memang kombinasi paling nikmat—tak terbantahkan—untuk menghilangkan penat, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Begitu pula bagi Panji yang kini terduduk di tepi ranjangnya dengan kenyataan bahwa tidak ada telepon balasan dari Pramita. Apakah wanita itu marah padanya? Tentu saja, Bodoh! Dia pasti tidak terima dipeluk oleh pegawai rendahan—yang bahkan masih dalam masa percobaan—dan dengan kurang ajarnya si pegawai berani hendak menciumnya.
Baiklah, kalau boleh jujur, Panji akan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tadi benar-benar di luar kendalinya. Melihat Pramita menangis, mengiba dengan sorot mata yang entah bagaimana berhasil membuat tangannya bergerak memeluk tubuh Pramita. Semuanya terlihat sangat tidak masuk akal. Seolah apapun yang dilakukan Pramita berhasil membuat sesuatu di dalam diri Panji bersimpati untuk wanita itu.
Panji masih ingat saat mereka pertama bertemu di TK Swan Lake dan Pramita menolak uluran jabat tangannya. Di saat itu pula, Panji sebenarnya ingin memaki tidak terima atas penolakan yang memantik amarahnya. Namun, entah apa yang terjadi dalam dirinya, sesuatu seperti menahannya untuk bersikap kasar pada Pramita. Panji benar-benar tidak mampu memahami dirinya sendiri. Seolah itu belum cukup membingungkan bagi Panji, di kepalanya kembali terngiang kalimat yang diucapkan Pramita.
Aku Mita-nya kamu.
Aku Mita-nya kamu.
Aku Mita-nya kamu.
Panji mengacak rambutnya frustasi memikirkan maksud kalimat itu. Satu arti yang Panji yakini benar dari kalimat itu adalah bosnya tidak sedang memperkenalkan diri, melainkan menyatakan suatu kepemilikan, Pramita adalah milik Panji. Tapi, kenapa? Apa alasannya? Panji sama sekali tidak menemukan alasan yang tepat untuk itu semua. Semakin dirinya berpikir, semakin terasa gelap dan buntu jalan di hadapannya. Membuatnya menggeram kesal dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Biarlah, apapun yang terjadi esok hari, Panji akan menerimanya dengan tangan terbuka. Apapun keputusan Rizal, dia akan menuruti, meski itu artinya berhenti dari pekerjaan dan—mungkin—dihajar sampai babak belur, karena berani menganggu gebetannya. Panji memilih mengistirahatkan tubuhnya. Membiarkan kasur dan selimut tipis membalutnya dari dinginnya malam. Hingga akhirnya langit malam pun berganti, dan suara adzan subuh membangunkannya kembali.
Seperti biasanya, sebelum pergi bekerja, Panji akan menyiapkan seluruh kebutuhan ibu. Mulai dari pakaian ganti, sarapan, tivi yang menyala, hingga alat rajutnya. Setelah Nyonya Rose datang, Panji baru akan pergi bekerja.
“Pagi, Nji!” sapa Keysha yang tiba-tiba saja sudah melangkah di sampingnya. “Ngapain bengong di sini? Pagi ini ada jadwal pemotretan, kan?”
Panji mengangguk.
“Lesu amat?! Semangat dikit, dong! Mau gue beliin minum?”
“Enggak usah, Mbak. Aku mau langsung ke studio aja.”
“Oh, ok! Gue mampir beli kopi dulu di samping lobi,” lanjut Keysha yang langsung melangkah pergi menuju kedai kopi.
Sedangkan Panji langsung menuju lift untuk naik menuju lantai studio. Antrian lift pagi ini tidak terlalu ramai. Hanya ada sekitar sepuluh orang di depan Panji, tapi tetap saja Panji harus menunggu giliran selanjutnya, mengingat kapasitas lift yang terbatas. Untuk mengisi waktu luangnya sembari menunggu lift kembali turun, Panji membuka ponselnya dan membaca beberapa artikel tentang fotografi serta beberapa lowongan pekerjaan—siapa tahu hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di Lust, kan?
“Berniat kabur?”
Panji menoleh dan mendapati Pramita sudah menjulang di sampingnya.
“Ehm … maksudnya?”
Seulas senyum tipis dan dengusan geli terdengar dari Pramita. Jemarinya yang lentik dan piawai dalam menggambar produk andalan Lust, kini mendorong naik kacamata hitamnya yang sedikit melorot.
“Kamu sedang mencari pekerjaan baru?” cibir Pramita seraya mengangguk pada ponsel Panji.
Menyadari maksud dari kalimat Pramita, Panji buru-buru kembali mengantongi ponselnya. “Maaf, Bu.”
“Kenapa minta maaf? Apa karena kejadian tadi malam?” Lagi-lagi Pramita tersenyum tipis. “Semalam kamu pergi begitu saja bersama yang lain dan sekarang baru minta maaf?”
“Semalam saya sudah berusaha menelepon Ibu untuk minta maaf, tapi selalu masuk ke pesan suara. Bahkan saya juga sudah berkali-kali mengirim pesan permintaan maaf pagi ini, tapi sepertinya belum Ibu baca.”
“O, ya?”
“Iya.”
***
Rizal baru akan menarik selimut, ketika bel pintu apartemennya berdering. Segera dia beranjak dari kasur untuk melihat siapa yang datang. Rizal membuka pintu itu dan Pramita menghambur memeluknya. Rizal yang tidak siap, sedikit terhuyung ke belakang. Detik selanjutnya Rizal tidak tahu apa yang terjadi, karena yang Rizal rasakan adalah pagutan di bibirnya. Tergesa. Dalam. Menuntut.
“Ta,” lirih Rizal di tengah engah napasnya, setelah melepaskan cumbuan Pramita. “Kamu—”
Belum selesai Rizal bertanya, Pramita kembali merengkuh leher Rizal. Menarik kesadaran Rizal hingga ke titik koma, di mana Rizal tidak lagi peduli dengan alarm dari kakaknya yang bertahun-tahun mencekokinya dengan doktrin bahwa memiliki hubungan dengan Pramita adalah suatu hal yang buruk, apalagi sampai berakhir di ranjang. Mas Damar belum tahu saja, bahwa Pramita-lah, yang pertama bagi Rizal.
Rizal tidak akan menjadi munafik untuk kesempatan yang diberikan oleh Pramita. Rizal memeluk tubuh Pramita dan membalas pagutannya sama tergesa, dalam, dan menuntut. Keinginan untuk memiliki dan menyampaikan pada Pramita, betapa Rizal menginginkan wanita itu, tidak hanya dibuktikan melalui bibir yang saling mencecap, pun dengan kedua tangannya yang mengelus dan menekan punggung Pramita lebih dekat dengan tubuhnya.
Pramita melepaskan ciumannya, sedikit mundur, dan mendapati kedua mata Rizal menatapnya lurus. Pramita tidak peduli lagi bagaimana Rizal akan memandang dirinya yang menjilat ludahnya sendiri. Mengatakan tidak ingin berhubungan dengan Rizal, tapi kini malah memulai sentuhan-sentuhan gairah yang membawa mereka kembali ke malam tahun baru, yang penuh gairah, beberapa tahun silam.
Rizal tidak bodoh, dia hanya buta oleh kecintaannya pada Pramita. Rizal tidak bodoh, dia sudah mengenal Pramita lama, hanya saja kali ini dia membiarkan dirinya menjadi manusia paling bodoh yang diam saja, menerima apapun alasan Pramita melakukan semua ini. Ketika dirinya menarik diri, Rizal bisa melihat dalam keremangan lampu kamarnya, kedua mata Pramita berkaca-kaca, dan sebulir air mata mengalir di sana. Rizal menunduk, mengecup bulir air mata itu, dan saat kembali mejauhkan diri, Rizal melihat Pramita tersenyum.
“Hei, kamu baik-baik saja? Akhir-akhir ini kayaknya mood kamu selalu buruk. Apa aku melakukan kesalahan di pekerjaanku?”
Iya. Kesalahan terbesar Rizal adalah merekrut Panji!
“Apa kamu akan melewatkan kesempatan untuk meniduriku, karena lebih memilih dengerin curhatanku?”
“Kalau kamu enggak mau melakukan ini—”
Pramita sekali lagi mengecup bibir Rizal, lalu mendorong tubuh pria itu dari atas tubuhnya. Namun, Rizal langsung menarik Pramita, ketika wanita itu hendak beranjak. Ditahannya tubuh Pramita agar tetap berbaring di sebelahnya. Tanpa syarat dan tanpa perlu diminta, Rizal akan dengan senang hati mendengarkan curahan hati Pramita—meskipun mungkin baru akan terjadi seribu tahun lagi.
Pramita masih berbaring, kedua netranya menatap lurus pada langit-langit kamar Rizal. Di kepalanya sedang menimbang keputusan untuk memilih antara menceritakan seluruh masalah yang menganggunya atau diam seperti biasanya. Detik dan menit berlalu, tapi Pramita masih bungkam.
“Mau mi rebus?” tanya Rizal membuka pembicaraan.
“Zal.”
“Hm?”
“Apa kamu pernah berurusan dengan orang yang enggak tahu malu?”
“Pernah. Waktu di Amerika, aku punya asisten, anak magang. Kerjaannya tiap hari ngutang uang, katanya buat biaya kuliahnya. Tapi salah satu karyawan akhirnya mergokin anak magang itu sedang mabuk dan ngobat di salah satu daerah kumuh. Besoknya, anak magang itu masih datang sambil cengar-cengir buat minjem duit untuk alasan kuliahnya.”
“Apa akhirnya dia tetap minjem?”
Rizal menggeleng. “Enggak. Tapi kami semua iuran, membiayai kuliahnya.”
Kening Pramita mengerut mendengar jawaban Rizal. Tubuhnya bergerak menyamping, menghadap Rizal dengan sebelah tangannya sebagai tumpuan kepala.
“Kamu bingung kenapa kita malah biayain kuliahnya?”
Pramita mengangguk.
“Dia ngobat sebagai pelarian dari kenyataan hidupnya. Orang tuanya bercerai, keduanya tidak peduli, bahkan mungkin sudah melupakan anak itu. Makanya dia cuti kuliah dan memilih bekerja serabutan. Pikirnya, dengan begitu dia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bisa menyelesaikan kuliahnya. Alih-alih selesai, dia malah terjerumus ke dunia obat, karena ibunya jatuh sakit dan butuh biaya pengobatan yang mahal. Dia pakai semua uang dari kami untuk biaya pengobatan, tapi enggak cukup. Makanya dia nyari kerja serabutan lainnya, dan kamu tahu, kan? Kalau pekerjaan menyangkut obat terlarang itu bayarannya gede? Dari situ dia tergiur, tapi bukan hanya jadi kurir, malah ikutan nyobain.”
“Terus?”
“Ya, kita tanyain maunya dia gimana? Dia janji mau berubah, makanya kita sekolahin dan bantu biaya pengobatan ibunya. Dan dia memang berubah, Ta. Bulan depan dia wisuda dan sekarang dia udah dikontrak oleh Nat-Geo.”
“O, ya?”
“David McKenzie. Pernah dengar?”
Pramita mencoba mengingat di mana dia pernah mendengar nama itu. David McKenzie. Kedua matanya membulat saat kembali mengingat tentang David McKenzie yang dimaksud Rizal.
“Maksud kamu si Dave? Fotografer yang bulan lalu menangin penghargaan dengan foto Elang yang lagi nyamber ular itu?”
Rizal mengangguk. “Jadi? Apa cerita tentang kenalan kamu yang enggak tahu malu?”
“Hah?”
“Kamu nanya apa aku pernah berurusan dengan orang yang enggak tahu malu, itu artinya kamu juga berurusan dengan salah satunya, kan?”
“Oh, itu,” lirih Pramita.
“Ta?”
“Orang yang enggak tahu malu yang aku kenal adalah orang yang pura-pura enggak mengenal aku, Zal.”
Rizal masih diam. Dia menanti Pramita untuk melanjutkan kalimatnya, tidak ingin memotong, menyela, karena Rizal ingin Pramita mulai terbuka padanya. Itu adalah satu langkah maju baginya.
“Memang hanya setahun kami kenal. Tapi setahun itu, banyak hal yang terjadi antara kami. Dia adalah orang pertama yang menjadi temanku. Kami menghabiskan banyak waktu bersama di perpustakaan. Membaca buku-buku fiksi, sejarah, sampai kimia yang bahkan aku dan dia sama-sama enggak paham. Aku pikir, kami bisa berteman selamanya, meskipun tidak lagi bertemu. Setidaknya itu yang pernah dia katakan.” Pramita menghela napas. “Tapi nyatanya, setelah kami berpisah dan saat kami bertemu kembali, dia malah sama sekali tak acuh, benar-benar seperti orang asing.”
Pramita tertawa pelan, menertawakan harapannya akan Panji yang terasa menggelikan.
“Apa penampilanku saat sekolah seburuk itu? Sampai-sampai dia enggak kenal sama aku yang sekarang?”
Pramita meraih tasnya yang tadi dilempar sembarangan, kemudian mengambil ponsel untuk mencari foto lamanya.
“Coba kamu bandingkan. Itu fotoku saat SMA.”
Rizal mengamati dengan seksama foto seorang remaja di layar ponsel dan membandingkannya dengan wajah Pramita yang berbaring di sampingnya.
“Kalian sama-sama terlihat manis dengan kacamata bulat, sayang sudah kamu ganti dengan lensa kontak. Pramita yang dulu membuatku gemas ingin mencubit pipinya.” Rizal menoleh pada Pramita. “Yang sekarang, membuatku ingin mencium bibir tipis itu.”
“Jangan bercanda!” kesal Pramita sambil memukul lengan Rizal, dan terus memukulnya.
“Sakit, Ta!” seru Rizal seraya mengusap lengannya. “Ok-ok. Jadi, kamu kesal, karena dia enggak ingat kamu? Apa sekarang, kalian masih sering bertemu dan dia masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengingat kamu?”
“Hm, hari ini dia sedikit berbeda. Dia melakukan sesuatu seperti yang dulu pernah dia lakukan padaku, tapi setelahnya dia bersikap seperti orang asing lagi.”
“Jadi, hari ini kamu ketemu sama dia? Siapa dia? Apa aku pernah ketemu? Aku kenal dia? Kasih tahu aku, Ta. Biar aku ngomong ke dia—”
“Enggak perlu, Zal.” Pramita lagi-lagi menghela napas. “Apa aku harus seperti kamu dalam menghadapi kasus Dave? Maksudku, berpura-pura tidak mengenalnya, mengikuti permainannya—”
“Aku enggak berpura-pura enggak tahu apa masalah Dave, Ta. Aku mencari tahu apa masalah Dave.” Rizal beranjak dari kasur, mengulurkan tangannya untuk mengajak Pramita menuju dapur. “Kenapa kamu enggak tanya langsung aja sama dia? Kenapa dia berubah seperti sekarang?”
Rizal mengambil panci, lalu mengisinya dengan air, dan meletakkannya di atas nyala api kompor. Kemudian dia membuka kabinet gantung, mengambil empat bungkus mi instan rebus rasa ayam bawang. Membuka bungkusnya dan mulai memasak. Di sampingnya, Pramita berdiri, menatap dalam diam setiap aktivitas Rizal.
“Apa yang kamu takutkan?”
Apa yang Pramita takutkan? Pramita juga tidak tahu, apa yang sebenarnya dia takutkan? Pramita tidak melakukan kesalahan di masa lalu. Justru Panji lah yang meninggalkannya begitu saja. Cowok itu tiba-tiba saja pergi meninggalkannya. Tidak pernah kembali, bahkan untuk menepati janjinya yang akan selalu melindungi Pramita. Janjinya, yang akan selalu ada di sisi Pramita, kapanpun dirinya membutuhkan Panji. Cowok itu, pergi begitu saja tanpa pesan dan ucapan selamat tinggal.
Ketika mereka kembali dipertemukan, cowok itu sama sekali tidak mengenalinya. Ataukah Panji hanya berpura-pura tidak mengenalnya? Karena pria itu terlalu takut, malu, tidak enak hati untuk mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan. Sepertinya, apa yang dikatakan Rizal ada benarnya. Mencari tahu, bertanya langsung dengan si sumber masalah.
Dan pada akhirnya, Pramita mengumpulkan keberaniannya untuk melakukan apa yang dilakukan Rizal pada Dave—mencari tahu. Begitu memasuki lobi dan melihat Panji berdiri menunggu lift, Pramita segera menghampirinya.
“Kamu kirim pesan, ya?” gumam Pramita sembari menekuri layar ponselnya dan menemukan pesan-pesan permintaan maaf dari Panji. “Bisa kita ngobrol?”
“Sekarang, Bu?”
Pramita mengangguk. “Kenapa? Kamu enggak bisa?”
Panji melihat arlojinya, masih ada sekitar satu jam lagi sebelum pemotretan. Masih cukup waktu untuk dirinya mendengar ceramah Pramita, sebelum akhirnya menjadi pengangguran lagi.
“Bisa, Bu. Mari,” ajak Panji, mempersilakan Pramita untuk masuk ke lift yang sudah kembali terbuka.
“Saya mau ngobrol di luar. Mungkin bisa sambil ngopi?”
“Oh, mari ke kedai kopi yang di—”
“Terlalu banyak karyawan Lust di sana. Nanti dikirannya kita ada apa-apa. Saya enggak mau bikin gosip.”
“Baik. Kalau begitu, saya ngikut Ibu saja.”
“Saya enggak punya rekomendasi. Kamu aja yang nentuin. Yang penting jangan di sini.”
***