45. Pria yang Kembali Datang

1004 Kata
Tok Tok Tok Jeva mengetuk pintu ruang kerja Prasta setelah sepuluh menit kemudian, sesuai dengan perintah atasannya tadi. Perempuan itu menunggu sebentar sampai Prasta menyahut dari dalam ruangan dan mempersilahkan dia masuk. “Selamat pagi, Pak,” sapa Jeva dengan sopan, perempuan itu masuk ke dalam ruangan, menghampiri meja kerja Prasta dengan membawa tablet di tangannya. “Pagi,” balas Prasta, pria itu tengah menekuni sesuatu. Kemudian ia mendongak menatap Jeva. “Duduk, Jev, diskusi kita akan sangat panjang,” perintahnya kemudian. Jeva diam sejenak, lalu mengambil tempat duduk di depan Prasta. “Apa jadwalku untuk satu minggu ke depan?” tanya Prasta. “Dimulai dengan hari ini, mengecek beberapa laporan mingguan dari semua divisi, ada dua meeting penting setelah jam makan siang dan terakhir pertemuan dengan klien dari Singapura,” jujar Jeva mulai menjelaskan. “Untuk satu minggu ke depan, ada beberapa meeting terkait rencana akuisisi beberapa perusahaan dari direktur sebelumnya, jadwal wawancara untuk teknisi IT yang baru dan beberapa pegawai di berbagai divisi, mengecek laporan...” “Apa ada pertemuan penting dengan klien?” tanya Prasta memotong ucapan Jeva. Jeva menoleh ke arah Prasta, lalu kembali mengecek laporan pada tablet di tangannya. “Tidak ada, Pak.” Perempuan itu menggeleng setelah memastikan jika selama satu minggu ke depan tidak ada pertemuan dengan klien penting. “Baiklah.” Prasta mengangguk mengerti. “Kalau begitu alihkan masalah laporan mingguan kepada Jeremi, dia kepala divisi, untuk meeting hari ini. Lalu minta Fika dan juga Samy untuk mengurusnya dan untuk pertemuan dengan klien dari Singapura, aku tahu jika Pak Edward akan pergi ke Jepang selama seminggu, jadi ganti jadwal pertemuan setelah Beliau sepulang dari Jepang,” terangnya panjang lebar. “Baik, Pak.” Jeva mengangguk. “Dan untuk jadwal besok sampai satu minggu ke depan, alihkan semua pekerjaanku kepada Daska.” Prasta kembali bersuara. “Daska?” gumam Jeva pelan. “Ah, maksud saya.. Pak Daska? Bukankah Beliau masih ada di Korea, Pak?” tanyanya kemudian mengkoreksi ucapannya. Ia tak menyangka akan mendengar nama pria itu di hari pertamanya bekerja di sini. “Dia sudah kembali ke Indonesia, 2 jam lebih cepat sebelum kepulangan kita,” jawab Prasta. Jeva membuka mulutnya karena terkejut dengan ucapan Prasta barusan. Ini benar benar kejutan untuknya. Ia datang ke sini untuk menjauh dari Daska, namun takdir sekali lagi mentertawakan usahanya. Ia ingin membiasakan dirinya dengan Prasta sebelum berhadapan dengan Daska, namun pria itu justru juga berada di sini. Entah, takdir apalagi yang mencoba mengusik hidupnya. Dengan mempertemukan kembali ia, Prasta dan juga Daska dalam pusaran yang sama. "Jev," panggil Prasta karena Jeva tak bersuara. Ia melihat asistennya itu hanya diam melamun, seperti tengah memeikirkan sesuatu. Meskipun hanya feeling, tapi Prasta merasa jika Jeva tengah memikirkan ucapannya barusan. Nama Daska berhasil mengusik perempuan itu. Jeva masih tetap diam dan tak merespon panggilan Prasta. "Jeva!" panggil Prasta sekali lagi. “Iya, Pak," jawab Jeva pada kahirnya. Ia sedikit malu karena melamun di hadapan sang atasan. "Maaf, Pak. Ehm, saya akan berbicara dengan sekretaris Pak Daska,” ujarnya kemudian. Lidahnya terasa kelu saat menyebut nama Daska. Lagi dan lagi. Prasta diam sejenak mengamati ekspresi wajah Jeva saat ini. Sekali lagi ia menjadi pengamat bagi perempuan itu. Lalu perasaan aneh kembali muncul saat melihat ekspresi sendu yang tengah di tutupi oleh Jeva. “Ada lagi yang harus di bahas, Pak?” tanya Jeva dengan senyum tipisnya. “Ehm,... kita bahas lagi setelah kau berbicara dengan Nilam, sekretarisnya Daska,” ujar Prasta tersenyum kikuk karena ketahuan mengamati Jeva. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu.” Jeva pun pamit pergi. Jeva keluar dari ruang kerja Prasta, perempuan itu menutup pintu dengan perlahan. Meraba jantungnya yang berdegup kencang. Ia fikir kembalinya ke Indonesia adalah penyelesaian yang akan ia perjuangkan sendiri atau setidaknya bersama dengan Denta. Tapi ternyata takdir lebih suka melibatkan Daska dalam ‘reuni’ kali ini. Kenapa takdir suka sekali membuat perjalanan Jeva menjadi semakin berat? Saat memasuki gedung ini untuk pertama kalinya, Jeva merasa takut. Ia takut akan tatapan orang orang, pertanyaan yang terlontar, gunjingan mereka dan apapun hal yang menyentuh masa lalu mereka. Namun hari ini suasana kantor jauh lebih tenang, tidak sesuai dengan ketakutan terbesarnya. Atau mungkin belum, mengingat ia baru menginjakan kaki di Wenas Groub selama kurang lebih 2 jam. Ia hanya mendengar desas desus orang membicarakan dirinya pagi tadi di depan lift, selebihnya tidak ada lagi. “Tidak,” gumam Jeva pelan. “Kau tidak boleh terpengaruh, Jev. Ini saatnya untuk menyelesaikan semuanya, jangan lari lagi,” batinya seraya mencengkeram tangannya sebagai bentuk penguatan diri. “Kau pasti bisa,” gumam Jeva. Tidak perduli ada Daska atau tidak, Jeva sudah bertekat akan menyelesaikan semuanya di sini. Ia kembali ke Indonesia bukan untuk kabur lagi. “Bisa apa?” tanya Prasta yang entah sejak kapan berdiri di balik punggung Jeva. Jeva menoleh ke belakang lantaran terkejut. Ia kehilangan kata katanya saat melihat Prasta berdiri tepat di belakangnya, pria itu dalam posisi baru membuka pintu. Perempuan itu lalu mengambil langkah mundur karena jarak mereka yang terlalu dekat. “Ehm, itu...” Jeva terlihat gelisah dan juga gugup. Tidak mungkin mengatakan kepada Prasta, jika ia tengah membicarakan adik kembar pria itu. “Masalah pekerjaan?” tanya Prasta kemudian. Walaupun ia tahu jika sebenarnya bukan itu alasan kegelisahan Jeva. “Iya,” sahut Jeva cepat. “Ehm, m-maksudnya, saya sudah lama tidak bekerja sebagai sekretaris, jadi saya hanya gugup saja saat melakukan tugas dari Pak Prasta,” jelasnya kemudian. “Oh.” Prasta hanya manggut manggut. Jeva tersenyum kikuk. “Pak Prasta membutuhkan sesuatu?” tanyanya kemudian. Prasta keluar ruangan mungkin karena membutuhkan sesuatu. “Tidak.” Prasta menggeleng pelan. “Saya mau ke ruangannya Daska sebenarnya dan berhubung kau belum berangkat, jadi kita bisa pergi bersama,” ujarnya kemudian. “Ehm, baik, Pak.” Jeva tak bisa menolaknya sekalipun sebenarnya ia masih mencoba untuk menenangkan diri sebelum bertemu dengan Daska. “Ayo.” Prasta bergerak lebih dulu. Jeva mengangguk pasrah lalu menyusul langkah Prasta. Mereka berdua pergi ke ruang kerja Daska yang berada tepat di bawah lantai ini, yaitu lantai 29. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN