[18]

2220 Kata
“Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa bersama Panji?” tanya Adipramana tidak habis pikir. “Pandu, kamu dan Panji sedang terlibat apa? Selama ini Papa membiarkan kamu bolak-balik menemui Panji, tapi Papa enggak ngira akan sampai seperti ini.” Pandu masih enggan menjawab pertanyaan Adi. Pemuda itu masih terduduk diam di kursi. Menatap kosong ke pemandangan kota di balik jendela kaca di hadapannya, sejak lima hari yang lalu. “Lusa kita kembali ke Singapura, supaya kamu dapat pengobatan yang lebih baik dan Dokter Lee bisa lebih maksimal memantau kamu.” “Bagaimana dengan ibu?” Satu tanya yang terucap dari bibir Pandu setelah berhari-hari memilih diam. “Bagaimana dengan ibu?” ulang Pandu, ketika Adi beranjak dari tempatnya. “Dia juga akan ikut,” jawab Adi pelan, kemudian keluar begitu saja dari kamar rawat Pandu. Hanya menyisakan keheningan dalam waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya Pandu melangkah menuju cermin. Di sana, terpantul wajahnya yang tidak sepucat biasanya. Ada rona merah di kedua pipinya dan satu per satu Pandu melepas kancing piayamanya. Di sana, tepat di dadanya, sebuah perban membalut luka. Perlahan Pandu membuka plester perban itu, hingga akhirnya luka jahit baru yang melintang, terlihat jelas di sana. “Bego!” makinya—entah pada siapa. Pikirannya kembali ke kejadian sore itu. Sore di mana Panji keluar dari mobilnya dengan tergesa. Kaki-kakinya berlari mengejar bus yang sudah mulai berjalan. Di belakang, Pandu memerintah Iyan untuk mengikuti ke mana pun Panji pergi. Entah apa—Pandu tidak yakin—dirinya hanya merasa akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa saudara, yang lahir hanya selang tiga menit darinya itu. Bus yang ditumpangi Panji berhenti di halte area sebuah perkantoran. Panji terlihat turun dari bus dan kembali berjalan cepat memasuki sebuah gedung kantor. Iyan langsung membelokkan mobilnya masuk ke parkiran. “Mas Pandu,” tegur Iyan saat melihat Pandu hendak turun. “Lebih baik biarkan Mas Panji menyelesaikan urusannya sendiri.” “Tapi itu urusanku juga, kan, Yan?” “Apa Mas Pandu juga berpikir kalau Darmawangsa yang menyebabkan Mbak Putri meninggal?” “Entahlah,” ragu Pandu. “Aku enggak yakin, seseorang yang diam-diam datang menunggui kelahiran putrinya, bahkan menangis haru, tega melakukan hal yang dituduhkan Panji.” Iyan melirik Pandu dari spion tengah. “Kenapa?” tanya Pandu sembari mengulas senyum. “Memang itulah yang aku lihat. Saat Putri lahir, papa sedang perjalanan dinas dan Panji ada lomba renang. Aku melihat pria itu berdiri di depan ruang operasi. Bahkan beberapa kali di depan kamar rawat ibu.” “Mas—” “Kalau memang boleh jujur, aku juga benci pada pria itu. Pria yang sudah menghancurkan keluargaku. Tapi ironisnya, dia adalah papa kandungku.” Tidak hanya tersenyum, kali ini Pandu tergelak saat bibirnya mengucap kenyataan tentang bagian dirinya—yang paling dibenci. “Aku percaya apa yang Panji katakan. Satu sisi diriku mendukung apapun yang akan Panji lakukan, sekalipun itu artinya menghilangkan nyawa pria biadab itu. Tapi, sisi diriku yang lain … entahlah, Yan. Aku juga enggak tahu.” Pandu meraup wajahnya, menggeram kesal melampiaskan amarah dalam dirinya. Marah pada dirinya sendiri yang seperti seorang pengecut tanpa pendirian. Membiarkan keluarganya hancur berantakan tanpa melakukan apapun untuk berusaha mencegahnya. Membiarkan Panji menanggung dan melakukan semuanya sendiri. Sedangkan dirinya memilih berlindung di bawah ketiak seorang Adipramana yang jelas-jelas hanya menginginkan dirinya, hanya untuk dijadikan sebagai b***k korporat kerajaan bisnisnya, tanpa memedulikan lagi orang-orang yang pernah mencintai dan dicintainya. “Atau mungkin sebenarnya, keinginanku dan Panji adalah sama. Hanya saja, aku terlalu takut untuk mengakuinya?” Iyan terdiam. Terlalu bingung harus menjawab apa akan pertanyaan Pandu. Bertahun-tahun mengabdi di keluarga Adipramana, dia menyaksikan semua hal yang terjadi pada keluarga kecil itu. Mulai dari bagaimana tuannya jatuh cinta pada nyonya. Ketika nyonya berselingkuh. Hingga perpecahan di keluarga kecil yang sangat dicintainya itu. Melihat para tuan dan nona mudanya menjadi korban dari keegoisan orang-orang dewasa, Iyan hanya bisa berdiri di sisi lain pertikaian. Menyaksikannya dalam diam. Menit berlalu, Pandu dan Iyan masih diam di dalam mobil. Hingga mereka melihat Panji diseret oleh dua orang pria bertubuh besar. Tubuh kurus Panji terlempar begitu saja ke tanah, setelah diusir oleh pria-pria itu. Pandu hendak membantunya, tapi Iyan—lagi-lagi—menghentikannya. Entah apa yang ada dipikiran Panji, Pandu tidak bisa menebaknya. Tanpa memedulikan larangan Iyan, Pandu segera keluar dari mobil dan menghampiri Panji. Membantu saudaranya itu untuk segera berdiri dan pergi dari sana. “Lepasin, Berengsek!” Panji memberontak dan berusaha melepaskan diri dari Pandu. Sekuat tenaga mencoba kembali menerobos pengamanan pengawal yang masih siap berdiri di hadapannya. Tentu saja tubuh cowok yang baru lulus SMA itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lawannya. Tanpa memedulikan Panji yang masih memberontak, Pandu terus menarik Panji menuju mobil. Tak berapa lama kemudian, keduanya sudah kembali duduk di kursi belakang, diam, dan tidak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Iyan yang sudah hafal betul dengan gelagat dua Tuan Mudanya, terus melajukan mobilnya tanpa tujuan. *** Dua potong ayam dan seporsi nasi sudah hampir habis dilahap oleh Panji. Seperti tidak pernah diberi makan berminggu-minggu, Panji menyantap makanannya tanpa memedulikan Pandu yang menatapnya ngeri. “Pelan-pelan.” “Mau?” tanya Panji sambil menyodorkan paha ayam goreng ke depan Pandu. Pandu menggeleng sembari bergidik. “Kenapa? Tuan Muda takut mules? Bersih kok ini. Nih!” Pandu kembali menggeleng. “Perut sultan, sih. Makanya makan di pecel lele pinggir jalan gini bisa bikin diare tujuh hari tujuh malam.” Mungkin Panji sedikit berlebihan. Perut Pandu memang agak sensitive dengan makanan yang sepertinya kurang terjaga kebersihannya, tapi tidak sampai diare tujuh hari tujuh malam seperti yang dikatakan saudaranya—paling-paling hanya dua atau tiga hari. Pandu juga tidak anti pati dengan makanan pinggir jalan, tapi memang dirinya harus menjaga kondisi tubuhnya agar tidak sakit, agar tidak menganggu rutinitas pengobatan yang sedang dijalaninya. “Kamu ketemu sama—” “Enggak cuma si Tua Darmawangsa, tapi juga istri dan anaknya. Mereka lagi ketawa-tawa, bahkan sedang merencanakan liburan! Pokoknya keluarga bahagia!” potong Panji. “Cuma psikopat yang bersikap seolah enggak terjadi apa-apa, setelah dia melakukan pembunuhan!” “Jadi … memang Darmawangsa yang membunuh Putri?” Panji mencebik kesal, membanting paha ayamnya ke piring, lalu menandaskan segelas teh tawarnya. “Astaga! Berapa kali aku mesti ngomong, Ndu?! Bahkan mobil Darmawangsa yang digunakan untuk menabrak Putri, masih dipakai untuk nganterin anaknya ke sekolah! Gila, kan?!” Pandu melirik ke sekelilingnya, takut-takut jikalau ada yang mendengar ocehan Panji yang belum ada buktinya ini. Pandu belum siap melihat Panji harus mendekam di balik jeruji besi, karena tuduhannya pada salah satu keluarga kaya itu. “Kamu masih enggak percaya?” “Entahlah, Nji. Darmawangsa yang aku lihat tidak seperti itu. Aku sudah pernah cerita, kan? Dia datang saat ibu melahirkan Putri. Saat itu, dia benar-benar terlihat sangat bahagia dengan—” “Alah! Kamu waktu itu pasti salah mengartikan ekspresinya! Lagian kamu masih bau kencur dan enggak paham!” “Tapi, Nji—” “Percuma ngomong sama kamu! Mending kamu pulang aja ke keluarga kaya rayamu itu! Aku ada urusan penting!” Panji beranjak dari duduknya hendak membayar makanannya, tapi tiba-tiba seorang pria bertubuh besar menghalangi jalannya. “Minggir.” Namun, pria itu bergeming. “Lo yang minggir!” “Gue lagi enggak minat buat berantem. Jadi, minggir!” Pandu yang mencium gelagat perkelahian segera menengahi dan meminta Panji untuk mengalah. Namun, bukan Panji namanya jika dia menuruti permintaan Pandu. Tubuhnya masih terpaku di tempatnya, enggan mengalah, begitu pula dengan pria di hadapannya. “Bocah nyari perkara!” seru pria besar itu, seraya mengangkat tinjunya dan menghantamkannya ke wajah Panji. Panji yang kalah besar itu, langsung tersungkur ke atas meja. Membuat piring dan gelas berjatuhan ke tanah. Panji mencoba membalas, tapi kepalan tinjunya ditangkis, lengannya diputar ke belakang, dan Panji kembali didorong ke tanah. Pandu yang melihat saudaranya hendak kembali dihajar, langsung mendorong tubuh pria asing itu. “Maaf, Bang. Maafin saudara saya.” “Enggak usah ikut campur! Minggir!” teriak pria itu lagi, lalu menarik Panji dan menghajarnya. Semua pengunjung warung pecel lele pinggir jalan yang semula menikmati makanannya, kini berhamburan kabur. Pandu berulang kali meminta pertolongan, tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang hendak menolong atau sekedar melerai. Menyadari dirinya hanya sendiri dan tidak mampu melawan pria itu, Pandu hendak berlari meminta pertolongan Iyan yang parkir di seberang jalan, tapi langkahnya dihadang oleh seorang pria yang tidak kalah besar dengan pria yang sedang menghajar Panji. Pria itu terus melangkah, memaksa Pandu mundur dan memojokkannya. “Enggak usah banyak tingkah! Buruan habisin!” Entah apa maksud kalimat yang diucapkan pria yang menjulang di depannya ini, Pandu benar-benar tidak paham. Detik berikutnya, dia melihat sebilah pisau yang dikeluarkan dari saku dan dihunjamkan tepat ke ulu hatinya. Semua terjadi begitu cepat, ketika hunjaman kedua dan ketiga menikam sisi perutnya yang lain. Pandu tidak lagi mengingat apa yang terjadi setelah itu, karena semuanya mendadak gelap. Begitu dirinya kembali membuka mata, pendar lampu rumah sakit yang pertama kali dia lihat. Beberapa detik kemudian, Pandu menyadari dirinya sedang terbaring di ranjang rawat, karena teriakan seorang suster yang mengabarkan dirinya telah sadar. Seperti ketika dia membuka mata kembali setiap selesai terapi pengobatan, Pandu melihat Adipramana dan Dokter Lee di samping ranjangnya. Untuk sesaat Pandu pikir dirinya sudah kembali ke Singapura, tapi seorang suster yang masuk dan meminta izin untuk memeriksa kondisinya, menyadarkan Pandu bahwa detik ini dirinya masih di Indonesia. *** Adipramana memenuhi janjinya. Tiga hari kemudian, Pandu sudah beristirahat di kamarnya sendiri, tidak lagi di ruang suite rumah sakit di Indonesia. Tidak banyak yang dilakukan Pandu setelah kembali ke rumah. Dia masih harus rutin kontrol kesehatannya paska kejadian penusukan di warung pinggir jalan itu. Dan entah atas perintah Adipramana atau memang para pekerja—termasuk Iyan—keluarga Adipramana enggan mengungkit peristiwa itu, bahkan satu kalimat pun tidak. “Iyan, apa ibu …” “Nyonya ada di kamarnya. Sedang istirahat.” Pandu mengangguk kecil. “Apa kamu benar-benar enggak mau cerita ke aku?” “Tentang apa?” “Tentang semua yang terjadi di hari itu, sampai saat ini.” Panji membuka kancing piyamanya. “Juga tentang operasi ini. Bagaimana mungkin Panji bersedia?” Iyan meletakkan majalah yang sedang dibacanya, lalu menghela napas sejenak. “Aku sudah bilang semuanya, Mas, dengan mempertaruhkan pekerjaanku ini. Tuan Adipramana sudah melarang kami semua untuk membicarakan hal ini di depan Mas Pandu dan nyonya.” “Kamu yakin Adipramana tidak sengaja membu—” “Astaga, Mas. Tuan Adipramana tidak seperti itu. Selama ini, Beliau sangat menyayangi Mas Panji juga. Beliau bahkan hampir seperti orang gila saat melihat kondisi Mas Pandu dan Mas Panji. Beliau juga memohon pada Dokter Lee untuk datang, serta semua dokter untuk menyelamatkan kalian berdua. Namun, takdir berkata lain. Mas Panji mengalami pendarahan dan tidak bisa tertolong.” “Lalu Adipramana memaksa dokter untuk membedah d**a Panji?” Iyan menggeleng. “Mas Panji sendiri yang mendonorkan jantungnya untuk Mas Pandu. Mas Panji ternyata mendaftarkan diri ke pusat donor organ dan meminta agar jantungnya didonorkan untuk saudara kembarnya yang mengalami gagal jantung kongestif, jika dia meninggal lebih dulu dan ada kecocokan.” “Si Berengsek itu, ternyata …” isak Pandu. “Tuan Adipramana tidak bisa kehilangan Anda berdua, Mas. Jadi, saat hasil tes menunjukkan kecocokan, Tuan Adi menyetujui transplantasi jantung Mas Panji ke Mas Pandu.” “Lalu, ibu?” “Tuan Adi juga menyediakan dokter spesialis untuk mendampingi nyonya.” “Apa ibu tahu kalau Panji—” Iyan menggeleng. “Dokter menyarankan untuk menunda memberitahu nyonya. Mengingat kondisi nyonya masih histeris, panik, saat dibawa paksa ke sini.” “Aku mau ketemu ibu,” pinta Pandu, sambil menyibak selimutnya dan berusaha melangkah keluar kamar. Iyan dengan sigap langsung memapah tubuh sempoyongan Pandu menuju kamar ibu. Ketika dirinya sampai di depan pintu kamar, ingatannya kembali terlempar ke masa silam. Di mana dulu, di kamar ini, dirinya dan Panji sering bermain, bahkan memaksa tidur bersama orang tua mereka. Namun, semenjak Adipramana sadar akan pengkhianatan istrinya, kemudian bercerai, kamar ini tidak lagi berpenghuni. Adipramana memilih untuk tidur di kamar di lantai bawah. Pandu membuka pintu kamar penuh kenangan masa kecil itu, lalu mendapati wanita yang telah melahirkannya dan tidak pernah ditemuinya selama bertahun-tahun itu, sedang terlelap di pembaringan. Dengan hati-hati, Pandu melangkah mendekati sisi ranjang ibu, lalu duduk di sana. Tangannya yang kurus dan masih sedikit pucat itu terulur untuk menyentuh, mengelus, dan menggenggam kehangatan tangan seorang ibu yang sangat dirindukannya. Sentuhan seorang putra itu yang pada akhirnya membangunkan ibu. Wanita itu langsung menarik Pandu ke dalam pelukannya. Lengannya mengetat, seolah takut jika putranya ini akan tiba-tiba saja menghilang. Pandu tidak kuasa menahan perasaan bahagia, rindu, yang bercampur dan membuncah di dadanya. Lengannya membalas pelukan ibu. Memeluk sama eratnya, untuk memberitahu ibu, bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama sepertinya. Isak ibu perlahan surut dan pelukannya terurai. Kedua netranya masih berkaca-kaca menatap wajah Pandu yang juga basah oleh air mata haru. Untuk kali pertama setelah sekian lama, Pandu merasakan sentuhan ibu lagi di kulitnya. Telapak tangan yang hangat itu menyentuh, menangkup, dan mengelus kedua pipinya. Namun, sebuah kalimat yang kemudian terucap dari bibir ibu, menyadarkan Pandu, bahwa ibu tidaklah melihatnya dengan cara yang sama seperti dulu. Ibu tidak lagi melihat Pandu sebagai Pandu, karena Panji akan selalu membayanginya. “Kamu ke mana aja, Panji? Ibu kangen sama kamu. Takut kamu kenapa-kenapa?” Detik itu pula, Pandu menyadari, bahwa dia harus mengubur nama Pandu bersama tubuh Panji—mungkin untuk selamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN