46. Ingatan yang Perlahan Kembali

1000 Kata
Daska mengabaikan beberapa laporan kerja di atas mejanya, ia juga membiarkan laptop menyala tanpa berniat menyentuh salah satu benda canggih tersebut. Fikirannya entah melayang kemana, yang jelas tidak ada di ruangan ini. Pandangannya menerawang, tangannya mengetuk ngetuk meja dengan pelan. Apa seharusnya kau mengetahui kejadian yang sebenarnya? “Kejadian apa yang sebenarnya di maksud oleh Denta semalam?” gumam Daska pelan saat mengingat ucapan Denta di klub semalam. Kenapa kau harus melupakannya? Seharusnya kau mengingat penderitaan dan rasa bersalahmu pada semua orang! “Penderitaan dan rasa bersalah pada semua orang? Apa aku pernah melakukan kesalahan besar? Apa aku melupakannya?” Daska sibuk bergumam sendiri. Ia tidak isa tidur memikirkan ucapan Denta semalam, pagi ini ia juga tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya karena ucapan pria itu. Sebenarnya kenapa ucapan dari Denta begitu mengganggunya? “Argh, s**l!” Daska mengacak acak rambutnya karena frustasi. “Aku tidak bisa memikirkan apapun, semakin aku mencoba kepalaku rasanya nyaris meledak.” Pria itu diam sejenak. Ia meraih ponselnya, berniat hendak mendial nomor Denta. “Tapi aku yakin ada sesuatu yang sudah disembunyikan oleh Denta,” gumamnya kemudian. "Aku harus mencari tahu." Jarinya siap mendia nomor telfon Denta, namun terhenti saat mendekat daun pintu ruang kerjanya berbunyi. Ceklek. Pintu ruang kerja Daska terbuka dan Prasta masuk ke dalam ruangan. Daska menautkan alisnya karena heran dengan kedatangan Prasta. Ia melihat ke jendela, di luar ada Jeva yang tengah mengobrol dengan Nilam entah membahas tentang apa. Keinginannya untuk menelfon Denta menghilang, ia berfikir jika orang yang bisa memberinya jawaban sudah ada di depan matanya. "Das." Prasta memanggil nama Daska karena pria itu hanya diam saja sembari menatap ke arah jendela. Lebih tepatnya ke arah Jeva yang tengah mengobrol dengan Nilam. "Das." Prasta memanggil Daska sekali lagi, lebih keras dari yang tadi. “Hah? Ada apa?” tanya Daska kikuk. Ia menoleh ke arah Prasta yang berdiri di hadapannya. Prasta menghela nafas pelan, ia lalu mengambi tempat duduk di depan meja kerja Daska. "Aku hanya ingin membahas sesuatu denganmu, ini masalah yang ditimbulkan oleh Om Andi. Aku akan memulainya hari ini, jadi semua pekerjaanku hari ini sampai satu minggu ke depan, kau yang harus menanganinya. Jeva sudah mengatur jadwalmu dengan Nilam,” jelas Prasta panjang lebar. “Oke.” Daska mengangguk tanpa membantah. Ia masih mencuri curi pandang ke arah Jeva. Prasta menilai sikap Daska yang tidak seperti biasanya. Saudara kembarnya itu biasanya akan mendebat Prasta sebelum pada akhirnya kalah dan menerima perintah darinya. Ia lalu melirik beberapa berkas laporan di atas meja yang filenya masih tertutup. Ia tahu jika Daska belum mengecek laporan di atas meja tersebut. Dan yang paling penting, sedari tadi Daska terus mencuri pandang ke arah Jeva. “Kau ada masalah?” tanya Prasta kemudian. “Hah?” Daska menoleh ke arah Prasta Lagi lagi setelah ia mencuri pandang ke arah Jeva. “Tidak.” Ia menggeleng pelan. “Kalau begitu kenapa kau tidak melakukan pekerjaanmu dengan benar?” Prasta menunjuk beberapa berkas di hadapan Daska. "Perusahaan sedang ada masalah, jadi aku harap kau bekerja dengan serius. Fokus pada pekerjaan dan jangan memikirkan hal yang lain. Terutama perempuan." Daska melirik Jeva sekilas. Daska menatap berkas di hadapannya. Ia kemudian menghembuskan nafas lelah. "Ck, sifat bossymu kembali lagi," komentarnya kemudian. Ia memainkan berkas di hadapannya dengan tangan. "Sebenarnya ada yang sedang aku fikirkan," gumamnya kemudian. “Jelaskan!” perintah Prasta, ia manatap Daska dengan serius dengan tangan bersedekap di depan d**a. Daska melirik Jeva yang masih mengobrol dengan Nilam di luar ruang kerjanya, lalu menoleh ke arah Prasta. “Apa kau tahu kalau aku pernah terlibat masalah besar?” tanyanya kemudian. “Hah?” tanya Prasta tak mengerti pertanyaan Daska barusan. “Ehm, aku sendiri juga bingung menjelaskannya. Aku tidak ingat apa apa, tapi saat bertemu dengan Denta semalam, ia mengatakan aku telah membuat semua orang menderita dan seharusnya sekarang merasa bersalah,” jelas Daska kemudian, menceritakan ucapan Denta kepadanya saat di klub semalam. “Penderitaan?” Prasta semakin tak mengerti. “Aku tidak ingat kau pernah melakukan kesalahan besar. Kecuali hobimu keluar dengan para wanita akhirnya membuatmu terjebak oleh permainanmu sendiri,” ocehnya kemudian. “Yak!” Daska kesal karena Prasta selalu menyebutkan khilafnya. Daska mencoba tak mengacuhkan cibiran saudara kembarnya itu. Ia ingin fokus membicarakan kegelisahannya. “Tidak, ini tidak ada kaitannya dengan hobi... maksudku kekhilafanku," ralatnya kemudian. Prasta tersenyum kecil mendengar ucapan Daska barusan. “Jadi?” tanyanya menuntut penjelasan lebih lanjut dari Daska. “Entahlah, aku juga tidak mengerti makanya tadi bertanya padamu,” oceh Daska kesal. "Maksudku... apa yang harus aku fikirkan atau selesaikan, jika aku tidak mengingat apapun," desahnya. Prasta diam sejenak. “Tunggu! Beberapa waktu ini aku mendapatkan beberapa ingatan. Selama aku di Korea, aku memang tidak pernah mendengar kabar kalau kau membuat masalah apapun, Das. Hanya saja, kau sering menceritakan tentang...” Prasta diam sejenak. “Tentang apa?” tanya Daska mencondongkan tubuhnya ke arah Prasta. Ia penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh pria itu. “Aku mendapat kilasan... Saat itu kita sedang telfon telfonan, kau sering membicarakan kekasihmu. Aku jadi teringat tentangnya, bagaimana kabarnya setelah kau mengalami kecelakaan dan akhirnya hilang ingatan,” ujar Prasta teringat semua percakapannya di telfon beberapa tahun yang lalu sebelum Daska kehilangan ingatan. “Kekasih? Aku memiliki kekasih?” Daska terlihat terkejut mendengarnya. Ia diam sejenak mencoba memikirkannya. Kekasih. Kekasih. Siapa? “Argh!” Daska menggeram pelan saat nyeri di kepalanya muncul. Nyeri yang akhir akhir ini muncul entah apa penyebabnya. Tangannya meremas rambut belakangnya saat nyeri semakin terasa. “Das, kau tidak apa apa?” tanya Prasta khawatir saat melihat Daska kesakitan. Daska masih memegang kepalanya, menjambak rambutnya berharap rasa nyeri di kepalanya akan menghilang. “Kita perlu ke rumah sakit.” Prasta beranjak dari kursinya, menghampiri Daska dan bersiap membantu pria itu berdiri. Daska menepis tangannya, ia menatap Prasta dengan dahi berkerut karena kepalanya masih nyeri. “Aku ingat,” gumamnya lirih. “Apa? Kau bilang apa?” tanya Prasta yang tak begitu jelas mendengar ucapan Daska. “Aku ingat, Pras. Aku ingat tentang kekasihku," bisik Daska lirih. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN