[13]

3319 Kata
“Mau ke mana, Ta?” “Itu, Tante … aku mau ke sekolah.” “Sekolah?” Pramita mengangguk sembari memasukkan tiga potong sosis, telur dadar, saos kemasan, dan dua tangkup roti yang sudah diolesi selai ke dalam kotak bekal makanan. “Bukannya kamu habis selesai ujian dan sekarang lagi libur?” “Ma, jangan kayak polisi dong. Mita itu udah gede, kasih dia waktu buat merasakan indahnya masa remaja,” sahut Intan yang membantu Pramita memasukkan kotak bekal ke dalam tas punggung. “Udah, Ta, buruan berangkat! Udah ditungguin sopir di depan.” Mendengar candaan Intan, Pramita hanya tersenyum dan buru-buru merapikan tasnya. “Siang nanti, kamu udah nyampe rumah lagi kan, Ta?” “Aku enggak tahu, Tante. Memangnya kenapa?” “Papa pulang hari ini, pesawatnya nyampe nanti siang. Rencananya abis jemput papa, kita langsung makan siang bareng. Gimana?” Pramita tidak tahu harus menjawab apa atas ajakan Tante Ardina. Menjemput papa di bandara? Lalu apa yang harus dilakukan Pramita saat sudah berhadapan dengan sang ayah? Memeluknya? Memberikan ciuman? Menyampaikan rasa rindunya? Pramita bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dirinya menatap kedua manik mata papa. Papa seharusnya menjadi figur yang melindungi Pramita, memeluknya, bahkan menyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, tapi ternyata memilih kabur daripada menghadapi realita kehidupan yang menyakitkan. Di usianya yang masih belia, Pramita tidak pernah menyangka akan kehilangan mama untuk selamanya. Namun, kepergian mama seolah belum cukup menyakitkan, sehingga Tuhan membuat papa juga berpaling darinya. Sungguh menggelikan, bukan? “Aku enggak janji, Tante. Tapi sepertinya enggak bisa, karena aku juga janji makan siang sama temenku nanti.” “Tapi, Ta—” “Aku enggak janji, Tante.” “Ta, sudah seharusnya kalian mengakhiri perang dingin ini. Mau sampai—” “Aku enggak janji, Tante!” ucap Pramita dengan nada suara meninggi. “Mau sampai kapan kamu seperti ini?” “Seharusnya pertanyaan itu bukan ditujukan ke aku, tapi ke papa. Tanya ke dia, kapan dia berhenti bersikap kekanakan dengan mengabaikan aku?!” Gelegak amarah yang selama ini ditahan Pramita mendadak membuncah memenuhi dadanya. Menyesakkan. Terlebih melihat bagaimana wanita bernama Ardina yang didapuk papa untuk menggantikan mama, selalu ikut campur urusannya. “Kamu harusnya ngerti, kalau papa kamu masih berkabung.” Pramita mendecih. “Berkabung? Memangnya hanya papa yang kehilangan mama? Bagaimana dengan aku? Di mata aku, papa sudah selesai berkabung. Mau bukti?” Ardina dan Intan yang berdiri di hadapan Pramita terdiam melihat emosi yang meluap dalam diri gadis remaja itu. “Tante mau bukti?” tanya Pramita sekali lagi. “Kalau papa memang masih berkabung atas kepergian mama, dia enggak akan nikahin Tante!” “Mita!” sergah Intan. Tatap keduanya bertemu dan hanya menyisakan hening di antara mereka. Terlalu canggung dan bingung harus berbuat apa. Jika bukan karena hutang budinya dengan Intan selama ini—yang selalu melindunginya setiap kali kabur dari pengawasan papa—Pramita benar-benar tidak akan pernah menganggap Ardina itu nyata. Tidak ingin memperpanjang urusan dengan Intan dan Ardina, Pramita segera melangkah keluar. Mengabaikan panggilan Intan yang memintanya berhenti. Langkah lebarnya terus pergi melewati pekarangan, kemudian keluar pagar, dan langsung berlari menuju halte bus. Di belakangnya, Intan dan seorang satpam rumah masih berusaha mengejar Pramita. Namun, tanpa memedulikan keduanya, Pramita segera naik ke metromini dan melaju pergi. *** Pagi itu, seperti biasanya, Panji sudah sampai di sekolah. Kondisinya sangat sepi, karena memang sudah memasuki masa liburan sekolah. Hanya ada Pak Gugun yang masih sibuk menyapu dedaunan rontok di halaman depan sekolah. Panji sekilas menyapanya, sebelum akhirnya melangkah menuju kamar gelap, tempatnya mencetak hasil tangkapan lensa kameranya. Panji memang sengaja menghabiskan waktu luangnya—saat menunggu pengumuman kelulusan dan pembukaan saringan ujian masuk perguruan tinggi—dengan mengambil banyak tawaran pekerjaan sebagai fotografer lepas. Penghasilannya lumayan, setidaknya dia bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya dari tabungan yang bukan miliknya hanya dalam tempo dua minggu saja. Banyak pihak yang mengagumi karyanya, mengingat Panji hampir tidak pernah lepas dengan kameranya setelah selesai ujian kemarin. Berbagai momen tertangkap lensa kameranya, mulai dari kemeriahan pentas seni di beberapa sekolah, lalu lintas yang padat, kondisi halaman rumahnya yang padat, hingga demo beberapa hari yang lalu. Tidak heran, jika kliennya tidak hanya majalah remaja atau mading sekolah, tapi juga surat kabar nasional. Beruntung pihak sekolah meminjamkan kamar gelap ini padanya, sampai dia dinyatakan lulus nanti. Jadi, Panji bisa lebih leluasa mencetak klisenya daripada di kamar gelap rumah yang sempit. Panji memeriksa sekali lagi kertas-kertas foto yang masih menggantung. Memastikan bahwa foto-foto itu sudah kering dan siap dimasukkan ke amplop. Sesekali Panji akan menoleh ke arah pintu masuk dan jam dinding secara bergantian. Tangannya memang sibuk dengan puluhan lembar foto, tapi kepalanya hanya berisi tentang Pramita yang tak kunjung datang. Biasanya gadis itu akan muncul di ambang pintu dengan kotak bekal dan menarik Panji duduk, kemudian mengajaknya sarapan. Namun, hari ini sepertinya berbeda. Hingga menjelang jam makan siang, Pramita belum juga ada di sana. Fokusnya yang terpecah, memaksa Panji meletakkan seluruh pekerjaannya dan kembali menyambar jaket serta tasnya di sofa. Buru-buru dia kunci kembali pintu kamar gelap, tapi sedetik kemudian tangannya berhenti ketika mendapati Pramita melangkah lunglai di lorong kelas. Panji segera menghampirinya dan hanya disambut dengan senyum tipis di wajah gadis itu. “Kenapa baru dateng?” “Nyasar.” “Nyasar?” Pramita mengangguk, lalu melangkah melewati Panji menuju kamar gelap. “Kok bisa nyasar?” tanya Panji lagi saat sudah berada di dalam kamar, dan mereka duduk berhadapan dengan sekotak bekal makan di antara mereka. “Memangnya kamu ke sini naik apa? Enggak diantar sopir?” Pramita menggeleng. “Aku tadi buru-buru kabur dari rumah.” Sebuah jawaban yang tidak diduga oleh Panji dan berhasil membuatnya terhenyak sesaat. Lagi-lagi dia hanya memilih diam, menunggu Pramita mulai bercerita. Namun, sepertinya gadis itu sama sekali tidak ingin membagi beban perasaannya. Pramita memilih sibuk membuka kotak bekal yang dibawanya, lalu menyodorkannya pada Panji. “Ta, terima kasih.” “Hm? Buat apa? Bekalnya?” “Ehm, salah satunya. Tapi selain itu, aku juga mau berterima kasih sama kamu, karena udah mau nemenin aku di sini. Dengerin semua keluh kesahku.” “Lagian liburan ini aku juga enggak ada acara pergi ke mana-mana. Jadi, daripada di rumah aja, mending ke sini, kan?” “Aku juga mau bilang, bahwa kamu enggak selamanya harus jadi pendengar yang baik. Ada kalanya aku juga ingin berada di posisi yang sama. Aku ingin kamu bisa menceritakan apapun masalah kamu, seperti aku menceritakan semua tentang diriku. Mulai dari kondisi ibu, perselingkuhan ibu, hingga kematian adikku. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku juga bisa menjadi pendengar yang baik buat kamu.” Pramita terdiam untuk beberapa lama setelah Panji menyelesaikan kalimatnya. Pramita bisa mendengar ada ketulusan dalam nada dan kalimat Panji tadi. Bahkan seulas senyum hangat terukir di wajahnya, membuat hati Pramita yang semula berkeras untuk menyimpan semuanya sendiri, kini perlahan melunak dan mendesak untuk diungkapkan. Mungkin memang sudah saatnya amarah yang dipendamnya selama bertahun-tahun semenjak kematian mama itu segera dikeluarkannya. Setidaknya—mungkin—itu bisa mengurangi beban hatinya. “Kamu sudah tahu kalau Mbak Intan itu bukan kakakku.” Panji mengangguk. “Mama Mbak Intan, Tante Ardina, adalah sekretaris papaku. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi hari itu. Yang aku ingat, saat aku berdiri di depan makam mama, Mbak Intan menghampiriku dan mengulurkan sebutir permen cokelat. Aku tidak ingat, apakah aku menerima permen itu atau tidak. Tapi setelahnya, Tante Ardina muncul dan mengajakku pulang. Dia dan Mbak Intan menggandengku, memandikanku, memasak untukku, bahkan menemani tidur. Aku senang, karena aku tidak merasa kesepian. Apalagi setelah kematian mama, aku jarang melihat papa di rumah. Papa sangat sibuk sekali.” Panji masih diam. Namun, Pramita tiba-tiba terkikik geli sendiri. “Beberapa bulan setelahnya, aku baru menyadari bahwa itu adalah siasat papa agar aku bisa dekat dengan Tante Ardina. Karena mereka pada akhirnya menikah.” Pramita menghela napas. “Setelah mendengar cerita tentang perselingkuhan ibu kamu, aku jadi berpikir bahwa mungkin papa juga melakukan hal yang sama dengan Tante Ardina jauh sebelum mama meninggal. Iya, kan?” Pramita menatap Panji seolah meminta pemuda itu untuk menyetujui kalimat asumsi yang baru dia ucapkan. Namun, Panji lagi-lagi hanya diam. “Kalau kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu enggak akan dengan mudah melupakannya dengan menikahi orang lain. Kecuali kamu memang sudah bermain api jauh sebelumnya. Iya, kan, Nji? Papa enggak mungkin tiba-tiba aja memutuskan menikahi sekretarisnya secepat itu, kan? Iya, kan?!” Sekali lagi Pramita mencoba mencari afirmasi dari semua asumsi liar yang berputar di kepalanya. Semua prasangka yang bercokol di kepala kecilnya itu mendadak menjadi masuk akal setelah mendengar cerita perselingkuhan ibu Panji beberapa waktu lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang baru saja diucapkannya tadi adalah suatu kebenaran, bahwa papa bermain api di belakang mama. Mungkin memang itu alasan papa, rasa bersalah yang menggunung, sehingga tidak sanggup untuk mengunjungi makam mama. Bahkan untuk menatap wajah Pramita—yang konon mirip mama—saja tidak sanggup! Lalu, salahkah jika Pramita membenci Ardina? Di sisi lain, Panji masih bungkam dan tidak tahu harus mengiyakan atau menyangkal kalimat Pramita. Di saat bersamaan, rasa bersalah menyeruak memenuhi benaknya. Panji merasa sangat bersalah, karena membuat Pramita seperti saat ini. Meragukan keluarganya sendiri, berpikiran buruk terhadap mereka, hanya karena mendengar sepotong kecil cerita tentang kehidupan ibu. Panji menoleh dan mendapati Pramita menangis dengan kepala menunduk dalam. Direngkuhnya Pramita ke dalam pelukannya. Berharap pelukan kecil ini mampu membuat gadis itu sedikit lebih baik. Ketika Pramita mendongak, Panji bisa melihat kedua matanya basah oleh air mata, dan entah mengapa itu terasa sangat menyakitkan bagi Panji. Pramita yang saat ini sedang menangis dalam pelukannya, mengingatkan Panji pada sosok Putri. Sosok adik yang begitu disayanginya, tapi harus pergi untuk selamanya, karena keegoisan orang-orang yang mengaku dewasa. Panji tak kuasa untuk tidak menghapus air mata di pipi Pramita. Namun, tidak hanya berhenti sampa di sana. Sebuah perasaan dan keinginan asing yang selama ini selalu ditepis oleh Panji, sedikit demi sedikit mulai menguasai batinnya. Membuat Panji menunduk, perlahan semakin menunduk, hingga tanpa bisa Panji cegah, bibirnya telah memagut lembut milik Pramita. Mendadak alarm peringatan, baik di dalam kepala Panji maupun Pramita padam. Keduanya tidak lagi peduli dengan segala norma batasan tentang anak di bawah umur. Semuanya dikesampingkan, saat jemari Pramita mencengkeram semakin erat kaos Panji. Dan seolah tidak ingin waktu ini cepat berlalu, Panji pun mengeratkan pelukannya. Namun, tiba-tiba saja Pramita mendorong tubuh Panji dan langsung mundur hingga punggungnya membentur sandaran sofa. Matanya mengerjap cepat, punggung tangannya mengusap bibirnya, dan napasnya memburu. Seolah dirinya baru mendapatkan kembali akal sehat dan menyadari bahwa apa yang baru saja dia lakukan dengan Panji adalah perbuatan salah. “Ta …” Panji tak ubahnya Pramita. Ekspresi bingung mendominasi wajahnya. Tangannya terulur hendak menggapai lengan Pramita untuk meminta maaf, tapi gadis itu malah mundur semakin jauh. Panji tahu dirinya sudah melakukan tindakan tercela dan sudah sepatutnya ia meminta maaf. Namun, sialnya yang keluar dari bibir Panji bukanlah kalimat permohonan maaf, melainkan … “Ta … kamu mau nemenin aku ke pesta perpisahan?” *** Panji memang harus bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada Susan yang sudah menyelamatkannya dari kebingungan. Tepat di saat mulutnya hendak melontarkan suatu kebohongan sebagai alasan mengapa dia memeluk Pramita kemarin malam, ponsel wanita itu berdering. Panggilan dari Susan yang mengabarkan bahwa kehadiran Pramita ditunggu tamu di studio foto berhasil menyelamatkan Panji. Tepat setelah sambungan telepon itu terputus, abang bubur ayam juga mengatakan bahwa dia akan segera tutup. Sehingga Pramita dan Panji mau tidak mau harus segera pergi dari warung tepi jalan itu. “Yak, bagus, Dira! Lihat ke sini, oke! Sip! Sekarang coba kamu muter sambil pegang ekor gaun kebayanya. Ya! Bagus! Sekali lagi! Oke! Terus gerak, terus … terus … yak!” Rizal menurunkan kameranya, lalu melangkah menghampiri Indira yang sedang memperbaiki riasannya. “Kamu emang selalu keren, Dir. Makasih udah mau jadi model kita.” “Hei, jangan gitu. Aku dan Mita udah lama kenal. Aku mengagumi kerja keras Mita dan yang paling penting, dia percaya sama aku. Bahkan dulu dia masih mau pake aku di saat skandal perkawinanku ke-blow up. Hai, Ta!” Pramita membalas lambaian tangan Indira—model sekaligus sahabatnya—sembari melangkah mendekat untuk memberikan ciuman sapaan di pipi. Di belakangnya, Panji masih mengekor, tapi saat tatapnya bertemu Rizal, Panji buru-buru menghampirinya dan menjelaskan mengapa dia telat datang untuk pemotretan kali ini. “Gimana pemotretannya?” “Rizal ok! Kamu enggak salah hire dia sebagai fotografer. Profesional banget ngarahinnya, aku jadi lebih gampang buat pose dengan kebaya rancangan kamu ini.” “Maaf banget aku baru dateng. Soalnya tadi aku ada sedikit urusan.” Indira melirik ke arah Panji yang masih mengobrol dengan Rizal. “Urusan sama dia?” tanyanya seraya mengangguk. “Yang mana? Rizal atau lawan bicaranya?” Pramita hanya tersenyum mendengar pertanyaan Indira. “Ta, sorry banget tadi aku minta Susan buat nelpon kamu,” sesal Rizal yang sudah bergabung. “Aku mau ngasih tahu aja, kalau setelah tadi dicoba pake fascinator—topi hiasan kecil di kepala, menurutku sedikit berlebihan. Konsep kebaya kamu ini kan lebih untuk acara semi formal, kalau pakai fascinator malahan mirip kayak pengantin,” lanjut Rizal seraya memperlihatkan hasil pemotretannya beberapa waktu lalu. “Hm, bener juga. Lebih bagus kalau tanpa aksesoris di kepala, sih. Mungkin dengan sanggul moderen lebih pas. Gimana, Dir?” Indira mengangkat kedua bahunya. “Aku hanya sebagai model di sini. Kamu perancangnya dan Rizal adalah fotografernya. Tapi kalau kamu bertanya tentang pendapatku pribadi, aku setuju dengan pendapat Rizal.” “Ok. Kalau gitu kita pakai foto kamu yang tanpa fascinator buat promo dan perilisan nanti,” putus Pramita. “Ada lagi? Kalian sudah selesai pemotretannya?” “Udah. Palingan tinggal beres-beresin aja. Dira juga bisa langsung ganti baju.” “Ok. Setelah semuanya beres, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu di ruanganku, atau kamu mau langsung pulang, Dir?” “Selama Mahesa belum jemput, aku masih bisa ngobrol.” “Ok, deh. Kalau gitu aku tunggu kalian di ruangan.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Pramita langsung meninggalkan studio. Sedangkan Indira langsung menuju ruang ganti, dan Rizal kembali duduk di sebelah Panji yang masih sibuk menatap layar komputer, yang menampilkan hasil pemotretan. “Sarapan bareng Mita, huh?” tanya Rizal retoris tanpa mengalihkan fokusnya dari layar komputer. “Seumur-umur kenal dengan Mita, dia enggak pernah ngajak aku sarapan. Selalu aku yang menawarinya makan.” “Jangan salah paham, Zal. Aku dan Bu Mita—” Rizal memutar tubuhnya menghadap Panji dengan senyum yang dipaksakan di wajahnya. “Siapa kamu? Apa hubungan kamu dan Mita? Kenapa Mita memperlakukan kamu berbeda? Dan soal gosip pagi ini—” “Gosip?” “Ya, anak-anak bergosip tentang kamu dan Mita yang berpelukan bahkan hampir berciuman di atap, kalau saja mereka enggak dateng buat ambil properti.” “Kamu jangan mikir yang macem-macem. Aku hanya memeluk Bu Mita sebagai teman. Kemarin malam dia curhat ke aku soal masalahnya dan aku cuma nyoba buat nenangin dia aja,” bohong Panji. “Curhat ke kamu? Seorang Pramita curhat ke kamu?” Sebentuk tawa meluncur dari Rizal. “Kamu tahu, Nji? Bahkan aku harus basa-basi dan membujuknya mati-matian agar Pramita mau mengatakan isi hatinya, dan itu sering kali gagal. Dia lebih memilih menyimpan semuanya sendiri. Curhat? Ke kamu?” tanya Rizal lagi, dengan tatapan yang masih dipenuhi oleh rasa tak percaya. Panji memilih untuk tidak lagi membalas kalimat Rizal. Lebih baik dia diam, sebelum Rizal semakin berpikiran aneh-aneh tentang hubungannya dengan Pramita. Di lain sisi, Panji juga tidak ingin membuat hubungannya dengan Rizal menjadi canggung, karena rasa cemburu—yang mungkin—karena kesalahpahaman ini. Namun, sepertinya semua terlambat. Rizal tiba-tiba saja berdiri dari kursinya, lalu menatap sekilas pada Panji, dan tanpa sepatah kata pun beranjak pergi dari sana. Tamat sudah riwayat Panji saat ini. *** Dinding di kantor Lust memang benar-benar memiliki seribu telinga dan mulut—sepertinya. Mengingat bagaimana gosip tentang Panji dan Pramita yang berciuman sudah menyebar, bahkan sampai pada ibu-ibu penjual pecel di belakang kantor. Panji pikir hanya sampai di sana, tapi ternyata tidak. Hal-hal buruk baru saja terjadi setelahnya. Seperti saat Panji membereskan properti pemotretan Indira, para pekerja lainnya seperti Wahyu, Gilang, Heni, Nilam, Fani, dan yang lainnya langsung mencibirnya sebagai anak emas Pramita. Bahkan Panji juga mendengar sebutan gigolo yang ditujukan untuknya. Panji tidak ingin membuat keributan, jadi ia hanya menjelaskan seperlunya bahwa apa yang mereka pikirkan itu tidak ada yang benar. Setelah itu, ia pergi begitu saja meninggalkan kawan-kawannya yang masih sibuk dengan pemahamannya sendiri. Panji tidak langsung kembali ke kubikalnya. Sepertinya secangkir kopi atau teh mungkin bisa kembali menenangkan pikirannya. Maka dari itu, ia segera menuju coffee shop yang ada di sisi samping lobi, tapi saat ia hendak kembali menuju lantai kerjanya, satu sosok yang tempo hari mengajaknya berkelahi sedang berdiri menunggu lift. Panji baru akan berbalik arah untuk menghindari perkelahian, saat kedua tatap mereka bertemu. Alih-alih naik lift yang sudah terbuka untuknya, Arsena justru melangkah menghampiri Panji. Langkah lebarnya menghentak penuh amarah, ditambah dengan sorot mata tajamnya yang menghunjam tepat pada Panji, benar-benar berhasil membuat Panji waspada. Begitu jarak mereka hanya tinggal dua langkah lagi, Arsena langsung mengangkat lengan kanan dan menganyunkannya tepat ke arah wajah Panji. Sebuah pukulan yang tidak diantisipasi Panji, membuatnya tersungkur dan kopi panas yang baru saja dibelinya langsung berceceran membasahi kemejanya. Orang-orang di sekitar menjerit, beberapa langsung menghindar—pura-pura tidak melihat—beberapanya lagi hanya menonton, hingga seorang pria berkacamata mendekati Arsena dan Panji yang bergelut. Pria itu berusaha memisahkan keduanya, sembari berteriak pada resepsionis untuk segera memanggil personil keamanan. Tak berapa lama kemudian dua orang satpam langsung melerai mereka. Namun, Arsena masih berusaha melepaskan diri untuk kembali menghajar Panji yang juga tak kalah kesalnya. Amarah mereka mereda saat Pramita berdiri di antara mereka. “Apa-apaan ini?!” “Kenapa cowok biadab ini masih di sini, Ta?!” teriak Arsena seraya menunjuk Panji. “b******n macam dia enggak pantas ada di sini!” “Berengsek! Jaga omongan lo! Siapa yang b******n? Lo itu yang b******n!” teriak Panji tak terima. “Diam!” sergah Pramita. “Pak! Bawa dia keluar!” “Ta! Kenapa aku yang kamu suruh pergi? Harusnya b******n itu yang pergi!” Pramita tidak menggubris ucapan Arsena dan kembali mengangguk pada satpam, agar menyeret Arsena keluar. “Dan kamu! Kamu ini orang baru tapi terus-terusan bertingkah dan bikin ribut!!” Kali ini Pramita sudah berdiri di hadapan Panji yang mati-matian menahan perih di kulit dadanya, karena tersiram kopi panas. “Maaf, Bu. Tapi bukan saya yang memulai. Arsena yang tiba-tiba menghampiri saya, lalu memukul.” “Jangan banyak alasan! Kamu saya pecat sekarang juga!” “Maaf, Ta,” potong pria berkacamata yang membantu melerai perkelahian. “Bukannya mau ikut campur. Apa yang dibilang dia benar. Pria tadi yang tiba-tiba datang dan langsung meninjunya. Aku lihat semuanya saat main dengan anak-anakku di sofa lobi.” Pramita menghela napas, berusaha berpikir cepat tentang apa yang harus dilakukannya. Namun, keputusan untuk memecat Panji sudah terucap, dan akan terdengar konyol jika Pramita membatalkannya. “Pertimbanganku memecat dia bukan hanya karena masalah ini, Sa. Sedari awal dia di sini memang sering buat masalah.” Pramita menoleh, menatap Rizal yang berdiri di sebelahnya. “Kamu bisa cari asisten yang lain.” Melihat sikap Pramita, Panji hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa keputusan wanita itu tidak bisa lagi diubah. Dengan kepala menunduk dan langkah lunglai, Panji memungut tas ransel dan cangkir kopinya yang berserakan. Kemudian tersenyum dan mengangguk kecil pada Rizal dan Pramita, serta mengucapkan terima kasih pada pria yang membelanya, sebelum akhirnya melangkah pergi. Namun, entah mengapa saat langkahnya tinggal selangkah lagi dari pintu keluar lobi, hati Panji berbisik dan memintanya untuk sekali lagi menoleh pada orang-orang yang berdiri di belakangnya. Begitu dirinya menoleh dan tatapnya bertemu dengan Pramita—sekali lagi—mendadak dadanya terasa nyeri. Seperti saat tadi dia mati-matian membela diri dari Arsena. Degup itu semakin menggila, hingga rasanya dadanya terasa sakit dan seperti akan meledak. Terlalu sakit hingga Panji tidak lagi mampu berpura-pura semuanya baik-baik saja. Kakinya melemah, berlutut di sana, hingga terakhir yang dia lihat adalah gelap, dan yang ia dengar adalah seseorang berteriak memanggil namanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN