Panji sedang menggulung dan merapikan benang-benang rajut ibu, saat Nyonya Rose datang. Wanita itu langsung menyiapkan makan malam untuk ibu, sembari tidak berhenti mengomel tentang suaminya yang susah sekali diajak jalan-jalan dan lebih mementingkan ngojek. Panji memilih mendengarkan semua keluh kesah itu dalam diam, hanya karena tidak ingin menyiram bensin di atas api.
“Katanya lo mau pergi? Kok masih di sini?” tanya Nyonya Rose yang sudah kembali ke ruang tamu dengan senampan makanan untuk ibu.
“Iya, ini mau berangkat,” sahut Panji, seraya memastikan kembali bahwa benang-benang rajut ibu sudah masuk ke keranjangnya. “Nanti sebelum jam sembilan aku balik, Nyonya.”
Nyonya Rose mengibaskan tangannya. “Nikmati aja masa pacaran lo. Ini Sabtu malam, Nji. Lagian juga sekarang masih masa-masa liburan, kan? Jadi, kalau lo pulang malam juga enggak masalah. Nanti gue bisa nginap di sini sama anak gue. Biarin kalau bapaknya!”
“Makasih, Nyonya.”
Setelah berpamitan dengan ibu dan Nyonya Rose, Panji bergegas menuju halte bus. Sore di malam minggu ini, Panji sudah membuat janji dengan Pramita untuk pergi bersama ke pasar malam. Ini adalah kali pertama mereka keluar bersama setelah hubungan mereka resmi menjadi sepasang kekasih sejak seminggu lalu. Namun, begitu sampai di mulut gang, Panji mendecih kesal saat mendapati mobil sedan yang sudah dihafalnya, ada di sana. Seorang pria paruh baya yang Panji ingat sebagai orang kepercayaan keluarga Adipramana, bernama Iyan, turun dari mobil dan menghampirinya.
“Ada apa lagi?”
“Mas Pandu udah nunggu di dalam, Mas.”
Panji menghela napas. Terlalu malas untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang satu ini. Namun, meski begitu, Panji tetap menuruti permintaan Iyan dan masuk ke kursi belakang mobil.
“Wah, rapi sekali. Mau kencan?”
“Enggak usah basa-basi. Kamu mau ngomong apa? Kalau kamu ke sini—”
“Aku sekarat, Nji.”
Panji tertegun untuk beberapa detik di awal, tapi kemudian mendengus geli mendengar kalimat Pandu. “Aku pikir Adipramana akan mengucurkan banyak uang demi kamu.”
“Sudah, tapi itu semua enggak ada gunanya. Semua yang sudah dilakukan keluarga Adipramana selama ini hanya untuk sedikit memperpanjang masa hidupku.” Pandu menghela napas. “Kecuali …”
Panji melirik Pandu yang menunduk, menatap kosong pada jemarinya yang saling terkait. Dari tempatnya duduk dan dengan jarak sedekat ini, Panji baru menyadari bagaimana tulang pipi saudaranya begitu menonjol, serta warna kulitnya lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu.
“Lupakan semua tentang omonganku tadi.” Pandu berdeham sekali sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku kemari ingin menyampaikan, kalau keluarga Adipramana akan membantu pengobatan ibu dan hidup kalian.”
“Sebagai gantinya, aku harus menjadi b***k mereka?” Panji terkikik geli mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. “Adipramana baru menyadari, kalau kamu yang penyakitan ini, enggak berguna bagi mereka. Makanya sekarang, mereka nawarin posisi kamu buat aku?”
“Kalau kamu yang ngomong, kedengarannya jahat sekali. Tapi, ya, memang sederhananya seperti itu,” kekeh Pandu. “Aku sejak awal memang enggak berguna buat mereka, tapi mereka juga enggak punya pilihan lain saat Putri meninggal. Hanya tersisa aku atau kamu. Melihat sikap kamu yang keras kepala, tentu saja pilihan yang tersisa hanya aku untuk dijadikan sapi perah mengurus harta mereka. Lebih baik ambil yang penyakitan daripada tidak mendapatkan keduanya, kan?”
“Setidaknya mereka berhasil memperpanjang hidup kamu. Kalau saat itu kamu ikut denganku dan meninggalkan Putri sendiri, mungkin kamu hanya bertahan selama satu atau dua tahun dengan penyakitmu itu.”
“Jadi? Bagaimana?”
“Jawabanku tetap sama. Aku enggak tertarik. Suruh dia nikah lagi dan punya anak—” Panji tiba-tiba saja tergelak. “Aku lupa dia enggak bisa punya anak.”
“Panji—”
“Aku, kamu, atau Putri, kita bukan keluarga Adipramana. Lagipula pria yang kamu panggil papa itu, sudah membuangku dan ibu.”
“Lalu, apakah pria yang kamu anggap sebagai ayah kandung, mengakui kita? Tidak sekali pun aku pernah melihat atau mendengar kabar tentang dia yang mencari anak-anaknya.”
“Karena itu, aku yang cari dia.”
“Lalu? Memangnya kamu pikir, kamu ini siapa? Kamu bahkan enggak ada seujung rambutnya! Kamu enggak punya kuasa apapun untuk membuat dia mengakui kita.”
“Aku sama sekali enggak berminat dengan pengakuan dia.”
Kening Pandu mengerut, menatap penuh kebingungan pada Panji.
“Aku akan buat dia bertanggung jawab atas kematian Putri.”
“Putri kecelakaan.”
“Enggak!” geram Panji. “Kenapa kamu enggak pernah percaya sama aku?! Aku lihat dengan mataku sendiri, kalau mobil itu sengaja menabrak Putri!”
“Kamu juga salah! Kalau saat itu kamu mau menemui Adipramana, bukannya menyelinap keluar rumah bersama Putri, sekarang dia pasti masih hidup!”
Panji mengusap wajahnya dengan gusar. Tangannya terkepal, menahan amarah, ketika bayangan tubuh Putri yang tergeletak di jalan dan bersimbah darah kembali memenuhi ingatannya. Ucapan Pandu tidak salah! Jika hari itu Panji menuruti ucapan ibu untuk keluar kamar dan menemui Adipramana, bukannya malah mengajak Putri kabur melalui jendela kamarnya dengan iming-iming es krim, mungkin mereka akan duduk bersama di dalam mobil ini.
“Ya, aku salah. Aku salah. Aku akan menebusnya! Aku akan menghabisi orang yang menabrak Putri!” tegas Panji, lalu membuka pintu mobil dan turun. Tidak lagi memedulikan Pandu maupun Iyan yang terus memanggilnya.
***
“Gimana?”
Pramita memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan bahwa penampilannya hari ini adalah salah satu penampilan terbaiknya. Di tepi ranjang, Intan mengangkat dua jempolnya untuk memberikan penilaian pada adiknya.
“Beneran?” tanya Pramita lagi.
“Ya, Tuhan! Kamu udah nanya kayak gitu berapa kali, Ta?” Intan beranjak menghampiri Pramita. Merapikan sedikit rambut Pramita yang menjuntai menutupi wajah manis itu. “Kalau Panji sampai berani melirik cewek lain, kamu tinggal bilang ke aku!”
“Panji bukan cowok seperti itu.”
“Ya, Panji bukan cowok seperti itu. Dia anak yang baik.” Intan mengambil pelembap bibir di meja belajar Pramita, membukanya, lalu memoleskan tipis-tipis ke bibir Pramita. “Nah, udah! Yuk!”
Keduanya kemudian beranjak keluar kamar menuju halaman depan. Di mana sopir sudah menunggu untuk mengantar Pramita menuju tempat janji temunya dengan Panji.
“Mita—”
“Iya, sebelum jam sembilan aku udah balik!” potong Pramita cepat, sebelum Ardina menyelesaikan kalimatnya. “Bye, Ma!” teriak Pramita lagi, lalu masuk ke mobil.
Sepanjang perjalanan, Pramita berusaha menahan senyum berulang kali. Dadanya bergemuruh, tidak sabar untuk melakukan kencan pertamanya dengan Panji. Pramita tidak pernah menduga, bahwa hari seperti ini akan hadir dalam hidupnya.
“Udah sampai, Non.”
“Makasih, Pak! O iya, Bapak bisa langsung pulang,” ujar Pramita, lalu segera turun dari mobil.
Ini juga kali pertama Pramita pergi ke pasar malam, karena selama ini Pramita kira, hanya taman bermain yang menyediakan wahana seperti yang ada di hadapannya ini. Ternyata dirinya salah! Bianglala juga ada di sana! Komidi putar, perahu ayun, bahkan rumah hantu juga ada di pasar malam!
Pramita melirik arlojinya dan mungkin karena tidak sanggup bersabar, dirinya datang 30 menit lebih awal dari waktu yang mereka janjikan. Lagi-lagi Pramita tidak mampu menahan senyumnya, menyadari bahwa dirinya pasti terlihat seperti orang bodoh saat ini. Pramita yakin, saat Panji datang nanti, cowok itu akan menertawakannya. Bukan hanya karena dirinya yang terlalu bersemangat, tapi juga karena penampilannya yang—menurut penilaian Pramita sendiri—terlalu berlebihan.
Semua yang Pramita pikirkan, tidak pernah terjadi. Ketika matahari sudah tenggelam hampir tiga jam yang lalu. Ketika pengunjung pasar malam semakin ramai, karena ini malam Minggu. Ketika waktunya hampir habis. Ketika dirinya menyadari, bahwa Panji tidak ada bedanya dengan Arsena. Membiarkan Pramita menunggu selama berjam-jam tanpa kejelasan? Itu bahkan lebih menyakitkan daripada saat Arsena mempermainkannya.
Sudah satu jam yang lalu, otak Pramita menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan semua ini. Namun, lagi-lagi, hatinya terlalu buta dan bodoh, terus menyangkal bahwa Panji pasti memiliki alasan untuk sikapnya. Iya, kan? Dan dengan berbekal selembar uang yang diselipkan Intan ke dalam dompetnya, Pramita menghentikan taksi, lalu memintanya melaju menuju rumah Panji.
Sesampainya di mulut gang, ragu sempat menghampiri Pramita. Berulang kali dia bertanya pada diri sendiri. Haruskah dia merendahkan harga diri dan membuang malu dengan datang—bahkan mungkin—menangis di depan Panji untuk meminta penjelasan dari cowok itu? Logikanya menolak! Namun, lagi-lagi hatinya menjadi bagian dirinya yang paling lemah dan akhirnya membawa kaki Pramita melangkah memasuki gang.
Jemari Pramita mencengkeram erat tali tasnya, saat mendapati rumah Panji gelap gulita. Bahkan suara tv yang biasanya menemani ibunya merajut, tidak terdengar. Pramita mendorong pagar besi berkarat yang berderit nyaring, melangkah memasuki teras, dan beberapa kali mengetuk. Nihil.
“Cari siapa, Mbak?”
Pramita menoleh dan menemukan wanita paruh baya yang dulu sempat menolongnya, berdiri di sana.
“Pan—Panji ada, Bu?”
“Panji … Ah! Lo cewek yang waktu itu ke sini, kan? Eh, tunggu! Bukannya, harusnya lo sama Panji janjian ke pasar malam, kan?”
Pramita mengangguk. “Tapi sampai malam begini Panji enggak datang, Bu. Saya takut dia kenapa-kenapa.”
“Gue juga enggak tahu ada apa sebenarnya. Panji tadi pamit sama gue, katanya mau pergi ke pasar malam. Tapi enggak lama kemudian, dua cowok dan satu cewek yang katanya saudaranya Panji dateng ke rumah, terus bawa ibunya.”
“Ibu dibawa?”
“Iya. Katanya mau berobat. Ibunya memang sakit, sih. Mungkin aja Panji sekarang nemenin ibunya di rumah sakit.”
“Boleh saya tahu rumah sakitnya di mana?”
“Wah, gue enggak tahu. Besok lo ke sini aja, sorean mungkin udah dateng. Biasanya berobatnya enggak lama, kok.”
Pramita mengangguk kecil.
“Ya udah, gue tinggal dulu ya, Mbak.”
Besok mungkin Panji sudah pulang. Satu kalimat yang Pramita tanamkan di dalam kepalanya selama berhari-hari, minggu, bahkan bulan, tapi Panji tidak pernah kembali ke sana. Pramita tidak menemukan Panji sedang merajut bersama ibunya, ataupun sibuk membersihkan lensa kameranya. Tidak ada cahaya lagi di rumah itu. Gelap. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana dan mengapa Panji tidak pernah kembali ke rumah itu. Hingga di suatu malam, akhirnya Pramita memutuskan untuk mengakhiri penantiannya, tapi tidak dengan rasa sakit hatinya. Kelak, saat Pramita mendapati Panji berdiri di hadapannya lagi, maka Pramita akan membuat cowok itu merasakan sakit yang sama! Tidak-tidak, bukan sama, tapi sakit yang lebih menyakitkan!
***