“Gue enggak nyangka, kalau kita bakalan sampai di titik ini!” Jenna menggigit roti lapis, bekal sarapannya pagi ini. “Sampai harus pindah dari gedung kita, ke kontrakan kecil ini.”
“Seenggaknya, kita enggak perlu nyapu dan ngepel kantor tiga lantai, ‘kan?” seloroh Keysha.
“Bener juga. Eh, Key! Belum ada kabar Rizal, kapan dia balik?”
Keysha menggeleng. “Belum, Jen.”
“Kenapa, ya, dia tiba-tiba liburan lama banget! Ini udah hampir sebulan sejak dia tiba-tiba ngilang.”
“Mungkin lagi ada masalah keluarga yang berat banget,” tegur Susan.
“Bisa jadi, sih.” Jenna menghela napas, lalu menatap malas pada Susan yang sedari tadi sibuk dengan layar komputernya. “Eh, Mbak Sus, Key, kalian berdua sadar enggak? Setelah pulang dari pemotretan, Panji sama Bu Mita makin deket, ‘kan? Wah, jangan-jangan enggak ada Rizal, Panji pun jadi, nih!”
“Enggak mungkin!” sergah Keysha. “Lo kayak enggak tahu aja gimana seleranya Bu Mita! Gue yakin, mau di dunia ini cowok-cowok udah pada musnah dan cuma tinggal Panji sama satu kakek-kakek, Bu Mita pasti tetep milih tuh kakek-kakek, soalnya dia kaya!”
“Bener juga lo!”
“Udah-udah, kalian demen banget gosipin Bu Mita. Nanti kalau orangnya dateng kayak pas di pantai gimana? Bisa kesal lagi, lho!” ucap Susan.
Jenna masih mengunyah roti di tangannya. “Mbak, emangnya Bu Mita sama Panji ke mana, sih?”
“Ke mana lagi? Ya nyariin kita makan.”
“Iya, gue juga tahu. Maksud gue, kliennya siapa? Secara Lust udah kayak gini, gue agak ragu kalau kita bisa dapet klien gede dan bisa dipercaya. Ini semua salah si Kunyuk Tukang Plagiat itu!” geram Jenna. “Kalau bukan gara-gara dia, kita pasti udah jalan-jalan ke Eropa! Ikutan fashion week!”
“Tenang aja, meski dalam keadaan seperti ini, Bu Mita tetep enggak akan mungkin asal pilih klien. Beliau enggak akan menggadaikan idealismenya pada uang.”
Keysha dan Jenna, keduanya mengangguk setuju dengan ucapan Susan.
Memang benar adanya, Pramita bukan pemain baru dalam bisnis fashion design. Namanya selalu bertengger di lima besar desainer, bersama dengan para senior kondang. Kejelian Pramita memprediksi fashion apa yang akan menjadi tren dari tahun ke tahun, membuat namanya dikenal. Membuatnya dilirik oleh banyak rekanan bisnis baik dari dalam maupun luar negeri.
Namun, kerajaan bisnis dan keahlian Pramita dipertanyakan dalam sekejap, saat kasus plagiat atas nama Lust mencuat. Satu kesalahan Pramita adalah, memercayai seorang desainer muda—yang dipekerjakannya atas nama rasa kasihan. Seorang desainer yang juga teman satu kampusnya dulu, siapa sangka malahan menjadi duri dalam daging yang berhasil menjatuhkan kredibilitas Pramita di mata teman sejawat dan pelanggannya.
Tidak ingin mengulangi kesalahan, Pramita memutuskan untuk memegang kembali semua desain Lust sendiri. Namun, nyatanya, tidak semudah itu mengembalikan kepercayaan publik. Sudah bertahun-tahun Pramita mencoba membangun citra baru, tapi para klien lamanya masih ragu untuk kembali menggunakan jasanya. Bahkan, ketika dirinya memutuskan untuk menjual sendiri desain-desainnya, juga tidak membuahkan hasil. Tiga toko cabang Lust, terpaksa tutup.
Walau pelan, beberapa tahun kemudian, beberapa klien mulai kembali memercayakan desainnya pada Pramita. Meskipun begitu, jumlah klien dan proyek yang diambil Lust, masih belum cukup untuk bertahan. Membuat Pramita perlahan menyerah dan berpikir untuk kembali merangkak meminta pertolongan pada Widyatmoko. Hingga sebuah email penawaran kerjasama masuk dan memberi Pramita sedikit harapan.
“Setau saya, Adipramana punya banyak perusahaan selain garmen. Ada retail, estate, juga kontraktor pembangunan. Untuk garmennya sendiri, tidak bergerak di desain yang saya tekuni. Kenapa sekarang berubah haluan? Rasa-rasanya, pasar sportwear juga sangat menjanjikan. Lagi pula, Adipramana bukannya hanya fokus di garmen, barang jadi, bukan desain?”
Iyan melirik Pandu yang sedari tadi mengabaikannya. Tuan Mudanya itu membuang pandangan ke arah lain, setiap kali Iyan berusaha meminta bantuan, agar membuat Pramita segera menandatangani surat kerjasama, bukannya terus-terusan mengintimidasi dan menginterogasi Iyan seperti ini.
“Memangnya perlu alasan apalagi, Bu Mita? Tentu saja sebagai perusahaan besar yang cabangnya sudah banyak di negeri ini. Bahkan mungkin—”
Iyan kembali menelan kalimatnya, saat mendengar Pandu berdeham sembari melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
“Maksud saya, Bu Mita. Tuan Adipramana ingin mencoba pasar baru. Tidak hanya sebagai perusahaan garmen yang menerima pesanan dari klien untuk membuat produknya saja. Tapi juga mendesain produk, membuatnya, kemudian menjualnya.”
“Jadi, Adipramana sedang coba-coba dengan Lust? Kenapa? Apa karena Lust perusahaan kecil?” Pramita menegakkan punggungnya, kemudian membuka kembali dokumen yang tadi diserahkan Iyan padanya. “Saya sudah baca klausul yang ada di dalam kontrak ini. Ini bukan kontrak kerjasama, melainkan akuisisi.”
Pandu menoleh cepat dan melotot tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Pramita. Tatapannya kembali menghunjam Iyan, kali ini dengan penuh kebingungan dan amarah. Akuisisi? Iyan tidak pernah menyinggung tentang hal ini! Pandu masih ingat, bahwa salinan dokumen yang kemarin lusa dikirim Iyan, hanyalah perjanjian kerjasama, antara Adipramana yang menyewa jasa desainer Lust! Kenapa sekarang malahan berubah?
“Kami sadar dengan kondisi Lust saat ini. Begitu juga, kami sangat menyayangkan kalau bakat Bu Mita—”
Deritan kursi Pandu membuat Iyan dan Pramita menoleh padanya. Pria itu tiba-tiba saja sudah beranjak dari duduknya, lalu izin untuk ke toilet sebentar. Tanpa sepengetahuan Pramita, Pandu memberi kode pada Iyan untuk mengikutinya ke toilet.
Tak perlu waktu lama, karena Iyan sudah menyusulnya. Namun, baru saja Iyan akan membuka mulut, Pandu sudah menggeram marah sambil mengacak-acak rambutnya.
“Akuisisi?” tanya Pandu penuh rasa tidak percaya.
“Maaf, Mas Pandu. Di menit-menit terakhir, Tuan Adi mengganti klausulnya. Beliau ingin mengakuisisi Lust.”
“Iyan, Arsena Darmawangsa aja, yang sampai berbusa nawarin suntikan dana ke Pramita, bahkan bukan akuisisi, ditolak sama dia! Ini malahan Adipramana mau akuisisi! Gila! Pramita enggak akan butuh mikir dua kali untuk menolaknya!” geram Pandu. “Mana!? Siniin ponsel kamu, aku mau bicara dengan Adipramana!”
Iyan mengambil ponsel di saku jasnya, lalu menekan nomor Adipramana dan menyerahkannya pada Pandu. Entah apa yang Pandu bicarakan dengan Adipramana, karena pria itu memilih keluar dari toilet sejenak, sehingga Iyan tidak terlalu jelas mendengar isi percakapan. Iyan hanya mendapati beberapa kali raut wajah Pandu yang merah padam, sesekali alisnya mengerut, menggeram, dan terakhir—entahlah—sedih?
“Ini,” ujar Pandu seraya menyerahkan kembali ponsel Iyan. “Bilang ke Pramita, kalau ada kesalahan di kontraknya. Adipramana sudah setuju untuk enggak mengakuisisi Lust.”
“Sebagai gantinya?” tanya Iyan, yang sudah paham betul, bahwa tidak ada yang namanya makan siang gratis di kamus seorang Adipramana. “Apa yang Mas Pandu tawarkan pada Tuan Adi?”
Pandu tersenyum kecil. “Nanti juga kamu tahu. Untuk saat ini, bilang saja seperti itu ke Pramita. Terus atur waktu pertemuan lagi sama dia,” ucap Pandu, lalu menepuk pundak Iyan, sebelum berlalu meninggalkannya, untuk kembali ke samping Pramita.
***
“Kamu yakin dengan keputusan kamu, Ta?!”
Pandu masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Pramita menolak keras penawaran penggantian kontrak yang diajukan Iyan. Bahkan tanpa ragu dan sungkan, Pramita menuduh pihak Adipramana, hanya bermain-main dengan Lust.
“Kamu baru aja buang kesempatan emas buat pertahanin Lust!”
Pramita masih diam, menatap cangkir tehnya yang sudah kosong.
“Kamu lupa, di mana kantor Lust sekarang? Berapa beban yang ditanggung Lust? Dan kamu masih gengsi dengan bantuan dari Adipramana?” Pandu menghela napas, lalu menandaskan tehnya yang sudah dingin. “Aku enggak paham sama cara berpikir kamu. Jenna, Keysha, Susan, Rizal, juga aku, bukannya kamu kemarin baru bilang ke kami, berkomitmen, bakal nyari cara apa pun, agar Lust enggak ambruk? Kamu udah nolak Darmawangsa—entah apa pun alasan kamu, dan sekarang kamu juga nolak Adipramana. Aku jadi bingung, apa kamu benar-benar berniat menyelamatkan Lust atau membuatnya mati perlahan.”
Dan seolah omelan panjang Pandu hanya sebatas angin, Pramita beranjak dari tempatnya. Menyambar tas dan langsung melangkah keluar restoran. Segera dia melambaikan tangan untuk memanggil salah satu taksi yang sedang mengantri penumpang.
“Kemarin lusa, kamu dengan menggebu-gebu bilang ke semuanya, kalau bakal melakukan apa pun demi Lust, Ta. Kamu janji sama Key dan yang lainnya, akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan Lust. Sekarang udah ada jalan keluarnya, tapi kamu buang gitu aja!”
Pramita memalingkan wajahnya, menatap kosong ke luar jendela. Pemandangan gedung dan lalu lalang mobil jauh lebih menenangkan dibanding mendengar ocehan Pandu. Begitu laju taksi berhenti di depan mulut sebuah gang, Pramita segera membuka pintu dan melangkah turun, setelah membayar sejumlah uang. Di belakangnya, Pandu masih mengomel dan menyakinkan Pramita untuk kembali memikirkan keputusannya.
“Yang dilakukan Adipramana, enggak beda dengan Darmawangsa! Mereka itu bukan hanya ingin bekerjasama dengan Lust, tapi menguasai Lust!”
“Apa dasar kamu ngomong kayak gitu? Yang aku lihat, mereka ingin menyelamatkan kamu! Menyelamatkan Lust! Juga mereka!” tunjuk Pandu pada Keysha, Jenna, dan Susan yang terbengong dalam diam, menatap pertengakarannya dengan Pramita.
“Menyelamatkan mereka? Menyelamatkan kamu?” cibir Pramita. “Kamu terlalu naif, Panji! Kamu tahu, apa yang akan dilakukan Darmawangsa dan Adipramana, kalau aku terima kerjasama dengan mereka? Kalau aku terima kontrak tadi?”
“Apa?”
Pramita mendengkus geli. “Maka, kamu, Jenna, Key, juga Susan harus terpaksa angkat kaki dari Lust.”
Kening Pandu mengerut mendengar jawaban Pramita. Sedikit ruang di hati dan otaknya, begitu menyesali, kenapa dulu dia tidak benar-benar memperhatikan apa yang diajarkan Adipramana padanya, mengenai bisnis!
“Kamu masih belum paham? Baik Adi maupun Arsena, keduanya hanya butuh aku. Rizal? Kecil kemungkinannya, tapi aku atau pun Rizal masih bisa kasih alasan, kenapa mereka harus menghire Rizal. Tapi kalian? Kamu, Jenna, Key, dan Susan? Mereka punya banyak orang untuk menggantikan kalian berempat! Aku kenal Arsena, dan dengan sikapnya, sudah pasti kamu akan didepak. Adipramana? Meski dia hanya minta kepemilikan saham sebesar 35%, tapi aku enggak bodoh. Dia bisa menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi pemegang saham lain nantinya!”
Pramita menarik napas dalam-dalam. Berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. “Aku enggak bisa lepasin Lust gitu aja. Aku enggak bisa biarin orang-orang seperti mereka memecat kalian seenaknya. Kemudian aku akan kehilangan Lust untuk selamanya.”
“Ta, apa yang kamu omongin ini, hanya akan terjadi, kalau kamu kerjasama dengan Darmawangsa. Tapi, kalau dengan Adipramana, semua itu enggak mungkin terjadi. Aku bisa jamin!”
“Kamu bisa jamin?”
Pandu mengangguk.
“Apa yang membuat kamu begitu yakin?”
“Bukannya sudah jelas? Orang suruhannya Adipramana tadi bilang kalau dia akan membuat kontrak kerjasama yang baru? Sesuai dengan permintaan kamu?”
Sedetik setelah Pandu menutup mulutnya, air mata Pramita jatuh tak tertahan. Bahu wanita itu berguncang, terisak, dan berulang kali mengucap kata tanya kenapa yang ditujukan untuk Pandu.
“Kenapa apanya, Ta?” tanya Pandu tidak mengerti.
Saat ini, Pramita benar-benar membenci dirinya sendiri. Dia sangat benci sosok Pramita remaja yang masih ada di dalam dirinya. Dia benci Pramita yang masih menyukai kakak kelasnya. Dia benci masih memiliki rindu pada cowok menyebalkan yang sering menghabiskan waktu dengannya di perpustakaan dan kamar gelap. Dia benci, karena satu perhatian dari cowok itu saat ini, bisa meluluhkan semua amarah yang telah disimpannya selama bertahun-tahun.
“Kamu pikir, aku enggak tahu siapa kamu sebenarnya?” tanya Pramita dengan suara bergetar. “Meski kamu menutup rapat-rapat tentang keluarga kamu, tapi aku enggak bodoh, Panji!”
***