50. Belum Waktunya, Mungkin Nanti

1007 Kata
Jam berlalu dengan cepat, Jeva menyibukkan diri dengan mengecek beberapa laporan supaya fikirannya tidak sibuk memikirkan tentang Daska. Meskipun penjelasannya tadi cukup meyakinkan dan masuk akal, ia yakin jika Daska tidak akan percaya begitu saja. Jeva mengenal sifat Daska, pria itu tidak akan puas dengan jawaban yang masih terasa janggal. Pria itu pasti akan terus menggali sampai akhirnya menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, setidaknya Jeva masih memiliki waktu untuk meneguhkan diri. Rupanya waktu selama ini tak cukup kuat untuk membuatnya berdiri kokoh di hadapan masa lalunya. Ada setitik rasa takut yang berhasil membuatnya goyah, tentang perasaan lain yang mungkin akan menjadi penyeba luka semua orang. "Ah, apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Jeva mengusap wajahnya pelan. Tring! Ponsel Jeva berbunyi sekali. Jeva melirik ponsel di atas meja, ia lalu meraih benda persegi panjang tersebut dan membaca notif pesan yang ternyata dari Denta. Denta | Ayo makan siang bersama. | Kita bertemu di Djurnal kafe | Aku tidak menerima alasan apapun. | Sampai bertemu di sana Jeva tersenyum kecil setelah membaca pesan yang dikirim oleh Denta barusan. Ia lalu mengetik pesan balasan untuk pria itu. Jeva | Baiklah Berhubung saat ini ia tengah gundah, Jeva mengiyakan perintah Denta tersebut. Tidak ada salahnya menenagkan diri dengan makan siang di luar. Mencari suasana baru dan mungkin saja ia bisa menuangkan segala keluh kesahnya kepada Denta. Jeva lalu melirik ke arah jendela ruang kerja Prasta, pria itu masih berada di dalam ruangan. Jeva tidak enak jika harus pergi makan siang. Ia akhirnya beranjak lalu mengetuk pintu ruang kerja Prasta. "Masuk," perintah Prasta dari dalam ruangan. Jeva perlahan masuk dengan sopan, ia melihat Prasta tengah sibuk memeriksa laporan. "Ehm, saya..." Jeva tidak enak meminta izin keluar, sementara ia tahu jika Prasta tengah sibuk bekerja. "Ada apa, Jev?" Prasta mendongak untuk menatap Jeva. Ia tidak sengaja melirik jam dinding di ruangannya. "Oh, sudah masuk jam makan siang," ujarnya kemudian. "Kau ingin makan siang? Pergi saja." Jeva mengangguk pelan. "Ehm, Pak Prasta ingin saya pesankan makanan?" tanyanya kemudian. "Tidak perlu, saya nanti akan pesan sendiri. Kau pergi makan siang saja." Prasta menolak tawaran Jeva. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit pergi. Nanti kalau bapak membutuhkan saya, pak Prasta telfon saja. Saya akan langsung kembali ke kantor," terang Jeva masih merasa tidak enak. "Santai saja, Jev. Nikmati saja makan siangmu," jawa Prasta tersenyum tipis. Jeva tersenyum sopan, lalu pamit pergi. Prasta tersenyum kecil begitu Jeva keluar ruangannya. Setelah izin dengan Prasta, Jeva bergegas mengambil ponsel dan juga tasnya. Ia bersiap menemui Denta di Djurnal kafe. Perempuan itu memasuki sebuah kafe yang tak jauh dari gedung Wenas Groub. Ia melihat ke dalam ruangan, mencari sosok Denta yang tadi mengabarkan sudah sampai di kafe lebih dulu. Jeva melihat Denta duduk di salah satu kursi, ia lantas menghampiri pria itu. “Kenapa dengan wajahmu hari ini?” tanya Denta saat melihat wajah kusut Jeva. Di hadapan pria itu, Jeva bisa menjadi dirinya sendiri. Tidak perlu berpura pura seperti yang ia lakukan saat di depan Daska dan Prasta tadi. Jeva tak langsung menjawab, ia sibuk dengan ponselnya. Setelah selesai, ia lalu mendongak menatap Denta yang duduk di hadapannya. “Daska sudah ingat tentang kekasihnya,” sahut Jeva lirih. Tersenyum kecut dengan hal hal tidak terduga yang terjadi tanpa permisi. “Hah? Maksudmu, dia sudah mengingatmu?” tanya Denta terkejut. “Ehm, bisa iya bisa tidak,” jawab Jeva tersenyum kecut. Ia sendiri juga bingung. “Yak! Apa maksudmu? Jangan membuatku penasaran,” omel Denta karena Jeva menjawab hanya setengah setengah. Jeva menarik nafas panjang sebelum bersuara. “Daska mengingat kekasihnya tapi ia tidak ingat dengan wajahnya. Dia mengingat wajahku tapi tidak ingat dengan hubungan kami,” jelasnya kemudian. Denta diam sejenak, mencerna penjelasan Jeva barusan sampai akhirnya paham. “Terus bagaimana?" tanyanya kemudian. “Terus dia menemuiku, menanyakan apa hubungan kita di masa lalu.” Jeva kembali menghela nafas lelah. Teringat dengan ucapan Daska, juga pelukan pria itu. “Lantas apa jawabanmu? Kau mengatakan yang sebenarnya?” tanya Denta menatap Jeva dengan serius. “Tidak.” Jeva menggeleng. “Berjuang ternyata tidak semudah itu. Saat di hadapan Daska, lidahku terasa kelu. Aku bimbang antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Hingga pada akhirnya aku mengatakan jika kita hanya bekerja secara profesional sebagai atasan dan bawahan.” Jeva kembali menceritakan pertemuannya dengan Daska tadi untuk yang kedua kalinya. “Dia... percaya padamu?” tanya Denta lirih. “Entahlah.” Jeva mengangkat bahunya tak acuh. “Untuk saat ini mungkin ia akan percaya. Mengingat jawabanku cukup masuk akal dan yang paling memungkinkan. Daska tidak mungkin mengharapkan hubungan yang lebih pada kami dulu ‘kan?” Jeva benar benar berharap jika Daska mempercayai ucapannya. “Mungkin,” gumam Denta pelan. “Jika Daska belum mempunyai perasaan spesial untukmu, Jev,” imbuhnya dalam hati. “Tapi masalahnya... sepertinya dia sudah. Hatinya kembali berlabuh kepadamu.,” batin Denta. Pria itu menatap Jeva yang tengah menunduk. Tring Ponsel milik Jeva berbunyi sekali, perempuan itu segera memeriksanya. Pak Prasta | Terimakasih makanannya Jeva tersenyum tipis. Meskipun tadi Prasta melarangnya untuk memesan makan siang, tapi ia berinisiatif untuk melakukannya. Prasta tipe orang yang akan fokus bekerja dan melupakan semuanya termasuk makan. "Pesan dari siapa? Kau sepertinya senang." Denta menatap Jeva dengan raut wajah curiga. "Tidak penting," sahut Jeva menolak untuk menjawab jujur. "Jadi, ada apa kau mengajakku bertemu dan makan siang bersama?" tanyanya kemudian mengalihkan topik pembicaraan. "Ck, memangnya harus ada alasan untuk menemuimu," cibir Denta. "Aku hanya merindukanmu saja," imbuhnya kemudian. Tersenyum konyol di hadapan Jeva. Jeva tersenyum kecil melihat ekspresi Denta saat ini. "Bagaimana dengan orangtuamu?" tanyanya lirih. Denta wajah konyolnya. "Mereka lebih hebat daripada aku. Mereka lebih kuat menerima kenyataan..." Denta diam sejenak. ".... dan aku senang karenanya." "Sama seperti anak yang ingin terlihat kuat di hadapan orangtuanya, mereka juga ingin terlihat kuat di hadapan anak anaknya. Jangan pernah berhenti menghibur orangtuamu, Ta," nasehat Jeva. "Mungkin mereka sudah ikhlas, tapi belum melupakan bekas. Selalu ada untuk orangtuamu, Ta." Jeva menggenggam tangan milik Denta, lalu tersenyum tipis. Denta balas tersenyum dan ikut menggenggam tangan Jeva. "Pasti, Jev, pasti." *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN