Bab 2. Pewaris Sebenarnya 2

1320 Kata
# Maira menarik napas pelan dan kembali masuk ke dalam mobil yang kemudian disusul oleh Jeremy. "Kau baik-baik saja?" tanya Jeremy khawatir saat melihat kedua mata Maira tampak memerah. Hanya pertanyaan itu yang bisa terpikirkan meskipun dia tahu kalau Maira jelas sedang tidak baik-baik saja. "Aku tidak merasa lebih baik meskipun sudah mengacaukan pemakaman Papa." Maira berpaling ke arah jendela mobil dan menopang wajahnya dengan tangan. "Tuan Narendra sendiri mengizinkanmu untuk melakukan apa yang kau lakukan hari ini, jadi tidak perlu merasa berdosa. Kau harus kuat kalau kau memang tidak ingin semua hakmu berpindah pada orang lain," ucap Jeremy. "Untuk semua penderitaan dan rasa malu yang sudah aku lalui bersama almarhum Mama di masa lalu, apa ini sepadan?" tanya Maira kemudian. Jeremy meraih tangan Maira dan kemudian menggenggamnya erat. "Sepadan untuk masa depanmu Maira, karena memperoleh pengakuan sebagai anak almarhum Tuan besar saja tidak cukup untuk menghapus jejak penolakan kepada almarhum Nyonya Amber. Kalau kau ingin memenuhi janjimu pada Nyonya, kau harus lebih kuat dari ini dan mungkin lebih kejam lagi. Tidak akan mudah menyingkirkan Galand dari kursi kepemimpinan. Ingatlah kalau sebagian besar dewan direksi, tidak suka dengan kemunculanmu sebagai pewaris yang baru." Jeremy mengingatkan. Maira menarik napas panjang. Dulu, menjelang kematian ibunya, Maira pernah diminta berjanji untuk merebut kembali haknya sebagai anak kandung ayahnya dan tidak menyisakan sepeser-pun untuk sahabat ibunya, Nyonya Gea. "Maira...dengarkan Mama, suatu hari kau harus kembali ke rumah itu dan rebut semua yang seharusnya menjadi hakmu. Jadilah kejam dan buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan! Mama tidak rela dengan semua yang kita alami. Hanya dirimulah satu-satunya harapan Mama." Kalimat ibunya kembali terngiang di telinga Maira. "Kau benar. Aku bahkan belum separuh jalan. Ini baru saja dimulai. Aku harus menepati janjiku pada Mama untuk membuat mereka keluar dari rumah dan perusahaan." Maira mengepalkan tangannya di atas pangkuannya. Jeremy hanya bisa menatap Maira dengan tatapan simpati. Dia hanya bisa mendukung dan menemani Maira untuk memenuhi apa yang sudah seharusnya menjadi jalan Maira. "Setelah kau selesai dengan semua ini, mari kita menikah Maira. Aku akan membuatmu bahagia dan melindungimu agar kau tidak perlu lagi menanggung semuanya sendiri," usul Jeremy. Maira tersenyum datar. Dia tahu Jeremy selama ini tulus kepadanya dan pria itu juga yang tetap di sampingnya, mengunjunginya di luar negeri setiap kali ada kesempatan atau ketika liburan sekolah. Perlakuan seorang Jeremy Prasetya tidak pernah berubah kepadanya sejak dulu. Namun jauh di dalam hati Maira, dia tidak bisa memastikan apakah dirinya memang benar-benar memiliki perasaan yang sama dengan Jeremy ataukah itu hanya sebatas perasaan seorang adik kepada orang yang sudah dia anggap kakak. "Maira?" Panggilan Jeremy membuat Maira tersentak dari lamunannya. "Ya, tentu saja. Mari menikah setelah semuanya selesai," balas Maira akhirnya. Senyuman terukir di wajah Jeremy, dengan lembut ia meraih Maira ke dalam pelukannya. Maira memejamkan matanya menikmati perlakuan lembut Jeremy. Untuk saat ini, dia tidak ingin berpikir tentang perasaan. Bahkan meski suatu saat ia menyadari kalau dirinya tidak mencintai Jeremy, dia akan tetap menikah dengan pria itu demi mempertahankan pria itu tetap disisinya. Karena bagi Maira, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang-orang yang berarti untuknya. # Nyonya Gea terduduk lemas di ruang keluarga usai pemakaman suaminya yang heboh tadi. Merasa kesal karena harus menghindari pertanyaan banyak orang setelah kemunculan Maira. Untunglah Maira meninggalkan kesan yang tidak baik di pemakaman. Ibu Maira, Amberly Hana adalah seorang yang sangat lembut dan halus baik dalam bersikap maupun berbicara. Dan meskipun Maira memiliki wajah yang sangat mirip dengan sang ibu, kenyataannya Maira sangat arogan dan sarkastis. Jadi Nyonya Gea berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau kemunculan Maira sama sekali bukan ancaman untuk posisi Galand. Ada banyak pemegang saham dan dewan direksi yang akan memihak Galand sekalipun surat wasiat almarhum suaminya nanti tetap menunjuk Maira sebagai ahli waris. Galand sudah sejak awal bekerja keras untuk keluarga dan Narendra Group. Bahkan separuh dari hidup putranya itu hanya untuk Narendra Group. Ini sama saja seperti membuang putranya setelah tidak dibutuhkan lagi. "Mama?" Nyonya Gea menoleh saat melihat Galand kini sudah berdiri di sampingnya. "Oh Galand, di mana kedua adikmu?" tanya Nyonya Gea. "Gina masih di pemakaman, Mama tahu sendiri, dia adalah yang paling terpukul karena kepergian Papa. Kalau Ayunda tampaknya langsung pergi setelah pemakaman selesai. Ayunda bukan seseorang yang bisa di atur," ucap Galand. Nyonya Gea memijit pelipisnya. Ayunda memang bukan tipe gadis manis yang penurut seperti Gina. Karakternya sedikit keras dan selalu melakukan banyak hal sesuka hati. Galand bisa melihat kegelisahan ibunya, karena itu dia akhirnya mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang kejadian di pemakaman tadi. "Mama jangan khawatir. Ayunda sudah dewasa. Dia pasti tahu bagaimana caranya menjaga sikap di saat-saat seperti ini, apalagi Om baru saja meninggal." Hibur Galand. Nyonya Gea menarik napas pelan. "Mama bukannya ingin menyalahkan adikmu Galand. Kau paham kan? Jika kita salah langkah akan menjadi sorotan orang dan itu bisa saja membahayakan posisimu di kantor. Kau harus menjadi CEO utama perusahaan, kau layak untuk posisi itu setelah selama ini kau mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk Narendra grup," balas Nyonya Gea. "Aku paham Mama, jangan khawatir. Aku tidak mungkin kalah dari anak bau kencur yang baru saja muncul." Galand meyakinkan ibunya. Nyonya Gea menarik napas panjang. Galand jauh lebih paham dan mengerti tentang seluk beluk perusahaan. Meskipun surat wasiat menunjuk Maira yang baru muncul sebagai pemilik saham utama, dia tidak akan bisa begitu saja menduduki posisi CEO. Terlebih jika tidak bisa membuktikan kemampuannya lebih baik dan pantas dibandingkan dengan putranya, Galand. "Kau benar," gumam Nyonya Gea. Galand tersenyum, wajah tampannya yang sama sekali tidak mirip dengan ibunya itu tampak menyiratkan rasa percaya diri yang tinggi. "Sejak awal, akulah yang memegang dan mengurus perusahaan. Itu bukan sesuatu yang bisa begitu saja dikuasai oleh anak kemarin sore," ujar Galand. Nyonya Gea mendesah pelan. "Tidak bisakah kau menyebut dirinya Papa? Semua orang tahu kalau kau adalah pewaris Narendra Group, bagaimana mungkin kau tidak pernah bisa memanggil ayahmu dengan panggilan yang seharusnya?" ucap Nyonya Gea lagi. Galand tersenyum meski sesungguhnya ini adalah topik yang paling malas untuk dia bahas. "Mama, aku bukan Ayunda yang bisa dengan mudah melupakan asalku. Aku menghormati Om Narendra hingga akhir hayat beliau, tapi aku tidak bisa sama sekali menganggap beliau sebagai Papaku. Aku tidak bisa menggantinya begitu saja dengan orang lain." Galand berusaha membuat ibunya mengerti. Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, Galand dan Gina awalnya tinggal bersama dengan ayah kandungnya. Akan tetapi ketika Nyonya Gea menikah dengan Tuan Narendra dan mereka berdua memilih untuk tinggal dengan Nyonya Gea lalu dibawa ke rumah itu dan menjadi anak keluarga Narendra. Berbeda dengan Ayunda yang bisa dengan mudah menerima keadaan dan mengganti nama belakangnya dengan Narendra. Galand menolak nama belakangnya diubah dan bersikeras menggunakan nama belakang ayah kandungnya. Karena itulah, nama belakangnya berbeda dengan kedua adiknya. "Kau sama keras kepalanya dengan orang itu," ucap Nyonya Gea sambil menggeleng kesal. Galand hanya tertawa mendengar kalimat yang keluar dari bibir ibunya. "Kenapa Mama tidak beristirahat di kamar saja, biar aku yang mengurus semuanya. Aku tahu bukan hanya Gina yang paling merasa berduka saat ini." Galand berusaha menghibur ibunya. Nyonya Gea akhirnya mengangguk. Ia memang lelah secara mental dan fisik, terlebih dengan kemunculan Maira yang secara tiba-tiba di pemakaman tadi. Tapi baru saja wanita paruh baya itu bangkit berdiri dari kursinya, dia harus mengurungkan langkahnya beberapa pembantu masuk dengan membawa koper-koper berukuran besar. "Apa ini? Siapa yang menyuruh kalian membawa barang-barang ini masuk?" tanya Nyonya Gea kesal. "Maaf Nyonya. Kami cuma disuruh Tuan Prasetya untuk membawa koper-koper ini masuk. Katanya ini adalah milik Nona Maira." Salah satu pelayan itu mencoba menjelaskan dengan wajah takut. Galand mendekati salah satu koper itu dan melihat inisial yang terukir pada gagang koper itu. "A.N ? Almaira Narendra?" gumamnya. "Apa sebenarnya keinginan anak itu?! Astaga Sudjarko, kenapa kau melakukan ini kepadaku!" Nyonya Gea tampak kesal. Rasa dukanya semakin tersudut oleh rasa kecewanya yang muncul pada almarhum suaminya itu. Tapi Galand hanya tersenyum. "Jangan khawatir Mama. Kalau seekor kelinci mencoba memasuki sarang harimau, dia pasti mengira kalau dirinya adalah seekor beruang. Ini benar-benar menarik," ujar Galand.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN