“Apa tadi, Mas? Coba ulangi, saya enggak denger!”
Pandu mencebik melihat ekspresi Iyan yang mencemoohnya. Sambil meneguk teh hangatnya, pria tua itu senyum-senyum terus, semenjak Pandu menceritakan perbuatan laknat yang dia lakukan pada Pramita kemarin malam. Saat ini, keduanya sedang menikmati teh hangat dan kudapan di salah satu kafe di dekat rumah ibu. Iyan, yang baru tiba di Indonesia untuk mewakili Adipramana dalam pertemuan dengan klien nanti sore, segera meluncur ke kafe sesaat setelah Pandu meneleponnya.
“Berisik!”
Iyan terpingkal-pingkal menatap Pandu yang kesal.
“Itu enggak sengaja, Yan! Enggak sengaja!”
“Hm… ya… ya…”
“Beneran, Yan!”
“Iya, Mas, saya percaya kalau bibir Mas Pandu kepleset,” kekehnya.
“Bukan aku! Tapi Pramita! Dia yang main nyosor!”
“Tapi Mas suka, ‘kan?” goda Iyan lagi. “Ck! Kalian memang benar-benar kembar sejati.”
“Maksudnya?”
“Suka sama orang yang sama!” cela Iyan lagi, tidak memedulikan wajah tuan mudanya yang memerah.
Pandu benar-benar menyesal, sudah menceritakan kejadian yang dialaminya bersama Pramita di pinggir pantai kemarin malam pada Iyan. Hanya diceritakan bagian bibir kepleset saja, Iyan begitu heboh! Bahkan sampai berasumsi bahwa Pandu menyukai ciuman itu—well, tapi Pandu juga menikmatinya—dan menyukai Pramita? Mungkin butuh berabd-abad lamanya untuk menyukai wanita seperti Pramita.
“Itu enggak mungkin! Pramita itu bukan tipeku!”
“Hm, tapi kenapa sekarang ngotot mau bantuin perusahaan dia?”
“Itu…”
Satu lagi yang Pandu tidak bisa memberikan jawaban pasti. Bukan, bukan, lebih tepatnya, Pandu tidak mengerti dirinya sendiri. Mengapa dia mau repot-repot membantu Pramita menyelamatkan Lust? Pandu benar-benar tidak bisa memahami apa yang terjadi pada dirinya. Seolah otaknya memerintah A, tapi yang dilakukannya malahan Y!
“Banyak perut yang harus diberi makan di Lust,” jawab Pandu asal. “Adipramana enggak akan tahu, kalau salah satu anak perusahaan garmennya bekerja sama dengan Lust.”
“Mas Pandu yang baik.” Iyan menghela napas. “Mas enggak lupa, kan? Garmen kita itu bikin apa? Sportwear, kita kerjasamanya dengan merek-merek olah raga, bukan fashion kebaya apalagi pakaian dalam seperti Lust.”
“Kalau gitu, bikin divisi baru lagi aja!” usul Pandu. “Selain bikin sportwear, bikin divisi buat dress, gaun, atau apapun. Lalu setelah itu, tawarkan klien kita kerjasama dengan Lust. Gimana?”
“Hm, bisa-bisa.”
“Keren, ‘kan, idenya?!”
“Bisa gila saya, Mas! Dengan bikin divisi baru, itu artinya merombak seluruh struktur perusahaan. Mulai dari manajemen sampai operasionalnya! Enggak mungkin Tuan Adipramana enggak sadar akan hal itu!”
Benar sekali yang dikatakan Iyan. Mustahil melakukan perombakan perusahaan, meski hanya satu dari puluhan perusahaan garmen Adipramana, tanpa pria itu menyadarinya. Pandu pikir, jalan keluar yang dipikirkannya seharian itu adalah yang terbaik, ternyata berakhir zonk!
“Gimana ya, Iyan?”
“Hm, ada satu cara.”
Pandu menatap penuh binar pada Iyan.
“Tuan Adipramana pasti senang jika ini benar-benar terjadi. Ini adalah win-win solution untuk Mas Pandu, Tuan Adi, juga Mbak Mita.”
“Apa?”
“Mas Pandu masuk dalam jajaran menajemen. Dengan nilai kepemilikan saham Mas Pandu dan Tuan Adi digabung, ditambah seorang lagi, maka suara kalian akan menang untuk usulan divisi baru.”
Semangat Pandu mendadak luruh mendengar saran Iyan. Jika Pandu setuju, itu sama artinya, dia menjilat ludahnya sendiri, karena kembali menjadi bagian dari keluarga Adipramana. Masih terekam jelas di ingatannya, bagaimana dia dengan yakin mengatakan bahwa akan melepas semua atribut keluarga Adipramana dan memilih tinggal bersama ibu. Kini, dia dihadapkan pada satu-satunya jalan keluar akan masalahnya—sebenarnya masalah Pramita—adalah keluarga Adipramana? Tuhan pasti sedang bercanda!
“Pak Alex, sepertinya mudah dibujuk. Di rapat terakhir pemegang saham, dia sempat menyinggung masalah laba yang menurun selama dua tahun terakhir ini, Salah satu usulan beliau untuk menaikannya lagi, adalah dengan merambah fashion lain selain sportwear. Seperti ide Mas Pandu, gimana?”
“Aku masih punya saham di grup Adipramana?”
“Tentu saja! Tuan Adi enggak kekanakan seperti Mas Pandu yang tanpa pikir panjang milih pergi. Hidup seperti ini. Mas enggak kasihan sama ibu?”
“Justru kalau ibu terus-terusan di rumah keluarga Adipramana, yang ada makin histeris! Enggak mungkin ibu tiap hari harus minum depresan, untuk sekedar Tuan Adi bisa melihatnya dari jarak dekat!”
“Benar juga. Jadi, gimana? Mas Pandu setuju dengan usulan saya? Kalau iya, saya yakin Tuan Adi enggak akan perlu mikir untuk memberikan salah satu pabriknya untuk Mas Pandu kelola.”
Kening Pandu berlipat, memikirkan bahwa jalan keluar ini sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Meskipun harus mengorbankan harga dirinya di depan Adipramana, tapi setidaknya ini bisa menyelamatkan banyak orang, termasuk ibu.
“Anggap saja aku setuju dengan usulmu, Yan. Aku enggak mungkin tiba-tiba berhenti menjadi Panji si Fotografer, lalu esoknya kembali menemui Pramita sebagai Panji si Bos Garmen, ‘kan?”
“Mas, dulu waktu Tuan Adi ngajarin Mas untuk kelola usahanya, Mas ngapain aja, sih? Molor?” kesal Iyan. “Sebagai pemegang saham mayoritas, Mas Pandu cukup duduk manis dan terus bersandiwara sebagai Panji si Fotografer. Biarkan para direktur atau manajer yang Mas Pandu tunjuk yang bekerja.”
“Kalau gitu, saya nunjuk kamu. Semua kerjasama dengan Lust harus under supervisi kamu.”
“I-Itu… artinya saya harus meninggalkan Tuan Adi,” gumam Iyan ragu.
“Kurasa Adipramana tidak akan keberatan.” Pandu mengambil napas, lalu menghelanya kencang-kencang. “Ok, kapan kamu akan urus semua ini?”
“Malam ini, saya akan sampaikan pada Tuan Adipramana. Beliau setuju, akan langsung disampaikan di rapat. Para komisaris setuju, mungkin hanya butuh paling lama seminggu untuk mempersiapkan divisi baru.”
“Ok, aku serahin semuanya ke kamu,” putus Pandu. “Oh, gimana dengan permintaanku yang satu lagi?”
“Ah, iya!” Iyan buru-buru mengambil berkas dari dalam tas kerjanya, lalu menyodorkannya pada Pandu. “Yang dikatakan Dokter Mahesa memang benar. Dokter Shengwu sudah pensiun, beberapa minggu setelah setuju melakukan operasi pada Mas Pandu. Saat ini, beliau tinggal di salah satu apartemen di Singapura bersama keluarganya, dengan jaminan seumur hidup dari Tuan Adipramana. Termasuk satu dokter asisten dan dua perawat yang saat itu membantu, juga pensiun dini.”
Kedua alis Pandu terangkat. Takjub sekaligus merasa jijik, mendapati kenyataan akan bagaimana uang Adipramana bisa melakukan semua yang dia inginkan.
“Hal ini untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, mengingat operasi tersebut…” Iyan bingung untuk memilih kata yang tepat, menggambarkan situasi kala itu. “Apa kata yang tepat? Sedikt rumit?”
“Lalu Mahesa?”
“Dia Dokter yang cukup ahli di bidangnya. Tapi, saya enggak yakin kalau dia juga mau dipensiunkan dini untuk membantu Mas Pandu. Sepertinya agak sulit. Memangnya kenapa, Mas? Bukannya kondisi Mas Pandu sudah baikan?”
Pandu mengangkat kedua bahunya, lalu mengembalikan berkas-berkas berisi informasi tentang keberadaan dokter yang dulu membantu operasinya. Entahlah, hanya satu kata itu yang muncul di kepala Pandu, setelah mendengar pertanyaan Iyan. Ada sesuatu hal yang aneh, terjadi pada dirinya. Sesuatu yang tidak biasa.
Jika harus menarik waktu ke beberapa masa silam, Pandu ingat betul kapan pertama kali gejala ini muncul. Degup jantungnya yang tidak beraturan—seringnya menjadi lebih cepat, keinginan melakukan sesuatu yang di luar kebiasannya, dan yang paling kurang ajar adalah keinginan untuk menyentuh Pramita. Semua ini terjadi, semenjak dia bertemu dengan Pramita.
Apa mungkin yang dikatakan Iyan ada benarnya? Bahwa dirinya menyukai Pramita? Kalau iya, pasti Pandu sudah gila! Selain, karena Pramita bukanlah tipe wanita idamannya dan Pandu adalah bawahannya, mereka baru saja kenal—mungkin sekitar sebulan? Dua bulan? Yang jelas terlalu mustahil, jika yang dirasakan Pandu saat ini adalah rasa suka pada Pramita!
“Kemarin aku sempat ingin menceritakan semuanya pada Mahesa dan menawarinya sebagai jabatan sebagai dokter pribadiku, tapi enggak jadi.”
“Coba saja, untuk alasan check-up rutin atau sekedar konsultasi tidak ada salahnya.”
“Kamu pikir seorang Pandu yang sekarang duduk di depan kamu ini, punya uang buat konsultasi ke dokter spesialis?”
“Bukannya Pramita akan membayar semuanya?” bingung Iyan.
“Enggak. Aku enggak mau ambil risiko membiarkan Pramita dengan memanfaatkan uangnya, untuk gali info soal aku.”
“Kalau begitu…” Iyan merogoh saku jasnya, mengambil dompet, dan mengeluarkan sebuah kartu. “Pakai ini saja dulu, Mas. Tuan Adi membuat kartu ini untuk Mas Pandu, sesaat setelah mendengar Mas Pandu pingsan tempo hari. Katanya, ini adalah gaji Mas Pandu selama membantu Adipramana Grup dulu.”
“Aku enggak bisa—”
“Mas, kalau memang menggunakan uang Adipramana begitu menyakitkan, anggap saja utang. Nanti, setelah Mas Pandu sukses dengan semua rencana ini, Mas Pandu bisa bayar utang itu.”
“Tapi—”
“Kalau Mas Pandu sampai kenapa-kenapa, siapa yang akan bantu Pramita?”
Pandu sudah terpojok, tidak ada pilihan lain. Semua ucapan Iyan benar, dia harus bertahan hidup—kalau pun harus mati, setidaknya, rencananya untuk membantu Pramita harus sudah selesai!
***
Pandu tidak membuang waktu, setelah bertemu dengan Iyan, dirinya segera pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan jantungnya—maksudnya, jantung Panji yang mulai berulah. Sudah sepuluh tahun lebih jantung itu ada di dalam rongga dadanya, kenapa baru sekarang berbuat ulah? Sungguh menyebalkan!
Mahesa baru saja kembali dari rutinitas memeriksa pasiennya, dengan membawa satu bendel berkas di tangannya. Dokter yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dari Pandu itu, tersenyum menyapanya. Sesaat kemudian, dia sudah membaca hasil laporan pemeriksaan Pandu yang didapatnya dari asisten perawat.
“Bagaimana, Dok?”
“Semuanya normal. Termasuk tes darah kamu juga.”
“Tapi, kenapa kemarin saya bisa pingsan, bahkan hampir lewat?”
“Kemungkinan, karena kelelahan, sehingga menyebabkan tubuh kamu, terutama jantung kamu tidak bisa beradaptasi dengan cepat. Bagaimana dengan sekarang? Apa yang kamu rasakan?”
Pandu menyentuh d**a kirinya, lalu menggeleng. “Enggak ada.”
“Baiklah. Untuk saat ini, saya enggak akan kasih kamu obat. Kita lihat perkembangannya nanti.” Mahesa menutup berkas kesehatan Pandu di mejanya. “Ada lagi yang perlu kamu tanyakan?”
Ada lagi yang perlu Pandu tanyakan? Banyak! Namun, Pandu tidak yakin akan menanyakan semua pertanyaan yang muncul di dalam kepalanya. Pandu tidak yakin, bahwa Mahesa tidak akan menertawakannya. Dokter jantung ini, pasti akan langsung menyarankan Pandu untuk pergi ke psikiater, begitu Pandu selesai mengungkapkan rasa pernasarannya.
“Ehm…”
“Ya?”
“Sebenarnya, saya mengalami hal-hal aneh, Dok.”
“Hal aneh?”
Pandu mengangguk. “Jantung ini adalah milik saudara kembar saya.”
Mahesa berdeham sekali, lalu melipat kedua tangannya di atas meja—seperti seorang siswa yang siap mendengarkan penjelasan gurunya.
“Awalnya, saya hanya menganggap semua yang terjadi pada saya, hanyalah kebetulan saja. Seperti saya yang tiba-tiba menyukai fotografi, makanan pedas, jadi tidak suka bergaul, sampai rasa kesal dengan seseorang.”
“Kesal?”
“Sepertinya tidak hanya kesal, tapi juga sangat membenci setiap kali saya melihat wajahnya. Padahal, saya baru pertama kali bertemu dengannya. Selain itu…”
Mahesa memilih diam, tidak menyela penjelasan Pandu yang masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengatakannya jua.
“Enggak tahu kenapa, jantung saya berdetak lebih cepat dari normal saat bertemu dengan seseorang. Sama seperti saat saya membenci orang yang saya ceritakan tadi. Apa ini, ada hubungannya dengan jantung dari kembaran saya, Dok?”
Selesai mengucapkan kalimatnya, Pandu bisa melihat bibir Mahesa melengkung tipis. Dokter itu kemudian mengetik sesuatu, lalu memutar layar monitor komputernya menghadap Pandu.
“Saya juga tidak yakin 100 persen, tapi mendengar ceritamu, hanya satu yang muncul di kepala saya” ujar Mahesa. “Cellular Memory Syndrome. Penelitian untuk hal ini belum terbukti kebenarannya, tapi beberapa ahli terus menggali tentang informasi sindrom ini.”
“A-Apa itu semacam penyakit yang mengerikan?”
“Bukan, Panji. Jadi, salah satu teori yang diyakini dalam penelitian Cellular Memory Syndrome, otak bukanlah satu-satunya organ tubuh kita yang menyimpan memori, tapi organ lain seperti jantung juga menyimpannya. Saat seseorang menerima transplantasi organ, dalam kasus kamu adalah jantung, ada kemungkinan bahwa semua memori, termasuk kepribadian, kemahiran, ingatan tentang perasaan benci, dendam, dan cinta, turut berpindah. Dalam artian, semua yang dulu pernah dirasakan oleh pemilik jantung sebelumnya, sekarang kamu juga bisa merasakannya.
Ada salah satu kasus dari penelitian tentang ini, yang pernah saya baca. Tentang seorang wanita berumur 70 tahun bernama Claire Sylvia yang menerima donor dari seorang pemuda berusia 18 tahun yang meninggal, karena kecelakaan motor. Setelah menjalani transplantasi, Sylvia menginginkan makanan yang tidak pernah ingin dia makan, yakni burger dan bir. Beberapa minggu kemudian, Sylvia mencoba menghubungi keluarga pendonor, dan ternyata pemuda yang mendonorkan jantungnya, sangat menyukai burger dan bir.”
“Apa hal seperti itu benar-benar terjadi?” sangsi Pandu.
Mahesa tersenyum mendengar keraguan Pandu. Siapa pun orangnya, bahkan dirinya sendiri pun masih sulit untuk memercayai apa yang pernah dia baca di salah satu jurnal penelitian kedokteran, saat menempuh pendidikan spesialis.
“Jangankan kamu, Panji. Saya juga masih tidak percaya hal seperti itu bisa terjadi. Mau dengar kasus yang lebih mengerikan?”
Pandu mengangguk. Memangnya apa yang lebih mengerikan dari kasus tadi?
“Seorang gadis delapan tahun menerima donor dari anak berumur sepuluh tahun. Setelah operasinya selesai, dia mengalami mimpi buruk terus menerus. Mimpi buruk tentang seorang pria yang ingin membunuhnya. Mimpinya begitu nyata, sampai membuatnya pergi ke psikiater. Ternyata, gadis yang mendonorkan jantungnya adalah korban pembunuhan, dan si penerima organ melaporkannya pada polisi. Dia menceritakan detail kejadian dan bagaimana wajah si pelaku, sehingga polisi berhasil menangkapnya. Dan masih banyak contoh lainnya, seperti yang tiba-tiba mahir menggambar, bahkan sampai yang jadi temperamen.”
“Jadi, maksud Dokter… apa pun yang saya lakukan, seperti fotografi, bahkan kemarahan saya, sebenarnya adalah ingatan saudara kembar saya?”
“Sepertinya begitu.”
***