Bab 3. Pewaris Sebenarnya 3

1367 Kata
# Maira menarik napas panjang. Hari ini adalah hari pembacaan ahli waris dan tentu saja dirinya diwajibkan hadir. "Kau sudah siap?" tanya Jeremy. Maira menoleh ke arah Jeremy yang terlihat rapi. "Om Prasetya sudah ke rumah keluarga Narendra?" Dia balik bertanya. Jeremy mengangguk. “Papa harus mempersiapkan segalanya lebih dulu," jawab Jeremy. Untuk beberapa saat Jeremy terdiam menatap wanita cantik di depannya. Sudah sejak lama dia memendam perasaan pada Maira, bahkan sejak ketika dia pertama kali diperkenalkan pada Maira kecil yang terbuang dari keluarga Narendra. Meski Jeremy juga tahu, perasaan Maira mungkin saja berbeda dengan perasaannya saat ini. Dia tahu Maira selalu butuh waktu untuk membentuk perasaannya pada seseorang. Untuk sekarang, meyakini kalau Maira adalah tunanganya dan calon istri masa depannya, sudah lebih dari cukup. "Kau cukup sibuk di perusahaan, bukannya ada kasus kecurangan tender dan gugatan lahan yang sedang kau tangani? Tidak perlu mengantarku. Lagipula, hubungan persahabatanmu dengan Galand sepertinya akan terganggu mulai sekarang karena kau berada di pihakku. Bagaimanapun, dia masih atasanmu," ucap Maira. Jeremy tertawa. "Karena itu kau harus berhasil mengklaim hakmu dan naik menjadi bosku. Dengan begitu Galand tidak akan bisa memecatku dari perusahaan," ucapnya. "Aku serius." Maira menatap Jeremy tajam. Jeremy mendekati Maira dan menyentuh anak rambut yang jatuh di sisi telinga Maira. "Aku juga serius. Ada alasan kenapa Om Narendra menyetujui pertunangan kita Maira. Itu karena Om ingin aku melindungimu dari Galand. Aku adalah orang yang paling paham orang seperti apa Galand. Jadi jangan khawatir, aku dan Galand tahu batasan kami masing-masing." Jeremy menjelaskan. "Aku percaya pada penilaianmu. Tapi meski kau dan Galand berhubungan baik, aku membencinya, sama seperti anggota keluarga Narendra yang lainnya," ucap Maira. Jeremy tertawa. "Itu melegakan. Kau tahu, jarang ada wanita yang bisa membenci Galand karena dia tampan dan berkarisma. Padahal dia jahat dan suka memanfaatkan orang lain, satu-satunya hal buruk darinya yang kurang cocok denganku." "Aku tadinya takut kau tidak nyaman karena sudah pasti sebagai tunanganku, kau akan terseret dalam konflik kami,” ujar Maira. "Aku tidak keberatan terseret dalam konflik keluarga Narendra, kuharap kau jangan lupa kalau keluarga Prasetya sudah tiga generasi menjadi orang yang selalu terseret dalam masalah keluarga Narendra. Aku lebih khawatir dengan keputusanmu untuk tinggal di rumah utama keluarga Narendra," ucap Jeremy Maira tersenyum kecil dan kemudian meraih tasnya. "Bukan aku yang akan merasa bagaikan di neraka nanti, tapi mereka. Rumah utama keluarga Narendra adalah rumah impian Mamaku saat menikah. Papa membawa Mama ke rumah itu dan memberikannya kepada Mama saat mereka menikah. Ironisnya, Mama di usir dari sana bersamaku. Tante Gea dan anak-anaknya harus merasakan hal yang sama karena dialah penyebabnya," ujar Maira. Untuk beberapa saat sorot matanya tampak dingin dan gelap. Jeremy hanya diam mendengar ucapan Maira. Dia tahu selama ini penderitaan seperti apa yang sudah dialami Maira hanya karena almarhum Sudjarko Narendra dulu pernah menolak untuk mengakuinya sebagai anak. "Lakukan apa yang harus kau lakukan, aku akan selalu mendukungmu," ucap Jeremy. # Seluruh keluarga Narendra sudah duduk di tempat masing-masing ketika Rinaldi Prasetya masuk dan meletakkan lima buah map di hadapannya. Dia menatap semua orang dengan senyuman ramah. "Aku senang kita semua sudah hadir di tempat ini untuk menghormati keinginan terakhir almarhum suami, ayah dan juga sahabat kita semua, Sudjarko Narendra," ucap Rinaldi Prasetya. Hanya itu. Dia kemudian merapikan berkas-berkas yang nantinya harus ditanda-tangani oleh seluruh anggota keluarga. Sementara Nyonya Gea dan Ayunda saling berpandangan, Galand dan Gina tampak tenang meski Rinaldi Prasetya sama sekali tidak melanjutkan tugasnya yang seharusnya membacakan wasiat terakhir almarhum kepala keluarga Narendra. "Silakan dimulai Rinaldi, jangan bilang kalau kita semua yang ada di sini masih harus menunggu anak durhaka itu untuk hadir!" ucap Nyonya Gea kesal. Dia masih ingat bagaimana kemarin Maira menyumpahi ayahnya sendiri agar membusuk di neraka. Dan itu membuatnya marah. Bagaimana mungkin seorang anak bisa mengatai ayah kandungnya yang sudah meninggal seperti itu? Apa pun penyebabnya, dia tetap tidak suka mengingat sikap sinis Maira di pemakaman kemarin. "Seperti yang Nyonya tahu, saya hanya melakukan apa yang diminta Tuan Narendra semasa hidup. Saya tidak bisa memulai kalau seluruh keluarga belum lengkap. Itu artinya mau tidak mau, suka tidak suka, kita tetap harus menunggu Nona Almaira," ucap Rinaldi Prasetya dengan ramah dan tenang, seakan tidak terpengaruh dengan intimidasi seorang Nyonya Narendra. Usai Rinaldi Prasetya berbicara, pintu ruangan mendadak terbuka dan sosok yang selama ini mereka tunggu-tunggu muncul dari balik pintu. "Terima kasih sudah menunggu. Jalanan Jakarta jauh lebih macet dibandingkan Tokyo, jadi harap maklum dengan keterlambatanku. Oh kita bertemu lagi Tante Gea," ucap Maira sambil melangkah menuju kursinya di samping Gina. Gina yang melihat kedatangan Maira tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada kakak tirinya yang satu itu. Selama ini dia selalu mengira kalau Ayunda adalah yang tercantik. Tidak disangka kalau dia masih memiliki kakak lain yang tidak kalah cantik. Satu-satunya kekurangan Maira di mata Gina adalah karena kakak perempuan yang baru dikenalnya itu terlihat sama sekali tidak bersahabat. Maira melirik Gina yang seketika mengalihkan pandangan dengan takut dan gugup saat dia menoleh. Dalam hatinya terselip rasa kasihan pada gadis remaja itu, Gina pasti masih teringat kata-kata yang dia ucapkan saat di pemakaman kemarin. "Biasakan dirimu adik kecil, kita akan sering bertemu nantinya," ucap Maira pada Gina pelan. "Eh, iya," Gina sedikit kaget karena Maira berbicara kepadanya. Refleks dia mengangkat wajah dan secara samar melihat senyum tipis Maira meski sekilas. "Oh dia tidak jahat, hanya galak. Mungkin ..." Gina membatin. Ayunda menatap Maira dengan tatapan tidak suka. Dari sudut pandangnya, Maira terlihat seperti sedang mengintimidasi adiknya, Gina. "Kau tidak harus datang kalau memang tidak ingin. Kalau tahu Jakarta macet seharusnya kau bersiap datang lebih cepat," ucap Ayunda. "Aku tidak tahu kalau Jakarta semacet ini. Aku bukan kalian yang tumbuh dan terbiasa di kota yang selalu macet seperti ini meski sudah punya MRT dan busway dimana-mana. Jadi jangan salahkan aku kalau kau kesal dengan keterlambatanku," balas Maira acuh. Ayunda menggigit bibirnya kesal. Dia baru akan berbicara lagi tapi Maira lebih dahulu memotong kalimatnya. "Aku sekedar mengingatkan kalau aku akan dengan amat sangat senang hati meladenimu berdebat. Tante Gea juga kalau mau, dan kau? aku lupa kau siapa." Maira menunjuk Galand, "tapi masalahnya, semakin lama kita berdebat semakin lama juga warisan dibacakan. Aku tidak seperti kalian yang punya banyak waktu luang. Aku punya banyak bisnis pribadi yang kubangun dari nol, bukan sekedar bisnis yang kuteruskan dari orang lain. Tapi benar-benar bisnisku sendiri yang harus kuperiksa setiap hari progresnya, jadi mari kita pending perdebatan kita untuk sementara waktu sampai Om Rinaldi selesai membacakan wasiatnya," usul Maira. Ayunda akan berbicara saat Galand memberinya kode untuk diam. Di sisi lain, Nyonya Gea tidak bisa menahan rasa kesalnya. "Jadi kau muncul hanya untuk wasiat Papamu? Di mana kau saat Papamu sakit-sakitan? Kau bahkan tidak pernah mau mengangkat panggilan ayahmu. Apa kau masih punya perasaan Maira?" tanya Nyonya Gea. Maira tersenyum sinis. "Aku di Tokyo, kan Tante dan Papa yang membuatku tinggal di sana sejak bertahun-tahun lalu. Perasaan? Punya tentu saja, kalau tidak punya mana mungkin aku mau datang ke pemakaman kemarin dan mempermalukan diriku sendiri? Aku hanya memberikan apa yang sudah diberikan kepadaku, setidaknya, aku tidak mengambil apa yang bukan hakku," jawab Maira enteng. Tersirat ejekan dalam setiap kalimat yang dia lontarkan. "Maira?!" Nyonya Gea tidak tahan lagi. Dia berteriak di hadapan Maira. "Apa Tante Gea? Aku tidak tuli, sayangi suara Tante," ejek Maira. "Kau tidak pantas muncul di sini," ucap Nyonya Gea dingin. "Papaku sepertinya tidak berpikir seperti itu. Benarkan Om Rinaldi?" Maira malah mengalihkan pandangannya pada Rinaldi Prasetya. Rinaldi Prasetya akhirnya hanya bisa menarik napas panjang. "Saya akan membacakan isi surat wasiat ini hanya jika semuanya bisa tenang," cetusnya. Sejak dulu, keluarga Narendra memang sulit ditangani, dan entah kenapa keluarganyalah yang seperti terkena kutukan untuk mengurus semua masalah keluarga itu. "Kubilang juga apa," cemooh Maira sambil tersenyum tipis ke arah Tante Gea dan Ayunda yang duduk berseberangan dengannya. Tante Gea baru akan berbicara lagi, namun Galand kali ini menyentuh punggung tangan ibunya. Memberi isyarat agar ibunya itu tidak terpancing dengan kata-kata dan sikap Maira. "Maaf Om Rinaldi. Silakan lanjutkan," ucap Galand. Setelah berbicara, Galand mengalihkan tatapannya pada Maira. Mengamati bagaimana wanita muda itu sama sekali tidak menghindari tatapannya dan malah memperjelas rasa tidak sukanya, tidak hanya pada ibunya tapi pada mereka semua. Baru kali ini, ada wanita yang menatapnya seperti itu. Tampaknya, wanita ini memang cocok untuk menjadi saingannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN