48. Harapan Lucu

1002 Kata
Kedua tangan Jeva masih menggantung di kedua sisinya, perempuan itu masih terkejut saat Daska tiba tiba saja memeluk tubuhnya. Fikirannya saat ini kosong, semuanya menghilang tak berbekas. Sejujurnya, ia merindukan pelukan ini. Ia merindukan kehangan pelukan Daska. Merindukan usapan tangan pria itu di kepalanya. Tangan Jeva masih menggantung, ia ingin sekali membalas pelukan pria itu. Sangat. Tapi..... Ini tidak benar, Jev! Tidak seharusnya kalian seperti ini! Jeva mengerjabkan kedua matanya. Jeritan hati kecilnya membuat perempuan itu tersadar. Jika yang ia lakukan, yang mereka lakukan saat ini salah besar dan harus segera dihentikan. Jeva lalu mendorong tubuh Daska dengan keras. hingga tubuh pria itu terdorong menjauh. “A-apa yang... P-pak Daska lakukan?” Jeva menatap Daska tak percaya. Perempuan itu tak bisa menyembunyikan getar pada suaranya. Daska sendiri juga heran kenapa ia langsung memeluk Jeva, pria itu menggaruk kepalanya salah tingkah. Ia harus segera menjelaskan suapaya Jeva tidak salah paham kepadanya. “Ehm, maaf,” ujarnya merasa tidak enak. “Saya tidak bermaksud apa apa. Saya hanya senang karena sudah bisa mengingat masa lalu saya dan... ingatan saya itu menjelaskan bahwa kita pernah saling mengenal di masa lalu. Kau tidak bisa mengelaknya lagi, Jev. Memang benar jika dulu kita saling menegnal, jauh sebelum pertemuan kita di Korea,” imbuhnya kemudian. Tangan Jeva semakin dingin, sorot matanya tak bisa fokus saking gugupnya. Ingatan? Pria itu sudah mengingatnya. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan jika semuanya terungkap sekarang? “M-maaf, tapi saya tidak mengerti apa maksud Anda. S-saya harus permisi karena masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan.” Perempuan itu pamit pergi. Kembali menghindar sebelum ia luruh di hadapan Daska. “Aku melihatmu di dalam ingatanku, Jev.” Daska mencekal lengan Jeva, menahan perempuan itu untuk pergi. “Aku melihat wajahmu dengan sangat jelas,” ujar Daska dengan serius. Jeva menoleh menatap Daska. Ia hanya diam, menggigit bibir bagian dalam. Berfikir apakah ini memang sudah waktunya untuk jujur kepada pria itu. Cepat atau lambat, semua rahasianya memang akan terbongkar. Namun, ia tidak menyangka jika waktunya hari ini. Di hari pertamanya kembali bekerja di gedung ini. Tapi apa boleh buat, jika waktunya hari ini, ia harus menyiapkan apapun. Perempuan itu mengambil nafas panjang, lalu memejamkan matanya sebelum kemudian membuka matanya dan menatap sorot mata Daska yang mengiba. Sekarang, Jev! Katakan sekarang kepada Daska! Katakan tentang masalalu kalian! Masalalu yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang! “Sebenarnya kita...” Jeva diam sejenak. Lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan. "Sebenarnya, aku dan kau.... kita memang saling menge..." “Apa hubungan kita ada kaitannya dengan kekasihku?” tanya Daska memotong ucapan Jeva. Jeva mengerutkan keningnya, ia menunggu penjelasan Daska selanjutnya. “Aku mendapat kilasan sedang melamar kekasihku di pantai, lalu ingatan itu menghilang dan berganti dengan pertemuan kita. Di situ kau menangis di hadapanku. Aku senang jika ingatanku kembali, tapi aku tidak mengerti kenapa saat itu kau menangis di hadapanku. Makanya setelah aku mendapatkan kilasan, aku langsung mencarimu. Aku ingin bertanya langsung padamu. Mungkin saja kau mengenalnya.” Daska menjelaskan panjang lebar tentang kilasan ingatannya. Jeva masih berusaha mencerna semua penjelasan dari Daska. Ia membasahi bibirnya, lalu berkata,”Pak Daska tidak ingat wajah kekasih, Bapak?” tanyanya lirih. Setelah berusaha mencerna, ia akhirnya mulai mengerti. Daska mengangguk pelan. “Satu satunya yang wajahnya terlihat jelas, hanya dirimu. Apa kau mengenal kekasihku? Apa dulu kalian dekat?” tanyanya kemudian. Entah, Jeva harus mendesah lega atau tidak. Daska belum mengetahui tentang dirinya dan hubungan mereka dimasa lalu. Itu artinya ia memiliki waktu untuk ‘bersembunyi’. Tapi di sisi lain, semakin lama kebenaran terungkap, maka semakin berat beban yang harus ditanggung oleh Jeva. Tapi jika keadaannya seperti ini, apa yang harus ia lakukan sekarang. “Jev,” panggil Daska karena Jeva hanya diam saja. Jeva diam sejenak, ia bingung harus berkata apa. “Ehm, s-sebenarnya saya...” Jeva kembali diam. “Apa Pak Daska tahu kalau saya pernah bekerja di sini? Lebih dari 3 tahun yang lalu. Sebelum saya ke Korea, saya pernah bekerja di sini selama beberapa tahun.” “Ehm, oke. Sepertinya Prasta pernah mengatakannya padaku,” ujar Daska. “Lalu?” tanyanya kemudian. Ia tahu jika hubungan mereka tidak sesederhana itu. Jeva kembali membasahi bibirnya. “Lalu kita hanya bersikap profesional sebagai bawahan dan atasan. Mungkin dulu saya menangis karena Pak Daska memarahi saya. Saya baru bekerja di perusahaan ini, masih melakukan banyak kesalahan, Pak Daska marah kepada saya dan saya menangis. Mungkin waktu itu saya terlalu sensitive karena jauh dari orangtua,” jelasnya panjang lebar. Daska mengerutkan keningnya. “Kau menangis hanya karena aku memarahimu?” Pria itu tak percaya begitu saja. “Hehm. Jauh dari orangtua terkadang membuat seseorang jadi lebih melow dan sensitive,” ujar Jeva bersikap tenang. “Lagipula... memangnya hubungan seperti apa yang Pak Daska harapkan selain profesionalitas bawahan dan atasan? Kita tidak mungkin menjalin hubungan yang lebih dari itu, Pak.” Jeva berusaha meyakinkan Daska. "Dan masalah kekasih... saya tidak mengenal kekasih Anda." Daska merasa kecewa dengan jawaban Jeva barusan. Ia masih berharap lebih pada hubungan mereka dulu. “Lalu kenapa dari sekian banyak karyawan saya di kantor ini, aku hanya mengingatmu?” tanya Daska lirih. Ia mendongak untuk menatap wajah sendu perempuan yang duduk di hadapannya. Jeva ikut mendongak menatap Daska. “Bukan ‘hanya’, tapi memang belum. Setelah Pak Daska hilang ingatan, bukankah saya adalah orang pertama yang Anda temui? Mungkin itu yang memicu ingatan kita di masa lalu,” jawab Jeva menjelaskan dengan tenang. “Maaf, Pak, tapi saya harus pergi. Permisi.” Jeva pamit pergi, kali ini Daska tak mencegahnya dan membiarkan Jeva pergi begitu saja. Daska masih berdiri diam di tempatnya. Ia memang belum percaya dengan semua penjelasan Jeva, tapi penjelasan apa yang lebih masuk akal dari itu. “Benar apa kata Jeva tadi, hubungan seperti apa yang kau harapkan, Das? Kau baru saja melamar kekasihmu dan Jeva menangis di hadapanmu. Heh, lucu sekali saat kau mengharapkan hubungan lebih pada Jeva,” gumam Daska pelan. Pria itu mentertawakan dirinya sendiri. Daska berjalan menuju pintu keluar dengan langkah lesu, entah kenapa ia merasa kecewa dengan pembicaraan mereka. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN