55. Tawaran Pulang Bersama

1005 Kata
Jeva merapikan kotak makanan setelah mereka berdua selesai makan. Perempuan itu dengan cekatan membersihkan sisa sampah plastik, sumpit bekas dan juga botol bekas minuman. Ia juga mengambilkan minuman untuk Prasta. “Aku bisa mengambil minuman sendiri, Jev. Kau bersikap seperti istriku dan bukannya sekretarisku,” celoteh Prasta tersenyum kecil. “Hah? Eh.” Jeva jadi salah tingkah mendengar ucapan Prasta barusan. “Maaf.” Prasta menghela nafas. “Ehm, ayo bekerja lagi,” ujarnya kemudian. Jeva mengangguk. Ia membuang sampah ke tong sampah, lalu kembali duduk di sofa panjang. Ia duduk di sebelah Prasta dan mereka kembali bekerja. Suasana menjadi hening, hanyaa terdengar detik jam dan juga ketikan pada keyboard laptop. Keduanya adalah tipe orang yang sama saat bekerja. Fokus pada pekerjaan, tak mengucapkan apapun dan tidak akan istirahat sebelum pekerjaan mereka selesai. Mereka sama sama disiplin, ambisius dan tegas. Mempunyai prinsip yang sama akan pekerjaan, mereka menjadi lebih mudah dekat. Menit berlalu, jam pun berlalu. Tak terasa mereka sudah bekerja hingga pukul 11 malam. Prasta selesai dengan laporannya, ia kemudian melirik ke arah Jeva. Perempuan itu masih fokus pada pekerajaannya. “Kau belum selesai?” tanya Prasta kemudian. “Belum, Pak,” jawab Jeva tanpa menoleh ke arah Prasta. “Baiklah, saya akan membuat kopi untuk kita berdua,” ujar Prasta beranjak berdiri. Jeva menoleh ke arah Prasta. “Biar saya saja, Pak,” serunya kemudian merasa tidak enak. Ia hendak berdiri. “Tidak apa apa.” Prasta menyentuh pundak Jeva dan membiarkannya kembali duduk. “Kau lanjutkan saja pekerjaanmu,” perintahnya kemudian. Jeva diam sejenak, lalu mengangguk mengerti. Prasta berlalu pergi dari ruangannya, pria itu keluar menuju pantry. Gedung kantornya sepi tanpa penghuni. Gedung dengan lebih dari 20 lantai itu padam semua, hanya ada lantai yang menyala yaitu pada lantai tempat mereka bekerja. Di lantai tersebut terdapat pantry mini, tempat yang biasa digunakan oleh Prasta dan asistennya membuat minuman. Prasta mengambil dua bungkus kopi instan, ia menaruhnya ke dalam dua cangkir yang berbeda lalu menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Menunggu sejenak hingga cangkir terisi dengan air. Pria itu lalu mengambil sendok untuk mengaduk kopinya. Setelah siap, ia kembali ke ruangannya dengan membawa dua buah cangkir berisi kopi seduh. Ceklek. Prasta membuka pintu, lalu masuk ke dalam. Ia mendekati sofa, tersenyum kecil saat melihat Jeva ketiduran di sofa. Perempuan itu pasti kelelahan setelah bekerja dari pagi hingga tengah malam seperti ini. Pria itu menaruh cangkir di tangannya ke atas meja. Ia lalu berjalan mendekati Jeva. Memindahkan file di tangan perempuan itu dengan hati hati hati. Ia lalu merubah posisi Jeva menjadi berbaring di sofa panjang dengan bantalan blazer milik perempuan itu sendiri. Pria itu lalu mengambil jas miliknya di gantungan dan membuatnya menjadi selimut untuk Jeva. Prasa lantas duduk di atas meja, mengamati wajah damai Jeva dalam diam. Wajahnya terlihat damai, ini wajah yang sebenarnya di tunggu tunggu oleh Prasta. Wajah asli perempuan itu, bukannya ekspresi di buat buat yang biasa Jeva tunjukan di hadapannya semua orang termasuk dirinya. “Sebenarnya bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya, Jev? Kenapa kau menyembunyikan wajah aslimu di balik seribu kebohongan ekspresimu? Aku tidak tahu apa alasannya, tapi aku ingin menjadi orang yang bisa melihat wajah aslimu. Ekspresimu yang sesungguhnya tanpa dibuat buat,” batin Prasta dalam hati. Pria itu mengulurkan tangannya, menyisihkan rambut yang ada di pelipis Jeva. Prasta mengamati tidur lelapnya Jeva hingga beberapa menit ke depan. Sampai akhirnya, ia beranjak dan duduk di sofa single. Ia harus menyelesaikan laporan milik Jeva. Ia duduk menghadap laptop perempuan itu dan mulai tenggelam ke dalam pekerjaanya. ****** Malam semakin larut, hingga akhirnya tengah malam terlewat begitu saja. Pukul 2 dini hari, Prasta baru selesai mengerjakan laporan keuangan yang tadi dikerjakan oleh Jeva. Pria itu beranjak berdiri, meregangkan otot otot punggungnya yang terasa kaku. Ia kemudian mengambil satu cangkir kopi keduanya, lantas berjalan menuju dinding kaca di ruangan kerjnaya, melihat ke bawah pada jalanan kota Jakarta yang tak pernah tidur. Dari tempatnya melihat, masih banyak kendaraan hilir mudik di bawah sana. Ia menyeduh kopi miliknya, meletakkan tangan kirinya ke dalam saku celana. Berdiri menghadap ke arah jendela dan mengamati pemandangan kota yang terbentang di hadapannya. “Eugh.” Jeva melenguh dari tidurnya, ia mengerjab ngerjabkan kedua matanya, lalu terbangun dengan cepat saat tersadar jika ia tertidur di ruangan kerja Prasta. “Pak Prasta,” serunya panik. Ia segera menegakkan tubuhnya, merapikan pakaiannya yang kusust, juga beberapa anak rambutnya yang berantakan. “Maaf, saya ketiduran,” ujarnya kemudian meminta maaf. Prasta berbalik badan dan menatap ke arah Jeva. “Kau pasti kelelahan,” gumamnya kemudian menghampiri perempuan itu. “Astaga, bisa bisanya aku ketiduran di saat bekerja. Padahal biasanya aku insomnia, tapi kenapa aku malah tertidur. Aroma parfum milik Pak Prasta yang tersebar di seluruh ruangan seperti aroma terapi yang membuat tidurku semakin pulas.” Jeva mengomel dalam hati. “Ah, bagaimana dengan pekerjaanku?” gumamnya pelan. Ia buru buru mencari laptop dan file yang ia butuhkan. “Saya sudah menyelesaikan pekerjaanmu,” ujar Prasta yang rupanya mendengar ucapan Jeva tadi. “Apa?” Jeva terkejut tentu saja, ia semakin merasa tidak enak. “Maaf, Pak, saya ketiduran saat bekerja. Biasanya saya tidak seperti ini. Saya bukan orang yang tidak betanggungjawab. Saya akan meng...” “Saya mengerti, Jev,” ujar Prasta memotong ucapan Jeva. Jeva menunduk merasa bersalah. Ck, sangat ceroboh. “Ayo pulang! Ini sudah pukul 2 dini hari.” Prasta melirik jam rolex di pergelangan tangannya. “Aku akan mengantarmu pulang. Besok kau bisa ke kantor siang saja, aku memberimu kompensasi karena sudah kerja lembur,” ujarnya kemudian. Ia mengulurkan tangannya ke arah Jeva. Jeva menatap tangan Prasta dengan raut wajah bingung. Prasta tersenyum kecil. “Jas saya, Jev,” ujarnya kemudian. “Oh.” Jeva lekas menyerahkan jas yang menutupi pahanya kepada Prasta. Ia tersenyum malu. Lagi lagi tingkah konyol yang biasanya tidak ia lakukan bahkan saat di hadapan Daska dulu. “Ayo!” Prasta mengajak Jeva untuk pergi. “Iya, Pak.” Jeva mengambil blazer dan jugaa dompet miliknya. Mengikuti Prasta keluar ruangan, lalu meraih tas miliknya di meja kerjanya. Mereka berjalan beriringan menuju lift. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN