47. Ini kah Waktunya?

1061 Kata
Jeva melirik jendela ruang kerja Daska sesekali, perempuan itu masih berdiskusi masalah pekerjaan dengan Nilam, sekretaris Daska. Tiba tiba saja perasaannya tidak enak, ia terus melirik ke arah ruang kerja Daska. Pria itu tengah berbicara serius dengan Prasta. “Jev, kau tidak apa apa?” tanya Nilam yang melihat kegelisahan Jeva. “Hah?” Jeva menoleh ke arah Nilam sedikit terkejut. Ia kemudian tersenyum canggung. “Tidak, aku tidak apa apa,” ujarnya kemudian. “OKe, aku sudah memasukan semua jadwal kerja Pak Prasta ke dalam jadwal kerja Pak Daska, namun ada satu dua pertemuan yang tidak bisa dihadiri oleh Pak Daska. Bisa kau tanyakan pada Pak Prasta untuk masalah ini?” tanya Nilam masih membahas pekerjaan. “Tentu.” Jeva tersenyum tipis. “Aku akan membahasnya dengan Pak Prasta.” Cekrek. Terdengar daun pintu yang di tarik oleh seseorang. Jeva dan juga Nilam menoleh secara bersamaan. Daska keluar dan langsung berjalan ke arah mereka. Kedua perempuan itu terlihat bingung saat Daska berdiri di hadapan Jeva. “A-ada apa, P-pak?” tanya Jeva gugup. “Kita perlu berbicara,” ujar Daska dan tanpa menunggu lama, pria itu menarik tangan Jeva dan mengajaknya pergi. Nilam semakin heran melihat sikap atasannya itu. Perempuan itu lalu melihat ke arah ruang kerja Daska, di dalam masih ada Prasta yang masih duduk membelakanginya. Pria itu tengah mengusap wajahnya beberapa kali. “Sebenarnya apa yang terjadi?” gumam Nilam pelan. Perempuan itu mengangkat bahunya tak acuh, lalu kembali ke meja kerjanya. Siap mengerjakan tugas barunya sebagai sekretaris Daska. Jeva menatap hamparan kota Jakarta dari atap gedung Wenas Groub. Rupanya Daska mengajak perempuan itu ke atap gedung. Mereka berdiri di samping pagar pembatas, tanpa mengucapkan satu katapun. Atap Wenas Groub di desain menyerupai taman. Banyak tumbuhan dan pepohonan, bahkan ada danau kecil. Ada rumah kaca yang memiliki beberapa jenis bunga juga. Tempat ini merupakan tempat healing yang paling sempurna untuk orang orang ditengah kesibukannya bekerja. Angin yang berhembus pelan menerbangkan helai rambut mereka berdua. Jeva berdiri diam, begitu juga dengan Daska. “Aku ingat, Jev.” Pada akhirnya, Daskalah yang memulai pembicaraan. Tubuh Jeva langsung kaku, perempuan itu menatap lurus ke depan. Tidak berani menoleh ke arah Daska, ia tidak sanggup untuk mendengar ucapan pria itu selanjutnya. Jeva menautkan kedua tangannya yang terasa dingin. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan kaku. Takut memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. “Prasta mengatakan padaku jika dulu aku sering bercerita tentang kekasihku padanya.” Daska kembali bersuara. “K-kekasih?” Kelu. Lidah Jeva terasa kelu saat mengatakannya. Ia semakin mengeratkan tangannya, tanpa perduli jika kukunya menancap semakin dalam. “Hehm.” Daska mengangguk antusias. Pria itu membalikkan badan Jeva, membuat perempuan itu menghadap ke arahnya. “Aku ingat pernah melamarnya, aku memberikan sebuah cincin kepadanya,” celoteh Daska. Jeva meremas tangannya semakin erat, ia hanya menunduk tak berani menatap mata Daska. “K-kau m-mengingat...” Ia menggigit bibirnya, tak sanggup meneruskan ucapannya. “Iya, Jev, aku mengingatnya.” Tanpa aba aba, Daska meraih pundak Jeva dan memeluknya erat. “Aku mengingatmu,” bisiknya lirih. Pria itu membenamkan kepalanya pada rambut Jeva, meremas kepala perempuan dalam dekapannya dengan lembut. Deg. Deg. Deg. Jantung Jeva berdetak semakin kencang. Tubuhnya terasa kaku. Lidahnya terasa kelu. Inikah akhirnya? ***** Prasta mondar mandir di ruang kerjanya, pria itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya setelah menunggu Jeva tak kunjung kembali ke ruang kerja Daska. Saudara kembarnya juga tak kunjung kembali, jadi ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendirian. Namun fikirannya tak bisa tenang, ia terus memikirkan ucapan Daska saat di ruang kerja pria itu tadi. Flashback On “Aku mengingatnya!” seru Daska setelah sekelebat ingatn muncul dalam benaknya. Prasta menatap saudara kembarnya intens. “Kau sudah mengingat kekasihmu?” tanyanya kemudian. “Hehm.” Daska mengangguk antusias. “Aku dan dia berada di pinggir pantai, kami ada di... Vila keluarga!” Pria itu mencoba mengingat ingat. “Kepulauan seribu?” tanya Prasta memastikan. “Iya.” Daska kembali mengangguk. “Kami duduk berdua, lalu aku mengeluarkan sesuatu dari saku jasku. Sebuah cincin,” ocehnya kemudian. “Cincin?” Alis Prasta saling menyatu. Kali ini giliran dirinya, sebuah ingatan masuk ke dalam benaknya. “Oh, aku ingat! Kau mengatakan akan melamar kekasihmu!” serunya kemudian. “Lamar?” “Hehm, pasti begitu. Kau mengatakan akan melamar kekasihmu, tapi belum menentukan tentang pernikahan karena kekasihmu belum siap untuk ke jenjang yang lebih serius,” celoteh Prasta menjelaskan kilasan ingatan yang melesak ke benaknya. “Mungkin memang seperti itu. Aku melihat kita berpelukan. Aku bisa merasakan kebahagiaan yang meluap, Pras,” oceh Daska dengan semangat. “Bahkan sampai saat ini,” bisiknya lirih. “Lalu bagaimana? Apa kau ingat siapa kekasihmu?” tanya Prasta terdengar antusias. Sebagai seorang kakak, ia tentu senang jika pada akhirnya Daska mulai mengingat masa lalunya. “Itu..” Daska mencoba menggali ingatannya jauh lebih dalam. Menelusuri masa lalunya, mencari tahu siapa perempuaan yang ia lamar dulu. Daska merasakan genggaman tangannya yang menggenggam seorang perempuan, ia tersenyum menatap cincin yang terpasang di jari manis perempuan itu. Daska lalu mendongak, ingin melihat raut kebahagiaan dari kekasihnya. 1... 2... 3... “Argh!” Daska meringis saat nyeri di kepalanya kembali muncul. Kali ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. “Das? Kau tidak apa apa?” tanya Prasta yang panik saat melihat Daska mengaduh kesakitan. Ia memegang pundak Daska. "Jangan memaksa kalau kau memang tidak ingat. Kau tidak ingat kata dokter!" omelnya kemudian. " Kesehatan lebih penting daripada ingatanmu yang hilang." Daska masih meringis, tangannya memegang kepalanya. Meremas rambutnya berharap nyeri di kepalanya akan hilang. “Jeva,” gumamnya lirih. “Apa?” Prasta tentu saja terkejut mendengarnya. “Ini semua ada hubungannya dengan Jeva, Pras.” Daska menatap Prasta dengan ekspresi seriusnya. Nyeri di kepalanya masih terasa walaupun tak sekuat tadi. Ia melihat kilasan sosok Jeva pada masa lalunya. “Jeva.... kekasihmu?” Kalimat Prasta menggantung di udara. Pria itu mematung, membiarkan Daska melesak keluar ruangan tanpa mencegahnya. Tubuh Prasta perlahan lemas, ia menyangga tubuhnya lalu kembali duduk di kursinya yang tadi. “Astaga.” Prasta mengusap wajahnya berkali kali. Flashback Off Prasta melirik ke arah luar jendela, berharap melihat Jeva duduk di kursinya. Namun kursi itu kosong, tidak ada sosok Jeva yang duduk di sana. Pria itu lalu meraba jantungnya, detak jantungnya menggila tanpa alasan. Atau mungkin alasannya karena kilasan masa lalu Daska yang mulai terkuak? “Lalu apa hubungannya denganku?” gumam Prasta lirih. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN