49. Perasaan yang Coba Ditutupi

1032 Kata
Prasta melempar pulpen yang isinya sudah habis ke dalam tong sampah. Hatinya saat ini sangat kacau hingga masalah sepele seperti kehabisan tinta pulpen membuatnya emosi seperti saat ini. Pria itu mengambil pulpen yang baru dari dalam laci meja kerjanya, ia kemudian kembali menekuni pekerjaannya, membubuhkan tandatangan pada beberapa file. Ia harus menyelesaikannya sebelum jam makan siang karena setelahnya akan di sibukkan dengan kegiatannya memeriksa laporan keuangan seperti rencananya pagi tadi. Bersama dengan Jeva, ia mungkin akan lembur. Prasta kembali melirik meja kerja Jeva, untuk yang kesekian kalinya. Pria itu sontak berdiri saat melihat Jeva sudah kembali ke mejanya. Lewat jendela yang membatasi ruang kerjanya dan meja kerja Jeva, pria itu dapat melihat wajah kusut Jeva. Perempuan itu terlihat lelah, seperti tengah memikul beban yang sangat berat. Jemari Prasta berada di atas telpon, bingung antara memencet tombol interkom atau tidak. Di sisi lain, ia mengerti jika saat ini Jeva butuh waktu sendiri meskipun ia tidak tahu apa yang perempuan itu bicarakan dengan Daska. Melihat wajah lelah Jeva, ia yakin pembicaraan mereka cukup berat. Di sisi lain lagi, ia penasaran dengan apa yang mereka bicarakan dan ingin bertanya langsung dengan perempuan itu. Hingga akhirnya setelah berfikir beberapa kali, pria itu memencet tombol interkom dan suara dari Jeva langsung menyapa gendang telinganya. “Ehm, Jev, bisakah kau ke ruangan saya sekarang?” tanya Prasta setelah berdeham sejenak. Pertanyaan? Bodoh! Seharusnya kau langsung memberi perintah, Pras! Kenapa harus bertanya dulu kesediaannya? Ah, payah! “Bisa, Pak. Saya akan ke ruangan Bapak sekarang.” Setelah Jeva mengatakan hal tersebut, sambungan terputus. Prasta menunggu kedatangan Jeva harap harap cemas. Tiba tiba ia menjadi gugup, mengecek penampilannya, membetulkan letak dasinya dan juga rambutnya yang sedikit berantakan. Sungguh hal yang biasanya tidak dilakukan atasan saat bertemu dengan bawahannya. Tok Tok Terdengar ketukan pintu dari luar. Itu pasti Jeva. “Masuk!” perintah Prasta kemudian. Ceklek. Pintu terbuka dari luar, Jeva masuk ke dalam ruang kerja Prasta. Pria itu terdiam di tempat duduknya. Ekspresi wajah Jeva berubah 180º. Wajahnya terlihat cerah seperti tidak pernah mendung sebelumnya. Raut kesedihan yang tadi sempat Prasta lihat kini hilang sudah. Lenyap tanpa tersisa. Mungkin Jeva ingin terlihat perofesional, membedakan antara masalah pribadi dan juga pekerjaan. “Tapi berapa lama kau belajar untuk menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya, Jev? Aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresimu yang sebenarnya bahkan walau hanya sedikitpun. Jika sebelumnya aku tidak melihat kesedihanmu, aku tidak akan sadar jika perasaanmu saat ini sebenarnya sedang terluka,” batin Prasta dalam hati. Memuji betapa lihainya perempuan itu dalam menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. “Pak Prasta.” Jeva memanggil Prasta untuk yang kesekian kalinya karena atasannya itu hanya diam saja. Pria itu hanya menatapnya tanpa mengucap satu patah kata. “Pak!” panggilnya sekali lagi, ia bahkan menggoyang goyangkan tangan di depan wajah Prasta. “Iya.” Prasta tersentak dari pemikirannya tentang Jeva. “Ehm.” Pria itu berdeham lantaran malu ketahuan melamun. “Tugas yang aku berikan padamu bagaimana? Sudah kau bicarakan dengan Nilam?” tanyanya kemudian mengalihkan topik pembahasan. “Sudah, Pak.” Jeva mengangguk dengan mantap. “Tapi ada beberapa jadwal yang tidak bisa dihadiri oleh Pak Daska. Dua atau tiga pertemuan penting tidak bisa di hadiri karena jadwalnya yang bentrok dengan schedule awal Beliau,” jelasnya kemudian mengutarakan ucapan Nilam tadi. “Baiklah, tetap jadwalkan padaku saja kalau begitu,” ujar Prasta kemudian. “Oh, iya. Hal yang ingi aku bicarakan denganmu tadi adalah ini.” Prasta memperlihatkan layar komputernya kepada Jeva. “Laporan keuangan selama 3 tahun terakhir yang perlu kita periksa bersama. Kau tahu jika pamanku Andi terlibat dalam kasus penggelapan pajak. Semua file yang terkait dengan laporan keuangan sempat di periksa dan di audit oleh tim audit. Perusahaan mengalami rugi besar dan saya yakin tidak hanya itu yang terjadi,” jelasnya panjang lebar. “Pak Prasta merasa laporan keuangannya tidak sesuai dengan laporan input output yang sebenarnya?” tanya Jeva. “Tepat, sekali!” seru Prasta. “Om Andi orang yang sangat ambisius, dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan uang. Penggelapan pajak adalah langkah kecil yang bisa dilakukan oleh Om Andi, dia bisa melakukan hal yang lebih dari itu. Saya tidak ingin perusahaan ini hancur hanya kerena sifat serakahnya. Kalau ada masalah yang bisa di deteksi lebih awal, kita bisa mencari solusinya lebih cepat," jelas Prasta panjang lebar. Jeva mengangguk mengerti. “Maaf jika saya harus mengatakannya, tapi kau harus lembur selama beberapa hari dengan saya untuk membahas tentang hal ini.” Prasta mengamati wajah Jeva saat ini. “Tidak, Pak. Saya sama sekali tidak keberatan.” Jeva justru senang karena dengan lembur, ia akan memkirkan pekerjaan. Setidaknya fikirannya tentang kejadian tadi bisa digantikan sejenak. Bekerja dengan Prasta di ruangan ini juga akan membuat dirinya tak bertemu dengan karyawan lama di kantor ini dan terutama dengan Daska. “Baiklah, kita akan memulainya setelah makan siang. Sekarang kau boleh pergi,” ucap Prasta. “Baik, Pak.” Jeva mengangguk sopan, lalu pamit pergi. “Eh, Jev!” seru Prasta saat Jeva hendak mencapai daun pintu. Jeva menoleh kembali ke arah Prasta. “Ada apa, Pak?” tanyanya sopan. Prasta diam sejenak sebelum kemudian berkata,”Saya tidak tahu hubunganmu dengan Daska di masa lalu, tapi...” “Tidak ada apa apa antara saya dan juga Pak Daska,” sahut Jeva cepat. Menjelaskan hubungannya dengan Daska sebelum Prasta membahasnya lebih lanjut lagi. Prasta mengerutkan keningnya. “Bukankah tadi...” “Pak Daska memang mengingat tentang saya dan saya menjelaskan bahwa dulu saya hanya bekerja di perusahaan ini. Hubungan kami dulu tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan.” Jeva menjelaskan dengan tenang. “Oh.” Prasta menggangguk mengerti. “Ada lagi, Pak?” tanya Jeva masih berusaha bersikap tenang. “Tidak ada.” Prasta menggeleng. “Kau boleh pergi,” perintahnya kemudian. Jeva berbalik badan lalu menghilang di balik pintu ruang kerja Prasta. Setelah Jeva keluar ruangan, Prasta tak mampu menahan lengkung kecil di sudut bibirnya. Entah kenapa ia lega mendengar ucapan Jeva tadi mengenai hubungan perempuan itu dengan Daska. "Aku tidak tahu ada apa dengan perasaanku saat ini, Jev. Yang jelas aku lega karena bisa mendekatimu dengan lebih mudah," gumam Prasta. "Dan kalau pun pada akhirnya, hubunganmu dengan Daska jauh lebih rumit dari penjelasanmu. Aku tidak yakin bisa melepaskanmu." *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN