“Kamu juga salah!”
Satu kalimat yang Panji pikir tidak akan lagi menghantuinya, setelah serangkaian pengobatan dan terapi selama bertahun-tahun. Namun, malam ini, tidak hanya kalimat itu yang kembali di dengar Panji, tapi juga rupa seorang pemuda yang sangat dibenci dan disayanginya secara bersamaan, kembali hadir.
Panji membuka matanya, napasnya terengah, dan bajunya basah oleh keringat. Dirinya baru saja terbangun dari mimpi buruk yang rasa-rasanya seperti nyata. Mimpi buruk yang sama, yang selama bertahun-tahun menghantuinya.
“Kamu udah bangun?”
Panji masih berusaha keras mengumpulkan kesadarannya. Entah apa yang terjadi padanya, semalam rasanya dia masih baik-baik saja, bahkan masih bisa mengumpat Iyan yang berada di seberang sambungan teleponnya. Tapi pagi ini, kepalanya mendadak pusing dan suhu tubuhnya meningkat. Panji menoleh dan mengerjap beberapa kali untuk bisa lebih jelas melihat siapa yang sedang bertanya padanya. Penglihatannya masih buram. Namun, selanjutnya yang Panji rasakan adalah sebuah sapuan kain basah dan hangat di leher dan dadanya.
“Kamu ngotot pulang dari rumah sakit! Lihat sekarang akibatnya! Badan kamu malahan panas, kan? Coba kalau masih di rumah sakit, pasti langsung bisa ditangani sama dokter. Kalau udah begini—”
“Sebagai mantan bos, kamu cerewet banget.” Panji berusaha bangun dari berbaringnya. “Tapi terima kasih,” ucap Panji sungguh-sungguh, saat menyadari bahwa sosok yang mengompres tubuhnya adalah Pramita, wanita yang kemarin baru saja memecatnya, tapi juga hampir diciumnya!
“Hm,” gumam Pramita. “Ini, makan.”
Panji menatap semangkuk bubur yang disodorkan Pramita dengan keningnya yang mengerut dalam. Semangkuk bubur? Pramita? Di rumahnya? Bahkan di kamarnya? Apa Tuhan sedang bercanda dengannya? Setelah membuatnya kembali dihantui oleh ingatan yang ingin sekali dilupakan, kini Tuhan mengirim Pramita ke rumahnya, untuk merawat dirinya yang sedang demam?
“Kenapa kamu bisa di sini?”
“Itu kita bahas nanti kalau kondisi kamu udah mendingan.” Pramita mengambil termometer di nakas, meminta Panji untuk mengapitnya di ketiak. “Tiga sembilan derajat. Mendingan kamu buruan makan bubur ini, terus minum obatnya,” lanjut Pramita beberapa saat kemudian.
Ragu-ragu, Panji menerima mangkok bubur yang disodorkan Pramita. Kemudian, perlahan dia mulai menyendokkan bubur ke mulutnya. Tidak ada rasa, kecuali pahit di lidahnya.
“Kenapa?” tanya Pramita saat melihat Panji berhenti menyendok. “Enggak enak?”
“Kamu yang masak?”
Pramita menggeleng.
“Lalu?”
“Ibu kamu.”
Panji hampir saja menyemburkan bubur di mulutnya saat mendengar jawaban Pramita. Ibu yang memasak bubur untuknya? Pramita sedang bergurau, kan? Ibu tidak mungkin memasak untuknya! Jangankan memasak, berbicara padanya pun hampir tidak pernah—setelah mereka kembali tinggal di kontrakan ini.
Tanpa memedulikan kondisi tubuhnya yang masih lemas, Panji beranjak dari kasurnya untuk melihat dengan matanya sendiri, bahwa ibu yang dibicarakan Pramita adalah ibunya! Ketika langkah Panji baru mencapai ambang pintu kamarnya, dirinya tertegun mendapati meja ruang tamu yang biasanya dipenuhi oleh benang rajut ibu, kini penuh oleh makanan!
“Ibu yang masak semuanya?”
Pramita mengangguk. “Iya.”
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa ibu bisa melakukan semua ini?”
“Kenapa enggak bisa?”
Baik Pramita dan Panji sama-sama belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan mereka, saat ibu muncul dari arah dapur dengan seteko teh manis hangat.
“Panji, kamu udah sehat, Nak?” tanya Ibu seraya menyentuh kening Panji. “Hm, masih panas. Kamu habisin buburnya, ya,” pinta Ibu.
“Bu—”
“Kok malahan bengong. Ayo sini duduk, terus habisin bubur kamu,” ujar Ibu, lalu membantu Panji untuk duduk di sofa rusak ruang tamu. “Kamu mau minum air mineral? Putri, tolong ambilin kakak kamu air minum.”
Panji terhenyak. Berulang kali dia menatap bergantian antara ibu dan Pramita, sembari memastikan apa yang baru saja didengarkan bukanlah kesalahan. Ibu memanggil Pramita dengan nama Putri? Bahkan Pramita yang biasanya keras kepala dan tidak suka diperintah, menurut begitu saja menuju dapur dan kembali dengan segelas air mineral untuk Panji.
“Putri, Bu?”
Ibu mengangguk. “Kenapa Putri?”
“Putri udah enggak ada, Bu.”
“Enggak ada gimana? Tuh, dia berdiri di sebelah kamu.”
“Dia bukan Putri. Namanya Pramita, bukan Putri.”
“Kamu ini kalau mau bercanda lihat situasi! Putri pasti sedih, karena kamu anggap sebagai orang lain.”
“Bu, dia memang bukan Putri,” geram Panji. “Putri udah meninggal. Wanita yang berdiri itu, namanya Pramita.”
Tepat setelah Panji menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan langsung mendarat di pipinya. Sebuah tamparan dari ibu yang gusar mendengar ucapan anaknya.
“Kamu jangan ngomong sembarangan! Menyumpahi adik kamu meninggal! Dia berdiri di sana!” tegas Ibu.
“Bu—”
“Diam kamu!”
Ibu semakin gusar mendengar ucapan Panji. Kedua matanya tidak lagi memberikan tatapan penuh sayang pada Panji, melainkan hanya tatapan kesal, marah, dan tidak terima dengan semuanya. Bahkan berulang kali ibu berteriak bahwa Panji adalah pembohong dan kakak yang jahat untuk adiknya.
Melihat kondisi ibu yang terus berteriak, Pramita yang semula memilih diam, kini segera menghampiri ibu dan berusaha menenangkannya. Dipeluknya wanita yang sudah menawarinya sarapan itu, dan memberi isyarat pada Panji untuk berhenti mendebat ibu.
“Kamu Putri, kan?” isak Ibu. “Anak Ibu yang paling cantik.”
Pramita mengangguk sebagai jawaban. Kemudian mengajak ibu untuk masuk ke kamar. Meminta ibu untuk istirahat dan menenangkan diri. Untuk beberapa saat, Pramita menungguinya, hingga akhirnya ibu terlelap.
“Kamu bisa bersikap sedikit kooperatif dengan kondisi ibu kamu,” kesal Pramita.
Jika saja kondisi Panji baik-baik saja, sudah bisa dipastikan dia akan menarik Pramita keluar dari rumahnya. Namun, sekarang dirinya hanya bisa bersandar di kursi ruang tamu. Mengatur napasnya dan membiarkan Pramita melakukan apapun yang ingin dilakukannya—lagipula tidak ada barang berharga di rumah ini yang bisa membuat Pramita ingin mencuri.
“Ini.” Pramita menyodorkan obat demam dan segelas air pada Panji, yang langsung ditelannya. “Ibu sudah lebih tenang, bahkan sudah tidur.”
“Ya, nanti saat dia bangun, pasti nyariin kamu.”
Pramita menghela napas pelan, lalu duduk di sebelah Panji. “Kamu bisa jelasin semuanya ke ibu pelan-pelan. Jangan seperti tadi.”
“Tahu apa kamu soal ibu? Apa peduli kamu?” ketus Panji.
“Aku memang enggak tahu apa-apa tentang yang terjadi pada ibu. Dan iya, setelah melihat kondisi ibu, aku peduli padanya, karena ibu membuatku merindukan mama,” lirih Pramita di akhir kalimatnya. “Pokoknya, kamu harus bisa lebih sabar menghadapi—”
“Terima kasih,” potong Panji. “Kenapa kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu rumahku?”
“Itu … aku tahu alamat rumah kamu dari kantor.”
“Hm, lalu untuk apa kamu ke sini? Bukannya kamu udah mecat aku?”
“Soal itu, aku tarik kembali pemecatan kamu.”
“Kenapa?”
“Aku terlalu gegabah memutuskan semuanya. Rizal perlu kamu.” Aku juga.
“Lust dan Rizal bisa mendapatkan asisten fotografer yang lebih baik dan berpengalaman daripada aku.”
“Tapi enggak ada yang mau dibayar murah seperti kamu.”
Panji mengulas senyum tipis mendengar jawaban jujur Pramita.
“Proyek Lust dengan Kementerian Pariwisata dimajukan mulai minggu depan. Ada pemotretan baju adat, kebaya, dan seni lainnya di pantai. Beberapa kebayanya adalah milik Lust. Selain itu, beberapa tenaga fotografer yang semula disewa kementerian, harus batal, karena majunya jadwal ini. Makanya, mereka juga minta fotografer Lust buat jadi fotografer lainnya,” jelas Pramita. “Dan Rizal butuh asisten.”
Panji memutar tubuhnya menghadap Pramita. Ditatapnya lekat wanita yang juga balas menatapnya ini. Pagi ini, Pramita yang berada duduk di hadapannya sangat berbeda dengan Pramita yang tempo hari bersamanya. Pramita yang ini … apa sebutan yang tepat untuk menggambarkan dirinya? Lebih tenang? Entahlah, Panji juga tidak tahu pasti.
“Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?”
“Kamu bela-belain ke sini, hanya untuk minta aku balik ke Lust?”
“Kamu jangan mikir macem-macem. Selain karena kamu bisa dibayar murah, aku juga hanya merasa bersalah, karena gegabah mecat kamu. Aku enggak pertimbangin gimana dampaknya ke Rizal dan proyeknya. Jadi, ya, aku bela-belain ke sini untuk minta kamu balik ke Lust.”
“Sekarang, semua orang akan mikir kalau kita memang ada hubungan.”
“Memang, kan? Hubungan sebagai bos dan bawahan?”
“Maksud aku, bukan hubungan seperti itu.” Panji beranjak menuju kamarnya untuk mengambil selimut. “Kamu tahu hubungan apa yang aku maksud, kan?”
Pramita mengangguk, kemudian turut beranjak mengikuti Panji. Tiba-tiba saja wanita itu mengulurkan tangannya. Sebuah gestur yang semakin membuat kepala Panji pening.
“Kita mulai hubungan ini dari awal. Lupakan semua yang pernah terjadi sebelumnya. Kejadian di rooftop sampai kemarin kamu meluk aku. Mulai sekarang, kita akan memulai hubungan atasan dan bawahan yang baik. Bagaimana?”
Tangan Pramita masih mengambang, menunggu disambut oleh Panji. Sedangkan pria itu semakin merapatkan selimutnya dan masih menimbang, apakah kembali ke Lust adalah keputusan yang baik? Memangnya Panji punya cara lain untuk mendapatkan uang, selain dari Lust—setidaknya untuk saat ini? Jawabannya adalah TIDAK.
Kalau sudah begitu, Panji menyerah dan membalas jabat tangan Pramita.
“Soal ibu kamu, aku bisa—”
“Belum ada semenit kita kembali kerja sama dan kamu mulai sok tahu tentang ibuku?”
“Bukan begitu. Aku cuma—” Pramita tidak lagi melanjutkan kalimatnya, saat Panji memalingkan tatapannya—enggan menghadapi sikap Pramita.
“Hari ini aku butuh istirahat. Besok aku akan masuk kerja.”
Pramita mengangguk. “Ok. Aku balik ke kantor dulu. Bye,” ucap Pramita mengalah.
“Terima kasih.”
Langkah Pramita terhenti di ambang pintu keluar saat mendengar ucapan terima kasih Panji. Sekali lagi dia menoleh untuk menatap Panji, seraya sudut bibirnya tertarik. Bersamaan dengan itu pula, Pramita harus mengakui, bahwa untuk sejenak, dia melupakan amarah dan tujuan sebenarnya datang ke rumah Panji pagi ini. Kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah Panji.
Pramita tersenyum kecut sembari menatap layar ponselnya. Dirinya baru menyadari, betapa bodohnya dia saat ini. Berdiri di pinggir jalan, sibuk mencari taksi daring yang tidak kunjung menerima pesanannya, pun dengan taksi konvensional kosong belum ada yang melintas. Sekali lagi dia tertawa—menertawakan dirinya sendiri—karena melupakan tujuan utamanya saat bertemu Panji.
Pramita sudah memikirkannya semalam suntuk. Memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan penjelasan tentang hubungannya dengan Panji. Tentang bagaimana untuk mengakhiri semua amarah yang sebenarnya terlalu melelahkan baginya. Namun, saat pintu rumah Panji terbuka dan ibu berdiri menyambutnya dengan senyuman dan tatapan mendamba, Pramita tak kuasa menolak. Dia membalas pelukan ibu dan membiarkan wanita itu memeluknya erat. Seolah baru menemukan sesuatu miliknya yang telah lama hilang.
Pramita semakin terlena dengan pelukan seorang ibu yang sudah lama dia rindukan. Hati Pramita semakin tidak tega untuk mendorong, melepaskan pelukan ibu. Satu hal yang bisa dia lakukan adalah membalas pelukan ibu sama eratnya dan membiarkan wanita itu mengungkapkan rindunya yang sudah lama dia pendam. Siapa yang menyangka, bahwa tujuannya semula yang ingin memaki Panji dan menyadarkan pria itu dari amnesia pura-puranya, malah berakhir dengan mengajaknya kembali bekerja di Lust.
“Bu Mita?”
Pramita menoleh dan seorang perempuan sudah berdiri di sebelahnya. Pramita mencoba mengingat siapa nama wanita yang wajahnya sudah pernah dilihatnya beberapa kali ini. Namun, tetap saja dirinya sama sekali tidak ingat.
“Kamu …”
“Alma.”
Ah, iya, Alma! Bagaimana Pramita bisa lupa satu nama yang kemarin malam baru di dengarnya?
“Bu Mita habis dari rumahnya Mas Panji?”
Pramita mengangguk.
“Terus sekarang lagi nunggu jemputan supir?”
“Saya lagi nunggu taksi.”
“Oh, kalau begitu saya duluan, Bu.”
“Alma!”
Alma menoleh. “Ya?”
“Mau sarapan bareng?”
“Ya?”
***
Sebuah kedai yang menjual nasi uduk dan bubur ayam menjadi pilihan Pramita dan Alma untuk sarapan bersama pagi itu. Keduanya duduk berhadapan dan sedikit canggung, mengingat sebenarnya mereka juga tidak terlalu kenal. Terlebih semalam Pramita sempat membentak Alma dan menyuruhnya untuk pulang lebih dulu dari rumah sakit. Kemudian, pagi ini tanpa angin dan hujan, Pramita mengajaknya sarapan bersama.
Seporsi nasi uduk sudah tersaji di depan Alma, sedangkan untuk Pramita hanya segelas teh tawar. Bukannya tidak ingin makan seporsi bubur ayam hangat, hanya saja saat di rumah Panji tadi, Pramita sudah mengisi perutnya dengan seporsi nasi goreng buatan ibu.
“Kamu udah lama kenal sama Panji?”
“Iya.”
“Sejak kapan?”
“Sejak Mas Panji pindah ke rumah kontrakannya yang sekarang.”
“Kapan tepatnya itu?”
“Saat saya masih SMP.”
“Cukup lama juga, ya,” ujar Pramita. “Kalau begitu, kamu pasti tahu apa yang terjadi sama ibunya Panji, kan?”
Alma mengunyah nasi di dalam mulutnya, lalu meneguk teh manis hangatnya sebelum menggelengkan kepala sebagai jawabannya. “Saat Mas Panji pertama datang dengan ibu ke rumah itu, kondisi ibu sudah linglung. Para tetangga sebenarnya juga penasaran, tapi kami enggak enak mau bertanya dan sepertinya Mas Panji juga enggak suka saat ada orang yang ingin tahu. Soalnya, waktu itu ada tetangga yang iseng nanya, tapi Mas Panji malahan langsung pergi gitu aja.”
“Oh …” Pramita mengambil gelas berisi teh tawarnya, lalu sedikit menyesap teh yang sedikit asam di lidahnya itu. “Terus?”
“Terus apa?” bingung Alma.
“Setelah itu, apa enggak ada kejadian yang aneh?”
“Aneh gimana maksudnya?”
“Seperti Panji yang tiba-tiba menghilang?”
Mendengar pertanyaan Pramita, membuat kening Alma mengerut. Perempuan itu terlihat berpikir sesaat, mencoba mengingat apakah kejadian-kejadian aneh yang dimaksud Pramita benar pernah dialami Panji?
“Apa Panji pernah pergi dari rumah secara tiba-tiba untuk waktu yang lama?” tanya Pramita lebih detail.
“Ehm …”
“Alma, coba kamu ingat-ingat,” pinta Pramita. “Memang sudah lama dan mungkin kamu masih SMP, tapi coba kamu ingat-ingat lagi,” lanjut Pramita dengan tatapan memohon.
Ditatap seperti itu—penuh permohonan—oleh seorang Pramita Widyatmoko, yang juga adalah anak dari pemilik yayasan tempatnya bekerja, membuat Alma sedikit merinding. Sikap Pramita yang terus mendesaknya tentang Panji, menimbulkan pertanyaan tersendiri dalam benak Alma.
“Alma, please!”
Alma bukannya tidak mau menjawab pertanyaan Pramita. Hanya saja, dirinya meragukan kebenaran akan ingatannya sendiri.
“Ya,” jawab Alma akhirnya. “Mas Panji pernah pegi dari rumah.”
“Kamu tahu kenapa?”
Alma mengangkat kedua bahunya. “Yang saya ingat ketika itu, tidak ada ibu di rumah saat saya mau mengambil hasil rajutan ibu untuk dijual di toko mama. Rumahnya terkunci dan kata Nyonya Rose—”
“Nyonya Rose?”
“Wanita yang sering membantu Mas Panji menjaga ibu, tetangga kami juga. Kata Nyonya Rose, Mas Panji pergi mengantar ibu berobat.”
“Ke mana?”
“Enggak ada yang tahu. Nyonya Rose hanya bilang kalau malam sebelumnya, ada orang-orang yang datang ke rumah Mas Panji dan mengaku sebagai saudaranya. Mereka langsung membawa ibu pergi.”
“Berapa lama ibu berobat?”
“Lumayan lama. Seingat saya, rumah Mas Panji bahkan sempat dikontrakan untuk orang lain. Mungkin sekitar tiga tahun atau lebih, dia baru kembali bersama ibu.”
“Terus?”
“Terus apa maksudnya, Bu Mita?”
“Maksud aku, setelah itu bagaimana sikap Panji? Apa dia jadi sombong? Enggak inget sama kamu dan tetangga lainnya?”
“Ehm, enggak gimana-gimana. Dia seperti Mas Panji sebelum dia pergi.”
Alma bisa melihat dengan jelas, bagaimana ekspresi kecewa itu hadir di wajah Pramita, sesaat setelah mendengar jawabannya. Entah untuk alasan apa? Alma benar-benar bingung dan penasaran dibuatnya. Jika ini menyangkut pemeriksaan latar belakang sebagai karyawan, agaknya terlalu berlebihan hanya untuk pekerjaan sebagai seorang asisten fotografer. Lagipula, pertanyaan yang diajukan Pramita juga sedikit janggal bagi Alma.
“Ah!” seru Alma, yang membuat Pramita kembali memperhatikannya. “Kalau enggak salah, waktu itu ada temennya Mas Panji yang hampir setiap hari datang ke rumahnya. Cewek.”
Alma kembali menyendok nasi uduknya. “Saya kasihan sama cewek itu. Sepertinya Mas Panji enggak pamit sama dia, melihat bagaimana sikap cewek itu yang setiap hari datang, seolah nungguin dan bertanya-tanya kapan Mas Panji balik. Tapi, beberapa bulan kemudian, cewek itu enggak pernah datang lagi. Entah apa yang terjadi sama dia. Mungkin dia sudah lelah menunggu.”
Seulas senyum tipis terukir di wajah Pramita. Lelah menunggu? Ya, Pramita lelah menunggu Panji yang tidak kunjung kembali. Lelah menjadi orang bodoh yang berharap suatu hari, kekasihnya itu akan kembali. Namun, siapa sangka begitu sosok pria itu muncul di hadapannya lagi, Panji sama sekali tidak mengingat lagi siapa Pramita.
Dengan kembalinya Panji, Pramita pikir dirinya akan bisa melampiaskan amarah dan sekaligus membalaskan dendamnya dengan cara paling menyakitnya. Namun, yang terjadi adalah Panji—lagi-lagi—membuatnya lelah. Lelah menyimpan amarah dan dendam, sehingga Pramita ingin segera mengakhirinya.
***