Bab 1. Pewaris Sebenarnya 1

1390 Kata
# Galand meletakkan setangkai bunga mawar putih di liang lahat ayah tirinya. Di ikuti dengan ibunya dan kemudian Ayunda dan Gina. Isak tangis Gina adalah yang paling keras di antara semuanya, bahkan gadis itu adalah yang paling terpukul dibandingkan dengan ibunya. Galand bisa memahami hal itu. Gina adalah anak kandung ayahnya. Satu-satunya orang yang berhubungan darah langsung dengan Sudjarko Narendra. Dirinya dan Ayunda hanyalah anak bawaan sang ibu. Setelah ibunya resmi menikah dengan Sudjarko Narendra, maka lahirlah Gina. Jadi Gina adalah adik tirinya. Tapi meskipun begitu, Galand tetap sangat menyanyangi Gina. Bahkan lebih dari dia menyayangi Ayunda, adiknya yang berasal dari ayah yang sama. Ini karena Ibunya, Nyonya Ghea tidak begitu memperhatikan Gina sejak lahir, dia lebih memfokuskan perhatiannya pada diri Galand dan Ayunda. Hal tersebut membuat Galand, jatuh sayang pada anak itu. Sedikit demi sedikit tanah mulai menutupi peti mati tempat Sudjarko Narendra berbaring. "Hentikan!" Suara seorang wanita menginterupsi suasana khidmat dari pemakaman yang sedang berlangsung. Pemakaman itu diadakan secara tertutup. Yang menghadiri hanyalah keluarga dekat, beberapa saudara lainnya selain keluarga inti dan juga beberapa kenalan dekat keluarga Narendra. Namun tidak ada siapa pun yang mengenal wanita tersebut. Wanita itu melangkah mendekat, namun sebelum dia sampai ke makam, beberapa orang penjaga keluarga Narendra menghalanginya. Galand melangkah mendekati wanita itu. "Ini pemakaman tertutup. Siapa pun kau, tidak di iznkan untuk ada di tempat ini!" ucap Galand tajam. Wanita itu menatap Galand, bibirnya yang sewarna ceri tampak menyunggingkan seulas senyum. Kulitnya yang pucat tampak kontras dengan warna pakaian hitam yang kini membalut tubuhnya. Dia membuka kacamata hitam yang menutupi sebagian besar wajah cantiknya dan juga topi yang tadinya menyembunyikan rambut hitam panjang berkilau miliknya. Dia menengok ke arah Nyonya Gea yang sekarang menampakkan ekspresi tidak percaya menatapnya. "Katakan kepadaku Nyonya Gea, apa dengan begini kau masih bisa berpura-pura tidak mengenaliku?" Wanita itu melangkah maju, memperlihatkan wajahnya dengan jelas pada semua orang. Membuat orang-orang berbisik-bisik di antara keheningan itu. "Tidak ... tidak ... tidak mungkin itu kau! Amber sudah lama meninggal! Galand usir dia! Usir dia!" ucap Nyonya Gea panik. Galand menahan tangan wanita itu. "Jangan membuat kekacauan di tempat ini. Pergi!" Galand mendorong tubuh wanita itu hingga dia nyaris terjatuh, beruntung seseorang menopang tubuhnya. "Kau tidak apa-apa Maira?" Pria itu adalah Jeremy Prasetya, anak dari pengacara kepercayaan Sudjarko Narendra semasa hidup. Maira tidak menjawab. Dia maju ke depan Galand, menatap pria itu tajam dan sebuah tamparan singgah di wajah Galand, meninggalkan bekas memerah di pipinya. "Hewan liar yang tidak tahu dari mana asal usulnya berani menyentuhku?! Kau pikir siapa dirimu?!" hardik Maira. Galand terpaku. Dia sudah cukup kaget karena ternyata wanita ini mengenal Jeremy dan sekarang wanita ini berani menamparnya?! Bahkan mengatainya hewan liar! "Wanita gila!" Galand ingin maju, tapi Jeremy menghalanginya. Orang-orang keluarga Narendra mencoba menghalangi Maira namun beberapa orang yang juga masih termasuk dalam orang-orang keluarga Narendra yang lain justru datang memblokir mereka dan memberi Maira jalan. "Terima kasih Paman," ucap Maira pada Rinaldi Prasetya saat dia melewatinya. Rinaldi Prasetya adalah orang kepercayaan Sudjarko Narendra sekaligus pengacara keluarga Narendra selama dua generasi. "Sama-sama Nona. Silakan beri menemui ayah Anda," ucap Rinaldi Prasetya dengan hormat. Galand terpaku menatap wanita yang dipanggil Maira itu. Ayah?! Kenapa Om Rinaldi menyebut ayah tirinya sebagai ayah wanita itu? "Jeremy, kau bisa jelaskan apa yang terjadi sekarang?" tanya Galand. Jeremy tersenyum kecil. "Kau akan tahu besok. Saat pengumuman pembagian harta warisan," balas Jeremy tenang. "Aku butuh jawaban sekarang," pekik Galand dengan nada memaksa. Tapi Jeremy hanya menertawakannya. "Mungkin kau bisa bertanya pada Nyonya Gea. Beliau tampaknya sudah tahu siapa Maira," usul Jeremy. Maira sudah berdiri di hadapan Nyonya Gea, tepat di samping makam Sudjarko Narendra. "Lama tidak berjumpa Nyonya Gea. Haruskah aku memanggilmu Mama juga?" ucap Maira. Nyonya Gea terduduk lemas di samping makam suaminya. Maira tersenyum sinis. Dia melemparkan setangkai mawar merah yang dia bawa sejak tadi di tangannya ke atas peti. "Selamat tinggal Papa. Semoga kau tidak sampai membusuk di neraka karena Mama pasti bosan menunggumu di surga," ucap Maira pelan. Kalimat itu membuat semua orang kini yakin dengan identitas Maira. Tidak salah lagi, Nona muda dengan pembawaan arogan di depan mereka ini tidak lain dan tidak bukan adalah Almaira Narendra. Putri kandung Sudjarko Narendra dari istri pertamanya Amberly Hana yang meninggal karena bunuh diri setelah diceraikan oleh Sudjarko Narendra. Kabar terakhir yang diketahui oleh banyak orang adalah, anak mereka dibawa oleh keluarga jauh ibu kandungnya dan dibesarkan di luar negeri. Tidak ada yang tahu bagaimana kabar gadis itu selanjutnya sebelum hari ini. Wajah cantik dan kulit putih bersih, sama persis dengan Amberly Hana yang juga adalah sahabat dekat Nyonya Gea. Maira berbalik hendak pergi, berada di tempat ini lebih lama membuatnya merasa muak. Namun sebelum dia sempat melangkah, sebuah tangan menahannya. Dia hampir menghempaskan tangan itu, saat ia menyadari sebuah tatapan dari mata yang mirip dengannya. "Apa kau ... benar-benar kakakku?" tanya Gina dengan wajah sendu. Maira meraih tangan gadis kecil itu dan melepaskannya. "Kakak tirimu lebih tepatnya," jawab Maira. Maira menunjukkan rasa tidak sukannya dengan jelas. Dia bisa menebak siapa gadis kecil ini. Wajah polosnya yang terlihat sama persis dengan ayahnya sudah cukup membuat Maira kesal, masih ditambah dengan kenyataan kalau dia adalah anak yang lahir dari rahim wanita yang paling dia benci di dunia ini. "Dan aku tidak datang kemari untuk menjadi kakakmu, jadi jangan terlalu berharap kepadaku," lanjut Maira sinis. Ayunda menarik adiknya. "Kau kasar sekali! Kalaupun kau memang anak kandung Papa dari wanita lain, tidak seharusnya kau berbuat begitu pada adikmu. Kalian masih memiliki separuh darah yang sama. Bahkan aku dan kakakku tidak pernah memperlakukan Gina seperti caramu memperlakukannya!" sergah Ayunda kesal. Maira menatap Ayunda dengan tatapan meremehkan. "Oh ya, lihat siapa yang berbicara. Apa kau cukup kompeten untuk berbicara seperti itu kepadaku? Orang yang nilai-nilainya selalu di bawah dan hampir tidak lulus kalau saja Papa dan ..." Maira mengerling ke arah Nyonya Gea beberapa saat. “Mama tiriku ini tidak menyogok hampir seluruh guru di sebuah sekolah Internasional untuk memberimu ijazah kelulusan palsu, kau masih memakai seragam sekolah di usia ini. Dengan kemampuan seperti itu, apa kau masih bangga menggunakan nama belakang Narendra?" lanjut Maira. "Cukup Almaira! Ini adalah pemakaman ayahmu, haruskah kau bersikap seperti ini disini?!" Nyonya Gea membentak Maira. Maira menatap Nyonya Gea dengan tatapan sedingin es. "Akhirnya kau ingat namaku dengan baik Tante. Oh tentu saja aku sadar ini pemakaman Papa. Memangnya salah kalau aku datang untuk memberikan bunga terakhir kepada Papaku yang pernah mengusir aku dan Mama dari rumah? Tidak bukan? Ini cuma keributan kecil," balasnya. Maira mengelus pelan nisan ayahnya. "Papa harusnya gembira karena keramaian yang sudah tercipta semenjak aku muncul. Pemakaman Mamaku, sangat sepi. Terlampau sepi sampai aku hampir ikut mati saat itu karena kesepian dan ketakutan." Dia membuka sarung tangan hitam yang sejak tadi dia kenakan, menampilkan sepasang tangan yang sangat mulus seperti pualam. "Rinaldi, katakan yang sebenarnya. Kenapa kau mengizinkan gadis gila ini muncul sekarang? Dia sama gilanya dengan ibunya. Lihat apa yang dia perbuat di makam suamiku! " Nyonya Gea mengalihkan pandangannya ke arah Rinaldi Prasetya. Desas-desus mulai terdengar, tatapan sinis diarahkan kepada Maira. Dia dinilai tidak sopan dengan kemunculannya yang seperti ini dan juga caranya berbicara kepada almarhum ayahnya serta anggota keluarga Narendra yang lain. Sebagian besar menyayangkan karena wajahnya yang cantik ternyata tidak sebanding dengan sikapnya yang tidak sopan dan keterlaluan. Galand memperhatikan dari jauh bagaimana Maira terlihat sangat santai di tengah tatapan banyak orang yang menilainya. Seakan dia sudah berlatih lama untuk tampil dalam pertunjukkan seperti ini dan dialah yang menjadi pusat dari pertunjukkan itu. Rinaldi Prasetya maju dan berhadapan dengan Nyonya Gea. "Nyonya, ini adalah keinginan almarhum sendiri. Beliau ingin anaknya Almaira Narendra muncul di hari pemakamannya dan menyatakan kalau Nona Almaira Narendra adalah anak kandungnya. Dahulu beliau pernah membuat kesalahan hanya karena sebuah tes DNA palsu. Setelah dilakukan tes kembali sampai beberapa kali, jelas sekarang kalau Nona Almaira adalah anak beliau," ucap Rinaldi Prasetya. Wajah tuanya tetap terlihat datar. "Jangan bilang kalau dia juga ada di daftar pewaris?" Nyonya Gea tampak tergagap. Rinaldi Prasetya mengangguk pelan. Maira tersenyum. "Sudah jelas kan sekarang Tante Gea?" Maira menatap ibu tirinya tajam. Nyonya Gea pucat pasi. Maira lalu pergi begitu saja, meninggalkan tatapan penuh tanda tanya dimata semua orang. Akankah kepemimpinan Narendra Group tetap di tangan Galand atau berpindah ke tangan Maira yang baru saja muncul? Seberapa mampu gadis muda ini untuk perusahaan sebesar itu? "Nikmati waktumu manusia liar,” ucap Maira saat dia melewati Galand.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN