42. Rahasia dan Lembaran Baru

1019 Kata
Prasta menutup laptopnya, menyelesaikan pekerjaan di rumah adalah rutinitas yang tidak bisa ia tinggalkan apalagi saat kondisi perusahaan sedang genting seperti ini. Banyak sekali yang harus di lakukan untuk kemajuan Wenas Groub ke depannya. Pria itu baru saja merangkum datan keuangan selama kurun waktu 3 tahun ke belakang, ia hanya menaruh beberapa data menajdi satu file dalam folder. Meskipun Prasta pintar dan cekatan, namun ia sadar jika tidak bisa menyelesaikan semuanya sndiri. Jadi ia akan mendiskusikannya dengan Jeva saat perempuan itu sudah bekerja. "Huwah." Prasta menguap lebar, tubuhnya terasa kaku dan ia tidak sabar untuk berbaring di kasur empuknya. Pria itu hendak tidur saat bel pintu apartemennya berbunyi berkali kali. Prasta mencoba mengabaikannya, itu pasti Daska dan ia tidak ingin malamnya terganggu oleh kedatangan sadara kembarnya yang tidak tahu diri itu. Ia menutup telinganya dengan bantal karena bunyi bel terus mengganggunya. “Astaga! Aku harus mematahkan tangan Daska supaya dia tidak bisa menggangguku lagi.” Prasta mengumpat dan dengan kesal beranjak dari tempat tidurnya. Pria itu keluar dari kamar, berjalan tergesa gesa menuju pintu penthousenya. Ia tidak sabar untuk memaki Daska. Prasta membuka pintu dan makiannya tertahan di mulutnya. Ia menatap dua orang yang berdiri di depan pintu penthousenya dengan tangan bersedekap di depan d**a. Matanya menelisik, alisnya terangkat serta bibir yang mengatup rapat. Pria itu tak menutupi rasa kesalnya. Secara terang terangan memperlihatkan kekesalannya lewat ekspresi tak sukanya. Sorot mata yang menajam, rahang yang angkuh, tangan bersedekap. "Aku menyuruhmu pergi untuk selamanya, bukannya kembali dan mengganggu tidur malamku. Kau tidak tahu jika ini sudah lewat tengah malam? Aku akan mengganti pin penthouseku ribuan kali dan mengusirmu keluar dari sini. Jadi jangan datang lagi karena aku tidak suka melihatmu di sini. Lagipula kau punya apartemen sendiri, Bodoh!" Prasta pada akhirnya tak tahan untuk tak mengomel. Pria itu jengkel dengan sikap Daska. “Ini darurat,” sahut Daska tak acuh, ia masih kerepotan dengan beban di sampingnya. Prasta mendengkus kesal. Daska hendak masuk ke dalam namun Prasta menghalanginya. Membuat Daska mengumpat dalam hati. Ia cukup tahu diri dengan tidak mengumpat di hadapan Prasta atau ia akan diusir dan bebannya akan semakin berat. "Apa yang terjadi dengannya?" tanya Prasta kemudian menujuk ke arah pria teler yang tengah dibopong oleh Daska. Ia berdiri menghadang pintu dan tak memperbolehkan Daska masuk ke dalam. “Kalian mabuk lagi? Ck, tidak di Seoul, tidak di Jakarta. Kenapa hobi kalian itu mab...” "Yak! Bantu aku membawa si b******k ini masuk dulu, baru setelah itu kau boleh mengomeli kita berdua," celoteh Daska memotong omelan Prasta. Pria itu kesusahan menahan berat badan Denta yang benar benar K.O alias tak sadarkan diri. Prasta diam sejenak, kemudian mulai membantu Daska dan membawa Denta masuk ke dalam penthouse. Dua pria itu membaringkan tubuh Denta dengan kasar di atas sofa. Daska menegakkan tubuhnya, melakukan peregangan dan melemaskan pundaknya yang pegal. "Ah, pundakku," keluh Daska memijat pundaknya yang pegal pegal setelah membopong Denta dari parkiran sampai ke penthouse milik Prasta. "Ck, sampai kapan kalian akan berhenti merepotkanku?" tanya Prasta sarkas. Menatap bergantian ke arah Daska dan juga pria yang tengah terkapar di atas sofa. Sejak dulu, memang hanya Prasta saja yang masih waras. Prasta selalu mengurus dua orang tidak berguna yang selalu berbuat onar dan merepotkan orang lain. Ia selalu menyelesaikan masalah yang dibuat Daska dan juga Denta. "Hari ini dia sangat kacau, jadi berbaik hati sedikit saja padanya," celoteh Daska menatap Denta prihatin. Prasta menoleh ke arah Daska dengan pandangan menelisik. "Kau..." "Malam ini aku hanya menemaninya minum, aku tidak minum sama sekali," ujar Daska berperan sebagai adik yang mencoba membela dirinya di saat sang kakak hendak memarahinya. Prasta berdecak pelan, lalu menoleh ke arah Denta. Ia mengamati penampilan Denta yang sangat kacau, mencium bau alkohol yang sangat menyengat dari tubuhnya. "Berapa banyak yang ia minum sampai membuatnya tak sadarkan diri seperti ini?" tanyanya kemudian. "Entahlah." Daska mengangkat bahunya tak acuh. "Mungkin 3... 5 atau bahkan lebih dari itu," imbuhnya kemudian, mengingat berapa jumlah botol kosong yang telah di habiskan oleh Denta. "Tumben sekali dia mabuk sampai separah ini," gumam Prasta. "Apa dia sedang ada masalah?" tanyanya menoleh ke arah saudara kembarnya. "Aku juga tidak tahu. Dia hanya mengatakan hal hal yang tidak jelas. Skenario omong kosong dan akhirnya tak sadarkan diri seperti ini," sahut Daska menjelaskan. "Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Ayo kita istirahat, aku sangat lelah setelah meladeni kegilaannya," ocehnya kemudian berjalan menuju kamar yang biasa ia pakai di lantai atas saat menginap di penthouse Prasta. Prasta menatap punggung Daska yang menjauh. "Bagaimana dengan Jeva?" tanyanya kemudian, membuat Daska menghentikan langkahnya yang sudah mencapai bawah anak tangga. "Jeva?" Daska menoleh ke belakang. "Bukankah kau menemui Denta untuk menanyakan tentang Jeva?" tanya Prasta memperjelas ucapannya. "Itu...." Daska diam sejenak, ucapan Denta kembali terngiang di dalam benaknya. "Aku tidak mendapat jawaban. Dia terlalu mabuk untuk menjawab pertanyaanku tentang Jeva," ujarnya kemudian. Pada akhirnya Daska memilih untuk bungkam. “Aku akan memberitahumu jika semuanya sudah jelas, Pras. Masih banyak teka teki yang harus aku pecahkan,” imbuhnya dalam hati. "Oh, begitu." Prasta hanya bergumam. Meskipun ia merasa ada yang ganjal, tetapi Prasta juga memilih untuk mengiyakan keputusan Daska untuk bungkam. Apapun yang coba disembunyikan oleh Daska, ia yakin lama lkelaam pria itu akan memberitahunya. Daska kembali melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga menuju ke lantai atas. Sedangkan Prasta masih diam di tempatnya. Pria itu kembali menoleh ke arah sahabatnya. Ia lalu berjalan menghampiri Denta, membuka sepatu dan juga jaket pria itu. “Maaf karena aku tidak bisa melindungimu, Bel.” Denta mengigau tidak jelas. "Maafkan aku." Pria itu kembali bergumam. Prasta mengerutkan keningnya saat samar samar mendengar ucapan Denta. “Maaf karena aku tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu.” Denta kembali mengigau. “Kenapa kau harus menyalahkan dirimu sendiri atas takdir yang terjadi pada Belva, Ta?” gumam Prasta pelan, menatap wajah Denta dengan mata sendunya. Lalu air mata jatuh di ujung mata Denta yang tertutup rapat. Tangis dalam tidurnya yang membuat Prasta semakin nelasngsa melihatnya. Denta menangis dibawah alam sadarnya, itu artinya ia menangis karena hal yang sudah sejak lama ia pendam. "Apa yang membuatnya menangis seperti ini? Apa karena ia merindukan Belva?" Lagi lagi Prasta hanya bergumam. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN