[15]

2131 Kata
Panji membuka mata dan mendapati segalanya berwarna putih. Kepalanya masih berputar, pening, dan bau menyengat menusuk hidungnya. Panji membenci bau menyebalkan ini. Bau yang selama bertahun-tahun selalu dihidunya. Ingin rasanya dia berlari keluar, tapi apa daya tubuhnya masih sulit untuk diajak kerja sama. Panji menoleh ke sisi ranjangnya dan mendapati seseorang tengah tertidur—tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Panji. Satu hal yang sudah dapat dipastikan oleh Panji, sosok itu tidak mungkin ibu. Panji tidak akan kecewa, karena dia menyadari, bahwa sampai kapan pun, ibu akan melihatnya sebagai orang lain. Bukan sebagai Panji, anaknya, yang dalam ingatannya tidak pernah meninggalkannya. “Mas Panji!” Suara itu! Panji tersenyum saat menyadari, bahwa sosok yang semula lelap, kini sudah terbangun dan terlihat khawatir. “Kamu kenapa bisa di sini?” “Tentu aja, karena aku khawatir sama kamu, Mas! Kamu tadi tiba-tiba aja pingsan! Untung aja, tadi ada dokter kenalannya Bu Mita.” Ah, iya. Panji seketika mengingat betapa lemah tubuhnya tadi. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja jantungnya berdebar hebat, membuat sesak, hingga pening menyerangnya. Panji tidak menyangka hal-hal yang sudah tidak dialaminya selama bertahun-tahun, kini mulai dirasakannya lagi. “Aku harus kasih tahu dokter, kalau Mas Panji udah sadar!” Sepeninggalan Alma, Panji hanya diam di pembaringannya, seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ditilik dari perabotan dan luas ruangan ini, Panji yakin, Pramita yang memilihnya. Mana mungkin Alma berani menempatkan dirinya di ruangan kelas suite seperti ini. Panji menghela napas, sungguh tidak menyangka, bahwa bertahun-tahun kemudian, dirinya akan kembali ke tempat ini. Sungguh menggelikan, bagaimana Panji masih mengingat dengan jelas interior kamar rawat yang letak dan perabotannya seolah tidak mengalami perubahan ini. “Halo, Panji.” Panji menoleh dan melihat pria yang tadi melerai perkelahiannya bersama Arsena, muncul dengan mengenakan snelli serta stetoskop di saku kanannya. “Bagaimana? Masih terasa pusing?” “Sedikit,” jawab Panji pelan. “Wajar. Tadi kami sempat kehilangan kamu. Tapi beruntung ambulans segera datang dan membawa kamu ke sini.” “Anda …” “Saya Mahesa, dokter yang menangani kamu,” jelas Mahesa. “Boleh saya periksa sebentar?” Panji mengangguk, kemudian membiarkan Mahesa melakukan tugasnya. “Semuanya normal, tapi saya sarankan untuk memeriksa kondisi jantung kamu.” “Itu …” Panji meragu untuk melanjutkan kalimatnya. “Ada yang kamu sembunyikan dari keluarga kamu?” tanya Mahesa setelah mengikuti ke mana arah pandang Panji—pintu masuk kamar. Panji menggeleng. “Enggak ada. Alma bukan keluarga saya, tapi dia juga tahu tentang ini,” jawab Panji seraya menyentuh dadanya. “Enggak harus sekarang, tapi kalau bisa secepatnya,” saran Mahesa. “Ah, soal biaya, semuanya ditanggung Lust. Kamu enggak perlu khawatir.” “Semuanya ditanggung Lust?” Mahesa mengangguk. “Mita yang bilang langsung ke saya.” “Tapi saya bukan lagi karyawan Lust.” “Hem, kalau itu, kamu tanya sendiri sama Mita.” “O, iya, Dok. Apa ada yang salah dengan jantung saya?” “Saya belum berani mengatakan apapun, harus melalui pemeriksaan lebih lanjut. Kalau boleh tahu, di mana kamu melakukannya?” tanya Mahesa, tapi Panji terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan Mahesa. “Saya bertanya sebagai data awal saja, siapa tahu saya punya kenalan di rumah sakit tempat kamu melakukan transplantasi.” “Di sini.” “Di sini? Maksud kamu rumah sakit ini?” Panji mengangguk. “Dokter Lee yang saat itu memimpin operasinya.” “Dokter Lee. Dokter Lee,” gumam Mahesa sembari mencoba mengingat tentang Dokter Lee. “Oh, Maksud kamu Dokter Lee Shengwu?” “Iya.” “Dia bukan dokter di sini. Kenapa dia memimpin operasi di rumah sakit ini?” gumam Mahesa, lalu menatap Panji untuk meminta penjelasan. Namun, pria itu lebih dulu membuang muka. “Baiklah, Panji. Untuk sekarang tidak banyak yang bisa saya lakukan, saya harus melihat hasil pemeriksaan lebih lanjut kamu terlebih dahulu untuk menentukan langkah apa yang harus kami ambil.” “Saya akan menemui Dokter Lee saja.” “Tapi yang saya dengar, Dokter Lee sudah pensiun. Umur beliau tidak lagi muda dan sekarang memilih untuk menghabiskan masa tuanya dengan keluarga. Oh, maaf, Panji. Ini bukan maksud saya memaksa kamu untuk berobat atau diperiksa di sini, saya hanya mengabarkan. Kalau kamu ingin di rumah sakit lain dan dokter keluarga juga tidak apa-apa.” Panji masih diam dengan tatapan yang terus memperhatikan wajah Dokter Mahesa. Ditatap dalam diam seperti itu, membuat Mahesa salah tingkah dan merasa sangat tidak nyaman. Seolah dirinya bagai tahanan yang dipaksa untuk mengakui kejahatan. “Apa Dokter bisa menyimpan rahasia?” “Ya?” *** Ketika Mahesa menutup pintu kamar suite Panji, Pramita yang sudah sedari tadi menunggu di luar langsung memberondongnya dengan pertanyaan—yang sebenarnya pada intinya adalah sama, menanyakan bagaimana kondisi Panji. “Panji baik-baik saja. Dia hanya butuh istirahat beberapa hari.” “Terus kenapa dia tiba-tiba pingsan?” tanya Pramita lagi, tidak puas dengan penjelasan Mahesa. “Hanya kecapekan, Ta.” “Terus? Enggak perlu obat atau pemeriksaan lebih lanjut?” “Hem, sebenarnya perlu. Tapi untuk sementara bisa ditunda. Nanti kalau kondisinya dia benar-benar sudah siap, baru kita lakukan pemeriksaan menyeluruh.” “Ya! Ya! Kamu harus pastikan itu ya, Sa!” pinta Pramita sungguh-sungguh. “Berapapun biayanya, aku yang bayar.” “Iya. Kalau begitu, aku tinggal dulu,” pamit Mahesa, lalu pergi meninggalkan Pramita dan Alma di depan kamar rawat Panji. “Terima kasih, Bu Mita,” ujar Alma membuka percakapan di antara mereka. “Terima kasih sudah membantu Mas Panji untuk berobat.” “Kamu … Alma, kan?” Alma mengangguk. “Kamu siapanya Panji?” “Saya tetangganya.” “Tetangga, ya?” gumam Pramita. “Kamu pulang aja, kabari orang rumahnya Panji, kalau dia sementara waktu akan dirawat di sini. Untuk masalah biaya, enggak usah khawatir.” “Saya sudah menghubungi Nyonya Rose untuk menjaga ibunya Mas Panji, jadi saya yang akan menjaga Mas Panji di sini.” “Nyonya Rose?” “Tentangganya Mas Panji juga. Beliau selalu membantu Mas Panji menjaga ibunya.” “Kamu pulang aja. Panji enggak perlu dijaga.” “Tapi—” “Saya minta kamu pulang sekarang juga!” Alma tidak lagi membantah. Daripada menimbulkan keributan, Alma lebih memilih menurut dan segera berpamitan. Meskipun dalam kepalanya muncul banyak pertanyaan melihat sikap Pramita yang terlalu memaksa. Belum lagi, wanita itu juga melarang Alma untuk pamit dengan Panji. Selepas kepergian Alma, Rizal yang baru saja sempat menyusul langsung menghampiri Pramita. “Gimana?” “Cuma kecapekan kata dokter.” “Terus?” “Terus apa? Ya, biarin dia istirahat,” sahut Pramita, hendak membuka pintu kamar rawat Panji, tapi Rizal mencegahnya. “Ada apa sebenarnya? Ada hubungan apa antara kamu dan Panji?” “Enggak ada. Dia karyawan Lust.” “Ya, yang sudah kamu pecat. Tapi sekarang kamu bayarin dia. Kamu memperlakukan Panji berbeda, Ta! Bahkan denganku. Kamu enggak pernah sekalipun panik seperti tadi, saat kamu tahu napas Panji berhenti.” “Aku hanya enggak mau ada orang yang mati di kantor Lust.” Pramita mendekatkan bibirnya ke telinga Rizal. “Konon itu katanya bisa bawa sial.” Rizal menggeleng, masih tidak percaya bahwa Pramita masih keras kepala untuk menyembunyikan apapun yang terjadi antara dirinya dan Panji. Namun, dirinya juga tidak memiliki hak untuk memaksa Pramita bicara. Rizal tahu, jika dia memaksakan semua ini, maka hubungannya dengan Pramita yang baru saja membaik, akan rusak kembali. “Kamu mendingan sekarang pulang, Zal. Aku bisa urus masalah ini sendiri.” Rizal mengangguk, lalu dengan langkah gontai menuju lift. Sedangkan Pramita kembali menatap pintu kamar rawat Panji yang masih tertutup. Menimbang keputusan mana yang lebih baik, apakah melanjutkan masuk dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Atau lebih baik dia juga turut pulang dan membiarkan Panji beristirahat? Namun, perlahan tangan Pramita terulur untuk memutar kenop pintu, kemudian mendorongnya. “Kamu ngapain?!” teriak Pramita. Langkah lebarnya langsung menghampiri Panji. “Kamu masih belum boleh pulang!” Panji tidak mengacuhkan kalimat Pramita, dan masih sibuk mengancingkan kemeja flanelnya. “Panji! Kamu dengerin aku, enggak?!” Panji mengambil tas dan sekali lagi memastikan tidak ada barangnya yang ketinggalan. “Saya enggak punya uang untuk membayar fasilitas suite room ini.” “Lust yang bayar!” “Saya bukan lagi karyawan Lust. Anda lupa? Anda sudah memecat saya pagi ini,” sahut Panji. Pramita menggeleng kecil, menatap Panji penuh rasa tidak percaya. Orang bodoh pun tahu, ada yang berbeda dengan cara Panji berbicara pada Pramita kali ini. Panji yang sekarang berdiri di hadapan Pramita bahkan berani menegakkan kepalanya dan memberi Pramita tatapan tidak suka. “Apa ini cara Anda mempertahankan pria-pria untuk kemudian berakhir di ranjang Anda?” “Kamu ngomong apa?” “Selama ini saya diam dan mengikuti semua permainan Anda, karena saya pikir Anda tidak mungkin tertarik pada saya. Namun, melihat bagaimana sikap Anda yang bahkan tidak merasa risih dengan gosip tentang—” “Buat apa saya ngurusin gosip enggak penting seperti itu? Masih banyak urusan lain yang lebih penting. Lagipula saya sudah kebal dengan omongan karyawan saya,” Panji kembali melempar tasnya ke atas ranjang, sejenak menghela napas tanpa melepaskan tatapannya pada Pramita. Pria itu sedang berusaha memahami pola pikir seorang Pramita yang lebih memilih tak mengacuhkan gosip tentang dirinya, tapi tanpa memikirkan dampak gosip itu sendiri untuk Panji. Jujur saja, Panji sungguh ingin menghindari berhubungan dengan manusia menyebalkan seperti Pramita ini. Namun, sekuat tenaga Panji mencoba menjauhi Pramita. Sesulit itu pula dirinya melupakan Pramita. Bahkan Panji tidak menemukan jawabannya, mengapa Pramita begitu menarik perhatiannya, semenjak pertama kali mereka bertemu di TK saat itu. Panji maju selangkah, membuat Pramita mundur untuk menghindar. Namun, Panji lebih cepat mencekal lengan Pramita dan menarik tubuh wanita itu untuk merapat padanya. “Kenapa? Kenapa Anda memperlakukan saya seperti ini?” “Se—seperti apa maksud kamu?” “Memperlakukan saya, seolah seperti orang yang sudah Anda kenal sejak lama. Seperti …” Panji menggantungkan kalimatnya, ditatapnya kedua manik mata Pramita yang bergerak-gerak. Kemudian kedua alis tipis serta bulu mata lentik. Hidung yang mancung dan berakhir pada sepasang bibir yang kemarin malam gagal untuk dipagutnya. “Seorang wanita yang telah menemukan kekasihnya, yang telah lama menghilang.” “Kamu ingat?” “Tentang apa?” bisik Panji, tepat di depan bibir Pramita yang bergetar. Namun, tiba-tiba saja Pramita mendorong tubuh Panji sekuat tenaga. Membuat pria itu terhuyung mundur hingga menabrak pinggiran ranjang. “Kamu sepertinya baik-baik saja! Mendingan kamu buruan pulang!” kesal Pramita yang langsung berbalik menuju pintu. “Besok masuk kerja! Ingat! Probation kamu masih sisa dua bulan!” lanjut Pramita sebelum akhirnya kepergiannya diiringin oleh bantingan pintu. *** Setelah menjelaskan kondisinya pada Nyonya Rose dan Alma sepanjang sore tadi, Panji akhirnya bisa beristirahat. Setelah memastikan ibu terlelap, seperti biasanya Panji pun akan lebih memilih mendekam di dalam kamarnya. Diraihnya ponsel di atas meja belajar, lalu menekan sebuah nomor telepon. “Ya?” “Apa kamu melewatkan sesuatu?” “Apa?” “Pramita. Aku perlu tahu semua tentang Pramita Widyatmoko.” “Kenapa kamu ingin tahu tentang dia?” “Aku juga enggak tahu, Yan! Sejak ketemu dia, di kepala aku isinya cuma dia!” kesal Panji yang langsung memutuskan sambungan teleponnya. Kemudian mencoba menyingkirkan rasa kesal, karena tidak menemukan jawaban apapun soal sikap Pramita. Wanita itu juga tidak banyak membantu, masih saja bermain teka-teki dengannya. Panji beranjak dari berbaringnya, lalu menuju kamar gelap di samping kamarnya. Tangannya sibuk membuka satu per satu laci di sana. Kedua matanya pun terus memperhatikan satu per satu lembaran foto yang tersimpan rapi di dalam album maupun yang terpajang di dinding. Penjarahan, pentas seni, demo, kawah gunung, dan tidak ada satu pun di antara banyaknya foto itu yang bisa memberi jawaban pada Panji. Hingga akhirnya sebuah kotak yang tersimpan jauh di dalam laci, menarik perhatian Panji. Diambilnya kotak itu, lalu dia buka tutupnya. Setumpuk foto ada di sana dan semua objeknya sama. Seorang gadis berkacamata bundar, berpipi gembul seperti bakpao—beberapa diambil secara diam-diam—mengingatkan Panji pada sosok adiknya yang telah tiada. Cara gadis dalam foto ini saat tersenyum sangat terlihat seperti Putri. Melihat semua yang ada di tangannya, tak terasa kelopak mata Panji menghangat. Semua kenangan dengan Putri serta rasa bersalah yang berusaha dia lupakan, mendobrak masuk melalui pintu ingatan yang sudah dia tutup rapat-rapat. Menyakitkan. Belum juga Panji menguasai rasa sakit yang menderanya, teka-teki lain kembali menyerbunya, tatkala tatapannya jatuh pada sebuah benda yang mengalung indah di leher gadis berkacamata itu. Sebuah liontin yang sama persis dengan milik Putri. Bagaimana mungkin gadis dalam foto ini bisa mendapatkan liontin itu? Sejauh pemuda itu mengingat, Putri memberikan liontin miliknya kepadanya untuk disimpan. Namun, setelah kematian Putri, semua menjadi semakin menyakitkan dari hari ke hari. Hingga pemuda itu tidak sanggup menanggungnya dan memilih untuk melepaskan, merelakan semuanya. Dan terakhir yang dia ingat, pemuda itu menukarkan liontin itu dengan sebuah boneka lumba-lumba milik seorang anak perempuan yang sedang menangis di samping makam ibunya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN