54. Obrolan yang Mendekatkan

1001 Kata
"Ngomong ngomong, kita belum pernah mengobrol tentang hal lain selain masalah pekerjaan," ujar Prasta tiba tiba di sela acara makan malam. "Hehm?" Jeva menoleh ke arah pria itu. "Kita hanya berbicara tentang pekerjaan, aku tidak mengenalmu dari cerita dan hanya dari file yang k*****a," jelas Prasta. Jeva diam sejenak. "Bukan bermaksud apa apa, Jev." Prasta menyadari keraguan Jeva. "Hanya saja... kita bisa berteman di luar kantor. Maksudku... kita bisa membicarakan apapun selain masalah pekerjaan," jelasnya kemudian. Jeva mengangguk mengerti, tapi ia tak langsung menanggapi. "Tapi kalau kau memang keberatan, tidak masalah," ujar Prasta cepat. Ia tidak ingin membuat Jeva canggung dengannya. Ia tidak ingin membuat Jeva tak nyaman bekerja dengannya. "Jadi... Pak Prasta ingin tahu tentang apa?" tanya Jeva pada akhirnya. Ia tidak keberatan jika Prasta menawarkan hubungan pertemanan kepadanya. Prasta tersenyum sumringah karena mendapat respon positif dari Jeva. "Terserah kau saja," pintanya terlalu semangat. "Kau bisa memulai dari manapun." "Baiklah." Jeva mengangguk mengerti. "Ehm, saya berasal dari Malang." Jeva memulai ceritanya. "Orangtua saya petani dan saya 3 orang bersaudara." Prasta mengangguk angguk. "Kau anak ke berapa?" tanyanya kemudian. "Saya anak ke dua. Kakak saya, perempuan, dia sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di Tulungagung. Lalu saya juga punya adik, sekarang masih kuliah di UB," jawab Jeva menjelaskan. "Terus? Apa yang membawamu ke Jakarta?" tanya Prasta ingin tahu. "Ehm, entahlah. Saya sebenarnya tidak punya rencana apapun dalam hidup saya. Dulu." Jeva tersenyum menerawang. "Karena apapun rencana saya, semuanya tidak berjalan dengan apa yang saya harapkan." Prasta semakin tertarik dengan cerita Jeva. "Contohnya?" "Pertama, waktu saya masih SMA. Dulu saat naik ke kelas XI, saya bingung antara memilih IPA atau IPS. Lalu pada kahirnya saya memilih IPA karena teman teman saya banyak masuk ke dsana, saya juga berfikir kalau IPA lebih banyak membawa untung bagi saya." Jeva diam sejenak. Prasta hanya diam mendengarkan. "Lalu pada akhirnya saya masuk IPA. Setelah itu waktu saya kuliah. Sebelumnya saya sudah punya rencana untuk mengambil kuliah desain interior saat kuliah nanti, namun orangtua saya tidak memberikan izin karena jurusan itu tidak ada di Malang dan ada di Semarang. Beliau tidak ingin saya merantau ke Semarang dan ingin saya kuliah di Malang saja." "Jadi akhirnya kau mengambil jurusan Manajemen?" tanya Prasta. "Awalnya tidak." Jeva menggeleng. "Hehm? Lalu?" "Setelah orangtua saya melarang kuliah di Semarang, akhirnya sata setuju kuliah di Malang. Saya bilang akan mengambil jurusan DKV, Desain Komunikasi Visual. Dan, lagi lagi orangtua saya tidak setuju. Karena jurusannya masih asing di telinga orangtua saya dan mereka takut jika prospek kerja ke depannya tidak bagus. Beliau menyuruh saya mengambil jurusan PGSD." "Hah? Jadi guru SD?" "Hehm." Jeva mengangguk. "Terus?" "Waktu itu saya mendaftar kuliah bersama dengan sepupu saya karena kami seumuran. Saya bingung mau daftar kuliah dimana karena saya tidak tertarik mengambil jurusan PGSD. Sampai akhirnya saya tanpa ke sepupu saya itu dan ternyata dia mengambil jurusan manajem. Lalu saya ikut saja mengambil jurusan itu." "Tunggu. Jadi maksudnya, kau mengambil jurusan manajemen karena ikut ikut dengan sepupumu." Prasta tak dapat menyembunyikan senyumannya. "Iya." Jeva ikut tersenyum. "Dan beruntungnya, saat itu saya yang keterima sedangkan sepupu saya tidak." "Serius? Terus sepupumu bagaimana?" "Dia tes lagi untuk gelombang selnajutnya dan keterima di jurusan PGSD. Benar benar tak terduga sama sekali." Jeva menerawang mengingat kejadian dulu. "Makanya sejak itu saya tidak merencanakan beberapa hal, saya membiarkannya mengalir begitu saja." "Oh." Prasta mengangguk angguk mengerti. "Lalu bagaimana kuliahmu? Bukankah jurusan Manajemen akan asing bagimu yang saat SMA dulu mengambil IPA?" tanyanya kemudain. "Memang." Jeva mengangguk membenarkan. "Yang paling saya ingat waktu jaman kuliah dulu, saat sidang. Dulu kebetulan saya mendapat dosen penguji yang dua duanya killer. Sampai saya harus mengganti rumus perasamaan laporan yang artinya mengubah seluruh isi laporan saya dari awal sampai akhir. Padahal waktu itu saya sudah dinyatakan lulus." Jeva mempoudkan bibirnya karena sedikit kesal. "Hahahahaha." Prasta justru tertawa melihat wajah lucu Jeva. "Kenapa Pak Prasta malah tertawa?" tanya Jeva tak habis fikir. "Bapak tahu kalau saya harus mengerjakan laporan lagi selama 3 hari tanpa istirahat yang cukup. Padahal sebelumnya saya mengerjakan laporan itu dalam waktu hampir 1 semester dan dosen penguji saya itu menyuruh saya untuk mengubah laporan hanya dalam waktu 3 hari. Gila kan!" celoteh Jeva menggebu nggebu. Ia bahkan tidak sadar sedang bercerita di depan atasannya karena terlalu bersemangat bercerita. "Ehm, maaf." Jeva meminta maaf setelah sadar jika terlalu hebih. "Tidak apa apa," ujar Prasta di sela tawanya. "Jadi bagaimana setelahnya? Apa kata dosen pengujimu setelah laporannya selesai?" tanyanya kemudian. "Benar benar menyebalkan." Jeva mendesah pelan. "Laporan saya sama sekali tidak Beliau baca. Bahkan di lihat saja tidak. Beliau hanya mengatakan, 'Sudah selesai?', terus saya jawab 'sudah, Pak'. Terus beliau tanya lagi 'Sudah 3 persamaan?', saya jawab iya lagi. Setelah itu Beliau cuma bilang, 'Ya sudah, sini saya tandatangani'. Wah, padahal waktu itu saya sudah siap siap di omeli karena pasti laporan saya banyak yang salah," celoteh Jeva panjang lebar. "Hahahahaha." Prasta kembali tertawa. "Pantas saja kau tidak lupa dengan sidangmu dulu, lucu sekali dosen pengujimu itu. Kelihatannya Beliau hanya ingin mengetesmu saja," komentar Prasta di sela tawanya. "Nah, saya juga berfikir seperti itu," sahut Jeva lalu tertawa bersama Prasta. Setelah masalahnya dengan Daska, baru kali ini bisa Jeva tertawa sepuasnya. Ia bahkan menjadi Jeva yang cerewet dan bercerita banyak hal. Bukan lagi menjadi Jeva yang dingin dan pemurung. Seakan akan bebannya telah terangkat sehingga ia tak rgu lagi untuk teratwa lepas. "Saya senang bisa melihatmu teratwa lepas seperti ini," ujar Prasta tersenyum tulus. Jeva menghentikan tawanya, ia sendiri juga bingung kenapa bisa tertawa lepas di hadapan Prasta. Keduanya hanya diam saling berpandangan, tidak ada yang bersuara dan membiarkan hening mengambil alih ruangan tersebut. "Ehm, ayo lanjut makan!" Prasta yang pertama kali memecah keheningan. Terlalu lama bertatapan dengan Jeva membuatnya canggung karena tidak bisa mengontrol degub jantungnya yang menggila. "Eh, iya." Jeva mengangguk dengan canggung. Setelahnya kedua orang itu menikmati makanan sambil sesekali bercerita. Prasta menceritakan tentang kuliahnya, juga pengalamannya bekerja di berbagai negara. Sedangkan Jeva hanya menjadi pendengar yang baik dan sesekali menanggapi cerita Prasta. Hingga malam kian larut dan waktu berlalu dengan begitu cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN