53. Perasaan Asing yang Kembali Muncul

1001 Kata
Prasta menatap layar LED di hadapannya, ia tengah serius melihat presentasi yang diberikan oleh perusahaan asal Makassar yang ingin menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Meskipun Wenas Groub sedang bermasalah, tetapi berkat anak perusahaannya yanglain, perusahaan itu tetap bisa stabil dan tidak menurunkan keinginan dari perusahaan lain untuk bergabung dengan Wenas Groub. Selama rapat, meskipun wajahnya terlihat serius, namun matanya selalu melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Ia tak menyangka jika rapat akan memakan waktu yang sangat lama dari perkiraannya. Ia memikirkan Jeva yang bekerja sendirian di ruang kerjanya. "Saya berencana untuk membuka restoran baru di pinggiran pantai kawasan pulau. Restoran yang menyediakan bahan bahan mentah sehingga calon pengunjung bisa memilih sendiri bahan masakan mereka. Kita akan menyediakan berbagai macam sayuran dari petani lokal, lalu berbagai macam seafood segar hasil dari para nelayan lokal. Sehingga kita bisa membantu nelayan lokal untuk meningkatkan penghasilan mereka," terang salah satu perwakilan perusahaan MK. "Hehm, menarik," komentar Prasta. "Bagaimana dengan peluangnya? Persaingannya? Meskipun ini ide yang jarang saya dengar, tapi kita tetap harus mempertimbangkan peluang usahanya," terangnya kemudian. "Kalau masalah itu, Pak Prasta tenang saja. Ini adalah laporan survei yang telah kami lakukan di sekitar lokasi." Alan menyerahkan file laporan kepada Prasta. Prasta menerima laporan tersebut dan membacanya dengan seksama. Disaat Prasta sibuk dengan rapatnya dengan Perusahaan MK asal Makassar, Jeva masih sibuk menekuni laporan di ruang kerja pria itu. Sampai akhirnya 2 jam berlalu begitu saja tanpa terasa. “Hehm, sudah hampir jam makan malam,” gumam Jeva saat melihat jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul 7 lebih sepuluh menit. “Apa rapatnya memang sealot itu, kenapa Pak Prasta lama sekali?” ujarnya pada ruangan hampa. Ia melirik pintu ruang kerja Prasta yang masih tertutup rapat. Perempuan itu bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju jendela besar yang ada di ruangan Prasta. Ia melihat lampu lampu kota Jakarta yang berkedip kedip. Jalanan di bawah sana, hilir mudik kendaraan yang terlihat kecil jika di lihat dari ketinggian. “Ah, sebaiknya aku pergi membeli makanan,” ujar Jeva kemudian. Ia keluar ruangan, mengambil dompetnya. Beberapa menit kemudian, Prasta kembali ke ruangannya. Pria itu menggerakkan lehernya yang terasa berat dan pegal. Dia mengerutkan keningnya saat melihat ruangannya kosong. Jeva tidak ada di ruangannya. “Kemana Jeva?” gumam Prasta pelan. Ia melihat blazer milik Jeva masih tersampir di kepala sofa, itu artinya perempuan itu belum pulang. “Apa dia di kamar mandi?” Pria itu lantas berjalan ke arah kamar mandi, mengetuk pintu dan menunggu jawaban dari dalam. Namun tidak ada jawaban setelah menunggu beberapa detik, ia memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi dan tidak menemukan siapapun. “Jeva pergi kemana sebenarnya?” gumam Prasta bertanya tanya. Ia kemudian mengambil ponsel di dalam saku jasnya, lalu mendial nomor Jeva. Terdengar getaran samar yang ia dengar. Prasta menelusuri asal getaran tersebut, dan menemukan ponsel milik Jeva ada di dalam saku blazer milik perempuan itu. “Ah, dia tidak membawa ponselnya,” gumam Prasta memegang ponsel milik Jeva. Prasta bergerak gelisah, ia khawatir pada Jeva. Ia kemudian memutuskan untuk menelfon satpam kantor dan menanyakan tentang Jeva. Ceklek. Bunyi daun pintu yang terbuka membuat Prasta menoleh ke arah pintu. “Jeva,” serunya kemudian setelah melihat sosok Jeva berdiri di ambang pintu. “Pak Prasta sudah kembali dari rapat?” tanya Jeva, ia menghampiri Prasta. Di tangannya ada dua kantong kresek dari restaurant dekat perusahaan. “Kau kemana saja?” tanya Prasta tanpa menunjukan raut khawatirnya. “Ehm, saya.. pergi membeli makanan, Pak. Tadi Pak Prasta melewatkan makan siang, jadi saya pergi makanan. Supaya nanti jika Pak Prasta kembari dari rapat bisa langsung makan malam,” jelas Jeva menceritakan alasan kepergiannya. “Lalu kenapa kau tidak membawa ponselmu?” Prasta mengacungkan ponselnya di hadapan Jeva. “Itu... saya lupa membawanya,” jawab Jeva tersenyum tipis. “Lain kali jangan lakukan lagi,” ujar Prasta lirih. Jeva merasa bersalah dan akhirnya memilih untuk meminta maaf. “Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan pergi tanpa pam...” “Maksudku pergi tanpa membawa ponselmu.” Prasta memotong ucapan Jeva.” Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana? Setidaknya aku bisa menghubungimu atau kau bisa menghubungiku” imbuhnya kemudian. Jeva hanya diam, ia melihat Prasta yang memasang ekspresi khawatir. “Saya tidak apa apa, Pak. Lagipula saya hanya membeli makanan di sekitar perusahaan,” ujarnya berusaha meyakinkan Prasta. Prasta menghela nafas pelan. “Ya sudah, ayo kita makan. Kau pasti juga belum makan malam,” ujarnya kemudian. Jeva hanya mengangguk lalu mengikuti Prasta duduk di sofa. Prasta merapikan beberapa file yang berserakan di atas meja. Menyisakan ruangan untuk menaruh makanan yang telah dibeli Jeva. “Saya membeli paket makanan Jepang, Pak Prasta tidak keberatan ‘kan?” tanya Jeva sembari menyiapkan makanan untuk Prasta. “Saya tidak pemilih soal makanan,” sahut Prasta menerima apapun makanan yang dipesan Jeva untuknya. “Ini.” Jeva menyerahkan kotak makanan kepada Prasta. Juga sumpit dan sebotol minuman. “Terimakasih.” Prasta menerimanya dengan senang hati. Keduanya mulai makan dalam diam. Fokus pada makanan masing masing. Tidak ada yang bersuara, hanya detik jam yang terdengar begitu jelas. Prasta sering mencuri pandang ke arah Jeva, pria itu lega karena Jeva tidak kenapa kenapa. Entah, apa yang terjadi, tapi ia merasa takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan itu. Prasta ingin melidungi Jeva, entah saat di Korea dulu atau sekarang saat mereka bekerja bersama. “Aku ingin melindungimu, padahal aku belum mengenalmu seutuhnya, Jev. Sebenarnya ada apa dengan hatiku?” batin Prasa dalam hati. Jeva bukannya tak menyadari tatapan Prasta, sebenarnya ia sadar jika Prasta sering mencuri pandang ke arahnya bahkan saat mereka bekerja siang tadi. Namun ia tak sanggup untuk membalas tatapan Prasta. Duduk di dekatnya, berada di dalam satu ruangan yang sama sudah cukup membuat jantungnya berdebar kencang, apalagi jika kedua mata mereka saling bertemu. Jeva tidak tahu apa yang sedang ia rasakan, tapi hal ini sudah terjadi sejak mereka bertemu di Korea. Perasaan asing itu muncul lagi di hati Jeva setelah sekian lama. “Apa hatiku terjatuh lagi?” batin Jeva dalam hati. "Ini, tidak mungkin kan?" ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN