[19]

3538 Kata
“Nice! Terima kasih untuk kerjasamanya,” ucap Rizal mengakhiri sesi pemotretan di hari terakhir untuk proyek dengan kementerian. “Jenna, jangan lupa beresin sisa alatnya bareng Key dan Susan. Nanti aku minta Panji nyusul selesai copy file.” Setelah berjibaku dengan teriknya matahari, serta mood para model yang dipilih klien, Rizal kembali menutup lensa kameranya dan segera menghampiri Pandu yang berada di teras belakang penginapan. “Gimana?” “Ok. Hari ini semuanya dapet. Aku udah pilihin mana sekiranya yang bakal kamu review untuk hasil foto selama tiga hari, sebelum masuk ke mejanya Bu Pramita buat dikirim ke Kemenpar.” “Ok. Ini tambahan beberapa buat opsi,” ujar Rizal seraya mengulurkan kameranya. “Nanti malam, aku cek. Biar besok bisa langsung dipilih sama Mita,” lanjut Rizal, lalu menyambar sekaleng minuman isotonik dan meneguknya. Sesekali dia masih melirik Pandu yang ada di sebelahnya. Semenjak tiba di penginapan dan bertemu dengan Pandu kemarin lusa, Rizal sudah tidak tahan ingin menanyakan apa saja yang dilakukan dan dikatakan Pramita pada pemuda itu. Bukannya Rizal tidak bertanya pada Pramita, sudah, dan tidak mendapatkan apa-apa dari wanita itu. Hanya jawaban berusaha bersikap profesional yang meluncur dari bibirnya. Namun, Rizal tahu, ada alasan lain di balik kembalinya asisten fotografernya ini. Tidak ubahnya dengan pria di sebelahnya ini, selalu menghindar saat Rizal sudah masuk dalam obrolan mengenai Pramita. Pandu selalu menemukan alasan untuk mengakhiri pembicaraan dengan Rizal, entah itu karena telepon, kantuk, atau alasan kelelahan. “Aku enggak nyangka, kamu bakal muncul di lobi kayak kemarin.” Rizal mencoba membuka percakapan lagi. “Maksudku, setelah Pramita mecat kamu.” Pandu hanya tersenyum simpul untuk menanggapi. “Aku udah pernah bilang ke kamu, kalau aku menyukai Mita, ‘kan?” Pandu mengangguk. “Kamu tenang aja, aku dan Bu Pramita tidak ada hubungan apa-apa. Aku kembali ke Lust, juga memang karena Lust sedang butuh orang.” “Hanya itu?” Pandu kembali mengangguk. “Tapi bukan itu yang aku lihat.” Pandu meneguk ludahnya sekali, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop. Desir angin sore di pinggir pantai, yang semula terasa hangat dan menyenangkan, mendadak terasa dingin. Pandu tahu, bahwa dirinya tidak bisa terus menerus menghindar dari cercaan Rizal. Pria ini seolah tidak akan pernah berhenti mengganggu Pandu, sebelum mendapatkan penjelasan tentang pertanyaan yang juga Pandu tanyakan. Pandu juga ingin sekali menjawab pertanyaan Rizal dengan gamblang. Masalahnya, dirinya tidak yakin itu akan mengakhiri rasa penasaran Rizal. Yang terjadi bakal sebaliknya! Setelah Pramita pulang dari rumahnya tempo hari, ponsel Pandu berdering dari Iyan. Pria yang sudah mengabdi pada keluarganya sejak lama itu tidak perlu diragukan lagi kemampuan penyelidikannya—bahkan Pandu yakin, jika Ratu Elizabeth disembunyikan oleh MI6, Iyan tetap akan dengan mudah menemukannya. Dari Iyan, akhirnya Pandu tahu mengenai hubungan yang lebih dari sekedar teman antara Panji dan Pramita. Namun, satu yang belum Iyan bisa temukan jawabannya adalah, bagaimana hubungan keduanya berakhir, dan sepertinya dengan tidak baik-baik saja. “Susah payah aku menarik Mita dari dunia kesedihannya, Nji. Aku hanya enggak mau dia kembali seperti dulu.” Kalimat Rizal, seketika menarik perhatian Pandu. “Maksudnya?” “Aku enggak bisa cerita banyak soal masa lalu Mita, karena dia juga enggak terbuka sama aku.” Rizal menandaskan minuman kalengnya. “Mungkin bagi kamu dan sebagian orang, Mita yang sekarang sangat dingin, menyebalkan, papanya sendiri juga menganggap seperti itu. Butuh kesabaran lebih dan waktu yang enggak sebentar, untuk membuat dia tersenyum dengan lelucon jayusku. Sejak hari itu, aku merasa tembok es yang dia bangun di antara kami, perlahan mulai mencair. Hingga, dia bertemu sama kamu.” “Aku?” “Iya. Mita mulai membangun temboknya lagi. Jujur, itu bikin aku kesal dan frustasi. Dia enggak pernah setertarik ini sebelumnya, sama seseorang—” Pandu tidak kuat menahan gelak tawanya, sungguh terdengar lucu ucapan Rizal baginya. Pramita tertarik padanya? Seandainya Rizal tahu, alasan di balik itu semua, dirinya tidak perlu khawatir, karena saingan terberatnya sudah berada di alam lain. “Maaf.” Pandu buru-buru membungkam tawanya. “Kalau maksud kamu, Bu Mita memintaku kembali ke Lust, karena tertarik sama aku, sepertinya kamu salah sangka. Bu Mita jelas-jelas mengatakan alasannya, kenapa memintaku kembali, karena bayaranku murah.” Sedetik kemudian, Pandu merasa ragu dengan kalimatnya, ketika suara hatinya yang lain pun turut menertawakannya. Tertawa, ketika Pandu berusaha mati-matian untuk menepis semua kemungkinan kebenaran alasan sebenarnya Pramita memintanya kembali. Sederhana, karena wanita itu masih menginginkan Panji berada di dekatnya. Rizal menggeleng. “Ayolah, kita sama-sama dewasa. Sama-sama bisa melihat.” Pandu menatap Rizal lurus. “Mas Rizal enggak perlu khawatir, Sampai kapan pun, saya dan Bu Mita, enggak bakalan—” “Jangan terlalu yakin, Nji.” Rizal menghela napas beratnya, lalu melempar pandangan ke gulungan ombak yang pecah di bibir pantai. “Aku tahu, aku pernah bilang ke kamu, bahkan juga kakakku, kalau aku bakal pertahanin Mita. Tapi saat kemarin aku lihat dia nangis dan mengiba sama dokter, aku sadar, kalau aku sudah kalah.” “Mas—” “Meski aku penasaran, tapi kalau kalian enggak mau cerita, aku enggak akan bertanya lagi soal masa lalu kalian. Tapi kalau suatu hari nanti Mita bilang suka sama kamu, tolong beri dia kesempatan.” Rizal beranjak dari duduknya, meninggalkan Pandu yang terdiam dan masih menatap punggung Rizal yang menghilang di balik pintu kamar. Seketika Pandu tidak tahu harus melakukan apa, setelah mendengar kalimat Rizal barusan. Apa tadi Rizal bilang? Pramita menyukainya? Sekali lagi, yang dicintai Pramita adalah Panji, bukan Pandu. Kalaupun ucapan Rizal benar-benar terjadi suatu hari nanti, Pandu tidak mungkin mengatakan iya, dia sudah menetapkan hati untuk menjawab tidak, serta menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya pada Pramita. Namun, tidak untuk saat ini, karena dirinya masih perlu digaji oleh Lust. *** Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Pramita yang sedang berdiri di teras lobi sebuah rumah produksi film. Tanpa perlu repot-repot melongok, Pramita tahu bahwa pemilik mobil itu tidak lain adalah Arsena. Mengingat, beberapa saat lalu, mereka berdua menghadiri rapat untuk mempresentasikan proposal menjadi penata busana proyek sebuah film. Kaca jendela sisi kemudi perlahan turun dan Arsena tersenyum menyapa Pramita. Hari ini, pria itu terlihat berkali-kali lipat lebih menyebalkan daripada biasanya. Setelah menghajar Pandu, D&D juga memenangkan hati para pemangku kepentingan rumah produksi. “Enggak bawa mobil, Ta? Mau bareng aku?” “Mobil gue lagi di bengkel.” “Di bengkel atau kamu gadaiin ke Mas Damar, ipar kamu, buat gaji sisa karyawan yang dimiliki Lust bulan ini dan modal pemotretan?” kekeh Arsena. “Enggak usah kaget dan bingung gitu, kenapa aku tahu soal itu.” Arsena beranjak keluar mobil dan berdiri di hadapan Pramita yang makin kesal. “Kalau kamu mau balikan, enggak akan sampai seperti ini. Aku akan bantu kamu buat ngurus Lust.” Pramita mencebik. “Lo bukan bantuin Lust, tapi memang mau menguasai Lust! Memangnya D&D kurang tenaga desainer, sampai harus banget ganggu Lust?” “No, D&D enggak sedikit pun kekuarangan sumber daya, tapi aku merasa kurang lengkap kalau enggak ada kamu di sisiku.” Kalimat Arsena barusan benar-benar membuat Pramita bergidik. Meskipun sudah bertahun-tahun mengenalnya, bahkan menjadi kekasihnya dua kali, tetap saja pria di hadapannya ini selalu ingin membuatnya muntah dengan setiap ucap dan perilakunya. Tidak Arsena saat sekolah, ataupun saat ini, benar-benar menyebalkan. “Minggir!” bentak Pramita seraya mendorong tubuh Arsena, lalu melangkah pergi. Namun, sebuah kalimat tanya dari Arsena yang terdengar menggiurkan kembali terdengar. “Aku mau lihat progress proyek bareng kementerian. Lust juga ikut, ‘kan? Kamu mau bareng?” Satu kalimat itu berhasli membuat langkah Pramita menuju tempat tunggu taksi berhenti, lalu menoleh pada Arsena. Sebuah tawaran yang bisa membuatnya bertemu dengan Panji-nya. Sejak pria itu kembali ke Lust kemarin Lusa, Pramita belum sempat bertemu. Kini, Arsena menawarkan tumpangan menuju lokasi pemotretan di mana pria yang dirindu sekaligus dibencinya ada di sana. Bisa saja Pramita menunggu sampai besok sore dan menyambutnya di lobi kantor, tapi tidak ada salahnya juga pergi ke sana, ‘kan? “Nanti malam langsung balik,” tambah Arsena mencoba menyakinkan Pramita untuk ikut. Sebenarnya, tidak perlu Arsena bersusah payah menyakinkannya, karena kaki Pramita sudah melangkah mendekati mobilnya, dan wanita itu langsung duduk di kursi samping pengemudi. Arsena memekik girang saat rencananya menghabiskan waktu berdua dengan Pramita—dan mungkin bermalam bersama di salah satu resor dekat lokasi pemotretan—berhasil. Arsena langsung melajukan mobilnya dengan senyum sumringah di wajahnya. Meski begitu, perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam itu, dihabiskan Arsena mengoceh tanpa sekalipun mendapat respon dari Pramita. Wanita itu lebih memilih sibuk bermain dengan ponselnya atau sesekali melempar pandangan ke luar jendela. Mobil Arsena mulai melambat dan berhenti di halaman sebuah penginapan sederhana. Setelah mengucapkan terima kasih dan tanpa menunggu jawaban dari empunya mobil, Pramita langsung turun. Melihat sikap Pramita, Arsena buru-buru menyusulnya dan seketika darahnya mendidih saat melihat sosok yang beberapa hari lalu sempat dihajarnya, sedang sibuk merapikan peralatan. “Kenapa dia ada di sini, Ta?” “Bukan urusan lo. Seharusnya gue yang nanya, lo ngapain masih ngikutin gue? D&D enggak nginep di sini, kan?” Pramita mendelik panik saat Arsena tidak mengacuhkan ucapannya, tapi malah langsung berjalan melewatinya untuk menghampiri Pandu. “Kenapa lo ada di sini? Bukannya Pramita udah mecat lo?” “Sen, jangan cari gara-gara di sini! Panji ini karyawan gue! Lo enggak usah ikut campur!” sergah Pramita yang langsung menengahi. “Mendingan lo samperin tim D&D, jangan bikin keributan di sini!” pinta Pramita sekali lagi, seraya mendorong tubuh Arsena. Namun, pria itu bergeming dan masih fokus menatap tajam pada Pandu. “Saya enggak tahu apa masalah Anda—” “Jangan sok bego! Gue masih inget dengan jelas, kalau lo yang bikin bokap gue cacat seumur hidup!” Pandu tahu betul bahwa yang berdiri di hadapannya ini adalah penerus Darmawangsa, keluarga dari pria yang dulu sangat dibenci Panji. Keluarga yang ternyata—juga—adalah keluarga kandungnya sendiri. Namun—lagi-lagi—Pandu tidak paham dengan kalimat Arsena yang baru saja terucap. Pandu tahu, bagaimana bencinya Panji pada keluarga ini, tapi apa yang sudah diperbuatnya, bahkan sampai membuat seorang Darmawangsa cacat seumur hidup? Apa yang dilakukan seorang anak ingusan pada pria paruh baya dan kapan tepatnya semua itu terjadi? Arsena hendak merangsek untuk menghajar Pandu, saat pemilik penginapan datang dan memintanya untuk tidak membuat keributan. Pria itu memohon dengan sangat dan menarik paksa Arsena keluar dari penginapannya. Membuat Pramita dan timnya bisa bernapas lega. “Bu Mita kenapa ke sini?” tanya Susan. “Apa file presentasinya ada yang kurang?” Pramita menggeleng. “Enggak, San. Saya cuma mau lihat kondisi kalian. Kebetulan tadi Arsena katanya juga mau lihat timnya. Kalian udah selesai?” “Iya, Bu. Sekarang lagi mau masukin barang-barang ke mobil lagi, biar besok pagi pas check-out enggak ribet.” “Oh, ok. Bagus.” “Ibu nginep?” tanya Susan lagi. “Biar saya pesenin di resor sebelah.” “Ah, enggak usah.” “Ibu langsung pulang?” “Ehm, enggak juga. Saya ke sini bareng Arsena, naik mobilnya dia. Kayaknya, bukan ide yang bagus kalau nanti saya pulang bareng dia. Saya bareng kalian aja atau bareng Rizal,” jawab Pramita, lalu menyadari ekspresi khawatir di wajah Susan. “Kenapa?” “Ehm, Pak Rizal udah pulang duluan, Bu.” “Pulang? Kenapa?” “Katanya ada urusan penting.” “Urusan?” bingung Pramita, lalu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Rizal. “Kamu kenapa pulang cepet, Zal? Ada urusan penting apa? Hah? Kok mendadak banget mau liburannya? Berapa lama? Enggak tentu? Zal, kamu ini fotografer Lust!” Pramita melirik Pandu sekilas. “Dia mana bisa? Dia ‘kan cuma asisten. Halo, Zal? Zal? Rizal?!” Sambungan telepon Pramita terputus. Jawaban dan sikap Rizal benar-benar membuatnya bingung. Liburan? Bahkan tidak tahu untuk berapa lama? “Apa yang sudah terjadi di sini?” Susan, Keysha, Jenna, dan Pandu saling bertukar pandang. Semuanya juga tidak tahu, mengapa Rizal tiba-tiba saja izin pulang cepat dari jadwal yang sudah ditentukan. Padahal tadi pagi, Rizal masih memastikan pada pemilik penginapan untuk menyajikan steak paling enak saat makan malam. Namun, ketika pria itu mengatakan bahwa ada urusan penting, semuanya sudah tidak mempertanyakan lagi. Kini, hanya gelengan kepala yang bisa mereka berikan sebagai jawaban pada Pramita. Meski, Pandu sendiri juga sedikit merasa bahwa kepergian mendadak Rizal, pastilah ada hubungannya dengan pembicaraan mereka tadi. “Saya pesankan Bu Mita kamar dulu,” pamit Susan yang langsung menuju resepsionis, sedangkan yang lainnya langsung mohon izin untuk memasukkan peralatan fotografi ke mobil. *** Pramita masih menatap pantulan dirinya di cermin. Berulang kali dia mengutuk penampilannya saat ini. Seorang desainer—meskipun perusahaannya di ambang kebangkrutan—terkenal harus memakai track suit kedodoran. Namun, setiap kali melintas bahwa pemilik setelan ini adalah orang yang sama, yang juga meminjamkan dirinya kaos di ruang gelap sekolah dulu, membuat pipinya bersemu dan ujung bibirnya tertarik ke atas. “Sadar, Ta! Jangan terbuai cuma gara-gara dipinjemin baju doang! Lo ini udah digantungin bertahun-tahun tanpa kejelasan!” ujar Pramita sekali lagi menyakinkan dirinya, lalu menarik napas dalam-dalam, sebelum membuka pintu kamar mandi. Di dalam kamar, Pandu sedang sibuk membereskan pakaian dan peralatan mandinya. “Kegedean, ya?” tanya Pandu saat melihat Pramita berulang kali membenarkan posisi bajunya. “Cuma itu sisa baju bersih yang aku punya. Itu juga cadangan kalau-kalau baju aku basah pas pemotretan kemarin.” “Kamu mau ngapain beres-beres?” “Kata Susan, udah enggak ada kamar lagi. Jadi, kamu bisa tidur di kamar ini. Kemarin aku pakai bareng Rizal.” “Kamu sendiri?” “Aku bisa tidur di hammock di teras belakang. Lagian, cuma buat semalam ini aja, ‘kan? Besok pagi juga kita udah pulang.” “Aku bisa tidur di kamar Susan dan yang lainnya.” “Mereka udah bertiga,” sahut Pandu. “Udahlah, di sini juga enggak masalah.” “Kamu bisa tidur di bawah, aku di ranjang.” “Gosip di kantor udah santer kalau aku ini piaraan kamu. Aku enggak mau nambahin julukan lagi, Lebih baik mulai sekarang, kita bener-bener profesional,” ucap Pandu, lalu langsung keluar dengan membawa tas ransel berisi pakaiannya. Mungkin terdengar kasar, tapi Pandu tidak peduli. Dirinya memang benar-benar harus memperjelas garis pemisah profesionalitas antara dirinya dan Pramita. Lebih cepat, lebih baik. Pandu melempar tasnya ke atas hammock, lalu berlari menghampiri Susan, Jenna, dan Keysha yang sedang mengadakan barbeque di tepi pantai. Kata Rendra—pemilik penginapan—ini adalah acara yang selalu dia adakan seminggu sekali saat ada tamu yang menginap di penginapan kecilnya, sebagai salah satu bentuk apresiasi. Daging panggang dan wine murah, menjadi sajian Rendra untuk tamu-tamunya. “Bu Mita gimana?” tanya Susan pada Pandu. “Udah segeran. Mungkin sekarang lagi mau tidur.” “Maaf, ya, Nji.” “Santai aja, San. Lagian pemandangan kamar gue keren banget! Laut!” kekeh Pandu. “Bu Mita juga kayaknya enjoy aja dikasih kamar kecil gitu.” “Kayaknya terpaksa,” seloroh Jenna. “Gue kerja sama Bu Mita itu udah dari zaman Lust masih piyik. Bu Mita, tuh, seleranya tinggi. Mulai dari baju, makanan, tempat tinggal, bahkan cowok gandengan. Coba aja kalian inget-inget, muka cowoknya minimal seganteng Leonardo Di Caprio pas main Titanic! Tumben aja, nih, Pak Rizal belum digebet sama Bu Mita. Padahal keliatan banget Pak Rizal ngebet sama Bu Mita dari dulu.” “Iya juga, ya? Gosipnya, Bu Mita, ‘kan predator fotografer Lust! Semuanya udah dicobain—” “Mungkin, karena Pak Rizal adiknya Pak Damar kali. ‘Kan enggak enak nanti kalau putus, bisa-bisa perang dingin di rumahnya Bu Mita!” potong Jenna pada kalimat Keysha. “Bukannya dari dulu udah perang?” Pandu terus memasang pendengarannya dengan seksama, sembari menikmati wine di dalam gelas bergambar seorang bocah yang sedang meniup lilin—sepertinya, ini adalah gelas souvenir ulang tahun. “Ya, emang, tapi kalau Bu Mita berani macam-macam sama Pak Rizal, Pak Damar pasti enggak akan tinggal diam, ‘kan?” Keysha mengangguk setuju. “Proyek ini, kenapa kalian yang turun tangan?” tanya Pandu. “Maksud gue, anak-anak yang lain, kayak Diaz, Yudis, terus anak properti lainnya pada ke mana?” “Lo enggak masuk sehari aja udah ketinggalan banyak berita, Nji!” Keysha menghela napas, lalu menuang wine ke dalam gelas—kali ini sepertinya cendera mata dari sebuah bank. “Keuangan Lust memburuk, Bu Mita terpaksa menghentikan banyak karyawan.” Kening Pandu mengerut mendengar penjelasan Keysha. “Nih, tanya aja Jenna yang anak finance, sekarang malahan ikutan pemotretan jadi wardrobe.” Panji menoleh pada Jenna yang mengangguk, mengamini ucapan Keysha. “Makanya cuma sisa kita-kita ini dan beberapa orang pemasaran.” “Memangnya kenapa Lust bisa sampai seperti ini, Mbak? Bukannya dulu Lust jadi salah satu brand ternama?” tanya Pandu, mencoba menggali informasi lebih dalam. “Lust harus bayar denda, karena plagiat,” lirih Jenna. “Bu Pramita plagiat?!” kaget Pandu. “Bukan Bu Mita, Nji. Dulu, dia punya asisten, dia percayakan semua desain sama asistennya itu. Bu Mita lagi fokus banget di bagian pemasarannya. Ternyata ada kejadian plagiat itu, yang akhirnya bikin Bu Mita harus ganti rugi, karena kalah di pengadilan. Nama Lust juga jadi buruk dan Bu Mita harus mulai semuanya dari awal lagi,” jelas Jenna. “Kenapa dia enggak minta bantuan orang tuanya? Bukannya Widyatmoko juga punya uang?” “Lo dari tadi skip obrolan gue sama Key, ya?” kesal Jenna. “Hubungan mereka enggak baik, Nji! Makanya, sekarang pun, Bu Mita tetep berusaha buat nyari pendanaan operasional tanpa minta bantuan bapaknya.” “Ke bank?” “Lo pikir berapa utang Lust di bank, huh?! Bisa kali, buat beli cilok se-kabupaten!” “Jadi, Bu Mita lebih mentingin gengsi dari pada nyelametin karyawannya?” tanya Pandu memastikan. “Iya, saya orangnya seperti itu?! Puas kamu?!” gusar Pramita yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka dengan senampan daging mentah di tangannya. Dibantingnya begitu saja nampan itu ke atas meja di hadapan Pandu, menyambar sebotol wine yang baru dituang seperempatnya, lalu memilih menyendiri. “Lo, sih! Makanya jadi laki mulutnya jangan lemes!” kesal Jenna sambil melotot pada Pandu yang masih syok dengan bentakan Pramita. “Nji, apa yang diomongin Jenna itu memang benar.” Kali ini Susan ikut bersuara. “Tapi kesimpulan kamu salah besar. Bu Mita mungkin adalah bos paling menakutkan yang pernah aku kenal, tapi itu semua demi Lust.” “Termasuk memecat karyawannya?” cibir Pandu. “Ya. Memecat karyawannya, agar mereka dapat pekerjaan yang lebih baik.” Susan mulai mencapit potongan daging dan mulai memanggangnya ke atas panggangan yang sudah panas. “Bu Mita enggak melepaskan begitu saja para karyawan yang sudah membantu membesarkan Lust. Asal kamu tahu, Bu Mita mencarikan pekerjaan baru di rekanan desainernya, atau setidaknya baru benar-benar melepaskan mereka, setelah mendapatkan pekerjaan baru.” “Hm,” gumam Panji dengan sesekali melirik pada sosok Pramita yang duduk di tepi pantai sambil menenggak sebotol wine. “Ha, hem, ha, hem aja lo!” “Lho, temen kalian mana?” tanya Rendra yang bergabung dengan membawa bumbu tambahan untuk menikmati steak. “Ngapain dia di sana? Itu sebotol mau dihabisin sendiri?” Semuanya yang ada di sana hanya tersenyum kikuk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Rendra. “Kayaknya dia ada masalah berat banget. Soalnya tadi gue mergokin dia nangis di lobi, makanya gue suruh dia bawa daging ini ke sini buat pengalihan.” Semuanya terdiam mendengar ucapan Rendra. Terlebih Pandu, dia sungguh merasa bersalah telah mengucapkan hal buruk tentang Pramita. Mungkin memang wanita itu tidak seburuh perkiraannya selama ini. Entahlah. *** Ketika malam semakin larut, daging sudah matang beberapa, dan obrolan sudah sampai pada tahap bagaimana penginapan Rendra bisa hampir bangkrut. Namun, Pramita masih duduk seorang diri di sana. Tidak sedikit pun berniat untuk bergabung dengan yang lainnya. Wine yang dibawanya pun sudah habis setengahnya. Pandu mungkin terlihat tersenyum, bahkan terbahak menanggapi lelucon garing Rendra, tapi pikiran dan tatapannya selalu kembali pada Pramita. Diambilnya steak matang di atas panggangan, lalu menyiramkan saus rahasia buatan Rendra, dan membawanya pada Pramita. Tanpa perlu basa-basi, Pandu langsung duduk di sebelah Pramita, menyodorkan piring berisi steak padanya, tapi Pramita tidak mengacuhkannya dan memalingkan muka. Tidak kehabisan akal, Pandu meraih tangan Pramita—meski menolak—dan Pandu tetap menarik tangannya, lalu meletakkan piringnya di sana. “Aku minta maaf. Seharusnya aku enggak sembarangan ngomong tentang kamu. Apalagi aku kerja di Lust.” Pramita tidak menjawab. Namun, samar di antara deburan ombak, Pandu bisa mendengar isak Pramita. Wanita itu sedang menangis. Tangannya gemetar memegang piring, sedangkan yang lainnya mengusap air mata yang tidak lagi bisa ditahannya. Pandu memang tidak berhak, bahkan mungkin tidak dibutuhkan saat ini, tapi entah mengapa sepasang tangannya terulur meraih kedua pundak Pramita. Membuat keduanya saling berhadapan. Dengan kedua tangan hangatnya, Pandu menangkup kedua sisi pipi Pramita yang sudah basah. Pandu tidak sempat memikirkan akibat apa yang akan terjadi dengan sikapnya ini, bahkan dirinya lupa dengan garis profesionalitas yang sudah diperjelasnya. Seolah juga tidak peduli dengan karyawan Lust yang juga tukang gosip, sedang berada tak jauh darinya. Hal yang Pandu tahu, saat ini dia tidak ingin melihat Pramita menangis, itu saja. Pramita yang baru dikenalnya belum lama ini, yang kata mereka sangat dingin dan tegas, ternyata begitu mencintai karyawan dan Lust. Pramita yang menyebalkan dan keras kepala, sudah dua kali menangis di hadapannya. Dan untuk kali ini, Pandu akan mengabaikan alarm di kepalanya, untuk mengikuti kata hatinya, yang berbisik lirih meminta maaf pada Panji. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN