Panji mungkin pantas mendapatkan predikat sebagai cowok paling kurang ajar di sekolah ini, bahkan Arsena masih kalah jauh darinya. Bagaimana tidak? Jelas-jelas hubungannya dengan Pramita bukanlah hubungan antar kekasih, melainkan hanya berteman, tapi tiga hari lalu Panji dengan tidak tahu diri malah mencium Pramita. Hal selanjutnya yang dilakukan setelah mencium Pramita tanpa izin, bahkan lebih memuakkan! Panji mengajaknya untuk pergi ke pesta perpisahan! Jangan tanya bagaimana reaksi Pramita kala itu. Gadis itu beringsut mundur dan tatapannya penuh kengerian.
Panji tidak akan heran jika jawaban dari ajakannya tempo hari adalah tidak. Terbukti hingga saat ini Pramita belum juga muncul di tempat mereka janjian—depan sekolah. Sudah satu jam yang lalu Panji berdiri semenjak Fatur menurunkannya di sini, sudah puluhan pasangan yang diabadikannya saat memasuki gerbang sekolah, tapi dirinya tetap tidak menemukan Pramita di antara mereka.
Ketika waktu semakin menipis dan acara perpisahan akan segera dimulai, Panji semakin panik. Di saat yang bersamaan, di dalam hatinya terbersit sebuah tanya, apakah ajakannya menyinggung perasaan Pramita? Dasar Panji memang bodoh! Apakah otaknya tidak berpikir bahwa mungkin saja kelancangannya menyentuh Pramita itulah yang menyinggung! Bahkan Rita yang dikenal sebagai Ratu Jam Karet sudah datang dan berulang kali memaksa Panji untuk berfoto bersama.
“Gimana? Udah semua?” tanya Pak Gugun pada Ruri dan Ajik yang bertugas mendata semua murid yang hadir.
“Tinggal lima alumni kelas 3IPA3, dua kelas 3IPS4, sama tiga anak kelas Bahasa,” sahut Ajik.
“Nah! Itu mereka!” seru Ruri saat melihat beberapa anak memasuki gerbang sekolah dan langsung didatanya. Setelah itu mereka berdiri di booth foto yang sudah disediakan, lalu Panji akan kembali mengangkat kameranya dan mengabadikan wajah-wajah mereka.
Sebuah mobil sedan yang terlihat tidak asing berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Kehadirannya membuat sesuatu dari dalam diri Panji menggelegak, terlebih saat dirinya melihat seorang wanita dengan gaun satin berwarna merah menyala turun, lalu meraih seorang cowok dengan jas rapi, yang tak lain adalah Arsena ke dalam pelukannya.
Iri? Mungkin saja. Mungkin memang perasaan iri itu yang saat ini dirasakan oleh Panji. Melihat bagaimana kecintaan seorang ibu yang ditujukan untuk anaknya. Seandainya kondisi ibu tidak seperti sekarang ini, pastilah beliau juga turut mengantar Panji.
Seolah pemandangan ibu-anak itu belum memperburuk suasana hati Panji, kini seorang pria yang turun dari mobil yang sama, menepuk pelan pundak Arsena. Pria dan wanita itu melalui pelukan dan tepukannya seperti sedang memberitahu Arsena bahwa dirinya adalah putra kebanggaan mereka. Ah, lagi-lagi satu hal yang membuat rasa iri Panji semakin menjadi. Panji tidak ingat, kapan terakhir kali Adipramana memperlakukannya seperti itu. Hal terakhir yang diingat Panji adalah telunjuknya yang terangkat dan satu kalimat mengusir keluar dari bibir seorang pria yang dulu Panji pikir adalah ayahnya.
“Arsena yang terakhir,” ucap Ajik memberitahu.
Arsena yang sudah berdiri di booth foto langsung sibuk merapikan jasnya. Setelah itu dia menarik Danisha, anak kelas satu dan juga anggota tim voli cewek, untuk berdiri di sampingnya. Tangan kiri Arsena melingkar erat di pinggang Danisha, lalu bibirnya mendekati telinga Danisha—sepertinya membisikkan sesuatu, karena setelah itu cewek setinggi bahu Arsena itu, terkikik geli.
“Gigi cewek gue udah kering nungguin lo ngelamun, Nji!”
Tersadar dari lamunannya, Panji hanya tersenyum kecut mendengar cibiran Arsena. Enggan, dia mengangkat kameranya untuk membidik sejoli yang terlihat sangat serasi.
“Sendirian aja?” tanya Arsena yang lebih memilih menghampiri Panji dan membiarkan pasangannya menikmati pesta lebih dulu. “Ajik anak OSIS cupu itu aja punya pasangan. Tuh, Ruri. Lo?”
Panji tidak memedulikan ucapan Arsena dan lebih memilih sibuk mengelap lensa kamerannya untuk keperluan memotret acara.
“Ah, kenapa enggak lo ajak Mita si Bagong—”
“Pramita. Namanya Pramita Widyatmoko,” sergah Panji.
“Terserah,” balas Arsena tak acuh. “Lo baiknya, malam ini enggak usah pegang kamera. Apalagi ini acara perpisahan. Nikmatilah!”
“Gue enggak butuh nasihat lo.”
Arsena mengendikkan bahunya, lalu tanpa membalas kalimat Panji, ia berlalu meninggalkan Panji yang masih sibuk dengan lensa kameranya. Tak berapa lama, Ruri dan Ajik yang sudah memastikan bahwa seluruh anak-anak kelas tiga sudah datang, turut bergabung ke pesta perpisahan yang dilaksanakan di tengah lapangan sekolah. Hanya tersisa Pak Gugun yang duduk di kursi plastik, menjaga gerbang sekolah.
Panji menghela napas. Sepertinya memang ini adalah jawaban dan akhir dari perasaannya. Tak berbalas. Kemudian diraihnya sebuah kotak bening dari dalam saku celananya, sebuah korsase bunga matahari yang ingin ia sematkan di gaun Pramita malam ini, sepertinya harus dia simpan kembali
***
“Kamu sakit, Ta?”
Pertanyaan Intan mengagetkan Pramita yang sedang melamun. Semenjak makanan yang dipesannya hadir di atas meja, sedikit pun Pramita belum menyentuhnya. Pemandangan itu yang kemudian membuat Intan, yang duduk di sebelahnya merasa khawatir.
“Ah, enggak.”
“Kenapa enggak makan?”
Pramita menjawab pertanyaan Intan dengan mulai memotong daging sapi impor dari Australia yang tersaji di atas piringnya. Rasa-rasanya daging empuk dengan tingkat kematangan medium ini terasa hambar di mulut Pramita. Pasalnya, saat ini kepalanya sedikit sulit untuk fokus pada rasa sajian yang sudah pasti sangat enak, karena kepalanya dipenuhi oleh ucapan Panji beberapa hari silam.
Panji yang selama ini dianggapnya sebagai teman, sahabat, malah mengungkapkan perasaannya. Semua itu mendadak membuat Pramita merinding dan tidak tahu harus bagaimana bersikap. Sejak benar-benar mengenal Panji—setelah kejadian di kantin itu, Pramita tidak pernah membayangkan cowok itu akan menyukainya. Apa lagi alasannya, selain kepercayaan diri Pramita. Kepercayaan diri yang sempat dilambungkan seorang Arsena, kemudian status pacaran yang hanya seumur jagung itu berhasil menarik dan menghempaskan rasa percaya diri Pramita kembali ke tanah.
Pramita melirik bayangan dirinya yang terpantul kaca di sebelahnya. Dirinya yang terlihat biasa saja dengan gaun tanpa lengan, sungguh tidak pantas jika bersanding dengan Panji. Kalimat itu yang terus-menerus berputar di kepala Pramita. Bagaimana mungkin, seorang Panji yang sempurna dan menjadi idola cewek-cewek—meskipun kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk mengagumi dalam diam—menyukai dirinya yang menurut Rita dan kawan-kawannya seperti buntelan kentut? Apa ada yang salah dalam mata dan otak Panji?
“Ta?”
“Ya?”
“Makan.”
Pramita mengambil garpu dan pisau untuk mulai menyantap daging impor di hadapannya. Sepanjang sisa acara makan malam yang diadakan secara tiba-tiba itu, Pramita memilih untuk menyelesaikan daging steak-nya dalam diam. Papa, Ardina, dan Intan pun tidak ada yang bersuara lagi.
Takut-takut, Pramita sesekali melirik ke arah papa. Seminggu lebih tidak melihatnya di rumah, nampaknya keriput di wajahnya mulai muncul. Rahang pipinya juga semakin menonjol, belum lagi cekungan di bawah matanya yang sepertinya semakin menghitam. Sesibuk apa pria itu, hingga tidak memperhatikan kondisinya? Apakah dia benar-benar ingin membuat Pramita menjadi yatim piatu di usia muda?
“Kamu berantem sama Panji?”
Pramita yang sedang membasuh tangannya mendongak, menatap cermin di hadapannya. Intan sudah berdiri di sebelahnya.
“Enggak.”
“Kenapa hari ini enggak dateng ke sekolah?”
“Memangnya ada apa di sekolah?”
“Pesta perpisahan.”
“Dari mana Mbak Intan tahu?”
“Kemarin lusa aku ketemu Panji di depan rumah. Katanya nyari kamu, tapi kamunya enggak ada. Padahal pas aku masuk ke rumah, kamu jelas-jelas lagi baca buku di teras belakang. Waktu itu, dia dateng, katanya mau ngajak kamu ke pesta perpisahan sebagai pasangan dia.” Intan membenahi poni rambutnya. “Kalian pacaran?”
Intan terbahak melihat wajah Pramita yang terpantul di cermin. Gadis itu tidak menyangka bahwa tebakannya ternyata benar. Padahal Intan hanya mengarang beberapa kalimat terakhirnya tadi. Dia memang bertemu Panji di depan rumah. Cowok itu terlihat muram, ketika mengira Pramita benar-benar tidak berada di rumah. Panji hanya menceritakan perihal keinginannya untuk mengajak pergi Pramita. Namun, Intan yang melihat bros korsase bunga matahari di tangan Panji, langsung tahu bahwa cowok ini ingin mengajak adiknya ke sebuah pesta. Apa lagi pesta yang bisa dihadiri cowok seusia Panji selain pesta ulang tahun dan perpisahan? Intan sama sekali tidak terpikir mereka akan menghadiri pesta ulang tahun, karena Panji dan Pramita bukanlah tipe yang memiliki banyak teman. Jadi, sisanya hanya pesta perpisahan, kan?
“Panji bilang gitu?”
Intan masih tersenyum, kali ini seraya merapikan gaun milik Pramita yang sedikit tersingkap. “Panji enggak bilang apa-apa. Aku hanya nebak. Jadi, kalian pacaran?”
“Enggak. Aku yakin Panji juga sama seperti Arsena.”
Intan menelengkan kepalanya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Mbak Intan enggak lihat penampilanku?” tanya Pramita muram. “Aku ini jelek. Aku enggak mau kejadian Arsena terulang lagi.”
“Aku rasa Panji bukan orang yang seperti itu. Dia anaknya baik. Dia tulus dengan kamu.”
“Tapi—”
“Ta, cantik itu relatif. Setiap orang memiliki kecantikannya sendiri.” Intan menarik Pramita ke dalam pelukannya. “Jangan sampai omongan orang bikin kamu minder.”
Intan tidak sedang membual. Kalimat tadi memang sungguh-sungguh dia ucapkan untuk Pramita. Pramita itu cantik. Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi Intan selalu merasa iri melihat senyum dan tawa di wajah Pramita—yang sangat jarang dilihatnya, tapi begitu Intan menyaksikannya, dia melihat Pramita yang lebih manis dari biasanya. Senyum dan tawa gadis itu membuat pemiliknya terlihat begitu memesona. Mungkin, hal itu juga yang membuat Panji menaruh hati pada Pramita. Siapa yang tahu, kan?
Intan mengurai pelukannya, kemudian melirik sekilas ke arloji di tangan kirinya. “Masih sempet. Mau dianter ke sekolah?”
“Papa gimana?”
“Papa udah kasih izin.”
Alis Pramita bertaut. Terlalu kaget dengan kalimat Intan yang barusan meluncur. Papa memberi izin? Semudah itu? Tidak ada interogasi seperti tahanan?
“Setelah ini, kamu dan papa perlu ngobrol yang lamaaaaa banget, Ta. Kalian sudah terlalu lama saling diam.”
“Apa makan malam ini—”
“Iya. Makan malam ini adalah rencanaku dan mama agar kalian lebih dekat dan saling ngobrol, tapi sepertinya gagal. Aku tahu, kamu masih belum menerima mama sepenuhnya, dan mungkin enggak akan pernah bisa. Tapi aku mohon sama kamu, tolong jangan buat dia sedih. Selama ini mungkin mama sangat cerewet, ingin tahu semua urusan kamu. Itu karena mama berusaha untuk menjadi ibu yang baik buat kamu, buat kita.”
Intan menghela napas, seraya menyandarkan punggungnya di pinggiran wastafel, lalu melakukan sesuatu yang membuat Pramita terkejut. Kakak tirinya itu mengangkat gaun bagian bawahnya hingga sebatas paha, lalu mengambil sebatang rokok dan pemantik yang ia selipkan di tali lingerie-nya.
“Jangan bilang mama,” pinta Intan seraya memantik api untuk rokoknya. “Seharusnya kita ngobrolin ini di kamar sambil nonton Power Rangers atau Sailormoon favorit kamu. Bukannya di toilet restoran seperti ini.”
Intan mengembuskan asap rokoknya ke udara, lalu menoleh pada Pramita lagi. “Setelah pernikahan dengan papa, mama minta maaf ke aku. Mama sebenarnya iri sama mama kamu.”
“Kenapa?”
“Karena mama kamu bisa selalu bersama kamu. Bukannya sibuk kerja nyari duit, karena ditinggal sama suaminya yang enggak bertanggung jawab. Memutuskan untuk menikah dengan papa, itu bukan perkara mudah buat mama. Dia tahu akibatnya. Tidak hanya cibiran dari teman-teman kantor, tapi juga penolakan kamu.” Intan menoleh pada Pramita yang masih diam mendengarkannya. “Dan benar, kan? Kamu menolak kehadiran dia. Kamu merasa enggak adil. Apapun yang kamu pikirkan, Ta. Semua itu enggak bener.”
“Memangnya apa yang aku pikirkan?”
“Entahlah.” Intang mengangkat kedua bahunya. “Kalau aku di posisi kamu, aku pasti memikirkan hal buruk tentang mama tiriku. Misalnya, bahwa dia memang sudah merencanakan untuk merebut papaku? Mereka sudah berselingkuh, jauh sebelum yang aku tahu? Menikah demi harta? Kalau semua pikiran itu berkeliaran di kepala kamu, aku minta tolong untuk kamu hilangkan.”
Intan melangkah menuju tempat sampah dan mematikan rokoknya di atas bak pasir, kemudian kembali berdiri di hadapan Pramita. “Berapapun waktu yang kamu butuhkan, silakan kamu pakai. Pakailah waktu itu dengan sebaik-baiknya untuk mengenal mamaku yang sekarang juga adalah mamamu. Aku mohon.”
***
Lagu-lagu tembang kenangan milik Titik Puspa mengalun dari radio, menemani keheningan yang tercipta dari para anggota keluarga yang memilih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan papa, Ardina, dan Intan saat ini, tapi di dalam pikiran Pramita masih berputar kalimat-kalimat yang diucapkan kakak tirinya di toilet tadi.
Pramita melirik ke arah Ardina yang duduk di kursi depan. Seketika itu juga Pramita bertanya pada dirinya sendiri, apakah semua yang diucapkan Intan adalah benar? Jika diingat-ingat dengan kepala dingin, memang Ardina tidak pernah melakukan hal buruk pada Pramita. Sejak menyandang status sebagai mama tiri, Ardina lebih banyak mengalah untuk Pramita. Pertanyaannya yang bertele-tele dan selalu ingin tahu tentang apapun yang dilakukan Pramita, sebenarnya adalah kebiasaannya yang—sepertinya—tidak bisa hilang. Pekerjaannya dulu, saat menjadi sekretaris papa, lebih banyak memastikan tentang semua keperluan Pramita kecil sudah terpenuhi, dibandingkan mengurus keperluan papa di kantor, karena ada Tegar yang juga merupakan asistennya. Belum lagi dengan permintaan papa yang menegaskan, bahwa ke mana pun Pramita pergi, harus dilaporkan. Desahan napas kecil meluncur dari mulut Pramita, ketika menyadari bahwa selama ini dirinya terlalu membenci Ardina. Mungkin ada benarnya untuk Pramita mulai mengenal Ardina lebih baik.
Laju mobil yang dikemudikan papa berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Pramita bergegas membuka pintu, tapi gerakannya masih kalah cepat oleh papa yang tiba-tiba saja sudah melakukannya untuk Pramita. Sedikit ragu, Pramita turun dari mobil. Kepalanya menunduk dalam untuk menghindari bersitatap dengan papa. Namun, sebuah sentuhan hangat melingkupi kedua bahu Pramita yang terbuka. Membuatnya menjengit mundur, yang kemudian sangat disesalinya, karena di saat bersamaan Pramita menemukan kekecewaan di kedua mata papa.
Keduanya berdiri canggung, tidak tahu harus bagaimana. Hingga akhirnya papa mengambil jasnya yang tersampir di kursi supir, kemudian menyampirkannya ke pundak Pramita.
“Dingin,” ucap Papa sembari tersenyum kecil dan memastikan bahwa jasnya cukup memberikan kehangatan bagi Pramita. “Nanti mau dijemput?”
Pramita menggeleng.
“Baik. Nanti biar dijemput supir.”
Pramita lagi-lagi menggeleng yang membuat papa kebingungan.
“Pa, masa habis jadian pulangnya dijemput papa atau supir? Ya dianterin pacarlah!”
Pramita langsung melotot pada Intan yang melongok dari dalam mobil.
“Iya-iya. Nanti minta anterin Panji. Dia anak baik, kok,” ucap Papa menyetujui usulan Intan. “Udah sana masuk. Nanti kamu ketinggalan acaranya.”
Pramita mengangguk. Dadanya bergemuruh melihat apa yang papa lakukan untuknya, serta mendengar ucapannya. Suara itu, suara yang sering menyanyikan lagu nina bobo untuknya, akhirnya kembali bisa Pramita dengar, tanpa nada tinggi penuh amarah. Semua itu membuat pelupuk mata Pramita menghangat, tapi dia buru-buru mengusap air matanya.
“Aku masuk dulu,” pamit Pramita, kemudian berbalik menuju gerbang sekolah.
“Eh, tunggu, Ta!” cegah Ardina yang turun dari mobil dan tergesa menghampiri Pramita. “Bibir kamu pucat. Tambahin pelembap bibir ini, ya. Enggak ada warnanya, kok. Ada rasa apelnya juga,” jelas Ardina seraya memoleskan pelembab bibir itu ke permukaan bibir Pramita.
“Aku masuk dulu, Tan.”
Setelah itu, Pramita langsung melangkah menuju gerbang sekolah. Sempat sekali dia menoleh ke belakang untuk melihat mobil papa yang perlahan melaju meninggalkannya, sebelum langkahnya mencapai gerbang, dan mendapatinya terkunci! Pramita panik dan langsung mencoba mencari cara untuk membuka gerbangnya, yang tentu saja berakhir percuma. Hingga akhirnya seseorang memanggil namanya, seraya menghampirinya, dan membuka gerbang sekolah.
“Duh, Mbak Mita, kenapa baru dateng? Mas Panji dari tadi—Mbak! Mbak!”
“Makasih, Pak Gugun!” teriak Pramita yang langsung berlari menuju lapangan untuk mencari Panji.
Malam ini, sepertinya Tuhan benar-benar ingin Pramita merasakan bahagia, setelah apa yang dilaluinya selama ini. Keluarga yang kembali menyayanginya dan—mungkin saja—kekasih hati yang menunggu kedatangannya. Pramita tidak tahu harus bagaimana lagi menahan sesak bahagia yang memenuhi dadanya malam ini. Dia butuh seseorang untuk berbagi kebahagiaan yang tidak bisa dikendalikannya ini. Dan seseorang itu sedang berdiri di depan panggung utama, sibuk mengabadikan apapun yang sedang berlangsung di panggung.
Riuh rendah sorakan penonton membuat penampilan band anak kelas satu dan dua yang membawakan lagu-lagu dari artis ibu kota semakin menggila. Mustahil rasanya berteriak memanggil Panji saat ini, suara Pramita pasti tenggelam oleh dentuman musik yang menggaung. Pramita akhirnya memilih bersabar dan mengalah dengan menunggu Panji di pinggir lapangan yang sedikit jauh dari keadaan bising. Menunggu sampai cowok itu menyelesaikan tugasnya untuk mengabadikan momen pesta ini.
“Mita?”
Pramita beringsut mundur begitu mendapati Arsena yang sedang menyapanya.
“Lo kenapa di sini?” tanyanya. “Ah, Panji ngundang lo? Jadi, lo pasangannya Panji?” lanjutnya dengan tatapan menelisik penampilan Pramita.
Pramita yang merasa risih buru-buru merapatkan jas papa dan memilih pergi. Namun, Arsena ternyata masih mengikutinya.
“Lo kelihatan beda dengan gaun ini. Hm, kelihatan makin lucu.”
“Aku bukan badut! Pergi sana! Berengsek!”
Arsena tersenyum kecut. “Lo sama Panji cocok banget! Yang cowok kelakuan udah mirip preman pasar. Yang cewek mulutnya kayak comberan.”
Pramita berhenti melangkah, lalu menatap nyalang pada Arsena yang masih tersenyum. “Ada baiknya sekarang kamu ke UKS dan ngaca di sana.”
Bukannya marah mendengar cibiran Pramita, Arsena malahan semakin terbahak. “Lo tahu, Ta? Seenggaknya orang-orang tahu kalau gue emang berengsek. Kemarin, lo aja yang gampang ketipu.”
“Kali ini enggak akan!”
“Maksud lo, Panji enggak bakal nipu lo?” Arsena kembali tergelak. “Ta, dia malah lebih b******n dari gue! Lo tahu apa yang dia lakuin ke keluarga gue? Ke bokap gue? Dihajar habis-habisan sama Panji!”
“Jangan ngarang kamu! Panji memang suka berantem, tapi dia enggak mungkin mukul orang tua!”
“Kalau lo enggak percaya, tanya aja dia sendiri.” Arsena maju selangkah. “Tapi sebelum lo nyamperin dia, gue penasaran sama satu hal.”
Pramita semakin mundur hingga dirinya terpojok di antara Arsena dan tembok kelas.
“Jas ini lebih pantas dipakai om-om daripada lo.” Arsena mencekal tangan Pramita yang mencoba mendorong tubuhnya, lalu semakin menghimpit tubuh Pramita. “Lo habis kencan sama om-om? Wah, Mita ternyata nakal juga. Gue tiba-tiba demen yang begini. Kalem-kalem nakal!” bisik Arsena di telinga kiri Pramita.
“Minggir!”
Pramita bisa mendengar kekehan Arsena yang masih belum beranjak dari tempatnya. Cowok itu sama sekali tidak berniat melepaskan Pramita, meski Panji sudah memintanya untuk menyingkir.
“Minggir!” perintah Panji lagi.
“Hai, Nji! Udah selesai motretnya?” tanya Arsena sembari mengangguk pada kamera yang menggantung di leher Panji, tapi cowok itu masih menghalangi Panji untuk mendekati Pramita. “Gue lagi ngobrol sama Mita.”
“Enggak seperti itu yang gue lihat. Mending lo minggir sekarang juga sebelum—”
“Sebelum apa? Sebelum lo hajar gue? Ayo hajar!” tantang Arsena. “Hajar! Biar Mita tahu gimana bejatnya lo! Lo enggak lebih suci dari gue, Nji! Apalagi dengan semua yang udah lo lakuin ke bokap gue.”
Panji melihat sedikit jauh di balik tubuh Arsena, untuk memastikan kondisi Pramita baik-baik saja. Syukurlah, gadis itu mungkin hanya syok dan sedikit ketakutan.
“Lo pikir, gue enggak tahu? Huh? Tapi gue enggak heran, sih. Namanya anak p*****r, pasti—”
Sebuah pukulan menghantam rahang kiri Arsena dan langsung membungkamnya. Tubuhnya pun terhuyung, tapi Panji dengan cepat meraih kerah kemejanya. Kembali diayunkannya sebuah tinju ke pipi kirinya, dan membuatnya tersungkur. Tanpa memberi kesempatan Arsena untuk melawan, Panji langsung menindih tubuh Arsena, dan mencengkeram kuat-kuat kemeja cowok yang mengerang kesakitan di bawahnya.
Senyum kecil tersungging di wajah Panji. “Keluarga lo bukan orang suci. Lagipula, gue cuma ngasih pelajaran sama pengecut yang lari dari tanggung jawab! Bahkan hal terburuknya …” Panji mendekatkan bibirnya ke telinga Arsena. “Dia ngebunuh anaknya sendiri,” lanjut Panji.
Sungguh suatu kepuasan bagi Panji, mendapati ekspresi kaget di wajah Tuan Muda Darmawangsa. Namun, itu tidak menyurutkan amarahnya yang tersulut, karena ucapan Arsena tentang ibu. Berkali-kali Panji kembali meninju wajah Arsena, bahkan mengabaikan kondisi lawannya yang sudah lemas. Hingga akhirnya Pramita yang tidak ingin keadaan menjadi lebih buruk, berusaha menghentikan tangan Panji yang membabi buta, tapi tanpa sengaja salah satu tinju Panji mengenai pipinya.
Panji yang menyadari kesalahannya langsung menghentikan pukulannya pada Arsena.
“Maaf, Ta. Kamu enggak apa-apa?” tanya Panji memastikan.
Pramita hanya bisa meringis sembari membersihkan darah di sudut bibirnya.
“Kita obatin dulu, ok?”
Panji langsung menggandeng Pramita menuju kamar gelap, dan meninggalkan Arsena yang masih merintih tidak berdaya. Sesampainya di kamar, Panji langsung mengambil kotak P3K dan membersihkan luka Pramita.
“Aku minta maaf banget, Ta. Aku minta maaf. Maaf banget,” ucap Panji berulang kali dengan tangannya yang masih sibuk mengobati.
Pramita tidak marah. Pramita tahu, bahwa Panji tidak sengaja memukulnya. Pramita juga tahu, emosi Panji meledak seperti tadi juga bukan tanpa alasan. Siapa yang tidak akan marah, jika wanita yang sudah melahirkanmu disebut p*****r oleh orang yang sama sekali tidak mengenal ibumu?
“Panji,” lirih Pramita seraya menggenggam tangan Panji yang gemetar. “Aku enggak apa-apa. Aku tahu kamu enggak sengaja. Lagipula ini cuma luka kecil.”
Panji hendak mengucap kembali kata maaf, tapi Pramita buru-buru menutup mulut Panji dengan telapak tangannya.
“Kalau kamu masih minta maaf, aku pulang sekarang!” ancamnya.
Panji terdiam untuk beberapa saat setelah mendengar ancaman Pramita. Namun, detik berikutnya, cowok itu tersenyum di balik telapak tangan halus yang membekapnya. Kedua manik matanya masih menatap milik Pramita yang menatapnya sendu. Panji kemudian menyadari bahwa dirinya memang tadi tidak sedang berkhayal, Pramita, gadis yang ditunggunya memang datang.
Panji menggapai tangan Pramita, menjauhkan dari wajahnya, tanpa melepaskan genggamannya. “Kamu dateng.”
Pramita mengangguk. “Aku enggak punya pilihan lain. Aku takut kalau kamu butuh fotografer tambahan,” ucap Pramita tanpa berani menatap kedua manik Panji.
“Jadi … apa kita perlu ngadain pemotongan pita buat peresmian hubungan ini?”
“Apaan, sih!”
Panji tertawa melihat kekesalan Pramita, tapi di dalam hatinya, kebahagiaan begitu membuncah. Ingin rasanya dia berteriak dan memberitahu mereka yang sedang asyik di luar sana, bahwa Pramita adalah kekasihnya mulai saat ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menyakitinya.
Sedangkan senyum Pramita juga tidak kalah lebarnya. Hari ini, malam ini, sepertinya akan menjadi hari terbaik dalam hidupnya. Keluarga dan Panji, malam ini Tuhan memberikan semua untuknya.
***