“Wah … dalam setahun ada tiga kamera baru di sini?” takjub Rizal dengan tatapan yang belum lepas dari deretan kamera di dalam lemari kaca—di ruang kerjanya.
“Hm, bahkan kamera yang paling ujung itu baru seminggu mejeng di sana.”
“Hah? Mita ngelakuin ini, bukan karena gue mau masuk sini, kan?”
Keysha menggeleng. “Bu Mita memang enggak puas dengan kinerjanya, makanya langsung di-cut. Jadi, lo enggak perlu khawatir atau merasa enggak enak hati.”
“Baiklah.”
Hari ini adalah hari pertama Rizal resmi menjadi fotografer utama di Lust. Sejak pagi, Keysha belum berhenti memberikan penjelasan tentang hal-hal apa saja yang akan Rizal kerjakan saat duduk di kursi panas—yang penghuninya kebanyakan bertahan tidak lebih dari tiga atau empat bulan itu. Apalagi alasannya, selain tidak memenuhi kriteria hasil foto yang sempurna ala Pramita. Meskipun terkadang alasan tersebut dibumbui dengan desas-desus perkara Pramita yang mulai bosan dan tidak puas dengan pelayanan fotografer di kasur hangatnya. Bukan Pramita namanya, jika memikirkan setiap gosip tidak penting akan dirinya, bahkan wanita itu tidak merasa perlu untuk mengklarifikasi kebenaran akan gosip miring seputar dirinya.
Setelah dari ruangan, Keysha mengajak Rizal berkeliling studio dan dua lantai lainnya yang merupakan bagian keuangan, desain, dan pemasaran.
“O iya, Zal, buat tim lo, ini dokumennya, atau mau gue taruh di meja?”
“Coba sini—bentar,” ujar Rizal yang terpotong saat ponselnya berdering dan ada nama Pramita di sana. “Ya, Ta? Iya, ini aku lagi sama Keysha di lantai lima. Kenapa? Hm …”
Rizal menjauhkan sebentar ponselnya dari telinga untuk menanyakan apa acara selanjutnya, setelah berkeliling orientasi ruangan.
“Hari ini belum ada kegiatan.”
“Oh, ok, Ta. Aku hari ini kosong. Kenapa? Hm, Mbak Intan atau Mas Damar enggak ngomong apa-apa. Ok, kamu masih di apartemen? Mau aku jemput aja? Ok-ok, aku ke sana sekarang.”
Setelah memutuskan sambungan telepon, Rizal kembali ke ruangan untuk mengambil tas kameranya dan mengabari Keysha bahwa dia harus menemui Pramita untuk pergi bersama menyelesaikan proyek pemotretan mendadak. Rizal langsung melaju menjemput Pramita, dan setelah hampir satu jam perjalanan, mobil Rizal berbelok dan berhenti di parkiran sebuah sekolah.
“Ta! Zal!”
Pramita dan Rizal menoleh pada sumber suara yang memanggilnya. Dilihatnya Intan melambaikan tangannya tinggi-tinggi dari arah ruang Kepala Sekolah. Subuh tadi, Pramita terbangun dengan panggilan telepon dari Intan yang kelimpungan mencari fotografer untuk memotret buku tahunan untuk para murid TK dan SD Swan Lake. Fotografer yang sudah disewa oleh mereka mendadak tidak bisa datang, karena mengalami kecelakaan kemarin sore saat akan datang survei lokasi ke sekolah.
Awalnya, keputusan untuk menunda sesi foto ini sempat menjadi pilihan. Namun, setelah dilakukan pertimbangan, tidak mungkin dilakukan penundaan, karena hasil foto akan digunakan untuk acara kelulusan minggu depan. Beberapa wali murid setuju untuk melakukan pemotretan sendiri di studio, tapi tidak sedikit pula yang menolak dan memaksa pihak sekolah untuk mencari fotografer pengganti.
“Sebenernya udah ada fotografer pengganti yang diusulin sama sekolah, tapi banyak yang enggak yakin dengan kemampuannya,” jelas Intan saat dalam perjalanan menuju ruang kelas yang disulap menjadi studio dadakan, bersama Pramita dan Rizal.
“Kenapa emangnya, Mbak?”
Intan mencebik malas. “Biasalah, karena bukan dari lulusan universitas ternama apalagi luar negeri. Jadi dia cuma pekerja lepas gitu.”
“Kenapa enggak nyewa jasa dari studio foto?” Pramita menimpali.
“Udah, tapi karena dadakan jadinya enggak ada yang ready fotografernya. Tahu sendiri, kan? Bulan-bulan gini banyak banget weeding. Eh, tapi kamu beneran lowong kan, Zal? Ta? Takutnya malahan ganggu kerjaan kalian.”
“Hari ini masih orientasi kantor aja, Mbak,” jawab Rizal.
“Palingan besok atau lusa baru mulai meeting ngebahas proyek.”
Langkah ketiganya membelok saat sampai di depan pintu ruang kelas yang terletak di paling pojok lorong. Ruang kelas yang biasanya berisi deretan meja dan kursi untuk para siswa, kini sudah berganti menjadi studio foto dengan dekorasi warna-warni cerah yang menyemarakkan ruangan.
“Wow! Siapa yang nge-set, Mbak?” Rizal mengedarkan pandangannya, takjub dengan pengaturan peralatan foto seperti lampu, tripod, sampai aksesoris yang biasa digunakan para modelnya saat bergaya di depan kamera.
“Kenapa? Kurang, ya?”
Rizal menggeleng. “Untuk foto buku tahunan, ini lebih dari cukup. Yayasan Swan Lake memang beda,” kekehnya. “Ini alat-alatnya beli sendiri juga?”
“Enggak. Jadi, fotografer yang kami sewa itu udah komplit sama set-nya sekalian. Pokoknya kita terima beres, dia yang nyediain. Eh, malahan para ibu-ibu pada protes perkara ijazahnya.”
“Mana orangnya?”
Intan menoleh ke seluruh penjuru kelas dan tidak menemukan sosok fotografer sewaan sekolah yang tadinya sibuk menyiapkan semuanya bersama seorang guru musik Swan Lake. Tak berapa lama kemudian, guru musik yang menjadi idola banyak siswa—karena keramahannya itu—muncul.
“Miss Alma, mas-mas fotografernnya ke mana, ya?”
“Keluar sebentar, Mbak Intan,” jawab Alma seraya menghampiri Intan.
“Ke mana?”
“Katanya mau ambil lampu buat lighting-nya. Lampu yang ini enggak nyala,” jawab Alma sambil menunjuk light diffuser di sisi kirinya.
“Oh, kirain saya dia sakit hati, karena banyak para mom di sini yang enggak mau anaknya difoto sama dia.”
“Mas Panji enggak seperti itu kok, Mbak. Jadi, tenang aja.”
“Saya jadi enggak enak sama Miss Alma dan Mas Panji,” sesal Intan. “O iya, kenalin ini Rizal, fotografer yang saya ceritain tadi, sekaligus adik ipar saya.”
Alma mengulurkan tangan untuk menjabat Rizal, yang kemudian membalasnya dan tersenyum ramah.
“Kalau yang ini udah tahu, kan? Adik saya.”
Alma mengangguk. “Nona Prami—”
“Mbak atau Mita saja enggak masalah. Enggak usah terlalu formal, saya enggak suka,” potong Pramita, merasa tidak nyaman dengan panggilan ‘Nona’ yang seringkali disematkan di bagian paling depan namanya. Pramita tidak suka diperlakukan berlebihan seperti itu, apalagi Alma bukanlah siapa-siapa Pramita. Bertemu guru musik berkacamata dengan potongan rambut lurus sebahu saja, baru sekali ini. Kenapa wanita itu memanggilnya dengan Nona? Apa karena Pramita adalah anak seorang Widyatmoko, pemilik Yayasan tempatnya bekerja? Ya, pasti itu jawabannya. Namun, siapa yang membuat peraturan bodoh semacam itu harus berlaku di lingkungan sekolah ini?
Jawabannya tidak ada. Peraturan aneh dan berlebihan itu tiba-tiba muncul begitu saja, menjadi sebuah tradisi yang patut dilestarikan turun-temurun oleh pengurus Yayasan pada para pengajar sampai penjaga sekolah. Para pegawai sering menganggapnya sebagai sebuah bentuk rasa hormat pada keluarga Widyatmoko yang sudah membantu mereka menghasilkan pundi-pundi uang. Namun, di mata Pramita, mereka yang menyapa keluarga Widyatmoko dengan sambil tersenyum lebar dan menjabat tangan, berperilaku seperti kacung uang, tidaklah lebih sebagai penjilat saja.
“Baik, Mbak Mita.”
Ketika Pramita hendak kembali berucap, seseorang dengan napas terengah tiba-tiba saja muncul di ambang pintu. Seseorang itu segera melepas jaket dan helmnya, peluh membasahi keningnya, dan kakinya terburu melangkah menghampiri Alma.
“Pak Rizal, Mbak Mita, kenalin ini yang namanya Mas Panji,” ucap Alma.
Panji tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat Rizal yang disambut dengan hangat. Namun, tidak dengan Pramita. Wanita itu enggan membalas uluran tangan Panji, bahkan kini tanpa izin dan rasa tak enak hati, Pramita menatap Panji dari ujung kepala hingga kakinya, dan ditutup dengan dengkusan geli.
“Ya?” Alis Panji terangkat melihat sikap Pramita yang kini sudah menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, serta menatapnya angkuh.
“Pantas aja orang-orang di sini enggak yakin sama kamu. Lihat aja, penampilan kamu yang enggak jauh beda dengan kuli angkut di pasar.”
Panji segera menilik kembali penampilannya, sesaat setelah mendengar kalimat Pramita. Sejauh dia mengingat, tidak ada yang salah dengan dirinya. Kaos dibalut kemeja flannel, celana, sepatu tanpa merek—yang dibelinya kemarin lusa—tidak terlalu buruk untuk dipakai saat bekerja sebagai tukang foto panggilan untuk buku tahunan anak-anak TK. Ucapan wanita asing yang tidak ramah, dan masih memandangnya dengan jijik ini membuat Panji mempertimbangkan kostum badut, jika lain kali mendapat job di sekolah TK.
“Saya—”
“Jadwal mulai motretnya emang jam berapa? Kenapa masih sepi?” kesal Pramita.
“Satu jam lagi mulainya, Mbak. Mungkin para wali murid sedang dalam perjalanan. Apalagi jalanan arah ke sini macet kalau pagi begini.”
“Macet dijadiin alasan?” sinis Pramita. “Kalau misal Rizal dan saya ada acara lagi setelah ini gimana? Kami harus mengorbankan jadwal kami?”
“Ta?!” tegur Rizal yang diabaikan Pramita.
“Saya enggak marah ke kamu, Alma. Saya kesal dengan teman-teman Mbak Intan yang datang seenaknya. Di kantor saya, semua persiapan memotret harus sudah selesai paling tidak setengah jam sebelum jadwal.”
“Ta, kita lagi enggak di Lust, tapi di sekolah TK.”
“Apa waktu di sini dan Lust beda?”
Rizal menggeleng pelan. “Seenggaknya, jangan terlalu kaku. Lagipula kita memang enggak ada jadwal setelah ini, kan? Jadi santai aja. Kamu kenapa, sih?”
“Enggak apa-apa. Aku tunggu di mobil aja.”
“Ta?!”
Tanpa memedulikan Rizal yang masih memanggilnya, Pramita bergegas keluar ruang kelas. Kakinya melangkah cepat, kembali menuju parkiran. Dengan tangannya yang gemetar, Pramita merogoh tasnya, mencari-cari kunci mobil—yang entah mengapa tiba-tiba saja sulit untuk ditemukan.
“Berengsek!” makinya, lalu setelah menemukan kunci mobil, Pramita buru-buru membuka pintu dan mengunci diri di dalamnya.
Segera dia menyalakan mesin dan AC mobil, kemudian mengatur napasnya yang terengah dan debaran jantungnya yang tiba-tiba saja menggila. Belum lagi telapak tangannya yang basah, karena keringat dingin terus mengucur sejak tatap matanya bersirobok dengan fotografer kenalan si Guru Musik.
Tidak ada yang berubah dari pria itu. Caranya menatap Pramita, masih sama menyebalkannya seperti 12 tahun yang lalu, ditambah dengan wajah polosnya, yang Pramita yakini dibuat-buat, menambah kadar kekesalan Pramita semakin tinggi. Ingin sekali Pramita menampar, bahkan mungkin langsung menusukkan pisau ke jantung pria itu, saat dengan percaya diri dan tanpa rasa bersalah berani mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Pramita sambil tersenyum? Sungguh memuakkan!
Wajah dan senyum polosnya mungkin bisa menipu semua orang yang ada di ruangan tadi, bahkan mungkin satu sekolahan ini, termasuk para anak-anak TK yang polos, tapi tidak dengan Pramita. Pramita tidak akan pernah melupakan perbuatan Panji belasan tahun silam terhadapnya. Satu peristiwa yang berhasil menorehkan luka yang begitu dalam, bahkan hingga detik ini rasa perihnya masih sama seperti saat pertama kali Pramita mendapatkan luka itu.
12 tahun lalu, Pramita adalah seorang murid SMA dengan segudang prestasi akademis yang membuat hampir seluruh teman-teman seangkatan, bahkan kakak kelas kesal padanya. Pasalnya, para guru dan orang tua sering kali menjadikan Pramita tolok ukur, teladan, bahkan pembanding. Siapa yang tidak kesal, jika hampir setiap hari nama Pramita—junior pindahan dari Singapura—terus dielu-elukan oleh banyak orang.
Namun, Tuhan memang adil.
Para siswa boleh tidak menang melawan Pramita di mata pelajaran apapun itu, tapi tidak dengan penampilan mereka. Ternyata pindahan dari negara maju seperti Singapura, tidak menjamin penampilan dan parasmu akan secantik para artis yang sering muncul di televisi. Bahkan Fira, yang menempati posisi paling buncit dalam urutan kecantikan, kini bisa sedikit tersenyum, karena posisinya sudah tergantikan oleh murid pindahan dari Singapura, Pramita.
Hebatnya, seorang Pramita yang saat itu masih berumur 16 tahun, tidak memedulikan kata-kata pedas yang sering dilontarkan padanya. Bagi Pramita, tidak masalah dia dicap sebagai gadis paling buruk rupa di sekolah, toh, secantik apapun wajahmu, tidak menjamin bisa lulus ujian, kan? Percuma cantik, tapi otaknya tidak berisi.
“Ta!”
Lamunan Pramita buyar saat jendela di sebelahnya diketuk, dan wajah Intan muncul di sana. Buru-buru Pramita menurunkan kaca jendela mobilnya dan tersenyum pada kakak perempuannya itu.
“Kenapa, Mbak?”
“Kamu baik-baik aja? Kenapa tiba-tiba pergi?”
“Enggak apa-apa.” Pramita memijat pelipisnya. “Tiba-tiba kepala aku tadi pusing, makanya istirahat sebentar di mobil.”
“Ke UKS? Di sana ada dokter jaga atau mau aku anterin ke rumah sakit sekalian?”
“Enggak usah, Mbak. Udah mendingan, kok.”
Intan menatap Pramita dan masih belum merasa puas dengan jawaban adik perempuannya itu. 20 tahun menjadi kakak Pramita, ternyata masih belum bisa membuat adiknya itu terbuka padanya. Pramita masih enggan untuk menceritakan apapun yang dirasakannya, dia lebih memilih memendamnya sendiri atau menceritakan segala keluh kesahnya pada Miko—kucing kampung yang dipungutnya dari depan minimarket. Namun, Intan tidak memiliki pilihan lain selain percaya pada ucapan Pramita.
Sekali lagi dia memastikan bahwa Pramita baik-baik saja sebelum akhirnya menuju ruang kelas. Meninggalkan Pramita yang kembali menyandarkan punggungnya, memejamkan kedua matanya, dan berusaha meredam amarah yang seketika hadir dalam benaknya.
***